Dorong Koalisi Sipil Lapor ke Pengadilan Kejahatan Internasional

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah final menyampaikan hasil penyelidikan. Bahwa kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar Pront Pembela Islam (FPI) adalah "Pelanggaran HAM". Selanjutnya proses Pengadilan pidana adalah tindak lanjut. Presiden tinggal memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mulai penyidikan.

Mudah-mudahan saja, untuk menetapkan tersangka, baik pelaku penembakan maupun yang ikut serta, termasuk kemungkinan atasan dari pelaku kejahatan tidak menemui hambatan. Tidak ada lagi kesulitan, seperti yang terjadi pada penyedisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak perlu butuh bertahun-tahun untuk menemukan tersangkanya.

Entah bentuk perlawanan atau pengaburan kasus, serangan penguasa kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan ini terasa semakin membabi buta. Seribu satu macam kesalahan pun dicari-cari. Setelah kasus baru ditimpakan seperti soal test swab di Rumah Sakit (RS) UMMI yang menyeret juga menantu HRS dan Direksi RS UMMI, kini soal pemblokiran rekening yang merajalela.

Disamping 59 rekening yang terkait dengan FPI diblokir oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), juga 7 rekening milik putera HRS pun ikut diblokir. Belakangan adanya informasi bahwa bahwa rekening pribadi Munarman yang konon untuk menampung uang pensiunan ayahnya juga diblokis. Padahal rekening Munarman itu, sebagai biaya ibunya yang sedang sakit.

Pemblokiran yang sebenarnya secara hukum tidak beralasan ini dapat saja digugat ke pengadilan. Akan tetapi persoalannya adalah kuatnya kemauan politik yang tidak peduli akan hukum. Kemauan politik yang bermisi secara brutal untuk "menghabisi HRS, keluarga, FPI, dan segala keterkaitannya". Hal ini sesungguhnya masuk dalam ruang kesewenang-wenangan kekuasaan yang sekaligus menjadi lanjutan pelanggaran HAM secara terang-terangan.

Dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI terus digemakan suara pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Disamping itu, untuk obyektivitas dan keterbukaan proses peradilan, semangat menarik kalau melibatkan Mahkamah Internasional. Banyak fihak yang mencari solusi untuk mekanisme atau prosedurnya. Komnas HAM sendiri yang melapor hasil penyelidikan kepada Presiden, semakin terlihat tidak dapat dipercaya.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari banyak organisasi yang peduli dengan HAM telah membuat buku saku tentang International Criminal Court (ICC). Buku saku untuk ICC sebagai lembaga peradilan kejahatan internasional yang siap mengadili kejahatan kemanusiaan. Apalagi negara pelanggar HAM tersebut, tidak ada kemauan (unwilling) dan tidak ada kemampuan (unability) untuk memproses kejahatan pelanggaran HAM.

Nampaknya perlu kebersamaan semua pihak untuk menguak pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Baik kasus 6 laskar FPI, kasus kematian 6-9 orang pada 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, atau pun kasus tewasnya kurang lebih 989 petugas Pemilu pada Pilpres yang lalu. Semuanya menjadi terasa mutlak untuk keterlibatan Pengadilan Kriminal Internasional. Apalagi mengingat ketidakmauan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut.

Keluarga korban, tokoh dan aktivis, para pengacara, bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil kiranya perlu mencari solusi. Pelaporan atau pengaduan kepada lembaga seperti ICC menjadi salah satu upaya yang dinilai strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan.

Andaikata pemerintah mau "mundur sedikit" melangkah bersama rakyat, maka mungkin solusi bersama mengatasi problema dapat digalang. Akan tetapi bila "maju terus pantang mundur", maka posisinya yang berhadap-hadapan dengan koalisi masyarakat sipil pasti akan terjadi. Iklim politik yang tidak sehat seperti ini selalu berprinsip "menang dan kalah". Lalu negara (baca : pemerintah) tidak boleh kalah ?

Jika demikian berlaku hukum, "Fa idza jaa-a ajaluhum la yasta'khiruun saa'atan walaa yastaqdimuun" (QS Al A'raf 34). Jika saat ajal telah tiba, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mempercepat atau memundurkan. Itulah momen dari perubahan. Bisa 2024 bisa pula 2021. Wallahu a'lam.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

710

Related Post