OPINI

Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50

by Abdullah Hehamahua Bandung FNN - Mobil yang saya tumpangi melaju ke arah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Matahari telah condong ke barat. Di depan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mobil berhenti. Sebab, adzan maghrib terdengar di beberapa masjid dan mushalla di Kawasan tersebut. Kami menuju mushalla kecil di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Melihat ukuran mushalla, dugaan kuat, tidak semua muslim di kantor itu, shalat dzuhur berjamaah. Mungkin saja pimpinannya nonmuslim. Kalaupun pimpinannya muslim, nilai Pancasila yang diperoleh ketika kuliah, paling nilai C. Sebab, sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa- menunjukkan Indonesia negara agama, bukan negara komunis. Sepertinya Kepala Kejaksaan Negara (Kajari) atau pejabat di kantor itu kurang memahami isi UUD 45. Sebab, hakikat pasal 29 ayat (1) dan (2) mewajibkan umat beragama, khususnya Islam untuk shalat berjamaah di masjid atau mushalla. “Mau jumpa siapa pak,” tegur pegawai kantor itu setelah kami bersama selesai shalat berjamaah. “Cuma mampir untuk shalat maghrib,” jawabku singkat. Rumah Sederhana di Mulut Gang Mobil diparkir di tepi jalan Puri Kembangan yang sudah mulai sepi. Kami berlima menyeberang jalan. Sekitar seratus meter, kami menjumpai banyak anak muda berpakaian koko dan ketayap putih. Gang sempit di depan rumah orang tua Khadavi digelar tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Kami berlima dipersilahkan duduk di atas tikar tersebut. Malam itu, 15 Desember 2021, hari ke-40, enam laskar FPI meninggal dunia dibunuh polisi dari Polda Metro Jaya. Rumah itu sederhana itu panjangnya mungkin 8 meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran, kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah. Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, sekiar 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September nanti, Khadavi akan wisudah. Dia kuliah di Fakultas Perkapalan, satu universitas di Jakarta. Khadavi Ingin Menegakkan Keadilan “Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum,” kata Herman Mulyana, ayah Khadavi. Mantan Satpam di salah satu super market di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil bagi saya, Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris. “Mengapa dia ingin pindah jurusan? ” tanya saya penasaran. “Dia ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama,” terang Herman. Saya termenung sekejap. “Menegakkan keadilan,” gumam saya. Sesampai di rumah malam itu, terbayang kawan-kawan di KPK. Ada Penyelidik dan Penyidik KPK yang sengaja ditabrak di jalan sampai cedera. Teror dan intimidasi sudah jamak bagi pegawai Gedung Merah Putih ini. Bahkan, terjadi “perang” di antara cicak dan buaya, sampai beberapa jilid. Beberapa komisioner KPK dikriminalisasi, ditahan, dan diberhentikan secara tidak adil hanya karena mereka membuka borok korupsi yang ada di Indonesia. Wajah pegawai KPK yang saya tidak bisa lupakan adalah Novel Baswedan. Sewaktu jumpa di Singapura (2018), saya lihat bola mata kanannya menonjol keluar. Mata kiri, hampir tertutup seluruhnya. Novel berada di Singapura untuk operasi mata akibat disirami air raksa oleh dua anggota polisi. Kini, sekalipun sudah melalui operasi dan pengobatan oleh dokter pakar di Singapura, mata Novel tetap tidak pulih sebagaimana sebelumnya. Beliau mengalami cacat mata permanen. Kawanan harimau di wilayah Riau, protes atas penyelesaian kasus salah seorang kawan mereka. Sebab, Januari tahun lalu, hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap pemuda yang membunuh rekan mereka, tanpa hak. Pembunuh mungkin mau menjual kulit harimau yang dibunuh tersebut. Kawanan harimau tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena kawan mereka tidak dapat hidup kembali sekalipun pembunuhnya dihukum empat tahun penjara. Di alam manusia yang konon paling pancasilais, penganiaya Novel hanya dijatuhi hukuman penjara setahun dan setahun setengah. Padahal, sebelah mata Novel buta total dan yang lainnya hanya 25% berfungsi. Alasan jaksa dan hakim, pelaku tidak berniat jahat untuk mencelakai Novel. Saya yang sarjana hukum dan delapan tahun berkhidmat di KPK saja, kurang mafhum atas alasan penegak hukum tersebut. Khadavi yang masih berstatus mahasiswa. Wajar jika beliau ingin menjadi sarjana hukum agar dapat menegakkan keadilan. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana subuh hari, dua polisi datang ke masjid tempat Novel shalat, kemudian menyirami wajah Penyidik KPK tersebut dengan air raksa, tanpa niat. Apakah niat mereka sebenarnya datang ke masjid untuk shalat berjamaah saja? Sewaktu melihat Novel, timbul kegeraman mereka karena sakit hati atas apa yang dilakukan terhadap atasan mereka, beberapa waktu sebelumnya. Spontan, mereka mencelakai Novel. Sampai di sini, masih manusiawi alasannya. Pertanyaannya, dari mana air raksa yang digunakan untuk mencelakai Novel tersebut? Oh “niat”, dimana engkau berada.? “Puyeng” untuk bisa memahami jalan pikiran jaksa dan hakim. Tentu, jutaan rakyat Indonesia yang waras akan berpikir seperti saya. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan. Kekhawatiran saya, selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan bernasib sama dengan Khadavi. Tujuh jutaan peserta 212 yang di Monas tahun 2016 lalu akan menjadi Khadavi-Khadavi baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara lebai dan semena-mena. Khadafi Akan Wisudah Khadavi mengambil jurusan perkapalan, salah universitas di Jakarta. Di depan saya dan empat anggota rombongan lainnya, Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisudah”. Seorang mantan Satpam dengan isteri yang hanya suri rumah membesarkan dan menyekolahkan kedua anak mereka. Kedua anak ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat. Selangkah lagi, Herman dan pasangannya akan menyaksikan anak sulungnya duduk di pelaminan, mengenakan pakaian kebesaran ‘toga’ sebagai seorang sarjana perkapalan. Namun harapan tersebut pupus hanya karena kegilaan dan nafsu duniawi di hati polisi yang menganiaya Khadavi sampai tewas. Terbayang, betapa bangga dan gembira ketika dengan isteri menghadiri satu persatu anak-anak saya wisuda. Tiba-tiba muncul gambaran syahdu di benak saya. Muncul kenangan sewaktu saya harus mengaduk semen sebagai kernek tukang bangunan di kawasan Cheras, Selangor, Malaysia agar bisa membayar uang kontrakan rumah. Bagaimana saya harus menjual pisang goreng dan air kelapa muda di tepi jalan, kawasan Ulung Kelang, Selangor, guna membeli perlengkapan sekolah anak-anak. Begitulah kira-kira perasaan dan kenangan seorang Herman dan jutaan Herman lainnya di pelosok negeri yang jatuh bangun membesarkan anak-anak dalam keterbatasan ekonomi keluarga. Pertemuan Terakhir Pagi itu, Khadavi seperti biasa pamit dari ayah dan ibunya menghadiri majelis ilmu. Sejak SMP, Khadavi rajin mengikuti majelis ta’lim di mana-mana di Jakarta. Belakangan, beliau rajin mengikuti kegiatan FPI. Apalagi memerhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah khususnya lima tahun terakhir ini, membuat Khadavi semakin tertarik dengan kegiatan dan dakwah FPI. FPI sering muncul ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi atau banjir. Mereka menolong korban tanpa pamrih, mulai dari tsunami Aceh, Banten, NTB, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta bencana lainnya di hampir seluruh Indonesia. Herman dan isterinya tidak sangka, pertemuan pagi itu, 6 Desember 2020 adalah pertemuan terakhir dengan anak sulungnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Herman sedih tapi bersemangat ketika mengemukakan kondisi fisik jazad anaknya. Menurutnya, ada dua lobang peluru dekat jantung, berwarna hitam. Maknanya, Khadavi ditembak dari jarak dekat. Matanya juga terdapat bekas penganiayaan. Ada jahitan di dada yang menunjukkan rumah sakit melakukan autopsi tanpa ijin keluarga. Bagian belakang kepala Khadavi, sampai di liang lahat pun masih keluar darah. Wajar jika Herman menolak tuduhan polisi yang mengatakan anaknya membawa senjata. “Beli gorengan saja, dia kongsi dengan kawan-kawannya. Dari mana duit untuk beli senjata,” tambahnya. “Senjatanya adalah baju koko dan kopiah putih,” lanjutnya. Itu sebabnya, Herman menolak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Menurutnya, dua kali surat panggilan Polda Metro Jaya dibawa oleh Babinsa dan Ketua RT. Herman minta agar pak RT mengembalikan surat panggilan polisi tersebut. Herman kemudian minta keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku pembunuhan. Keadilan yang bagaimana? Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ditegaskan lagi di UUD 45, pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) mengatakan, “negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pancasila dan UUD 45 terebut mengisyaratkan bahwa, hukuman bagi pembunuh (tanpa hak) harus sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Esa. Maknanya, penegak hukum harus merujuk Al-Qur’an, Injil, dan KUHP di mana pembunuh harus dijatuhi hukuman mati. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al Baqarah: 178). “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Injil, Kejadian 9:6). “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” (KUHP pasal 340). Jika polisi yang membunuh Khadavi, ikhlas menjalani hukuman mati yang didahului dengan tobat nasuha, in syaa Allah, mereka akan memeroleh keringanan dalam pengadilan akhirat nanti. Bahkan, bisa masuk surga jika dia muslim. Para Penyidik, JPU, dan Hakim yang menyidik, menuntut, dan memutuskan hukuman mati juga akan memeroleh keringanan atau kebebasan hukuman di akhirat kelak. Penulis adalah Mantan Penasehat KPK.

Jokowi Melompat-Lompat di Tumpukan Hutang Rp 6.000 Triliun

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Banyak tersiar berita mengenai semangat Pemerintahan Jokowi untuk keluar dari krisis multi dimensi sekarang. Bahkan kabarnya Pemerintahan Jokowi bakal melakukan lompatan besar pasca krisis. Saat membuka secara virtual Rakornas III Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) tanggal 15 Januari 2021 lalu, Jokowi bertekad untuk melakukan lompatan saat krisis. Melompat berdasarkan langkah yang diakuinya "extra ordinary" seperti reformasi birokrasi, UU Cipta Kerja, pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta pembentukan Indonesia Investment Authority sebenarnya kontroversial. Sebab rezim investasi ini terbukti di lapangan, sedang mengalami hambatan atau kegagalan. Kehadiran UU Cipta Kerja yang diobrak-abrik oleh para buruh, masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Birokrasi yang semakin gemuk, serta program UMKM yang tak jelas. Bahkan terkesan tiak lebih dari sekedar pencitraan semata. Belom lagi pertentangan di dalam interal birokrasi antara Kementerian Kordinator Perekonomian dengan Kementrian Kordinator Maritim dan Investasi. Banyak netizen menyindir tentang akumulasi mimpi-mimpi dan janji-janji Jokowi yang realisasinya ibarat jauh panggang dari api. Pada tingkatan yang terbilang ekstrim, ada yang mengusulkan agar Jokowi segera dilaporkan ke Kepolisian, dengan mereferensikan pada Babe Haekal yang juga dilaporkan akibat mimpi bertemu Rosulullah Sallaahu Alaihi Wasallam. Mimpi melompat di tengah krisis itu boleh-boleh saja Pak Jokowi. Akan tetapi nampaknya yang dibaca publik adalah sebaliknya. Yang dibaca publik ini berangkat dari pengalaman mimpi-mimpi yang sudah-sudah. Pemerintahan Jokowi justru sedang bersiap siap melompat ke dalam got kembali. Ini terjadi akibat dari roket menukik meluncur ke bawah. Roketnya bukan meluncur atau melesat ke atas. Krisis ekonomi semakin dalam. Hutang luar negeri pemerintah semakin dahsyat angkanya, yaitu Rp. 6.000 triliun lebih. Dari jumlah tersebut, sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya SBY di Oktober 2014 (69 tahun) hanya Rp 2.600 triliun. Sedangkan selama Pak Jokowi menjadi Presiden 6 tahun, hutang pemerintah yang berhasil dibuat Pak Jokowi Rp. 3.400 triliun lebih. Hutang pemerintah Rp. 3.400 triliun lebih ini adalah prestasi Pak Jokowi yang paling membanggakan. Kondisi ini diperparah dengan daya beli rakyat semakin gawat dari har ke hari. Belum lagi investasi yang tak kunjung meningkat. Jangankan untuk meningkat, invetasi datang saja susah dan seret. Yang lebih tragis dan miris adalah alokasi anggaran untuk mengatasi pandemi dikorupsi oleh kader PDIP Juliari Peter Batubara dan koleganya saat menjabat Menteri Sosial. Dari laporan Majalah TEMPO, diduga adanya keterlibatan petinggi PDIP yang lain, termasuk Ketua DPR Puan Maharani. Setelah diteliti lebih jauh, keterlibatan banyak pihak dalam korupsi Bantuan Sosial (Bansos) ini semakin melibatkan banyak pihak, termasuk Istana sendiri. Belakangan KORAN TEMPO edisi Senin (18/01/2021) memberitakan kalau dua kader PDIP, yatu Herman Hery dan Ihsan Yunus, diduga memeperoleh proyek pengadaan bansos terbesar di Kemneterian Sosial (Kemensos). Dua kader PDIP ini mendapatkan kuota senilai Rp. 3,4 triliun. Herman Hary sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah-malah hukum. Bidang tugas Komisi III DPR adalah Kapolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Kompolnas, Komisi Kejaksaan serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Mimpi untuk melompat seperti harimau (leaping like a tiger) sulit untuk terealisasi. Sebab faktanya adalah melompat-lompat seperti katak (jumping like a frog). Semua itu, akibat dari kebijakan yang tak terencana dengan baik, reaksioner dan cenderung tambal sulam. Berkhayal untuk melompat di tengah krisis. Namun yang terjadi adalah melompat-lompat memperdalam krisis. UU Omnibus Law, reshuffle yang asal-asalan, vaksin yang tergesa-gesa, ancaman pidana kepada warga masyarakat yang penolak vaksin, lelang Rurat Utang Negara (SUN) Rp. 35 triliun, serta "menjual" danau Toba ke China adalah contoh kebijakan yang melompat-lompat seperti katak. Sementara saat berada dalam air menendang-nendang juga. Setelah hantu radikalisme dan intoleransi disebar, kini hantu baru dimunculkan, yakni ekstrimisme yang mengarah pada terorisme sebagaimana Perpres No 7 tahun 2021 yang baru diterbitkan. Perpres ini hanya alibi untuk menutupi kegagalan pemerintah mengatasi penyebaran Covid-19, resesi ekonomi dan korupsi Bansos yang diduga mulai menyasar lingkaran inti PDIP dan istana. Perpres No 7 tahun 2021 adalah tendangan katak beracun. Patut diduga sasarannya tak lain adalah umat Islam. Kelanjutan dari isue atau kebijakan "radikalisme, intoleransi, dan anti kebhinekaan" sebelumnya. Umat Islam dikesankan sebagai kekuatan berbahaya bagi Pemerintahan Jokowi yang sekuler, pragmatis, dan materialistis. Perpres terbaru yang diterbitkan ini potensial untuk membangun iklim politik saling curiga dan rawan adu domba. Kebijakan yang melompat-lompat (jumping like a frog) ini sebenarnya menunjukkan tiga fenomena. Pertama, pembangunan tanpa rencana. Kedua, menciptakan kegaduhan secara permanen. Ketiga, penggunaan alat paksaan untuk memproteksi dan mengekalkan kekuasaan. Tiga fenomena tersebut menjadi ciri negara otoritarian. Negara yang jauh dari prinsip demokrasi, abai terhadap hak-hak asasi, serta di tengah pandemi masih bisa menari-nari. Menari melompat-lompat ke kanan dan ke kiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ibu Risma, Jangan Bertindak Seperti Presiden

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Bikin gaduh aja! Begitulah kesan publik terhadap Risma. Jabatannya Menteri Sosial (Mensos). Tetapi upla uplek di Jakarta cari gelandangan. Setelah menemui gelandangan di Jl. Thamrin, kini Risma kasih rekomendasi gelandangan jadi pegawai di BUMN. Apakah langkah Risma ini akan menyelesaikan persoalan? Pastinya tidak. Yang ada justru muncul persoalan baru. Pertama, berapa banyak gelandangan yang bisa ditampung di BUMN? Kalau jumlah gelandangan di kota-kota besar jumlahnya jutaan, termasuk di Surabaya, apa akan bisa ditampung di BUMN? Nggak mungkin. Di bawah jalan tol Waru-Tanjung Perak Surabaya saja ada 175 gelandangan. Itu baru satu tempat. Di Surabaya saja. Bagaimana dengan kota-kota lain? Ada banyak kolong-kolong jembatan yang sekarang menjadi tempat tinggal bagi gelandangan. Mau ditampung semuanya di BUMN? Ngayal saja ah. Justru, upaya Risma memberi kerjaan hanya untuk segelintir gelandangan akan dianggap publik sebagai pencitraan belaka. Kenapa Risma tidak memperbanyak tempat-tempat penampungan di berbagai kota besar. Di tempat-tempat kota besar seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makasar, Pelambang, Yogyakarta dan Jakarta ini, para gelandangan dikumpulkan. Setelah itu dilatih skillnya agar bisa bekerja atau usaha. Ini jauh lebih efektif sebagai solusi. Tetapi, nggak mudah juga mengumpulkan mereka dalam satu tempat. Mereka terpencar di berbagai lokasi. Banyak yang nggak mau dilokasir. Ini problem klasik yang dihadapi setiap pemda terkait gelandangan. Risma pasti tahu soal ini. Karena itu, nggak boleh ada dusta diantara kita. Kedua, soal skill. Banyak yang punya skill, berpendidikan lagi. Tetapi susah untuk mencari kerja. Nggak diterima di banyak perusahaan. Karena memang, lapangan kerja makin sempit. Ini para gelendangan, sekolahnya entah apa, dan bagaimana juga skillnya? Masuk di BUMN. Ingat lho, bekerja di BUMN itu seksi. Gajinya aduhai lagi. Tetapi keren, Risma bisa memberi rekomendasi ke kementerian BUMN. Apakah Erick Tohir sebagai Menteri BUMN bisa mengakomodir pola Risma yang spontan dan instan ini? Terakhir, Risma mau bikinin KTP buat para pengemis dan gelandangan. Lagi-lagi, urusan KTP itu urusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dibawah Mendagri Tito Karnavian. Soal e-KTP, ada prosedurnya. Harus jelas asal usul orangnya. Ada teknis mengurusnya. Dimulai dari RT-RW semua data akan diverifikasi. Warga mana, sudah punya KTP atau belum, bagaimana dengan KK-nya. Kalau dari desa, mesti ada surat pindah domisili. Prosedur ini dibuat untuk menghindari KTP ganda. Aturan ini ada di Kemendagri. Apalagi, tahun 2018 kemarin adalah akhir Kemendagri tuntaskan urusan KTP. Kalau sekarang Risma mau bikinin KTP lagi buat para gelandangan, ini jadi tamparan buat Mendagri. Seolah-olah urusan KTP ini nggak pernah beres rupanya. Ada lagi masalah baru. Akan jauh lebih bijak, bila Risma mendata lebih dahulu para gelandangan di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Verifikasi secara detail identitas mereka. Gali lebih mendalam apa masalahnya. Setelah data-data itu terverifikasi, cari solusi, termasuk menjalin kerjasama lintas Kementerian dan Pemda. Semangat boleh, gebrakan juga oke-oke aja. Kerja cepat, itu juga bagus, tetapi nggak bisa spontan dan instan saja. Semua perlu dikerjakan secara sistemik. Ada data dan perencanaan. Jangan asal liat ada gelandangan dan tuna wisma, langusng teriak sana, teriak sini. Umbar janji sana, janji sini. Risma itu mensos, bukan presiden. Kalau presiden, bisa perintahkan menteri-menteri lain. Juga sudah ada mekanisme koordinasi yang lazim dengan daerah. Risma mestinya jangan bertindak sebagai presiden. Ingat, nggak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Kecuali jika tujuannya untuk persiapan Pilgub DKI 2022. Kalau itu targetnya, Risma sungguh nggak cerdas. Sebab, langkahnya membuat publik, termasuk warga DKI, malah nggak simpati. Buktinya, Forum RT-RW se-DKI malah menuduh Risma bikin gaduh. Artinya, sepak terjang Risma direspon negatif oleh warga DKI. Juga oleh rakyat Indonesia. Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono!

Edan Edun Edin,,, Dukun Dikriminalisasi Juga

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Para pendukung penguasa semakin kehilangan akal sehat dan rasionalitasnya. Setelah mimpi Ustadz Haikal Hassan ketemu Nabi Sallaahu Alaihi Wasallam dilaporkan ke Polisi, kini spesialis pelaporan polisi Muannas Alaidid hendak melaporkan Mbak You, ibu dukun yang telah meramalkan kejatuhan Jokowi pada tahun 2021. Sebelumnya Mbak You "sukses" meramal kejatuhan pesawat. Setelah diancam akan dilaporkan, Mbak You mengklarifikasi bahwa yang dimaksud penggantian Jokowi itu tahun 2024. Sebenarnya ini bukan klarifikasi tetapi perubahan ramalan akibat adanya tekanan mau dikriminalisasi. Sebab narasi ramalan jatuhnya Presiden itu satu paket dengan jatuhnya pesawat terbang. Sama-sama bakal terjadi pada tahun 2021. Kini giliran peramal yang mau dikriminalisasi. Kejadian seperti ini hanya ditemukan ada di eranya Jokowi. Mungkin juga sudah lupa bahwa Jokowi dahulu pernah juga meramal kalau ekonomi Indonesia akan terus meroket. Ramalannya tahun 2017 akan mencapai 7,1%. Sementara tahun 2018 dan 2019, masing-masing bakalan mencapai 7,5 % dan 8 %. Nah, ramalan tentang bakalan meroketnya pertumbuhan ekonomi di atas 7%, dimulai sejak tahun 2017 itu yang membuat harapan pada masyarakat. Namun akhirnya mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi merosot atau meroket ke bawah. Malah nyungsep dan ternjun bebas. Ramalan palsu jadinya. Untuk menyamakan dengan hasil pertumbuhan ekonomi yang decapai selama SBY berkuasa saja susah. Mengkriminal dimensi transenden adalah fenomena baru dalam sejarah hukum dan politik di negara Pancasila. Begitu semena-menanya kekuasaan mengkriminalisasi warga negaranya. Mengkritisi disebut makar. Mimpi dan meramal disebut bikin onar. Hanya pandangan sendiri dari penguasa saja yang paling benar. Selain dari penguasa, semua salah. Dasar ambyar. Dalam hukum pidana itu berlaku asas "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali". Artinya, seseorang tak dapat dipidana tanpa ada delik yang mendahuluinya. Karenanya kriminalisasi terhadap mimpi dan ramalan adalah bertentangan dengan asas hukum pidana ini. Baik KUHP maupun aturan hukum pidana lain. Tidak ada aturan hukum yang mengatur delik seperti ini. Dahulu saja kasus dukun santet tak bisa dihukum karena tak memiliki rumusan delik. Pembuktian yang tidak mudah. Sangat susah. Pasal 545 (1) KUHP yang dilarang adalah peramalan dijadikan sebagai mata pencaharian. Bukan konten ramalan, itupun sanksi pidana kurungan hanya 6 (enam) hari dan denda 300 rupiah. Apalah artinya sanksi pidana yang seperti itu. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang baru, dukun santet dicoba untuk diancam dengan pidana. Namun RUU itupun hingga kini tak kunjung dibahas. Entah mangkraknya dimana? Apakah di pemerintah atau di DPR? Namun nyatanya tidak pernah ada pembahasan lebih lanjut. Paling-paling ujungnya saling menyalahkan antara pemerintah dan DPR. Mungkin perlu ada titel sendiri dalam RUU KUHP baru yang memuat delik mimpi, ramalan, khayalan, lamunan, atau sejenisnya. Lalu dibahas oleh Pemerintah dan DPR dengan serius. Jangan asal-asalan pembahasannya. Sementara dunia memperhatikan dengan seksama bagaimana sekumpulan orang gila sedang ikut merumuskan hukuman terhadap fantasi. Begitu mungkin fikirnya. Nah Mbak You, you adalah Mbak. Banyak yang komentar atas suksesnya meramal pesawat terbang jatuh, dan kini banyak yang menunggu pilot pesawat lain yang jatuh di tahun 2021 ini. Namun ketika mengubah menjadi tahun 2024, rupanya Mbak You sukses melobi Jin komunikator. Jin yang takut dilaporkan ke Kepolisian. Atau Jin yang mungkin telah disuap agar dapat berkelit demi politik? Edan, edun, edin. Ramal meramal memang bukan ruang orang sehat. Karenanya agama melarang mempercayai ramalan. Agama Islam menyebutnya dengan syirik atau menyekutukan Tuhan. Itu adalah dosa besar yang sulit untuk diampuni. You memang keterlaluan dalam hal plintat-plintut. Tetapi yang main lapor jauh lebih keterlaluan lagi. Edan, edun, edin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Bisa Dipidana Jika Suntik Vaksin Bohongan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sudah banyak yang mewanti-wanti agar dalam proses vaksinasi ini kepeloporan Presiden Jokowi harus diikuti dengan transparansi. Selain itu, tidak membuka celah pintu dugaan negatif dalam pelaksanaan vaksinasi vaksin yang berasal dari Cina Tiongkok tersebut. Bermain-main dengan vaksin bukan saja berbahaya tetapi juga mengarah pada skandal. Penyuntikan yang tidak tanggung-tanggung. Penyuntikan dilakukan seorang Guru Besar yang tangannya "gemetaran" ketika menyuntik. Prof. dr. Abdul Mutholib, Sp. PD. KHOM. Mungkin sebenarnya dapat lebih tegar dan mahir jika dilakukan oleh seorang paramedis. Tetapi itulah fungsi pencitraan. Presiden disuntik vaksin oleh Guru Besar Kedokteran. Benar saja, banyak yang curiga. Yang paling menonjol dan viral adalah surat terbuka seorang dokter dari Cirebon. Dokter spesialis penyakit dalam dr. Taufiq Muhibbudin Waly, Sp PD. Beliau berpendapat setelah mendiskusikan dengan dokter dan paramedis senior, bahwa cara penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi adalah salah. Harusnya tidak begitu. Menurut dr. Taufik Muhibbudin Waly, agar masuk intramuskular harus lurus 90 derajat. Jika intramuskular miring seperti yang dilakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. kepada Presiden Jokowi, maka vaksin salah masuk. Demikian juga alat suntik, harusnya spuit 3 cc. Bukan spuit 1 cc seperti yang terlihat kemarin itu. Meski ini hanya opini, yang kemudian dinafikan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Faqih yang juga ikut disuntik bersama Presiden, tetapi hal tersebut harus dikarifikasi serius. Tidak cukup hanya dengan dibantah saja. Apalagi sekedar menyebut surat hanya berdasar pada opini. Publik berhak tau apa sesungguhnya yang dengan vaksin sinovac yang banyak ditolak di berbagai belahan dunia. Rakyat Indonesia menyaksikan dan mempertaruhkan diri kelak terhadap penyuntikan yang dicontohkan oleh Pak Jokowi. Presiden pun berbahagia dan menyatakan "tak terasa, terimakasih Prof". Sikap refleks yang menimbulkan multi tafsir di masyarakat. Sehingga uji kesahihan harus dilakukan. Apakah dr.Taufik Muhibbudin Waly yang benar, atau dr. Daeng Faqih yang benar ? Jika ada kesalahan suntik, maka solusinya jelas, harus dilakukan pengulangan sebagaimana saran dr Taufik Muhibbudin Waly. Jika cara penyuntikan yang dlakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. dan isinya sudah benar, maka dr Taufik dapat dikenakan sanksi oleh IDI. Masalah terberat adalah jika ternyata "salah suntik" itu "by design" semata. Kalau salah suntik yang terjadi pada Presiden Jokowi ini hanya by design semata, makan ini akan masuk ranah penipuan publik. Hoaks yang tersebar di banyak media. Presiden dan tim telah menyebarkan kebohongan.Bukan hanya satu dua orang, tetapi 260 juta rakyat telah tertipu. Bisa dikatagorikan sebagai pembohongan publik yang sengaja dan direncanakan. Merujuk peristiwa kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, yang kemudian dihukum penjara selama dua tahun, maka bila Presiden yang melakukan hal serupa, juga tidak boleh kebal hukum. Delik pelanggaran yang dikenakan kepada Ratna Sarumpaet adalah penyebaran berita bohong Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan kepada Ratna Sarumpaet dikaitkan pula dengan Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE. Untuk itu, Penelusuran secara transparan dan obyektif untuk menyimpulkan bahwa penyuntikan vaksin sinovac kepada Presiden itu benar, salah, ataupun suatu kebohongan menjadi sangat penting, mengingat akibat hukum yang ditimbulkannya. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah pihak-pihak yang terlibat berani memberi pengakuan atau kesaksian di bawah sumpah? Atau mungkin perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk menyelidiki kasus vaksinasi vaksin sinovac kepada Presiden Jokowi ini? Memang lucu juga jadinya, tetapi apa sih yang tidak lucu di negeri ini? Terlalu banyak pemimpin yang menjadi pelawak suntik,,, eh pelawak politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlu SKB Enam Menteri Soal Vaksin

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Pandemi akibat Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan eskalasinya dalam beberapa hari belakangan ini justru semakin naik. Setiap hari hampir 13 ribu orang terinveksi. Lebih dari 200 orang mati. Total kematian mencapai lebih dari 24 ribu. Segala upaya sudah dilakukan. Mulai Mencuci Tangan, Memakai Masker dan Menjaga Jarak (3M) sampai dengan membatasi aktifitas kerja dan kerumunan. Saat pandemi, semua aspek kehidupan termasuk sosial, ekonomi dan ibadah mengalami banyak perubahan. Selama pandemi, puluhan orang kena denda akibat melanggar Protokol Kesehatan (Prokes), khususnya di DKI. Soal penerapan prokes tersebut, DKI memang dikenal lebih tegas dari daerah lain. Ada juga yang dipenjara gegara melanggar prokes. Pertanyaannya, kenapa angka yang terinveksi tak juga turun, malah terus naik? Ada tiga penyebabnya. Pertama, kebijakan yang sering terlambat dan tidak konsisten. Kedua, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan untuk semua. Ketiga, kedisiplinan masyarakat yang rendah. Ujung-ujungnya, herd immunity. Saat ini, 3M dianggap tidak cukup. Muncul gagasan vaksinasi. Bahkan sudah dijalankan. Semua langkah memang perlu ditempuh, selama itu memberi efek pencegahan, atau setidaknya meminimalisir jumlah terinveksi. Selama tujuan dan realisasinya benar, efek positifnya terukur, dan terjamin keamanannya, rakyat relatif akan bisa menerima. Ada penelitian menarik yang dilakukan Kemenag soal vaksinasi. Sebanyak 54, 37 persen rakyat menerima untuk divaksin. Sekitar 9,39 persen lagi menolak. Dan sisanya 36,25 persen belum punya pilihan. Bisa diartikan, masih ragu-ragu. Masih banyak masyarakat yang ragu dan menolak untuk divaksin. Mulai dari dokter, perawat, anggota DPR hingga rakyat biasa. Salah satunya karena faktor informasi yang simpang siur. Ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum "atau sembari" program vaksinasi dijalankan. Pertama, perlunya jaminan bahwa vaksinasi ini halal, aman, efektif dan tidak ada risiko. Jika ada risiko, baik ringan maupun berat, pemerintah sebaiknya menjamin akan bertanggungjawab, setidaknya secara materiil. Misalnya, pemerintah menanggung biaya rumah sakit jika terjadi risiko akibat vaksinasi. Pemerintah pun menjamin biaya hidup keluarganya jika sampai ada tulang punggung keluarga yang meninggal akibat vaksinasi. Kedua, soal regulasi. Vaksinasi wajib, boleh menolak tanpa sanksi, atau seperti apa. Vaksinasi jadi tanggung jawab pusat, atau daerah. Perlu ada kepastian hukum. Entah itu kepres, peraturan menteri, atau peraturan kepala daerah. Bila perlu Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri, yaitu Menkes, Mensos, Menkominfo, Mendagri, Menkumham dan menteri BUMN. Kok banyak kali menteri yang terlibat? Biar mantabs saja. Sekarang lagi musim serba "enam". Ketiga, soal panduan teknis. Mesti jelas siapa yang melakukan vaksinasi? Dimana saja tempat vaksinasi? Urutan pasien berdasarkan profesi dan wilayah, serta kepastian schedulenya. Setiap orang dapat berapa kali vaksinasi. Semua orang akan mendapat vaksin sinovac yang sama atau beda. Apa saja yang harus dilakukan oleh peserta vaksinasi, baik sebelum atau sesudah divaksin. Setelah divaksin, bolehkah berkerumun tanpa masker, misalnya. Disini, perlu panduan secara rinci. Keempat, sosialisasi. Perlu ada jubir khusus yang ditunjuk sebagai pihak resmi yang menyampaikan informasi atas nama pemerintah. Kalau semua pejabat bicara tentang vaksinasi, rakyat jadi bingung. Pejabat A bilang ada sanksi. Pejabat B bilang nggak ada sanksi. Menteri A bilang ini, menteri B bilang itu, kan berabe. Simpang siur. Sudah lama simpang siur informasi dari para pejabat tinggi negara terjadi. Sudah waktunya ditertibkan. Kelima, soal konsistensi. Mesti dipikirkan, didiskusikan dan direncanakan secara matang sebelum aturan, kebijakan atau panduan terkait vaksinasi itu dibuat. Inkonsistensi akan pasti terjadi jika persiapan tidak dilakukan dengan matang. Keenam, perlu pengawasan. Jangan sampai ada malpraktek, atau adanya pihak-pihak yang berbisnis secara tidak halal di program vaksinasi ini. Agar tidak bernasib seperti bansos dan Kementerian Benur, program vaksinasi mesti diawasi lebih ketat. Supaya tidak ada lagi korupsi. Bila perlu, KPK terlibat. Jaminan halal, aman, efektifitas, serta ada pertanggungjawaban medis dan material dari pemerintah kemungkinan akan dapat mengurangi setidaknya tingkat keraguran pada rakyat. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Dorong Koalisi Sipil Lapor ke Pengadilan Kejahatan Internasional

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah final menyampaikan hasil penyelidikan. Bahwa kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar Pront Pembela Islam (FPI) adalah "Pelanggaran HAM". Selanjutnya proses Pengadilan pidana adalah tindak lanjut. Presiden tinggal memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mulai penyidikan. Mudah-mudahan saja, untuk menetapkan tersangka, baik pelaku penembakan maupun yang ikut serta, termasuk kemungkinan atasan dari pelaku kejahatan tidak menemui hambatan. Tidak ada lagi kesulitan, seperti yang terjadi pada penyedisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak perlu butuh bertahun-tahun untuk menemukan tersangkanya. Entah bentuk perlawanan atau pengaburan kasus, serangan penguasa kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan ini terasa semakin membabi buta. Seribu satu macam kesalahan pun dicari-cari. Setelah kasus baru ditimpakan seperti soal test swab di Rumah Sakit (RS) UMMI yang menyeret juga menantu HRS dan Direksi RS UMMI, kini soal pemblokiran rekening yang merajalela. Disamping 59 rekening yang terkait dengan FPI diblokir oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), juga 7 rekening milik putera HRS pun ikut diblokir. Belakangan adanya informasi bahwa bahwa rekening pribadi Munarman yang konon untuk menampung uang pensiunan ayahnya juga diblokis. Padahal rekening Munarman itu, sebagai biaya ibunya yang sedang sakit. Pemblokiran yang sebenarnya secara hukum tidak beralasan ini dapat saja digugat ke pengadilan. Akan tetapi persoalannya adalah kuatnya kemauan politik yang tidak peduli akan hukum. Kemauan politik yang bermisi secara brutal untuk "menghabisi HRS, keluarga, FPI, dan segala keterkaitannya". Hal ini sesungguhnya masuk dalam ruang kesewenang-wenangan kekuasaan yang sekaligus menjadi lanjutan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI terus digemakan suara pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Disamping itu, untuk obyektivitas dan keterbukaan proses peradilan, semangat menarik kalau melibatkan Mahkamah Internasional. Banyak fihak yang mencari solusi untuk mekanisme atau prosedurnya. Komnas HAM sendiri yang melapor hasil penyelidikan kepada Presiden, semakin terlihat tidak dapat dipercaya. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari banyak organisasi yang peduli dengan HAM telah membuat buku saku tentang International Criminal Court (ICC). Buku saku untuk ICC sebagai lembaga peradilan kejahatan internasional yang siap mengadili kejahatan kemanusiaan. Apalagi negara pelanggar HAM tersebut, tidak ada kemauan (unwilling) dan tidak ada kemampuan (unability) untuk memproses kejahatan pelanggaran HAM. Nampaknya perlu kebersamaan semua pihak untuk menguak pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Baik kasus 6 laskar FPI, kasus kematian 6-9 orang pada 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, atau pun kasus tewasnya kurang lebih 989 petugas Pemilu pada Pilpres yang lalu. Semuanya menjadi terasa mutlak untuk keterlibatan Pengadilan Kriminal Internasional. Apalagi mengingat ketidakmauan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Keluarga korban, tokoh dan aktivis, para pengacara, bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil kiranya perlu mencari solusi. Pelaporan atau pengaduan kepada lembaga seperti ICC menjadi salah satu upaya yang dinilai strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Andaikata pemerintah mau "mundur sedikit" melangkah bersama rakyat, maka mungkin solusi bersama mengatasi problema dapat digalang. Akan tetapi bila "maju terus pantang mundur", maka posisinya yang berhadap-hadapan dengan koalisi masyarakat sipil pasti akan terjadi. Iklim politik yang tidak sehat seperti ini selalu berprinsip "menang dan kalah". Lalu negara (baca : pemerintah) tidak boleh kalah ? Jika demikian berlaku hukum, "Fa idza jaa-a ajaluhum la yasta'khiruun saa'atan walaa yastaqdimuun" (QS Al A'raf 34). Jika saat ajal telah tiba, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mempercepat atau memundurkan. Itulah momen dari perubahan. Bisa 2024 bisa pula 2021. Wallahu a'lam. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pertamina Digugat Mozambik Rp 40 Triliun, Pemerintah Tanggungjawab!

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Pada Februari 2019 Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli (sale and purchase agreement, SPA) dengan Anadarko Petroleum Corporation. Perjanjianuntuk pembelian LNG dari Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC). Kesepakatan berlaku untuk pengiriman LNG sebesar 1 mtpa (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun. Belakangan muncul masalah. Harga gas dunia turun dan pasokan gas/LNG dalam negeri melimpah, sehingga serapan gas domestik, termasuk untuk diekspor, tidak maksimal. Setelah berlangsung hampir setahun, Pertamina tak kunjung mengeksekusi SPA tu, meski telah berulang kali diingatkan MLNGC. Belakangan Menteri Energi Mozambik menulis surat kepada Menteri ESDM untuk menagih komitmen Pertamina. Jika tidak, Pertamina akan dituntut membayar ganti rugi US$2,8 miliar (sekitar Rp 40 triliun). Faktanya memang program jangka panjang terkait bisnis gas dan LNG, yang dari awal merupakan bagian dari bisnis Pertamina, belum pernah dibatalkan manajemen Pertamina yang baru. Hal ini terjadi atas sepengetahuan komisaris sebagai wakil pemegang saham. Karena menyangkut uang negara hingga Rp 40 triliun, maka gugatan tersebut perlu ditinjau dan dianalisis, termasuk menelusuri siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan siapa pula yang harus bertanggungjawab. Sebagai perusahaan yang 100% sahamnya milik negara, tentu rakyat sebagai stakeholders Pertamina tidak rela membayar denda yang sangat besar. Apalagi jika hal itu disebabkan oleh segelintir orang yang ada di sekitar kekuasaan pemerintahan. Rakyat perlu pahami masalah ini. Membahas secara transparan dan menggugat pihak-pihak yang terlibat jika terjadi pelanggaran hukum dan/atau tindak KKN. Pengadaan LNG sejak awal pembentukan Direktorat Gas masuk dalam Rencana Jangka Panjang Pertamina sejak sekitar 2012. Impor LNG umumnya disetujui pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina setiap awal tahun. Artinya, rencana impor LNG memang dilakukan atas dasar telah adanya persetujuan pemerintah. Demikian halnya dengan pengadaan LNG Mozambik, telah masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pemegang saham pada tahun 2019. Persetujuan pemerintah diberikan melalui wakil pemerintah yang menjabat Komisaris Utama dan Komisaris saat RUPS berlangsung. Tidak mungkin Direksi Pertamina (saat itu dipimpin Nicke Widyawati) berani menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina dan merencanakan pembelian LNG tanpa persetujuan pemegang saham (Kementrian BUMN dan pemerintahan Jokowi). Secara rutin, setiap tahun pemerintah melalui Kementrian ESDM menyusun dan menerbitkan neraca gas nasional, yang mencakup supply dan demand. Ternyata, rencana impor LNG dari Mozambik tersebut memang ditetapkan setelah mengacu pada ketersediaan dan konsumsi gas yang tercantum dalam neraca gas nasional yang terbit pada 2018. Apakah gas yang diproduksi Pertamina tidak cukup? Tampaknya memang demikian. Sebab, support dari kepemilikan gas dan LNG diperlukan karena produksi natural gas yang dihasilkan anak perusahaan Pertamina tidak secara otomatis seluruhnya menjadi milik Pertamina, tetapi harus melalui pengajuan alokasi terlebih dahulu kepada pemerintah/KESDM. Jika ditelisik, volume LNG Mozambik yang akan diimpor ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina menggunakan gas untuk mengoperasikan kilang BBM dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek besar tersebut akan membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi supply gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang disewa pemerintah/Pertamina. Hal lain yang perlu dicatat, pengadaan LNG sebagai bahan bakar pengganti BBM maupun pengganti bahan baku gas, merupakan salah satu syarat dari pemerintah untuk mendapatkan persetujuan investasi proyek. Baik untuk mengikuti tender PLTGU Jawa-1, maupun rencana pembangunan proyek RDMP yang merupakan proyek yang dipantau Presiden. Silakan terlibat proyek PLTGU Jawa-1 dan RDMP, asal Pertamina mau impor LNG Mazambik. Dalam hal ini mafia dan oligarki pemburu rente bisa saja terlibat. Presiden Jokowi sendiri telah menetapkan proyek RDMP Pertamina sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PEN) sesuai Perpres No.109/2020. Pada situs Komite Percepatan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), RDMP disebut sebagai proyek revitalisasi kilang-kilang BBM Pertamina di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. RDMP dijalankan bersamaan dengan proyek kilang baru, Grass Root Refinery (GRR) di Tuban. Menurut KPPIP nilai investasi proyek RDMP/GRR Rp. 246 triliun. Kembali ke gugatan Mozambik Rp 40 triliun, tuntutan itu potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawab.Pertama, karena Pertamina memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, maka Pertamina harus bertanggungjawab. Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018. Kedua, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina. Tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia. Bisa saja kealpaan Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun. Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab. Ketiga, untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan. Pada akhirnya tidak semua bisnis gas, apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Akibatnya sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik. Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard. Patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik. Keempat, Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDPM/GRR. Rakyat pantas menuntut pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi Kelima, tertundanya proyek RDMP dan pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak. Mereka ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak. Keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak. Ketika hasil audit forensik KordaMentha, yang berisi peran dan keterlibatan mafia minyak dalam impor minyak/BBM melalui Petral akan dilaporkan ke KPK, laporan justru tertahan karena tidak disetujui Presiden Jokowi. Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap Presiden Jokowi yang memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). "Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu," kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Ternyata laporan ditunda hingga sekarang atau malah sudah dikubur! Lima penyebab yang potensial membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas, secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional. Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance, dan patut diduga bernuansa moral hazard. Terkesan “ugal-ugalan” atau “semau gue”. Sedikit melihat ke belakang, menjelang Pilpres 2019, Pertamina telah menjadi sapi perah dan korban intervensi kebijakan “ugal-ugalan”. Sehingga harus menanggung beban subsidi BBM sekitar Rp 96 triliun (akumulasi 2017-2019). Beban subsidi ini mestinya ditanggung APBN. Namun karena pembayaran melalui APBN tidak lancar, beban subsidi itu telah membuat keuangan Pertamina nyaris mengalami gagal bayar (default). Kondisi APBN yang semakin bermasalah akibat pandemi Covid-19, piutang Pertamina ke pemerintah pun tak kunjung diselesaikan pemerintah. Untuk membantu keuangan Pertamina, pemerintah membiarkan Pertamina tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Harga terendah sempat menyentuh angka US$ 20 per barel pada Maret 2020. Padahal sesuai formula harga BBM yang sudah berlaku bertahun-tahun, harga BBM harus turun saat harga minyak turun. Kondisi harga turun ini pun terjadi di seluruh dunia. Kebijakan pemerintah tidak menurunkan harga BBM sesuai peraturan dan formula harga yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah jelas merupakan pelangggaran hukum yang serius. Akibatnya, konsumen BBM Indonesia membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun untuk periode Maret hingga Desember 2020. Ringkasnya, akibat kebijakan “semau gue” yang sarat kepentingan politik pencitraan Pilpres 2019, Pertamina dirugikan puluhan triliun, dan ujungnya konsumen BBM lah yang menjadi korban. Harus menanggung kerugian sekitar Rp 70 triliun akibat harga BBM yang lebih mahal. Jika akhirnya Pertamina harus menanggung kerugian membayar denda Rp 40 triliun akibat kontrak LNG Mozambik yang bermasalah, maka yang menjadi penyebab tampaknya tidak jauh berbeda dengan kasus harga BBM. Keduanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang bersifat semau gue dan bernuansa moral hazard. Ditambah pula oleh sikap manajemen BUMN yang ABS. Kebijakan tersebut tampaknya tak jauh dari sikap menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan objek untuk perburuan rente. Apakah DPR dan lembaga penegak hukum peduli? No way. Kasus LNG Mozambik siap-siap merontokkan Pertamina. Tapi Pertamina bisa saja survive karena disubsidi rakyat melalui harga BBM yang tidak turun, asal harga minyak dunia turun signifikan. Selamat untuk mafia, pemburu rente dan “pemimpin” yang ingin memberantas mafia! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.

Geger Baru Vaksin Sinovac: Jokowi vs Ribka Tjiptaning

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Presiden Joko Widodo sudah divaksin Sinovac di Istana Negara pada Rabu, 13 Januari 2021. Prof. dr. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang menyuntik Presiden itu sempat gemetaran ketika proses penyuntikan. “Menyuntik orang pertama di Indonesia ada rasa (gemetar) juga. Tapi, masalah itu tidak jadi halangan buat saya untuk menyuntikkannya,” kata Prof Muthalib. Proses penyuntikan selesai dalam waktu singkat. Presiden Jokowi menyebut tidak ada yang dirasakannya saat disuntik vaksin tersebut. “Waktu menyuntikkannya tidak masalah, pertamanya saja agak gemetaran. Bapak tidak ada pendarahan sama sekali di bekas suntikannya,” lanjutnya. Setelah disuntik, Jokowi menunggu sebentar untuk memastikan kondisinya. Dilihat di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi masih terlihat bugar seperti sebelum disuntik. Jokowi pun terlihat berdiri dan berjalan di dalam ruangan Orang yang sudah disuntik vaksin harus menunggu 30 menit. Setelah itu, orang yang disuntik tadi bisa kembali beraktivitas. Vaksinasi Corona perdana ini juga disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi disuntik vaksin oleh tim vaksinasi COVID-19. Sebelum disuntik, Jokowi duduk di kursi pertama. Jokowi menjalani tes tekanan darah dan ditanya ada atau tidaknya gejala yang dirasakan Jokowi oleh tim tenaga kesehatan terlebih dahulu. Selain Jokowi, sederet pejabat lain juga turut divaksinasi. Di antaranya Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Ketua PB IDI dr. Daeng M. Faqih. Juga ada Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dan lain-lain), termasuk MUI. MUI sendiri sudah “melabeli” vaksin Sinovac sebagai produk “suci dan halal”, seolah telah menjawab keraguan umat Islam atas kehalalan vaksin Sinovac buatan China ini. Pasalnya, bibit vaksin Sinovac itu dikulturkan di jaringan organ monyet (vero cell). Meski Presiden Jokowi sudah berusaha meyakinkan masyarakat dengan “demo” suntikan vaksin Sinovac atas dirinya, tapi toh suara sumbang masih terjadi di lingkungan PDIP, partai yang mengusung dan membesarkannya. Lihat saja ungkapan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning yang berpendapat, bisa saja cairan yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh lainnya pada Rabu (13/1/2021) bukan vaksin buatan Sinovac. Dugaan tersebut dilontarkan Ribka dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bersama dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, dan Direktur Utama PT Biofarma Honesti Basyir pada Rabu (13/1/2021). “Bisa saja itu bukan Sinovac yang dikasih, kan kita enggak tahu semuanya, jangan ada dusta di antara kita,” kata Ribka. Di sisi lain, Ribka melanjutkan, Jokowi tidak bakal mengalami kesulitan jika ditemukan masalah ke depan imbas dari suntikan tersebut. Pasalnya, Jokowi bersama tokoh lainnya dilengkapi dengan fasilitas kesehatan masyarakat yang prima. “Kalau Pak Jokowi jadi contoh demonstratif begitu disuntik orang pertama, kita semua tahu kalau itu Sinovac, kalau ada apa-apa? Ya, memang dokternya saja yang ngikuti ada berapa, rumah sakit siap, tetapi yang [ada di daerah] di ujung-ujung sana, susah,” tutur Ribka. Sikap itu disampaikan Ribka berlatar pada pengalamannya saat menjabat Ketua Komisi IX. Ketika itu, dia mengingat, terdapat sejumlah vaksin yang ditemukan bermasalah dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. “Yang tadinya vaksin untuk polio malah [jadi] lumpuh layu, yang kaki gajah jadi mati 12 [orang] di Sindangaya sana di Jawa Barat,” kata Ribka. Kekhawatiran Ribka yang berlatar belakang dokter tentu saja cukup beralasan. Tak hanya tokoh PDIP seperti Ribka saja yang mengkritisi vaksinasi pasca Presiden Jokowi divaksin. Seorang dokter spesialis, dr Taufiq Muhibbuddin Waly, SpPD, mengirim surat ke Presiden Jokowi pada Rabu, 13 Januari 2021. “Setelah melihat berkali-kali video itu dan berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior, maka saya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang Anda lakukan adalah gagal. Atau, Anda belum divaksinasi,” tulis Dokter Taufiq. Alasannya adalah injeksi vaksin Sinovac, seharusnya intramuskular (menembus otot). Untuk itu, penyuntikan haruslah dilakukan dengan tegak lurus (90 derajat). Dan, memakai jarum suntik untuk ukuran volume minimal 3cc (spuit 3cc). “Tetapi yang menyuntik tadi siang memakai spuit 1cc dan tidak tegak lurus 90 derajat. Hal tersebut menyebabkan vaksin tidak menembus otot sehingga tidak masuk ke dalam darah,” lanjutnya. Suntikan vaksin yang dilakukan pada Jokowi itu hanyalah sampai di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (sub kutan). Dan, itu berarti vaksin tidak masuk ke darah. Pabrik vaksin Sinovac telah membuat zat vaksin tersebut, hanya bisa masuk ke dalam darah bila disuntikkan dengan cara intramuskular. Penyuntikan di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (subkutan) tersebut tak akan menyebabkan vaksin tersebut masuk ke dalam darah. Kalaupun bisa masuk, hanya sedikit sekali. Lain halnya bila vaksin atau obat itu di desain untuk tidak disuntikkan secara intramuskular. Misalnya menyuntikkan insulin. Injeksi insulin harus dilakukan secara subkutan. “Setelah menonton berkali-kali, saya melihat bahwa masih ada vaksin yang tertinggal pada spuit tersebut. Atau, tidak seluruh vaksin disuntikkan,” ungkap Dokter Taufiq. Ia juga melihat vaksinasi pada Raffi Ahmad. Penyuntikan dengan sudut 90 derajat itu sudah benar. Vaksin dalam spuit telah habis dikeluarkan semuanya. Tetapi, karena yang digunakan spuit 1cc, maka sudah pasti spuit itu tidak bisa menembus otot Raffi Ahmad. Atau, Raffi Ahmad pun harus mengulang vaksinasi Covid-19 seperti juga Presiden Jokowi. Dokter Taufiq tentunya tidak mungkin berkirim surat itu tanpa dasar. Apalagi, dalam surat itu disebut, “berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior”. Begitu pula Ribka Tjiptaning yang lebih ekstrim lagi dengan menyebut, bisa saja cairan yang disuntikkan itu “bukan vaksin buatan Sinovac”. Bisa jadi, “suara” Ribka ini sebenarnya suara riil rakyat dan PDIP yang menolak vaksinasi! Masyarakat juga banyak yang ragu dengan vaksin Sinovac. Apalagi, kata Ribka, vaksin Sinovac adalah rongsokan asal Cina. Sebelumnya dia dengan tegas menolak divaksin. Ribka lebih memilih membayar denda. WHO tidak memungkiri jika banyak kalangan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan vaksin corona. WHO dan seluruh kepentingan di dunia perlu berjuang meyakinkan masyarakat umum agar mau divaksinasi. “Cerita soal vaksin adalah berita bagus. Ini adalah kemenangan usaha manusia atas musuh mikroba. Kita perlu meyakinkan orang dan kita perlu meyakinkan mereka," kata Direktur Urusan Darurat WHO, Micahel Ryan, seperti dikutip AFP. Lebih dari 50 negara kini dilaporkan telah memulai vaksinasi Covid-19. Diperkirakan 70-90 persen dari 7,8 miliar orang di dunia perlu divaksin sebelum mencapai “herd immunity” agar dapat kembali ke kehidupan normal. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pembunuhan Politik Jadi Pilihan Para Penguasa

by M Rizal Fadillah Bandung FNN -Terbunuhnya aktivis Munir Said Thalib beberapa tahun lalu, di masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Belanda adalah pembunuhan politik. Mungkin rezim takut selama studi di Belanda, Munir akan banyak membangun akses yang berefek pada sikap dunia pada pemerintah Indonesia. Tersangka yang divonis bersalah hanya almarhum Pollycarpus Budihari Prijanto, mantan pilot Gadura Indonesia. Sedangkan aktor intelektual beserta jaringan pembunuhannya, masih aman-aman saja. Masih aman-aman saja. Bahkan sampi dengan Pollycarpus keluar dari penjara, dan meninggal dunia mereka masih masih man-aman saja. Akibat pembunuhan politik? Sedangkan terbunuhnya secara sadis 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) bukan pembunuhan yang berkualifikasi biasa. Tetapi kualifikasinya adalah pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM). Dimulai dari target dan kegiatan pengintaian dan pembuntutan yang dinilai tidak legal adalah Habib Rizieq Shihab (HRS). Kini HRS mendekam di tahanan. HRS dan FPI telah menjadi sasaran "pembantaian politik”. HRS ditempatkan sebagai lawan politik yang sanghat berbahaya. Bisa mengancam eksistensi dan keselamatan pemerintah Jokowi di tengah gagalnya penanganan Covid-19 dan resesi ekonomi yang semakin para. Belum lagi indeks tindak pidana korupsi yang semakin marak di era pemerintahan Jokowi. Korupsinya tidak tanggung-tanggung. Bantuan Sosial (Bansos) yang dikelola Kementerian Sosal bernilai trilunan rupiah, yang seharusnya diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, malah dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalis ada 17.760.000 paket Bansos kemungkinan bodong. Tidak sampai ke masyarakat, karena orangngnya tidak ada. Paket Bansos bodong 17.760.000 tersebut, terdidiri dari 16.700.000 paket, orangnya tidak mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan 1.0.60.000 paket bansos lagi adalah NIK ganda. Jika satu paket Bansos senilai Rp 300.000,- maka totalnya senilai Rp Rp. 5,328 triliun. Itu baru data bodong saja. Terbunuhnya 6 anggota FPI yang menjadi pengawal HRS di masa pemerintahan Jokowi ini dapat juga disebut sebagai pembunuhan politik. Pebunuhan yang berusaha mengalihkan kegagalan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Satu-satunya keberhasilan pemerintahan Jokowi hanya pembangunan infrastruktur. Itu pun dengan biaya yang harus dihitung ulang oleh auditor keuangan dan konstruksi. Hutang yang dibuat selama pemerintahan Jokowi enam tahun sudah Rp. 3.400 triliun. Banding dengan hutang sejak Indonesia merdeka sampai berakhir pemerintahan SBY sebesar Rp. 2.600 triliun. Sekarang total hutang pemerintah menjadi Rp 6.000 triliun. HRS yang sebelum ditahan tidak memiliki keluhan serius, namun selama ditahan nampak mulai sakit-sakitan. Kejutan saat terjadi sesak nafas berat yang berimplikasi pada perlunya dampingan tabung oksigen. Kini perdebatan terjadi antara perlu tidaknya HRS dirawat di Rumah Sakit. Meskipun semua nampak berjalan normal-normal, namun bisa saja ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki bukan saja FPI beserta rekeningnya yang habis, tetapi juga HRS harus habis. Tidak kurang dari 70-an rekening bank yang terkait dengan HRS dan FPI kini dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pembunuhan politik kerap terjadi, meski pada umumnya tak terungkap tuntas. Jaksa Agung pertama Gatot Taruna Mihardja di masa pemerintahan Soekarno dikenal tegas dalam membongkar kasus korupsi. Gatot ditahan dan mengalami percobaan pembunuhan dengan penabrakan mobil. Pada masa pemerintahan Soeharto, Jaksa Agung Kabinet Pembangunan V Sukarton Marmo Sudjono juga gencar dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Program penayangan wajah koruptor di TVRI tiba-tiba terhenti dengan meninggal mendadaknya Sukarton Marmo Sudjono secara misterius. Di masa pemerintahan Gus Dur, meninggal yang mencurigakan di Riyadh Arab Saudi, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung yang dikenal jujur, bersih dan tegas dalam memberantas korupsi Baharudin Lopa. Kita teringat dengan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang mengadili kasusu korupsi, tewas ditembak 4 orang tak dikenal pada tahun 2001. Urusan korupsi selalu bersahabat dengan kekuasaan. Harun Masiku kader PDIP yang tersangkut kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, hilang secara misterius sampai sekarang. Mulai muncul informasi liar hahwa Harun Masiku telah meninggal. Dugaan dalam rangka penghilangan jejak-jejak yang terkait dengan fihak-fihak yang terlibat. Bila benar, maka inipun menjadi bagian dari apa yang disebut pembunuhan politik. Tidak mudah untuk membongkar pembunuhan bermotif politik. Karena biasanya hal yang demikian menjadi kegiatan atau bagian dari operasi intelijen, baik resmi ataupun tidak. Pembunuhan adalah puncak dari teror dan tekanan. Sebab pembunuhan politik terkadang menjadi pilihan paling aman para penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Nisan aktivis pejuang hak sipil Amerika Martin Luther King yang juga menjadi korban pembunuhan politik, bertuliskan "Free at last, free at last. Thank God Almighty, I'am free at last". Luther pun terbebas dari intaian FBI dan tekanan berat politik kekuasaan. Politik kekuasaan kriminal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.