OPINI

Makna Jiwa Korsa Untuk Prajuri TNI (Bagian-2)

by Anton Permana Jakarta FNN- Selasa (06/10). Dalam rangka memperingati HUT TNI yang ke75, maka sebagai anak bangsa Indonesia, kita semua tentu bangga karena mempunyai tentara yang hebat, dan termasuk paling terbaik di dunia. Yaitu Tentara Nasional Indonesia. Tentara rakyat yang setia loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena jati diri TNI itu lahir dari rakyat, untuk rakyat. Sebagai tentara kebanggaan kita semua, yang diamanahkan sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu tidak heran apabila yang menjadi tentara itu adalah para putera-puteri terbaik bangsa. Mereka direkrut melalui seleksi yang sangat ketat, kemudian dilatih, dididik, dibina, dan disumpah agar menjadi tentara yang tangguh. Tentara yang terampil, profesioal, dan militan sebagai kebanggaan kita semua. Untuk itulah TNI selalu dibekali dengan kemampuan, doktrin, kedisiplinan, standar fisik, cara berpikir, serta semangat patriotik yang wajib di atas rata-rata masyarakat sipil biasa. Sebagai komponen utama alat pertahanan negara, TNI tidak cukup hanya dibekali dengan seragam loreng dan persenjataan saja. Ada satu kekuatan utama di dalam diri setiap personil TNI yang juga harus WAJIB menjadi kekuatan utama dirinya, baik secara individu, secara korps kesatuan, maupun secara institusi, yaitu “Jiwa Korsa”. Le'espirit de corps. Karena, dengan jiwa korsa inilah akan bisa terjalin kuat sebuah ikatan loyalitas, persaudaraan, rasa senasib dan seperjuangan, semangat kehormatan, antar sesama prajurit. Jiwa korsa ini bagaikan urat nadi, talian nafas, yang mengikat kuat jiwa-jiwa seorang prajurit, agar seolah menjadi satu bahagian tubuh yang kuat tangguh tak terpisahkan. Satu bahagian yang sakit, maka bahagian yang lainnya juga akan merasa sakit. Itulah jiwa korsa. Karena dengan jiwa korsa ini juga, para prajurit ini akan mempunyai daya gempur, daya tahan, daya soliditas yang kuat dalam menyelesaikan setiap tugas berat dan misinya. Artinya, jiwa korsa sejatinya adalah kehormatan bagi seorang prajurit. Jiwa korsa adalah identitas utama seorang prajurit. Jiwa korsa adalah parameter batin dan degub jantung setiap prajurit TNI. Karena jiwa korsa inilah yang menjadi pembeda antara TNI dengan masyarakat sipil lainnya. Jiwa korsa seorang prajurit TNI itu dimulai dari kesetiaannya kepada negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Kemudian baru kepada atasan dan pimpinan, kepada para senior, kakak asuh, pelatih, dan seterusnya. Sedangkan di dalam Konstitusi kita dalam pembukaan UUD 1945 jelas tertulis bahwasanya, negara Republik Indonesia ini berkedaulatan rakyat. Induk semang" TNI itu adalah rakyat. Karena TNI lahir dari rahim rakyat. Bukan cukong atau partai politik. Jadi sangat disayangkan apabila, kekuatan utama jiwa korsa seorang prajurit TNI ini sampai dikotori oleh tangan-tangan jahil politik kekuasaan. Ataupun juga campur tangan pihak luar yang sengaja mengobok-ngobok, memperalat, mengadu domba sesama prajurit. Apapun alasannya. Karena, sejatinya prajurit itu pasti akan selalu menjaga kehormatan dan wibawanya. Salah satu caranya itu adalah dengan loyal terhadap atasan, pimpinan, senior, pelatih, kakak asuh, bahkan sampai kepada anak buah dan para juniornya. Walaupun sudah pensiun sekalipun. Tradisi ini terjaga kuat selama ini, dan tradisi ini jugalah yang menjadi puncak kehormatan dan wibawa TNI di mata masyarakat. Namun sayang, semua ini tercoreng oleh tindakan oknum-oknum yang terjebak oleh sifat loyalitas buta. Pada insiden Gedung Juang DHD 45 Surabaya dan insiden ziarah purnawirawan di TMP Kalibata. Dimana dalam era pasca reformasi ini, TNI berada di bawah kendali supremasi sipil harus pandai menempatkan diri agar berdiri di tengah. Jangan sampai mau diperalat oleh politik kekuasaan golongan tertentu. Perbuatan yang menjadi aib bagi seluruh keluarga besar TNI, yaitu ketika melihat seorang mantan Panglima TNI, jendral bintang penuh, digelandang sedemikian rupa oleh petugas karena alasan yang tidak sesuai dengan fakta. Begitu juga insiden TMP Kalibata. Bagaimana seorang Dandim menghadang para seniornya dengan arogansi dan sikap diskriminatif. Padahal para purnawirawan itu ada yang mantan kepala staf (bintang empat), bintang tiga, bintang dua dan Pamen. Sungguh sebuah peringatan keras bagi semua keluarga besar TNI. Apakah masih ada semangat dan jiwa korsa itu dalam jati diri prajurit TNI hari ini ??? Apakah politik kekuasaan, iming-iming posisi jabatan, dan politik kepentingan ideologis partai politik tertentu telah berhasil merubuhkan apa yang selama ini menjadi kekuatan dan kebanggaan utama prajurit TNI ?? Semua geram, semua marah, melihat kejadian ini yang dilihat jutaan rakyat Indonesia secara telanjang. Satu pertanyaan seragam dari rakyat sekarang ini. Apakah masih ada jiwa korsa itu dalam diri prajurit TNI ? Bagaimana mau menjaga kedaulatan negara, sedangkan menjaga kehormatan keluarga besar TNI saja tidak mampu? Secara pribadi saya menjawab masih ada. Saya juga yakin masih ada dan kuat. Kejadian Surabaya dan TMP Kalibata hanyalah perbuatan oknum yang atas nama tugas, telah diperalat oleh sebuah kekuatan yang besar, sehingga kejadian memalukan itu terjadi. Untuk itulah, di hari yang penuh sejarah ini, mari kita semua merenung. mendalami lagi semangat patriotik dan jati diri seorang prajurit TNI yang telah ditanamkan oleh para pendahulu kita. Mari kita juga instropeksi, agar TNI ke depan jangan mau diperalat dan "dikerjain" lagi oleh kekuatan luar TNI. Mengadu domba sesama prajurit TNI antara senior dan junior ? Ini sama saja menepuk air di dulang. Mari kembalikan semangat dan jiwa korsa sesama prajurit TNI. Karena hanya dengan itu, wibawa dan kehormatan TNI kembali berdiri tegak. Untuk menjadi tentara kebanggan seluruh rakyat Indonesia, jiwa korsa TNI adalah untuk negara, rakyat, dan keluarga besar TNI. Bukan untuk cukong dan politisi. Dirgahayu TNI ku yang ke-75. Harapan dan do'a rakyat Indonesia akan selalu menyertaimu. Jaga negeri ini dengan jiwa ragamu. Salam Indonesia Jaya! Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

UU Omnibus Law, Perbudakan Buruh Di Negeri Sendiri

by Edy Mulyadi Jakarta FNN - Senin (05/10). Sabtu malam, 3 Oktober 2020, DPR dan pemerintah sepakat meloloskan RUU Omnibus Law dibawa ke Sidang Paripurna DPR, 8 Oktober untuk disahkan. Tragedi tengah malam kembali terjadi. Tengah malam itu, kembali para elit bersekongkol secara jahat untuk menindas rakyatnya sendiri. Tampaknya DPR dan Pemerintah untuk kesekian kalinya kembali mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja. Persis sama seperti KPU yang mengumumkan hasil Pemilu bermasalah yang sarat dengan kecurangan. Beberapa pasal UU Cipta Kerja yang dipastikan bakal menyengsarakan buruh antara lain, dihilangkannya pesangon , dihapuskannya UMP, UMK, dan UMSP serta upah buruh yang dihitung per jam. "Selain itu, RUU ini juga menghapuskan semua hak cuti tanpa ada kompensasi. Di antaranya cuti sakit, cuti kawinan, khitanan, cuti kematian, dan cuti melahirkan hilang dan tidak ada kompensasi. Hal lain yang tidak kalah memprihatinkannya, UU Omnibus Law ini akan memberi hak kepada pengusaha untuk mengganti _outsourcing_ dengan kontrak seumur hidup. Buruh akan berstatus kontrak, yang terus-menerus diperpanjang. Masih banyak pasal lain yang sangat mengeksploitasi dan menindas buruh. Antara lain, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Selain itu, tenaga kerja asing bebas masuk, dan istirahat hari Jumat hanya satu jam, termasuk sholat Jumat. Dengan semua penindasan itu, buruh dilarang protes. Pasalnya, RUU Cipta Kerja memberi hak kepada pengusaha untuk melakukan PHK kapan saja, tanpa ada kewajiban memberi pesangon. Semua sanksi bagi pengusaha di RUU ini juga dihapuskan. Dengan konten yang menindas buruh seperti itu, pada hakekatnya RUU ini adalah pintu masuk bagi perbudakan terhadap buruh kita. DPR dan Pemerintah sudah kehilangan nurani dan akal budinya. Entah rakyat mana yang diwakili para anggota Dewan itu. Sementara para pejabat pemerintah yang gaji dan segala fasilitasnya dibiayai rakyat, ternyata justru secara kejam menyengsarakan buruh yang jelas-jelas bagian dari rakyat itu sendiri. Tak pelak lagi, UU ini adalah perbudakan gaya baru di era modern. Kita harus lawan. Kita dukung penuh perjuangan buruh menolak RUU Cipta Kerja. Penulis adalah Presidium Aliansi Selamatkan Merah Putih (ASMaPi)

Negara Tanpa Kekuatan "Checks and Balances"

by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Senin (05/10). Selama masa Pemerintahan SBY, saya kritik habis kepemimpinannya. Bahkan mengedarkan formulir di parlemen untuk rencana mengimpeachnya. Saya bangun wacana impeach atas presiden hampir sebulan di media nasional, tetapi tidak ada satupun pendukungnya yang menghadapinya dengan hujatan, apalagi dengan cara koor dalam satu barisan virtual penghujat. Pak E.E Mangindaan, yang Ketua Komisi II DPR waktu itu, bersama pimpinan Partai Demokrat, justru tidak sedikitpun mengurangi keakraban dan komunikasi dengan kawan-kawan di Komisi. Bahkan semakin banyak tugas dan tanggungjawab diserahkan kepada saya. Namun kini, kalau ada yang mengatakan kebijakan pemerintah salah saja, tidak lama kemudian langsung diserbu dengan hujatan dan cacian. Penguasa sekarang mempunyai punya suatu barisan hujatan dan cacian yang seperti siap menerkam dan merobek mangsa di belantara. Sesungguhnya kita sedang hidup di hutan mana? Sehingga tidak lagi menghargai kritik dan kontrol sosial? Padahal pada masa Soeharto yang dikenal kejam saja, mahasiswa bebas untuk kritik. Mereka yang kritik Soeharto dihormati dan dibanggakan sebagai calon pemimpin bangsa. Media massa nasional yang ketika itu dikontrol oleh pemerintah, selalu menyelipkan pesan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Juga pentingnya kontrol sosial dari warga masyarakat. Suara rakyat didengar. Kalau ada kenaikan tarif jasa publik, listrik, tarif toll,bis kota dan lain-lain, selalu disosialisakan dan meminta umpan balik dari masyarakat. Sehingga kenaikan dilakukan dengan sangat hati hati. Padahal kalau mau saja, Soeharto miliki kemampuan untuk memaksakan keinginannya. Pada masa reformasi, priinsip partsisipasi dan kontrol sosial menjadi inti dari pesan dan semangat reformasi. Ideologi Pancasila ditetapkan sebagai ideologi terbuka yang perlu memperoleh kajian dan timbangan kritis untuk keberhasilan dan keandalan dalam penerapannya. Reformasi digemakan agar nasib bangsa ini lebih baik dari keadaan di masa Pak Harto. Tetapi mengapa justru sekarang keadaan demokrasi dan perbedaan pendapat menjadi buruk di masa sekarang? Rakyat hanya menjadi objek hinaan dan kekerasan. Bukan lagi sebagai subjek dan objek pembangunan. Minimal posisi rakyat sebagaimana yang ditekankan media massa Orde baru dulu. Sesungguhnya untuk siapa pembangunan itu? Kalau rakyat dalam posisi kehilangan selera partisipasi dan hanya menjad objek pesakitan. Rakyat hari-hari hanya menjadi objek tuduhan penguasa dengan sebutan Islam radikal, taliban kadrun dan segala bentuk penyudutan lainya. Mila rakyat punya sedikit saja keinginan untuk menggugah pemerintah atas nasib mereka, atau bila mereka mengeluhkan keburukan yang mereka alami akibat kebijakan yang tidak menguntungkan mereka, maka mereka siap hadapi penerapan serangan model seperti Israel terhadap Palestina. Siapa yang memprotes penyerobotan tanah Palestina oleh Israel, maka mereka adalah Islam ektstrim. Termasuk dalam kategori bahwa semua orang Arab dan Islam ingin membunuh semua Yahudi. Itu cara terbaik Israel untuk memuluskan penyerobotan tanah dan merusak identitas Palestina. Kalau demikian, lantas mana itu kekuatan checks and balances yang menjadi sendi utama dari konstitusi kekuatan civil society? Ciri utama negara demokrasi adalah kuatnya civil society yang melahirkan keuatan checks and balances. Mana yang namanya the magnificient power of social control in solving national problems and crisis? Wajar saja kalai publik menyimpulkan bahwa memang pembangunan itu tidak otentik untuk rakyat. Tetapi untuk selain rakyat. Sangat boleh jadi untuk tuan asing dan penjajah bangsa ini. Karena itulah mengapa baja nasional kita, pabrik-pabrik semen, dan sumberdaya strategis kita justru rontok di saat ribuan trilyun dana infrastruktur digelontorkan. Mengapa produktivitas nasional kita merosot? Kelas menengah kita jadi terpelanting? Pengangguran meningkat dan matinya daya kreatif anak bangsa karena belenggu sub-ordinasi dan penistaan? Mementara Menkeu semakin kencang meneriakkan bahaya gagal bayar dan negara seperti sedang dilucuti martabat dan kehormatannya. Untuk semua itu, tidak ada cara lain, kecuali harus ada tindakan-tindakan besar untuk menyelematkan negeri ini. Sebagai negara, kita semua, bukan milik satu kelompok tertentu, apapun suku, agama, mazhab dan keyakinannya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan.

Agum Gumelar Ngaco Soal Komunisme

by Ubedilah Badrun Jakarta FNN – Senin (05/10). Pernyataan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Jendral Kehormatan TNI (Purn. ) Agum Gumelar yang dikutip sebuah media online mainstream keliru besar. Miris juga saya mendengar pernyataan dari seorang Jendral Purnawirawan yang sangat miskin data. Sudah salah, ngawur dan ngaco pula dalam membuat kesimpulan. Dampaknya bisa sangat menyesatkan. Sekelas Agum Gumelar menyebut bahwa PKI di Indonesia adalah bagian dari gerakan komunisme internasional, dan Republik Rakyat Cina (RRC ). Padahal secara ekonomi, RRC sudah sangat kapitalis. Kata Agum lagi, RRC kini telha menjadi negara kapitalis terbesar di dunia. Hanya dengan alasan itu, orang sekelas Agum Gumelar lantas menyimpulkan bahwa komunisme sudah basi dan sudah bubar. Ini bentuk kasimpulan dan asumsi yang ngwur, ngaco dan sangat menyesatkan. Kesimpulan yang tanpa berbasis pada data dan fakta. Hanya karena Agum Gumelar tidak detail dalam membaca permasalahan di RRC. Bahwa benar RRC merubah haluan ekonominya iya. RRC juga takluk pada kapitalisme dan liberalisme ekonomi, juga iya. Tetapi di wilayah politik RRC, tidak ada yang berubah satu centipun. Politik di RRC itu masih tetap saja berhaluan komunis. Bukti apa ? Bukti yang paling sederhana adalah Partai Politik Komunis masih menjadi partai tunggal di RRC. Hanya Partai Komunis Cina yang mengendalikan seluruh lili pemerintaha di RRC. Yang namanya demokrasi itu, tidak tumbuh dengan sehat disana. Sebagaimana demokrasi yang tumbuh dan berkembang di negara-negara liberal kapitalis lainya. Partai politik tunggal adalah salah satu ciri utama dari sitem komunisme dalam politik. Doktrin tentara RRC adalah taat dan tunduk kepada Partai Komunis Cina. Bukan taat dan tunduk kepada negara RRC. Bgitulah salah satu sistem dan cara komunisme dalam mengelola dan mengusai negera. Kellee S.Tsai dalam bukunya Capitalism without Democracy: The Private Sector in Contemporary China (2007) menyebutkan bahwa Chinese entrepreneurs are not agitating for democracy. Most are working eighteen-hour days to stay in business. Mereka para pebisnis tersebut menurut Kellee S.Tsai adalah anggota Partai Komunis China. Dan itu juga yang menjadi haluan politik Tiongkok. Bahwa politiknya tetap saja komunisme, meski ekonominya liberal kapitalis. Meskipun ekonominya kapitalisme, China juga pada titik tertentu tidak murni kapitalis. Bukti lainya adalah posisi RRC yang selalu berhad-hadapan dengan Amerika Serikat, dan sangat getol melakukan perang dagang dengan Amerika Serikat. Jika betul RRC kapitalis dan liberalis, mestinya bersahabat dengan Amerika Serikat. Faktanya tidak juga tuh. Mestinya Agum Gumelar minimal tau dua argumen di atas. Sehingga Agum yang Jendral Kehormatan TNI (Purn.) itu tidak bicara tanpa data yang akurat. Jadinya, komentar Agum Gumelar jelas-jelas keliru, ngawur dan berlebihan terhadap isu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan faham komunisme yang dilontarkan oleh mantan Panglima TNI, Jendral Purnawirawan benaran Gatot Nurmantyo. Apa yang disampaikan Gatot Nurmantyo itu sifatnya warning. Juga sebagai analisis tentang kemungkinan metamorfosis faham komunisme dimanapun, khususnya di Indonesia. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

Gibran, Anak "Tuan 92%" Yang Menjadi Kadrun

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (05/10). Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Jokowi yang menjadi calon Walikota Solo merasa telah "booming". Apalagi mendapat dukungan dari koalisi mayoritas partai politik. Bahkan partai politik baru tanpa malu-malu juga ikut nimbrung mendukung. Dulu awalnya Gibran sama-sekali tidak terfikir untuk berkompetisi menjadi Kepala Daerah katanya. Mungkin saja karena takut menyulitkan posisi sang ayah yang mengagendakan jabatan politik yang lebih meroket dua periode. Karena keinginan dua periode sudah tercapai, maka sang anak sudah bisa untuk lampiaskan keinginan menjadi Walikota Solo. Situasi kini berbeda. Setelah muncul Gibran keinginan untuk menjadi Walikota Solo, tentu saja ini adalah keinginan mendapat dorongan atau dukungan penuh dari ayahanda. Masyarakat wajar saja kalai melihat status Gibran sebagai "putera raja" menjadi modal politik terbesar. Adapun modal kecilnya adalah kompetensi dan pengalaman yang sangat sangat minim dan bau kencur itu tidak lagi penting untuk dipertimbangkan. Jualan martabak saja, dipastikan bukan modal sosial untuk meraih jabatan politik. Modal utamanya adalah putera raja. Mulai merasa "over confidence". Gibran berujar bahwa kemenangan sudah pasti bakal digenggamnya. Tetapi tidak mau kemenagan itu sampai 70 % atau 80% saja. Harus bisa mencapai 92 % kemengan. Toh, sebenarnya kalau mau ditargetkan kemengan 110% juga boleh-boleh saja. Apalagi putera raja Namun kemenangan harus harus berdasarkan pada kalkulasi yang rasional untuk mencapainya. Atau memang pesaing independennya itu adalah pasangan yang "abal-abal" sehingga bisa dianggap enteng-enteng saja? Semacam shadow boxing begitu. Atau mungkin juga sudah siap dengan kelicikan dan mark up otak atik suara di Komusi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya yang awalnya hanya 29 suara. Namun di KPU bisa berubah menjadi 92? Kalau kelicikan ini yang sudah dipersiapkan, maka jangankan hanya 92%, kemengan yang lebih besar, bahkan 200% juga kemungkinan aja bisa didapat Gibran. Jadi teringat model kekaisaran Romawi atau Cina yang selemah apapun sang putera, atau kerabat dapat dengan mudah untuk menduduki kursi jabatan Kaisar. Bukan soal dinastinya, tetapi idiotnya itu. Rakyat pun tidak bisa berbuat apa-apa memiliki Kaisar yang bukan saja "incompetent", tetapi juga abnormal. Caligula dan Nero adalah contoh Kaisar yang gila kuasa. Kekuasaan adalah Tuhan. Kejumawaan Gibran merupakan fenomena praktek politik kolusif dan nepotisme. Bukan kompetisi obyektif dan fair. Apresiasi pada kapasitas kah sehingga Megawati Ketum PDIP dan Sandiaga Uno Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra akan ikut berderet berkampanye untuk Gibran? Atau ini urusan dengan ayahnya yang sang Presiden ? Adakah Partai yang berkoalisi untuk mendukung penuh Gibran itu berhubungan dengan budaya politik sandera menyandra? Atakah memang ada proteksi atau transaksi besar disana? Silah ditanyakan kepada yang terhormat para Ketua Umum Partai Politik pendukung Gibran tersebut. Sebab apapun yang ada dibalik dukungan penuh Partai Politik kepada Gibran, terserah mereka saja. Olok-olok publik pada Gibran muncul soal pencitraan yang berfoto koko peci mengimami shalat berjamaah. Komentar netizen demi jabatan walikota siap juga untuk menjadi kadrun. Like father like son. Teringat kembali Novel "The Da Peci Code" karya Ben Sohib. Soal sengketa interpretasi pemakaian peci di keluarga marga al Gibran di Betawi. Peci pencitraan. Mungkin bagi Gibran angka kemenangan 92 % adalah hal yang "biasa saja". Karena dirinya hanya orang yang "biasa saja" dididik oleh orang tua yang menganggap anak mantu besan maju Pilkada itu "biasa saja". Nepotismekah? "biasa saja". Jika menjadi Walikota ternyata tidak becus dan korup, maka itu juga "biasa saja". Biarlah kalau begitu masyarakat yang menghukuminya, dan juga itu "biasa saja". Selamat menikmati kampanye Pilkada di era Covid 19 "tuan 92 %". Kelak jika korban berjatuhan akibat pandemi Covid 19 meningkat, maka hal itu adalah hal yang "biasa saja". Memang bangsa sudah payah, karena punya Presiden dan anak Presiden yang "biasa saja". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Istana Menyerang Anies, Karena Oon Membaca Data

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (05/10). Istana menyerang Anies, itu biasa. Sudah seperti sarapan pagi saja. Kalau nggak nyerang, justru publik nanya, kapan lagi ya? Tumben! Serangan Istana ke Anies sudah menjadi pekerjaan yang ritual. Sudah seperti sesajen yang harus dan mutlak ada. Kondisi ini sekaligus menegaskan posisi istana sebagai pihak yang opisisi kepada Anies. Sampai kapan ya? Sampai Anies tak lagi menjadi gubernur DKI dan pindah ke kursi di Istana. Kali ini aktor penyerangnya adalah Mahfuz MD dan Airlangga Hartarto. Posisi Mahfuz sebagai Menko Polhukam dan Airlangga Hartarto adalah Menko Perekonomian. Menko Polhukam dan Menko Perekonomian kok ikut-ikutan ngurus covid-19 DKI yaaaa??? Mungkin juga berbagi tugas dengan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Menko Maritim dan Investasi ngurus covid-19 tingkat nasional. Sedangn Manko Polhukam dan Menko Perekonomian kebagiandi wilayah DKI. Kalau Menhan? Biarkan beliau ngurus singkong saja. Sebab ini bagian dari ketahanan pangan. Entar kalau terjadi perang, kita bisa buat senjata dari singkong. Lalu kemana Menkes ya? Mungkin sedang sidak ke kerumunan yang pakai masker. Menurut beliau, ngapain pakai masker. Orang sehat gak perlu pakai masker. Pakai masker itu dikhususkan kepada mereka yang positif terkena pandemi corona saja. Kembali soal Mahfuz. Menko Polhukam ini bilang, "di DKI Jakarta yang tidak ada pilkada, justru angka infeksinya corona tinggi. Selalu menjadi juara satu soal penularannya"(2/10). Juara satu ya pak? Bisa dapat sepeda dong... Sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020, justru turun status dan zona merah Covid-19, kata Mahfuz lagi. Dari 45 daerah berstatus zona merah, ada 16 daerah yang turun statusnya sehingga kini tinggal 29 daerah yang masih zona merah, lanjut Mahfuz. Sementara di daerah yang tak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 menjadi 33, kata Mahfuz. Begitu ya pak? Data yang diungkap Mahfuz mungkin saja benar. Yang jadi soal adalah cara Mahfuz membaca data itu. Disitulah persoalannya. Kalau salah membaca, maka akan salah analisis dan salah pula menyimpulkan. Bisa kacau-balau, dan amburadul hasilnya. Untuk Indonesia, kemampuan negara melakukan tes PCR secara nasional itu sangat rendah. Hanya 1.799.563 dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya 271.052.473. Nggak sampai 2%. Dari 1.799.563 penduduk yang dites itu, sebanyak 857.863 ada di Jakarta. Artinya, 48% penduduk Indonesia yang dites covid-19 itu adalah warga Jakarta. Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 33 propinsi. Penduduk Jakarta itu jumlahnya 10.944.986. Tapi telah melakukan tes PCR sebanyak 857.863. Sementara 33 provinsi di luar Jakarta, jumlah penduduknya 260.407.487. Yang dites PCR 941.700. Terus, gimana mau membandingkan Jakarta dengan 33 provinsi lain? Jumlah tes PCR jomplang banget dong??? Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional berada di Jakarta. Sisanya 52% tersebar di 33 provinsi. Wajar saja jika Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka. Tetapi ini sudah masalah otak yang bekerja. Ada isinya apa nggak? Hehehe. Sebab kalau menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1.000 orang per minggu yang dites, maka tes di DKI itu 6x lipat lebih tinggi dari standar WHO. Faham nggak itu Pak Mahfud. Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Fahami angkanya baik-baik Pak Mahfud. Mortality DKI Jakarta auh lebih rendah dari rate mortality nasional. Sedikit lebih rendah dari rate mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur yang 7,3%, Jawa Tengah di 6,3%, NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%, Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan Timur 3,8% dan seterusnya. Kenapa tingkat kematian (rate mortality) nasional dan sejumlah daerah jauh melampaui batas mortality global? Jawabnya sederhana saja. Karena penduduk nasional yang dites masih terlalu amat sedikit. Jauh dibawah standar global. Kalah banyak dengan negara kecil di Afrika, Ghana. Kalau jumlah penduduk yang dites covid-19 itu sama prosentasinya dengan Jakarta misalnya, maka angka kematian nggak akan sebesar itu. Kalau toh selisih, nggak akan jauh dari angka kematian global. Masalahnya, daerah punya dana nggak untuk melakukan tes seperti yang dilakukan Anies di Jakarta? Atau dananya masih ngendap di Kementerian Keuangan? Gimana mau memperbanyak jumlah tes PCR, jika nggak punya dana? Ini masalah tersendiri. Jadi, data kematian (mortality) di berbagai wilayah Indonesia di atas rate mortality global 3,3%. Bahkan yang di atas 7%. Jangan sampai dibaca bahwa masyarakat di luar DKI itu lebih rentan mati. Belum tentu juga. Penyebabnya bukan karena meraka kurang gizi, banyak penyakit, daya tahan tubuhnya lemah. Tidak begitu. Apakah karena kepala daerahnya yang gak pecus atau nggak serius? Bisa iya, bisa enggak. Faktor yang pasti adalah karena jumlah penduduk yang dites jauh di bawah jumlah standar global. Ini menunjukkan bahwa banyak sekali orang Tanpa Gejala (OTG) yang belum mendapat tes PCR. Tanpa disadari, mereka terus menebar dan menjadi agen virus ke orang lain. Sesungguhnya ini yang akan memperpanjang masa pandemi di Indonesia. Makin kecil jumlah populasi yang dites, maka akan makin lama negeri ini hadapi pandemi. Lagi-lagi, ini diantaranya terkait soal kesungguhan dan kemampuan menyediakan anggaran, baik daerah maupun pusat. Sayangnya, hanya Rp 87,5 Ttriliun dari anggaran covid-19 yaitu Rp 905 triliun yang dipakai untuk tangani kesehatan. Kurang dari 10%. Terus sisanya dipakai untuk apa? Silahkan tanya ke Abu Janda dan Ade Armando. Uniknya, ada yang menyerang Anies soal anggaran ini. Katanya, Rp 10 triliun anggaran covid-19 di DKI, hasilnya banyak yang terpapar. Ini "guoblok kok yo nemen". Justru anggaran itu diantaranya digunakan untuk melakukan deteksi sebanyak mungkin warga yang terinfeksi. Setelah mereka sudah ketahuan positif, maka segera ditangani, agar penyebaran terkendali dan pandemi cepat selesai. Banyak daerah nggak mampu ngikutin langkah cepat dan agresif seperti di Jakarta, diantaranya karena keterbatasan anggaran. Jika kemampuan anggaran sama besar, dan prosentase populasi yang dites kurang-lebih jumlahnya sama dengan Jakarta dan kota-kota lain di dunia, maka angka terinveksi covid-19 di banyak daerah pasti akan naik tajam. Sebaliknya, prosentase kematian akan berangsur turun. Nah, data di atas hanya dipahami oleh mereka yang otaknya lurus. Waras maksudnya. Kesimpulanya, cara membaca yang benar akan melahirkan kesimpulan yang benar. Cara baca yang salah akan membuat kesimpulan salah. Kecuali, memang ada niat untuk membaca dan menyimpulkan dengan cara yang salah. Ya, silahkan tanya ke istana. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Waspada Terhadap PKI Itu Positif & Harus! (Bagian-2)

by Shamsi Ali Al-Kajangi New York City FNN – Ahad (05/10), Pada tulisan bagian kedua ini saya ingin menyebutkan beberapa gejala yang bisa menjadi perhatian, sekaligus kewaspadaan bangsa Indonesia. Pertama, kebanggan anak keturunan dan keluarga mantan pelaku di tahun 1965. Kesalahan memang tidak diwariskan. Karenanya keturunan PKI tidak harus ikut bertanggung jawab dengan dosa orang-orang tua mereka. Yang menjadi masalah adalah keterbukaan mereka dengan kebanggan itu. Jika PKI adalah dosa besar dalam tatanan kenegaraan dan kebangsaan, lalu apa yang menjadikan mereka bangga dengan dosa besar itu? Kebanggan terbuka atas dosa besar itu justeru menjadi salah satu indikasi tumbuhnya kembali ideologi yang mengantar kepada prilaku dan aksi PKI saat itu. Dan ini perlu diwaspadai. Kedua, upaya penghapusan sejarah PKI. Sejak 2018 lalu pelajaran sejarah PKI ditiadakan dari sekolah-sekolah di Indonesia. Selain penghapusan pelajaran sejarah PKI, juga pelarangan atau minimal peniadaan urgensi menonton film PKI yang menggambarkan kekejaman mereka. Semua bangsa besar itu ada karena kebesaran sejarah yang mereka ketahui. Jepang maju karena sejarah perang Dunia kedua yang meluluh lantahkan Nagasaki dan Hiroshima. Demikian pula Jerman, karena sejarah kekalahan mereka di perang dunia kedua. Upaya penghapusan sejarah PKI dicurigai sebagai upaya penina bobokan anak-anak bangsa agar tak lagi paham dan peduli dengan peristiwa itu. Saya diingatkan bagaimana kehebatan Amerika dalam membangun imej sejarah itu. Salah satunya peristiwa 9/11 yang dislogankan, “we forgive, but never forget”. Dalam kasus PKI, saat ini ada upaya membalik kenyataan seolah Komunislah yang korban. Tujuannya melemparkan kesalahan kepada TNI dan Umat Islam sebagai bagian dari upaya marjinalisasi dua backbones (tulang punggung) bangsa itu. Ketiga, meningginya serangan terbuka kepada Ulama dan institusi agama (baca Islam). Dalam sejarahnya hanya ideologi yang anti agama akan menyerang agama secara terbuka. Telah banyak ulama dan Ustadz yang diserang. Mungkin yang paling heboh baru-baru ini adalah serangan kepada Syeikh Ali Jaber. Baru saja kemarin tgl 19 September sebuah masjid di Tengerang dirusak dan dicoret-coret oleh sekelompok orang dengan kata-kata “anti Islam”. Jika serangan itu hanya kepada para Ulama, boleh jadi karena memang ada Ulama yang keras. Tapi ini justeru institusi agama, bahkan agamanya itu sendiri begitu dibenci. Benci Ulama boleh jadi karena perbedaan politik. Tapi benci agama dan institusi agama? Siapa lagi kalau bukan mereka yang memang anti agama? Keempat, terjadi pelemahan institusi pertahanan negara. Tentu dalam hal ini TNI menjadi target utama. Saya tidak membahas secara vulgar dan detail Masalah ini. Saya hanya mengharap agar kita semua mencoba menganalisa kejadian-kejadian dalam tubuh TNI tahun-tahun terakhir. Kelima, proses pembangunan ekonomi yang massif, tapi sangat “centralized” pada segmen masyarakat tertentu. Pembangunan infrastruktur-infrastruktur tidak mengarah kepada keberpihakan kepada rakyat. Pembangunan itu seolah menjadi hiburan sesaat bagi rakyat luas. Hal itu akan nampak ketika melihat kepada pembangunan sektor pertanian. Kepemilikan lahan di Indonesia diakui terkonsentrasi pada segmen masyarakat tertentu. Sementara rakyat luas semakin termarjinalkan dengan masa depan yang semakin suram. Keenam, gerilya politik yang tidak lagi malu-malu. Jika diperhatikan secara seksama, perpolitikan di Indonesia akan nampak bahwa ada permainan cantik, tapi terkadang kasar, dalam memarjinalkan kekuatan Umat dan penduduk mayoritas Indonesia. Partai-partai yang berwawasan keislaman dan kerakyatan akan dipaksa atau terpaksa untuk melebur dengan kekuatan besar. Pemaksaan itu sering dengan cara yang cantik. Tapi sering juga dengan kekeraran politik dan intimidasi. Gerilya politik ini kemudian tanpa malu-malu mencoba untuk melakukan ronrongan kepada ideologi negara, Pancasila. Upaya mengganti Pancasila melalui RUU HIP jelas merupakan demonstrasi yang terbuka dari pihak-pihak yang anti negara. Dan itu melalui gerilya politik tanpa sunkan lagi. Ketujuh, “hidden player” atau pemain terselubung ada di semua negara. Bahkan biasanya mereka bukan sekedar pemain. Justeru mereka adalah “hidden power” (kekuatan atau kekuasaan di balik tirai). Sebagai contoh saja. Di Amerika ada yang kita kenal dengan “kekuatan lobby”. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di negara ini lobby terkuat adalah lobby Yahudi Israel. Inilah yang menjadikan kenapa semua pemimpin negara ini nampaknya harus atau diharuskan mendukung Israel? Dalam sejarah Indonesia juga tidak terlepas dari hidden player atau hidden power ini. Ada masa-masa di zaman Orde Baru Umat Kristiani Katolik berkuasa. Anggaplah di masa keemasan Murdani. Di akhir masa Soeharto ada penghijauan institusi negara dengan pemain-pemain yang tergabung dalam organisasi ICMI. Di saat itulah seorang Habibie naik ke puncak kepemimpinan bangsa sebagai Wapres, lalu kemudian menjadi Presiden RI. Saya khawatir saat ini di Indonesia ada “hidden player” atau “hidden power” yang mewarnai. Bahkan mengendalikan arah kebijakan negara. Siapa mereka itu dan bagaimana eksistensinya? Disinilah urgensinya kita membangun kewaspadaan itu. Kedelapan, kekuatan luar (foreign power) atau minimal pemain luar (foreign player). Kenyataan ini kerap kali tidak disadari oleh banyak orang. Apalagi kalau pihak luar ini berhasil menggoda pemain dalam yang punya kepentingan-kepentingan sempit. Untuk Indonesia, ini bukan baru, namun tidak juga mengejutkan. Upaya melemahkan bahkan memecah belah NKRI telah lama dimainkan oleh pihak-pihak luar yang punya kepentingan. Ada dua segmen bangsa yang menjadi target utama mereka, yaitu TNI dan Umat Islam. TNI akan ditampilkan dengan wajah buruk, zholim, anti HAM, dan seterusnya. Yang kemudian dilanjutkan dengan lobi-lobi internasional untuk menekan, baik ke dalam negeri dengan mengurangi anggaran, maupun keluar negeri dengan boikot. Dimasa lalu TNI pernah diboikot untuk membeli senjata atau pesawat Tempir F-16 dari Amerika misalnya. Diantara sekian foreign player (pemain luar) itu adalah East Timor Action Network (ETAN). Salah satu aktifisnya yang kita kenal di Indonesia dulu adalah Sidney John. ETAN telah lama bekerja untuk merusak NKRI dengan melemahkan TNI dan Umat Islam. Dari zaman Timor Timur, Aceh, dan juga Papua. Mereka berhasil di Timor Timur. Di Aceh kalah dengan kelihaian pak JK menyelesaikan kasus Aceh dengan baik. Kini ETAN bergerilya untuk meronrong NKRI melalui Papua Merdeka. Sangat aktif dan mendapat dukungan dari beberapa negara yang punya kepentingan melihat Indonesia pecah. ETAN kini juga memasuki isu PKI di Indonesia. Salah satu propaganda mereka adalah membuat film tentang kasus 30 September dengan membalik realita. Film yang mereka buat ditampilkan kekejaman TNI dan Umat Islam. Sementara PKI adalah korban kekerasan kedua segmen bangsa (TNI-Islam) itu. Hal itu kemudian mereka hiasi dengan memplintir seolah kebangkitan Umat Islam untuk menentang Komunisme sebagai bentuk intoleransi. Maka ibarat bertepuk tangan, kedua telapak tangan itu, dalam negeri dan luar negeri, melahirkan irama tepukan “radikalisme”. Penutup. Sebelum menutup goresan ini, saya juga ingin mengatakan bahwa kewaspadaan itu bukan menambah beban atau menyirma bensin ke dalam kobaran api. Justeru ingin menjadikan kewaspadan ini sebagai jalan menyatukan langkah dan membangun rekonsiliasi kebangsaan. Maka tentunya harus juga diakui adanya kemungkinan “mistreatments” yang terjadi ketika itu. Boleh jadi memang kaena dorongan politik, dan kepentingan lainnya termasuk kepentingan global saat itu, ada perlakuan-perlakukan yang salah kepada pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harusnya tidak menjadi pembenaran untuk merubah narasi peristiwa, apalagi membalik realita yang sesungguhnya. Komunisme dan PKI bagaimanapun adalah musuh bangsa dan negara Indonesia. Bangkitnya sebagian anak bangsa untuk membangun kewaspadaan terhadap ancaman ideologi PKI ini tidak lain karena kecintaan, nasionalisme, dan patriotisme mereka terhadap negara. Karenanya jangan dianggap gangguan, apalagi ancaman terhadap pemerintah. Sebaliknya, justeru harus diapresiasi dan didukung. Keselamatan negara dan bangsa adalah tanggung jawab semua elemen bangsa. Secara khusus bagi umat Islam, semangat menentang kemungkinan bangkitnya PKI, karena didorong oleh kesadaran bahwa Islam dan negara Indonesia adalah dua hal yang senyawa. Kedua entitas itu tidak akan bisa dipisahkan. Mengobok-obok negara ini adalah juga mengobok-obok iman/Islam itu sendiri. Karenanya saya ingin berpesan kepada putra-putrì bangsa, khususnya Umat Islam agar bersatu menjaga NKRI. Jangan mudah dipecah belah oleh “hidden player” tadi. Jangan ada yang mudah dirangkul, lalu yang lain ditendang. Kekuatan negara Republik Indonesia ada pada kebersamaan TNI dan Umat. Hal yang telah dibuktikan sepanjang sejarah perjalanan negeri ini. Merdeka! (habis). Penulis adalah Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.

Makna Jiwa Korsa Bagi Prajurit TNI

by Anton Permana Jakarta FNN – Ahad (04/10). Yang paling membedakan antara seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)dari masyarakat sipil tidak saja baju seragam dan senjatanya. Tetapi yang paling sakral dan monumental adalah jiwa korsa. Sering disebut dengan "esprit de corps". Kalau hanya berbicara seragam, senjata, atau atribut, adalah sesuatu yang lazim bagi dunia militer. Tetapi berbicara tentang jiwa korsa adalah berbicara tentang urat nadi. Talian tarikan nafas, perasaan senasib seperjuangan, persatuan dan kesatuan cita, dan cinta antar sesama prajurit tentara. Yang semua itu sudah ditanamkan sejak masa pendidikan. Sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, tentu seorang tentara itu harus selalu tampil prima, profesional, dan trengginas dalam setiap medan penugasan. Untuk itulah, setiap prajurit dibekali banyak keahlian, sikap kedisiplinan tinggi, kemampuan, cara berpikir, standar fisik yang semuanya harus rata-rata di atas masyarakat kebanyakan. Karena itulah, jiwa korsa ini sangat berperan penting dalam menyatukan psikologis kejiwaan seorang prajurit. Bagaimana agar dengan jiwa korsa ini, mereka akan selalu struggle dan kompak dalam menyelesaikan apapun bentuk tugas, kesulitan dalam medan pengabdian. Baik itu berupa operasi militer perang maupun selain perang. Penanaman jiwa korsa ini adalah semacam keistimewaan dan kekhas-san seorang tentara dari masyarakat sipil biasa. Tujuanya agar setiap tentara itu mempunyai daya tahan, daya gempur, daya soliditas yang kuat dalam melaksanakan tugas dan misi. Artinya, bagi seorang tentara, salah satu wujud jiwa korsa adalah tidak ada lagi nilai selain rasa loyalitas, penghormatan, dan pengabdian kepada negara. Mereka telah disumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Begitulah pentingnya dan sensitif posisi jiwa korsa ini dalam dinas militer. Maka ada pihak yang menjadikan jiwa korsa ini menjadi salah satu indikator utama mengukur kekuatan pertahanan negara. Jika jiwa korsa tentaranya kuat, maka kuatlah negara tersebut. Vietnam dan Afghanistan contohnya. Vietnam, meskipun tidak mempunyai angkatan laut dan udara, tetapi berhasil mengalahkan Perancis dan Amerika Serikat dalam perang. Begitu juga Taliban di Afghanistan yang bisa mengalahkan tentara Uni Soviet dan membuat Amerika menyerah dan mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. Padahal kalau berbicara persenjataan, perbedaannya bagaikan bumi dan langit. Tetapi karena dua negara ini memiliki tentara yang tangguh, terkenal menyatu dengan rakyat. Tentaranya juga terkenal dengan jiwa korsanya yang tinggi, maka jadilah tentara mereka menakutkan bagi negara lain. Begitu juga dengan Indonesia dalam keberhasilan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan penjajah. Berhasil membendung agresi militer Belanda sebanyak dua kali, dalam pertempuran Palagan Ambarawa Semarang dan pertempuran 10 November di Surabaya. Kedua pertempurean ini menjadi catatan sejarah penting. Bagaimana heroiknya prajurit TNI kita dalam menghadapi invasi musuh dari luar. Belum lagi ancaman pemberontakan dari dalam negeri yang hanya bisa dituntaskan melalui peran TNI serta rakyat. Namun kini, yang menjadi tantangan bagi TNI itu adalah dunia politik, ideologi, dan ekonomi. Karena ketiga unsur ini juga yang bisa memecah belah organisasi. Apalagi jika tentara kita dikuasai oleh oknum oknum politisi yang memanfaatkan situasi, terlepas dari sejarah dan jati diri TNI yang dibentuk oleh rakyat. Bahkan TNI telah ada bersama rakyat sebelum terbentuknya pemerintahan NKRI. Disinilah daya kekuatan jiwa korsa seorang prajurit tentara itu diuji. Antara setia pada nilai, setia pada korps kesatuan, setia pada atasan, atau pragmatis atas rayuan tawaran jabatan, harta dan ada juga karena ideologi. Menjadi tantangan serius bagi TNI ke depan. Khusus untuk prajurit TNI. Seorang prajurit sapta marga, yang setia kepada Pancasila dan UUD 1945, pasti tidak akan terpengaruh dan tergiur dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan ideologi di luar tugas pokok dan fungsinya.Namun dalam era supremasi sipil, dimana kadang politik lebih dominan dan berkuasa. Tidak jarang akhirnya para prajurit terseret kepada kepentingan politik pragmatis. Politik tentara adalah politik negara. Bukan dimaksudkan untuk mengikuti saja apa kata politisi yang sedang berkuasa. Politik bagi TNI adalah menjadi netral atau tidak berpihak dalam mengamankan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Itu harga mati yang menjiwai TNI! Disinilah dilematis itu bermula. Namanya politik, tentu tak mengenal ikatan jiwa korsa sebagaimana tentara. Yang ada hanya kepentingan. Akhirnya tak sedikit tentara yang mau tak mau terseret kepada pusaran politik kekuasaan. Karena penguasa tentu akan lihai memanfaatkan "tools" dan instrumen kekuasaan yang dibuatnya sendiri untuk mengendalikan tentara menjadi alat kekuasaan. Oke kalau seorang Panglimanya punya jiwa militansi sapta marga yang tinggi, sehingga tak terpengaruh dan bisa memisahkan mana yang politik negara dan mana yang politik kekuasaan. Maka TNI secara institusi akan aman dan terhormat berada di tengah-tengah. Tetapi kalau yang terjadi sebaliknya ??? Insiden TMP Kalibata, serta insiden di Gedung Juang DHD 45 Surabaya menjadi catatan penting bagi sejarah implementasi jiwa korsa di negeri ini. Bagaimana seorang mantan Panglima TNI dengan mudah digelandang aparat dan dikepung massa dengan caci maki yang sengaja dibiarkan? Selanjutnya insiden penghadangan dan perlakuan diskriminatif oleh seorang Dandim terhadap para senior purnawirawan TNI yang dipersulit untuk ziarah makam ke TMP Kalibata hanya dengan alasan Covid-19? Sementara upaya pelaksanaan Pilkada di tengah Covid -19 pun terus dilakukan? Dua insiden ini telah menampar wajah dan kehormatan keluarga besar TNI. Tak ada lagi penghormatan, tak ada lagi etika, apalagi kalau berbicara jiwa korsa seperti kita bahas di atas. Padahal sebagai prajurit yang sapta margais, meskipun para seniornya sudah pensiun, sejatinya tetaplah para senior yang wajib dihormati. Apalagi ada mantan Panglima serta mantan kepala staf dan puluhan jendral lainnya. Sungguh insiden ini telah mencoreng dan menjadi aib bagi kehormatan prajurit TNI. Padahal hanya karena prilaku seorang "oknum" yang disaksikan telanjang oleh ratusan juta mata rakyat Indonesia. Apapun alasan di balik semua itu, yang jelas muncul pertanyaan dalam benak publik. Kemana jiwa korsa antar angkatan sesama prajurit TNI di negeri ini??? Masihkah adakah jiwa korsa TNI itu??? Rakyat begitu bangga dan cinta terhadap TNI. Namun ketika melihat dua adegan itu, tentu akan banyak pertanyaan miris. Bagaimana TNI akan menjaga kedaulatan negara dan melindungi tumpah darah Indonesia, jika untuk melindungi sesama prajurit dan purnawirawan saja tidak bisa? Miris memang. Padahal, siapapun, apapun jabatannya, seorang tentara itu suatu saat pasti juga akan pensiun. Akan menjadi masyarakat sipil biasa. Lepas dari jabatan dan kembali kepada rakyat. Disitulah titik kritis dan ujian dari sebuah jiwa korsa seorang tentara utamanya dari para perwira. Terutama ketika berhadapan dengan kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Dari sanalah kita akan bisa melihat, mana prajurit yang sapta margais, patriot sejati, dan loyal kepada negara. Bukan loyalitas buta kepada penguasa. Jangan berbicara akan siap bertempur sampai mati demi bela negara, tetapi malah lebih takut dicopot dari jabatan atau tak dapat promosi pendidikan. Jangan berbicara patuh pada atasan, lalu loyalitas buta tanpa mementingkan nilai, sumpah setia, dan jiwa korsa. Semua itu pasti akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. Akan menjadi catatan sejarah dan sosial bagi para junior selanjutnya. Sebagai rakyat biasa dan keluarga besar TNI, kita tentu banyak berharap kepada TNI untuk selalu setia, amanah, profesional dan loyal kepada Pancasila dan UUD 1945. Karena TNI itu lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Bukan untuk mengabdi pada penguasa. Loyalitas TNI itu kepada konstitusi dan rakyat. Jiwa korsa TNI tercermin dari sikap mental para perwiranya terhadap para pendahulunya atau seniornya sebagai senjata utama yang paling ditakuti lawan. Jangan kotori itu dengan persoalan sepele, sikap arogan, berat sebelah, dan hal-hal berbau politik jabatan yang dapat merusak kehormatan prajurit TNI. Semoga TNI selalu jaya, kuat, tangguh, profesional dalam menjaga kedaulatan serta keutuhan NKRI. Dirgahayu TNI-ku, dan TNI kita ke 75! Salam Indonesia Jaya. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tanhana Dharma Mangruva Institute.

Kebijakan Penguasa Munafik Yang Picik

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (04/10). Kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid 19 bukan saja gamang. Tetapi juga tidak konsisten. Bahasa sederhananya banyak akal-akalan. Bahkan lebih parahnya Covid 19 dijadikan alat kepentingan politik untuk merangkul, mencangkul dan memukul. Mencoba merangkul dengan solidaritas yang penuh kepalsuan. Mencangkul sebanyak-banyak dana dari masyarakat. Misalnya, rencana penjualan vaksin rapid test yang mahal. Covid 19 juga dijadikan sebagai alasan untuk memukul lawan-lawan politik. Kekuasaan yang picik, licik dan culas kepada rakyatnya. Kebijakan yang akal akalan dan tidak konsisten pantas jika disebut dengan “kebijakan yang munafik”. Pemerintah secara mencolok menerapkan pilihan model ini. Di samping "esuk dele sore tempe" pada kebijakan umum seperti awal Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB), yang kemudian berubah menjadi New Normal, dan yang terakhir Mini Lockdown. Penerapan kebijakan, baik itu PSBB, New Normal dan Mini Lockdown, dalam pelaksanaannya, sangat digantungkan pada situasi dan kepentingan. Kalau kegiatan yang berlawanan dengan kepentingan penguasa, maka alasan pembubarannya menggunakan protokol Covid 19. Namun kalau kegiatan pengumpulan orang menguntungkan kepentingan penguasa, maka tidak berlaku protokol Covid 19. Contohnya, pengumpulan orang oleh menantu Presiden Jokowi Bobby Nasution di Medan. Kejadian paling mutakhir dan telanjang adalah "Kalibata Gate". Kejadian di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata sebagai upaya sistematik memperalat Covid 19 untuk menyerang Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmatyo dan para Purnawirawan TNI lain yang sedang menyelenggarakan ziarah dan tabur bunga ke Pahlawan Revolusi korban kebiadaban PKI. Dandim Jakarta Selatan dan Pangdam Jaya dijadikan sebagai alat untuk menyerang terhadap lawan politik penguasa. Belom lagi dengan menggunakan massa buatan dan bayaran khas rezim penguasa. Meminjam istilah yang digunakan Mas Anton Permana “Pemerintah menjadi oposisi buar rakyat sendiri” Dengan senjata "Kesaktian Covid 19" Pemerintah menyerang Deklarasi KAMI di berbagai daerah. Modusnya seragam, yakni dibuat aksi penolakan oleh "massa yang menjadi tangan kekuasaan". Kemudian aparat kepolisian masuk membubarkan acara. Meski sedikit saja, namun upaya ini berhasil. Tetapi cara-cara licik, picik, culas dan represif dalam memukul lawan telah dipertontonkan secara telanjang tanpas malu-malu. Dalam prakteknya "massa kpanjangan tangan kekuasaan" ini juga dibuat kocar kacir oleh keberanian dan heroisme Purnawirawan maupun peserta Deklarasi, seperti terjadi di TMP Kalibata. Begitu juga dengan yang terjadi pada Deklarasi di Bandung, Solo, Karawang, dan lainnya. Opini artifisial akan keberhasilan membubarkan berbeda dengan fakta yang terjadi. Sebab seluruh Deklarasi telah sukses dan berhasil. KAMI terbentuk dimana-mana. Kebijakan berbeda diambil Pemerintah untuk Pilkada. Kepentingan politik pragmatis dalam penguatan jaringan kekuasaan di daerah menjadikan Covid 19 lumpuh dan potensial membahayakan masyarakat banyak. "Kampanye" pengumpulan ribuan massa tanpa mengindahkan protokol Covid 19 terjadi di Muna, Muna Barat, dan Wakatobi dan Medan. Pengumpulan massa dalam jumlah banyak tak akan terhindarkan untuk proses Pilkada dimana-mana ke depan. Melanjutkan agenda Pilkada adalah kebijakan nyata-nyata munafik dari Pemerintahan Jokowi. Mendagri hanya bisa menegur untuk acara yang semestinya harus dibubarkan. Teguran dipastikan tidak akan membawa efek jera terhadap pengumpulan orang. Sebagaima dalam video yang viral nampak acara meriah "kampanye" Pilkada di Wakatobi. Dominan massa berkaus merah dan kibaran bendera PDIP di baris depan dengan panggung diisi "petinggi koalisi partai". Tentu ada PDIP, Nasdem, Golkar, Bulan Bintang, dan lainnya. Acaranya adalah hiburan dangdutan. Penyanyi secara atraktif tengah membawa massa bergoyang dangdutan. Covid 19 pun ikut bergoyang gembira dan bahagia bersama massa. Dengan ngototnya Pemerintah memaksakan pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2020 di masa pandemi Covid 19 ini, maka secara terang benderang Pemerintah telah ngotot untuk menerapkan kebijakan politik yang munafik, licik, cipik dan culas kepada rakyatnya. Tragis memang negeri +62 ini. Punya Pemerintah yang tampil menjadi oposisi utama kepada rakyatnya sendiri. Dari semula PSBB ke New Normal, dan menjadi Mini Lockdown, akan berujung pada Smackdown. Gulat yang akan dimenangkan oleh Mr Covid 19. Bravo Mr. Covid 19, yang menjadi pahlawan dari kebijakan “Penguasa Munafik yang picik". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bailout Jiwasraya Rp 22 Triliun Hanya Untuk Bayar Polis

by Anthony Budiawan Penyelesaian skandal Jiwasraya harus transparan dan adil. Sertakan tim yang independen. Harus adan tindakan hukum yang tegas kepada mereka yang bersamalah. Pihak-pihak yang wajib diperiksa adalah perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Jakarta FNN – Ahad (04/10). Sejak akhir 2018 pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) tidak bisa mencairkan polisnya yang jatuh tempo. Jiwasraya gagal bayar. Namun sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Pemerintah sebagai pemegang saham Jiwasraya dengan kepemilikan 100 persen, terlihat gagap. Maju mundur tanpa ada solusi yang jelas. Penyebab gagal bayar Jiwasraya bukan karena risiko bisnis biasa. Bukan juga karena ekonomi turun, kemudian berimbas kepada kinerja investasi Jiwasraya sehingga merugi. Tetapi, gagal bayar Jiwasraya ditengarai akibat ada pelanggaran hukum dan korupsi. Beberapa orang sudah ditangkap. Beberapa orang lagi dicegah bepergian ke luar negeri (Cekal). Persoalan Jiwasraya dimulai dari produk “JS Saving Plan” yang ditawarkan kepada publik pada akhir 2013. Produk ini terindikasi melanggar ketentuan produk asuransi jiwa. Produk ini mirip deposito dengan bonus asuransi jiwa. Menawarkan imbal hasil tetap selama lima tahun. Anehnya, produk ini bisa dicairkan setiap tahun. Imbal hasil yang ditawarkan juga sangat tinggi. Sekitar 9 persen lebih, bahkan bisa mencapai 13 persen. Nasabah jadi tertarik, dan beramai-ramai membeli produk “JS Saving Plan”. Dana yang mengalir untuk membeli produk ini sampai puluhan triliun rupiah. Kemudian, Jiwasraya tertekan untuk mengembalikan imbal hasil tinggi. Spekulasi tidak bisa dihindarkan. Jiwasraya mulai investasi di saham “gorengan”. Melakukan penempatan investasi langsung, atau repo, di beberapa perusahaan dengan berkinerja buruk. Penempatan langsung ini sepertinya tidak dilakukan secara profesional, tetapi hanya berdasarkan rente. Sampailah pada Jiwasraya akhirnya gagal bayar. Polis yang jatuh tempo akhir 2018 tidak bisa dicairkan. Nasib pemegang polis terkatung-katung selama dua tahun terakhir ini. Ada yang mengadu ke tuan-tuang yang terhormat di DPR. Tetapi tanpa hasil. Para pemegang polis tidak boleh menjadi korban. Mereka tidak bersalah. Pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kerugian ini. Pemerintah harus mengganti investasi mereka. Memang sangat dilematis, karena penggantian kerugian ini akan menjadi beban rakyat yang juga tidak bersalah. Rakyat yang tidak tahu-menahu permasalahan. Untuk itu, semua pihak yang terlibat dalam skandal gagal bayar Jiwasraya harus diusut. Yang salah harus dihukum sesuai peraturan dan undang-undang yang berlaku. Kalau tidak rakyat yang menanggung beban bailout ini bisa marah. Karena itu, penegakkan hukum yang adil menjadi suatu keharusan. Pihak-pihak yang wajib diperiksa antara lain perwakilan pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, pejabat OJK yang mengawasi sektor asuransi, auditor atau pemeriksa laporan keuangan perusahaan, serta pihak lainnya seperti manajer investasi dan pejabat perusahaan yang menerima dana penempatan investasi Jiwasraya. Pada 31 Desember 2019, ekuitas (modal) Jiwasraya defisit sebesar Rp 33,66 triliun. Dengan aset Rp 19,12 triliun dan kewajiban Rp 52,78 triliun. Defisit ini terus bertambah seiring berjalannya waktu. Maka pada akhir Juli 2020, defisit ekuitas diperkirakan mencapai Rp 38 triliun. Pemerintah rencananya akan melakukan restrukturisasi Jiwasraya dengan menyuntik dana Rp 22 triliun. Rencana ini tentu saja mengundang polemik. Tidak adil kalau rakyat harus menanggung beban korupsi berjamaah yang dilakukan para pejabat Jiwasraya dan kroninya. Namun, juga tidak adil kalau para pemegang polis yang tidak bersalah ini harus menanggung beban korupsi berjamaah tersebut. Tetapi, pemerintah sebagai pemegang saham wajib bertanggung jawab. Karena masalah gagal bayar ini juga merupakan kesalahan pemegang saham yang mempunyai wewenang untuk mengganti dan mengangkat para direksi dan komisaris Jiwasraya. Harus diusut, apa alasan pemerintah memilih mereka sebagai dewan direksi dan komisaris? Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) diadakan paling sedikit setahun sekali. Pemegang saham seharusnya tahu kondisi keuangan Jiwasraya yang sebenarnya. Pemegang saham seharusnya tahu produk “JS Saving Plan” bermasalah. Karena mirip dengan “skema ponzi”. Mengapa didiamkan saja selama bertahun-tahun? Sampai dengan menderita kerugian besar? Jangan sampai suntikan dana Rp 22 triliun tersebut disalahgunakan lagi. Jangan sampai dikorupsi lagi. Karena itu, dana bailout seyogyanya hanya boleh digunakan untuk mengganti kerugian para pemegang polis. Proses penggantian ini harus dilakukan secara transparan. Pemerintah harus menunjuk tim independen untuk membayar polis yang sudah jatuh tempo. DPR juga harus membentuk tim independen untuk mencari fakta, siapa yang terlibat kasus korupsi maupun gratifikasi Jiwasraya? Hukum harus ditegakkan. Jangan kong kalikong lagi. Dana bailout Rp 22 triliun tidak boleh digunakan untuk operasional Jiwasraya atau holding asuransi yang akan dibentuk. Rakyat sudah tidak percaya dengan manajemen Jiwasraya, serta wakil pemegang saham. BUMN harus dirampingkan hanya untuk keperluan industri strategis saja, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Pada akhir Desember 2019, 11 dari 99 BUMN di bawah kendali kementeriaan BUMN mengalami defisit modal. Antara lain PT Asabri yang defisit Rp 6,1 triliun. PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari defisit Rp 1,2 triliun. PT Iglas defisit Rp 1,1 triliun. PT Kertas Kraft Aceh defisit Rp 1,1, triliun, PT Merpati Nusantara Airlines defisit Rp 6,4 triliun, PT PANN defisit Rp 3,3 triliun. BUMN akan selalu menjadi beban negara. Akhurnya menjadi beban rakyat. Modal BUMN berasal dari utang negara dengan beban bunga cukup tinggi yang harus ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, BUMN juga tidak memberi manfaat banyak kepada rakyat. Bahkan monopoli BUMN sering kali merugikan rakyat. Pertamina sebagai contoh BUMN yang membebani rakyat. Pertamina tidak mau menurunkan harga penjualan BBM di dalam negeri kepada rakyat ketika harga minyak mentah dunia anjlok. Sudah seperti perusahaan pejajah VOC kepada negara jajahannya. PLN tidak juga sama. Tidak menurunkan tarif listrik ketika bahan bakar pembangkit listrik turun. Bank-bank BUMN lebih kapitalis dari negara penganut faham kapitalis. Bank-bank BUMN tidak mau menurunkan suku bunga kredit (sepantasnya) ketika suku bunga acuan Bank Indonesia turun. Apalagi ketika resesi menghantui ekonomi Indonesia. Bahkan, bank BUMN membukukan Net Interest Margin yang tinggi. Menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi di dalam negeri. BUMN juga sering dijadikan ATM (kasir) untuk kepentingan politik. Bagi-bagi jatah jabatan komisaris dan proyek di BUMN. Oleh karena itu, keberadaan BUMN harus ditinjau ulang untuk kepentingan rakyat. BUMN yang tidak penting sebaiknya dibubarkan saja. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)