Covid-19 Memicu Great Reset Dunia Pendidikan

by Tamsil Linrung

Jakarta FNN - Dalam sejarah umat manusia, belum ada peristiwa yang bisa memicu perubahan dalam berbagai spektrum kehidupan secara radika, kecuali pandemi Covid-19. Penularan virus mematikan itu, telah memaksa kita melakukan banyak penyesuaian dan adaptasi. Meninggalkan sesuatu yang lama. Bahkan mengadopsi hal-hal baru.

Bagaimana misalnya, kita yang terbiasa bekerja harus datang ke kantor, setor muka, dan mengisi absensi, kini beralih dengan bekerja dari rumah (WFH). Demikian juga di sektor layanan medis, konsultasi dengan dokter secara jarak jauh (telemedis) telah menjadi tren baru.

Perubahan pola dan kebiasaan, juga terjadi di sektor pendidikan. Sekolah jarak jauh, pembelajaran daring, teleedukasi, virtual learning, webinar. Itulah berbagai jenis kegiatan pendidikan yang baru kita kenal dalam satu tahun terakhir. Namun diadopsi secara masif.

Semua perubahan perilaku, pola dan kebiasaan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 itu terakumulasi dalam satu gelombang great reset. Istilah great reset ini, diintroduksi oleh World Economic Forum yang bermarkas di Swiss. Perubahan tatanan secara besar-besaran dan terjadi sangat mendasar. Covid-19, telah memicu great reset di sektor pendidikan.

Great reset, semestinya memacu kita bergerak cepat. Beradaptasi secara gesit. Sehingga tidak ketinggalan dan terlindas oleh gemuruh pandemi Covid-19. Dalam hal ini, negara semestinya telah membuat rancangan bangun arah bangsa di era great reset. Namun apa yang terjadi di Indonesia setelah setahun Covid-19.

Saat guru dan murid di Indonesia masih harus tatap muka secara virtual, di daerah asal Virus Covid 19 di Wuhan Cina sana, sekolah telah dimulai sejak Agustus 2020. Di provinsi lain Negeri China, sekolah tatap muka bahkan telah dimulai jauh sebelum Agustus. Begitu juga dengan Jepang, Norwegia, Australia, dan beberapa negara lainnya.

Setahun berlalu, kita masih jalan di tempat. Disebut begitu, karena belum ada titik terang sekolah tatap muka bakal dimulai kapan. Target atau agenda dari Departemen pendidikan pun belum terdengar lagi. Sebelumnya, sekolah diagendakan buka Januari 2021 lalu. Namun rencana itu dianulir.

Pembatalan itu harus dilakukan karena Covid-19 tak kunjung dapat terkendali. Belakangan, kasus positif malah semakin mencemaskan. Kementerian Kesehatan mensinyalir tahun ini jumlah kasus Covid-19 bakal mencapai 1,7 juta. Sementara mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla memprediksi lebih tinggi lagi. Menurutnya, angka kasus covid-19 dapat menembus dua juta kasus pada April 2021.

Ironisnya, bila kita mengamati ribut-ribut pembicaraan di ruang publik. Isu yang sering diperdebatkan justru soal-soal di luar urusan Covid-19. Kalau bukan politik, ya, sentimen sosial-keagamaan. Tengok misalnya, isu kudeta Partai Demokrat atau kicauan rasis seorang netizen yang menghangat baru-baru ini.

Isu tentang Covid-19 sendiri mulai jarang menjadi headline news. Begitu pula dengan perbincangan tentang dunia pendidikan di tengah pandemi. Isu pendidikan sempat menjadi perbincangan hangat publik. Namun, tema yang diperdebatkan justru soal aturan pemakaian jilbab di sekolah.

Sungguh, energi bangsa ini banyak terkuras pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu. Dalam konteks membangun kewaspadaan terhadap virus, soal-soal itu justru berpotensi menjauhkan alam bawah sadar kita kepada gurita pandemi Covid-19.

Seringnya fokus perhatian terhadap pandemi ditelikung oleh isu-isu lain yang menguat, barangkali tak banyak di antara kita yang menyadari bahwa negeri ini telah menorehkan tiga rekor buruk Covid-19 dalam dua bulan terakhir. Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus. Sebagai negara nomor satu di Asia dengan tingkat kematian akibat Covid-19 terbanyak. Sebagai negara nomor satu di Asia dan nomor tiga di dunia dengan jumlah dokter yang wafat terbanyak.

Tapi sudahlah, sembari memperketat protokol kesehatan diri dan keluarga, kita percayakan saja penanggulangan Covid-19 kepada Pemerintah dan Satgas Penanganan Covid-19 serta aparat terkait lainnya. Kita doakan mereka yang diamanahi mengembang tugas mulia itu dapat segera merumuskan formulasi penanganan Covid-19 yang tepat dan efektif.

Kendala dan Dampak

Kecendrungan perkembangan Covid-19 membawa kita pada kesimpulan, bahwa sekolah virtual masih akan berlangsung lama. Kondisi ini sangat disayangkan. Karena proses belajar-mengajar daring nyatanya tidak efektif, atau setidaknya belum menemukan titik ideal. Itulah akibat keterlamabatan pemerintah memberikan respons secara ilmiah terhadap pandemi ini.

Disebut demikian, karena pertama, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan, sebanyak 43 persen pelajar mengeluhkan kuota, sebanyak 29 persen tidak memiliki alat seperti telepon pintar atau komputer, dan yang tidak terkendala oleh keduanya hanya 16 persen.

Survei itu dirilis Agustus 2020. Artinya, enam bulan pertama pelaksanaan sekolah virtual, sebagian besar pelajar masih terkendala teknis. Pertanyaannya, jika kendalanya saja demikian, bagaimana kita akan mendiskusikan efektivitas belajar-mengajar virtual?

Kedua, survei KPAI yang dirilis 3 Januari 2021 menemukan, sebanyak 57 persen siswa mengaku kesulitan menerima materi pelajaran melalui virtual. Sebanyak 87 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka secara langsung. Kesulitan proses belajar mengajar semakin dirasakan ketika pelajaran praktikum tidak mungkin dilakukan virtual.

Sejumlah kendala di atas menunjukkan problem mendasar dalam dunia pendidikan kita di masa pandemi. Belum lagi berbicara dampak turunan lainnya. Dampak derivatif dimaksud adalah, pertama, belajar mengajar virtual secara tak langsung mengarahkan keakraban anak remaja dengan gadget. Mereka dirumahkan, jauh dari pergaulan sosial sesungguhnya. Alhasil media sosial berpotensi besar menjadi alternatif komunikasi sekaligus ruang sosial baru yang menyenangkan. Facebook, Twitter, Instagram, bukan hal baru bagi pelajar saat ini.

Di beranda media sosial, anak-anak bisa menemukan informasi sarat kebajikan. Tetapi dengan mudah pula tersodori bacaan penuh hasutan. Fakta seringkali beradu pengaruh dengan hoax, ditambah sampah kata-kata dan kata-kata sampah yang tak henti lalu-lalang di linimasa media sosial.

Kedua, potensi lost generation atau generasi yang hilang. Istilah lost generation muncul kali pertama untuk menggambarkan situasi yang terjadi setelah pasca Perang Dunia I di tahun 1920 silam. Dalam konteks dunia tanpa perang, generasi bangsa dapat "hilang" bila pendidikan tercerabut dari diri generasi bangsa, termasuk bila pembelajaran berkualitas kita biarkan terus menerus terjadi tanpa merumuskan konsep lanjutan yang lebih efektif.

Lost generation harus mendapat perhatian secara serius. Terlebih karena lost generation tidak semata faktor kegagalan pencapaian pembelajaran yang berkualitas, tetapi juga bersinggungan dengan pengaruh faktor ekonomi. Kita tahu, situasi ekonomi bangsa sedang sulit. Pandemi telah menyebabkan banyak orang tua siswa yang kehilangan sumber pendapatan

Desember 2020, Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) telah memberikan indikasi kuat adanya potensi itu. UNICEF menemukan, sebanyak 938 anak Indonesia putus sekolah karena kendala biaya sebagai imbas kemerosotan kemampuan ekonomi akibat pandemi. Sebanyak 75 persen di antaranya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan secara permanen karena orang tua putus pekerjaan.

Problem pandemi bagi dunia pendidikan memang cukup kompleks. Pasalnya, akar persoalan tidak murni sebatas relasi dunia pendidikan dengan situasi wabah. Keadaan ekonomi nasional, kehidupan sosial bangsa, dan bahkan keberpihakan politik atau kebijakan negara menjadi faktor penentu pula.

Hal lain, sistem pendidikan nasional kita tidak dibangun untuk mengantisipasi situasi wabah, khususnya pandemi yang berkepanjangan seperti saat ini. Akibatnya, konsep penyesuaian metode belajar-mengajar pada keadaan darurat dirumuskan bersamaan dengan situasi darurat itu sendiri. Langkah ini tentu membuka peluang kekurangan di sana-sini.

Peran Pemuda

Dalam situasi yang demikian kompleks itu, bagaimana peran pemuda dan remaja? Diskusi kita hari ini adalah contoh terbaik kreativitas pemuda dan remaja yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Muslim Indonesia (HILMI). Kegiatan HILMI menjadi bukti bahwa anak muda dapat berpartisipasi aktif mendukung upaya penanggulangan pandemi dan krisis akibat pandemi secara intelek melalui diskusi. Ini bagus karena diskusi adalah tradisi intelektual yang harus terus berkecamuk.

Peran pemuda sejatinya memang harus dominan dalam lalu-lalang gagasan. Dalam konteks pandemi, partisipasi kaum muda juga dibutuhkan dalam menyebarkan informasi akurat mengenai Covid-19, mengatasi mitos dan stigma yang berkembang, mengawasi hoax, dan seterusnya.

Perubahan jaman telah mengantar kita kepada revolusi industry 4.0. Penguasaan kaum muda pada penggunaan teknologi informasi seperti internet, dapat dijadikan pintu masuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media massa, lembaga legislatif, dan lain-lain. Gunakan saluran itu menyampaikan saran dan kritik secara elegan.

Juga, maksimalkan media sosial. Kita tahu, media sosial dijejali dengan akun-akun antagonis. Sejukkan dan warnailah dengan ghirah yang menggelora. Saling mengingatkan dalam situasi pandemi adalah langkah nyata pemuda membantu negara.

Saya menaruh harapan besar kepada HILMI. Para pelajar yang tergabung dalam organisasi ini semoga dapat mengambil kunci harakah yang berbeda dari pemuda lain. Dua kata kunci dalam akronim HILMI harus dijiwai dengan serius, "pelajar" dan "muslim". Resapi dan camkan maknanya di sepanjang jalan perjuangan menuju cita-cita.

Bahwa hari ini situasi pandemi mengharuskan pelajar menempuh pendidikan secara virtual, itu adalah tantangan yang harus dijawab. Lawan rasa malas, berdiskusilah guna membantu guru menemukan ide terbaik mendongrak efektivitas proses pembelajaran daring.

Pada akhirnya, pupuk bagi mekarnya pelajar adalah pendidik. Bagaimanapun, keberhasilan proses belajar-mengajar virtual akan sangat bergantung pada kreativitas dan kemampuan guru dalam berinovasi dan berimprovisasi. Tentu termasuk membangun komunikasi dengan orang tua siswa, misalnya melalui Whatsapp grup atau aplikasi lainnya.

Di tengah situasi yang serba virtual ini, menjadi penting bagi para pegiat pendidikan memikirkan langah-langkah alternatif yang dipandang dapat mengatrol efektivitas belajar-mengajar daring. Sifatnya bisa berupa terobosan pribadi guru atau kebijakan internal sekolah. Jika pun ada yang ingin diusulkan dan diperjuangkan di tingkat nasional, saya selaku Anggota Komite III DPD RI siap mendukung.

Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.

563

Related Post