OPINI

Buzzerkrasi Yang Leluasa di Rezim Jokowi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Era Pemerintahan Jokowi demokrasi sangat memburuk ambruk. Indeks demokrasi terjun bebas. Cuitan Pak Kwik Kian Gie, mantan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekuin), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, menyebut kondisi kini berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Sangat mengerikan kalau berbeda pendapat dengan penguasa. Suasana nampak menakutkan. Bukan karena takut mengkritik, tetapi perbedaan pendapat yang disikapi dengan serangan para buzzer, terutama buzzer rupiah. "Masalah saja pribadi diodal-adil", serunya. Pandangan Kwik disetujui oleh Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Kekuasaan buzzer yang luar biasa sekarang ini. Buzzur begitu bebas dan leluasa untuk menyerang siapa saja yang berbeda pendapat dengan penguasa. Buzzur yang menyerang dengan membabi buta. Namun tidak tersentuh oleh hukum. Negara seperti tanpa ada hukum pada para buzzer. Kenyataan prilaku para buzzur ini menggambarkan pergeseran sistem pemerintahan dari demokrasi kepada buzzerkrasi. Kata buzzer itu dari bahasa Inggris, yang artinya lonceng atau alarm. Dalam makna tradisi Indonesia adalah kentongan. Berfungsi untuk memperbesar gaung dan memanggil orang untuk berkumpul. Buzzer digunakan untuk menyuarakan kandidat, pemimpin, bahkan suara Istana. Keliling dari kampung ke kampung. Dari media satu ke media yang lain. Kalau di media sosial (medsos) buzzer lebih populer saat kini. Ada fungsi dan tugas baru dari situkang pukul kentongan ini. Tugasnya menakut-nakuti seperti terjadi pada kasus Pak Kwik Kian Gie. Apalagi dengan kekuasaan besar, proteksi hukum yang kuat, serta menjadi alat pengancam efektif, maka buzzerkrasi sekarang menjadi sangat fenomenal. Melengkapi multi predikat rezim Jokowi. Mulai dari oligarki, korporatokrasi, otokrasi, kleptokrasi, hingga buzzerkrasi. Yang terakhir ini ternyata sangat berbahaya. Sebab dibentuk memang dengan tugas untuk menyerang lawan. Korporatokrasi atau kleptokrasi hanya memangsa lingkaran kecil dan tertentu, tetapi buzzerkrasi menjadikan oposisi sebagai target. Politisi, cendekiawan, aktivis, hingga rakyat kebanyakan. Pemimpin negara yang tak punya wibawa, miskin gagasan, senang pencitraan dan pengecut, bisanya hanya membayar harga mahal para buzzer. Sayangnya bukan uang pribadi, tetapi menggunakan uang negara. Jika ini yang dilakukan, maka hal itu bukan masuk bagian dari dana sosial atau hibah, tetapi korupsi karena dana buzzer tidak masuk dalam item APBN yang disetujui DPR. Rambahan buzzer cukup luas dan sudah kemana-mana. Tokoh pegiat Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyebut bahwa serangan rasialisme kepada dirinya yang dilakukan pula oleh para buzzer rupiah sudah ratusan, bahkan ribuan kali. Menurut Pigai, rasisme yang dilancarkan para buzzer ini diremote control oleh lingkaran kekuasaan. Meski dibantah oleh Ali Mucthar Ngabalin, tetapi kecurigaan Pigai cukup beralasan. Korbannya bukan hanya Natalius Pigai dan Kwik Kian Gie. Mantan Menteri Keluatan dan Perikanan, Susi Pujiantuti juga ikut diserang para buzzur, dengan subutan Kadrun (Kadal Gurun). Padahal Susi masih suka pakai celana pendek, pakaian ketat, dansa-dansa dan ngewain. Keberadaan buzzer menurut Ketua YLBHI Asfinawati dibenarkan atas dasar penelitian Oxford University. Buzzer ini merusak demokrasi dengan memanipulasi opini. Menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Dimanfaatkan dengan optimal oleh elit-elit politik. Tanpa ada gangguan, apalagi penangkapan aparat. Mereka menggunakan media untuk propaganda dengan melabrak kode etik jurnalistik. Jika ingin mengembalikan Negara Indonesia menjadi negara demokrasi, maka masalah buzzer ini mesti diselesaikan. Buzzerkrasi tidak boleh ditoleransi. Saatnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk buzzer. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus meneliti dugaan korupsi penggunaan uang negara untuk membiayai para buzzer. DPR-RI harus menginisiasi pembuatan UU Anti-Buzzer. Demokrasi harus dan mutlak diselamatkan. Bangsa Indonesia jangan hanya ribut soal mencegah radikalisme, ekstrimisme, intoleransi, atau anti kapitalisme, liberalisme, dan komunisme. Ada fenomena baru yang mesti diwaspadai, dicegah, dan segera dibasmi yaitu buzzerisme. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Rezim Menzalimi Umat Islam?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rezim ini seperti berlebihan, tetapi sebenarnya tidak. Namun patut menjadi bahan renungan, apakah rezim Jokowi memang sedang menzalimi umat Islam? Tentu saja harus berdasarkan indikasi-indukasi sosial politik yang sedang dirasakan oleh umat Islam. Meskipun demikian, wajar juga apabila tidak semua umat Islam dapat merasakannya. Aada lima indikasi yang mengarah. Pertama, penangkapan dan penahanan terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang jelas-jelas dan nyata "dipaksakan dan dicari-cari" kesalahan. Ada segudang tuduhan yang dialamatkan kepada HRS. Apakah HRS adalah salah satu tokoh umat Islam? Jawabannya pasti iya. Bahkan HRS adalah tokoh umat Islam terdepan dalam mengkritik dan mengoreksi berbagai beijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Karena kebijakan pemerintah merugikan rakyat, maka otomatis juga merugikan Umat Islam. Itu pasti. Tidak perlu diperjelas lagi apa penyebabnya. Makanya penzoliman kepada HRS satu paket dengan pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) yang tercatat telah berbuat banyak untuk kepentingan umat Islam. Sebelumnya HTI lebih dulu dibubarkan. Kedua, pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI yang mengawal HRS dan keluarga di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek),dalam perjalanan dari sentul menuju karawang. Pembunuhan yang terkesan diproteksi oleh rezim yang berkuasa. Sehingga pengungkapan dan tindak lanjut kasus ini juga menjadi bertele-tele, tidak serius, dan penuh konspiratif. Padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah ditemukan adanya pelanggaran HAM. Untuk perkara yang sangat mudah saja, seperti siapa petugas kepolisian yang menembak keempat anggota laskar FPI, teryata sampai sekarang tak terungkap. Aneh juga. Kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat terhadap bagian dari perjuangan keumatan. Ketiga, penangkapan dan penahanan Zaim Saidi dengan tuduhan penggunaan mata uang selain rupiah dalam bertransaksi di Pasar Muamalah. Semangat Zaim adalah inovasi dalam berekonomi syari'ah. Tidak ada unsur penipuan (gharar), spekulasi (maisir), dan rente (riba). Upaya untuk berekonomi mendekati Nubuwah. Jika dinilai ada masalah dengan perundang-undangan, maka selayaknya dilakukan pendekatan persuasif terlebih dahulu. Klarifikasi dan edukasi. Keempat, eksploitasi dana umat Islam, baik itu haji, zakat, maupun wakaf. Masyarakat muslim masih mempertanyakan penggunaan dana haji, zakat, dan terakhir wakaf uang yang dicanangkan Menkeu untuk digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur. Masyarakat Ekonomi Syari'ah berubah menjadi "lembaga politik" yang diisi personal yang tidak kompeten. Kelima, tuduhan terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang ditujukan kepada simbol yang ke Islam-Islaman. Pengaturan, baik melalui UU maupun Kepres serta kebijakan politik yang dialokasikan melalui berbagai Kementrian terarah kepada umat Islam. Pelumpuhan kekuatan keumatan dengan isu terorisme, radikalisme, ekstrimisme tersebut menjadi nyata adanya. Disamping itu tersebut penahanan terhadap tokoh dan aktivis umat dengan berbagai alasan juga memperkuat indikasi kezaliman. Gus Nur, Maheer, Bahar Smith, Syahganda, Jumhur, Anton, dan aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di berbagai daerah lainnya. Sedangkan para "penyerang umat" seperti Denny Siregar, Armando Armando, dan Abu Janda sebaliknya sangat sulit untuk diproses hukum, meski telah bertumpuk laporan dugaan pelanggaran hukumnya. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang berhubungan dengan seragam atribut keagamaan juga sangat jelas tendensius. Isi SKB yang sangat menyinggung umat Islam. Prof. Greg Fealy dari Australian National University menyatakan rezim Jokowi represif terhadap umat Islam. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepada Pegawai Negeri, akademisi, guru yang masuk dalam ruang-ruang pantauan. Bahwa pada setiap rezim ada tindakan diskriminatif terhadap umat Islam mungkin benar, akan tetapi rezim Jokowi nampaknya paling tinggi tingkat represivitas dan kezalimannya. Entah apakah karena kedekatan dengan pemerintahan Cina yang komunis atau faktor lain penyebabnya. Semua dapat dianalisis tuntas setelah Pemerintahan Jokowi usai. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Kepo Dengan Wakaf Uang

by Ustadz Felix Siauw Jakarta FNN - Cuaca kering dan panas saat itu hampir saja melelehkan gunung. Sedangkan keadaan kaum Muslim sedang sangat sulit sebab paceklik yang melanda. Karena itu Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam menyeru pada kaum Muslim, siapakah yang ingin memberikan hartanya, membiayai jaisyul ‘usrah (pasukan sulit), yang berjihad ke Tabuk yang berjarak hampir 700 kilometer jauhnya. Utsman Bin Affan datang kepada Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam dan menyerahkan 970 ekor untanya, berikut 50 kuda, beserta 700 uqiyah emas (sekitar Rp. 21,2 miliar, 1 gram emas = Rp. 956.000). Abdurrahman Bin Auf datang dengan 200 uqiyah emas (sekitar Rp. 6 miliar). Umar Bin Khatab datang dengan 1/2 hartanya, dan Abu Bakar malah menyedekahkan 100% hartanya. Para sahabat berinfaq dengan maksimal, ketika Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam sebagai kepala negara menyeru mereka berinfaq. Mereka berinfaq tanpa khawatir, dan ragu dengan rezeki Allah atau kehabisan hartanya kelak. Semua sahabat berlomba-lomba untuk memenuhi seruan Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam. Lebih hebatnya lagi adalah semua infaq itu mereka lakukan dalam keadaan yang lagi sempit dan susah Kok bisa sih? Ya bisalah, karena mereka sudah berakhir dengan trust pada Allah dan Rasul-Nya semata. Sebab dalam Islam, ketika manusia sudah punya iman (trust) hanya pada Allah dan Rasul-Nya, maka sangat ringan bagi mereka untuk menginfakkan hartanya. Tidak hanya sekali, dua kali atau tiga kali. Tetapi kapanpun Allah dan Rasul-Nya memerlukan, mereka langsung saja memberikan tanpa pikir ini dan itu. Pengorbanan yang seperti itu tidak datang dengan tiba-tiba. Tetapi harus didahului dengan keyakinan yang luar biasa tingginya. Maka Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam berpesan pada Muadz saat mengutusnya ke Yaman, untuk mengajak manusia bersyahadat, ajari mereka menegakkan salat, barulah ambil zakat dari mereka. Karena mengorbankan harta adalah konsekuensi dari keimanan. Berkali-kali Allah mengaitkan jihad dengan dua hal, jiwa dan harta. Lalu siapa yang diseru Allah untuk mengorbankan harta? Hanya kepada orang yang beriman. Sebab mereka yang taidk beriman, tak akan mungkin tertarik, berinfaq kecuali berharapa pada investasi dan keuntungan dunia semata. Sebab mereka tidak meyakini adanya kehidupan setelah berakhir di dunia. Zaman now, kita diminta untuk wakaf uang. Sementara imannya nggak didahulukan untuk dikuatkan dan ditingkatkan. Yang lebih parah lagi, Islam dijadikan sebagai tertuduh . Perilakunya Islamophobia, lalau kriminalisasi terhadap ulama terjadi dengan telanjang. Ketidakadilan jadi tontonan sehari-hari. Dana Bantuan Sosial (Bansos) dikorupsi oleh para pejabat negara tanpa malu-malu. Tragisnya, di tengah-tengah semua prilaku itu, dengan tanpa malu-malu meminta uang wakap kepada ummat Islam. “Ayo wakaf uang”. What? Hebat sekali wajah yang meminta wakap itu. Padahal, andaikan saja para pemimpin mencontohkan sikap kepedulian terhadap agama. Meyakinkan kepada ummat bahwa kesemuanya ini adalah bagian untuk menegakkan agama, dan bakal memberikan kebaikan bagi semuanya. Kalau itu yang dilakukan pemerintah, maka saya yakin tanpa perlu meminta saja, rakyat sudah pasti akan berinisiatif untuk membantu dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada. Atau, andaikan saja yang meminta untuk rela melakukan wakaf uang itu adalah “Dia yang sekarang ini terdzalimi di penjara itu”, maka kira-kira mana yang kaum Muslimin rela untuk memberikannya? Tulis dan jawab saja sendiri di komen deh. Harusnya pemerintah introspeksi. Face it, admit it, trust is the problem. Jangan hanya Islam yang dibully, namun yang menista Islam didiamkan saja. Mereka yang menghina Islam dibiarkan bebas berkeliaran. Sementara ulama dipenjarakan, dikatakan radikal, intoleran, syariat ditolak, khilafah dimonsterisasi. Giliran urusan duit saja, mintanya juga dari wakaf. Padahal taipan-taipan yang uangnya banyak, kenapa tidak diminta buat Indonesia? Untuk saja mereka para taipan itu, kita sudah tau jawabnya. Sejarah telah memberitahu, adalah kaum Muslim yang paling peduli terhadap negerinya. Yang bukan hanya mengorbankan harta, tetapi juga nyawa dan raganya, andai itu diperlukan untuk melindungi negeri yang menjamin tegaknya agama mereka. Penulis adalah Pendakwah dan Pemerhati Sosial Kemasyarakatan.

SKB Tiga Menteri Soal Jilbab Bertentangan Dengan Pancasila & UUD 45

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Menteri Agama, baru-baru ini mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) larangan sekolah negeri mewajibkan pemakain jilbab. Padahal urusan jilbab menjadi urusan pribadi siswa dan orangtuanya. Sekolah (baca : negara) tidak boleh ikut campur. Masa sih? Kebijakan SKB tiga menteri ini ditengarai dipenuhi dengan rasa “kebencian dan Islamphobia” yang sangat tinggi. Mengingatkan kita kembali pada era tahuan 1980-an. Ketika itu pemerintah Orde Baru membuat kebijakan tentang larangan berjilbab di sekolah negeri dan instansi pemerintah. Setelah 30 tahun, kejadian itu terulang kembali. Setback. Negara enam tahun terakhir ini sering mengintervensi kehidupan ummat beragama, khususnya ummat Islam. Padahal, Indonesia negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan negara menjamin kebebasan ummat beragama untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya (Pasal 29 UUD 1945). Jilbab termasuk dalam ajaran agama dan keyakinan tersebut. Belum lagi tujuan pendidikan nasional itu sangat mulia. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Mulia sekarang rangkaian kali di UUD 1945 ahsil amandemen tersebut. Sementara menurut Pasal 31 ayat 5, masih dalam UUD 1945 menyebutkan, “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Semakin mulia lagi kalau membacanya dengan baik pelan-pelan. Sedangkan menurut UU No 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini pesan dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Semakin tinggi kemuliaan itu. Dengan demikian, terbitnya SKB tiga menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 dapat dikategorikan sebagai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 31 serta UU No 20 tahun 2003. Oleh karenanya, SKB tiga menteri ini harus dicabut dan batal demi hukum dan keadilan sosial. Negara tidak boleh kalah oleh oknum tertentu, sehingga negara menjadi paradoks bila sudah berurusan dengan ummat Islam. Setidaknya dapat kita baca dalam enam tahun terakhir ini. Semakin brutal dan menjadi-jadi. Paradoks karena Islam dilarang masuk dalam urusan negara. Tetaapi negara sering mengobok-obok urusan ummat Islam. Jilbab dan kurikulum madrasah sebagai contoh nyata. Ummat Islam dilarang mengamalkan atribut keagamaan di sekolah. Sementara dana haji, zakat dan infaq, terakhir wakaf ummat Islam “diambil” oleh negara. Kalau uangnya umamat Islam, ternyata boleh diambil dan dipakai oleh negara. Namun ajarannya Ummat islam dilarang untuk dialaksanakan di sekolah-sekolah negeri dan instansi pemerintah. Ini aneh tapi nyata. Selain itu, ummat Islam yang konsisten dalam melaksanakan ajaran Islam diberikan predikat intoleran, radikalime dan ekstrimisme. Berjilbab dianggap sebagai intoleran. Padahal, setiap agama punya ciri khas masing-masing sesuai ajaran agamanya. Sedangkan kelompok Islam senang berada di garis bengkok dan menyimpang, sengaja dipelihara dan difasilitasi oleh negara. Bhinneka tunggal ika, berbeda-beda tetap satu. Artinya, negara menjamin perbedaan masing-masing agama dalam bingkai negara kesatuan yang bernama Republik Indonesia. Bukan berarti penyeragaman tradisi keagamaan dalam satu tradisi ke-Indonesia-an. Negara sering bertindak tidak adil terhadap ummat Islam. Wajar muncul anggapan kalau rezim sekarang seolah-olah mengadopsi politik belah bambu ala imperialis Belanda dulu. Islam yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diangkat dan disanjung-sanjung. Sementara, Islam yang melaksanakan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam diinjak, diintimidasi dan dikriminalisasi. Negara oleh oknum yang berkuasa sekarang, seperti tidak punya iktikad baik terhadap ummat Islam. Seringkali “memerangi Islam garis lurus”. Wajar kalau Ummat Islam menduga ada konspirasi yang melibatkan partai merah, partai hijau dan PKI dalam wadah bernama “Nasakom Gaya Baru” yang sangat mewarnai perpolitikan hari ini. Penulis adalah Pegiat Dakwah dan Sosial.

74 Tahun HMI, Reformasi Internal Untuk Komitmen Keislaman & Keindonesiaan

by Raihan Ariatama Jakarta FNN - Pada 5 Februari 2021 ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati usianya yang ke-74. Sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam, mencapai usia 74 tahun bukanlah perkara mudah. Terdapat banyak lika-liku dan sepak terjang yang dilaluinya. Termasuk desakan pembubaran yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Meskipun yang terjadi malah sebaliknya, malah PKI yang dibubarkan dan dianggap sebagai partai terlarang sampai saat ini. Sementara HMI masih eksis dalam mewarnai perjalanan keberagaman Indonesia sampai hari ini. Namun di usianya yang ke-74 ini, HMI menghadapi berbagai persoalan. Dies Natalis HMI ke-74 ini harus kita jadikan momentum untuk merefleksikan berbagai persoalan itu. Sehingga bisa ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Bila tidak, maka HMI hanya ada sebagai pelengkap dalam berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi hari ini. Keterbelahan di akar rumput sejak Pilkada DKI 2017, yang beruju di Pilpres 2019 lalu, sampai kekarang masih terasa. Kondisi makin diperparah dengan kelemahan negara mengatasi pendemi Covid-19 yang kini mencapai lebih dari satu juta orang yang posisitif terjangkit Covid-19. Angkanya bukan semakin menurn. Tetapi sebaliknya semakin bertambah. Belum lagi persoalan resesi ekonomi yang yang melanda Indonesia kin. Dan berujung pada tertekannya daya beli masyarakat. Beberapa persoalan HMI hari ini adalah masalah internal. Seperti adanya dualisme kepengurusan HMI. Pendangkalan intelektualitas dan integritas, serta lunturnya semangat berkarya. Persoalan-persoalan internal ini menuntut solusi, yang pada satu sisi tetap berpedoman pada nilai-nilai ke-HMI-an, dan pada sisi lain ditunut untuk harus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Kerja-kerja untuk mencari solusi ini merupakan kerja kolektif-kolaboratif, yang melibatkan banyak elemen di HMI. Kerja kolektif-kolaboratif untuk menyelesaikan soal internal harus mengesampingkan ego golongan dan kepentingan kelompok. Apalagi, era Revolusi Industri 4.0 menuntut kita untuk saling berkolaborasi. Segala tantangan dan persoalan akan terasa lebih mudah apabila dihadapi dan diselesaikan dengan pendekatan kolaboratif. Persoalan internal HMI yang lain adalah perlunya melakukan pembaharuan terhadap materi/kurikulum pelatihan formal dan informal HMI, agar dapat menjawab tantangan abad 21. HMI hari ini sedang berada dalam zaman digital. Sayangnya kultur ke-HMI-an kita masih menggunakan corak pemikiran abad 20. Akhirnya yang terjadi adalah disrupsi dalam tubuh HMI. Untuk itu, pengembangan sumber daya kader HMI melalui pelatihan yang ada, maka seharusnya diorientasikan untuk menjawab berbagai tantangan di abad 21 ini. Sebagai contoh, HMI perlu untuk menggalakkan social-entrepreneurship training untuk menghasilkan wirausahawan muda HMI yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, melainkan juga pada kemaslahatan sosial-ekonomi ummat. Pelatihan-pelatihan skill yang lain seperti manajemen big data, berpikir kritis, analitis, inovatif dan berorientasi pada problem solving serta lain juga harus lebih dikedepankan. Tujuannnya untuk menjawab tantangan perubahan paradigma prilaku dan kegiatan ekonomi dan sosial yang sudah berbasis Tekonologi informatika (IT). Semua kehidupan yang serba IT. Dengan internal organisasi yang solid dan reformasi internal yang adaptif terhadap tantangan zaman, maka HMI akan dengan mudah menjalankan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan yang menjadi komitmen HMI sejak awal berdiri. Dalam konteks ini, misi dakwah dan sosial dapat dilakukan secara efektif apabila terjadi solidaritas dan reformasi internal. Di tengah menguatnya ekstremisme agama yang kerap kali berujung pada tindakan kekerasan dan teror (acts of violence and terror). Begitu juga dengan keinginan beberapa kalangan untuk melakukan formalisasi syariat Islam, maka dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI sangatlah dibutuhkan. Menyesuaikan diri dengan perkembangan yang tidak bisa dihindari. Kenyatan ini karena komitmen ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidak terjebak dalam formalitas dan simbol agama semata. Melainkan HMI selalu berpijak pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai substansial Islam yang universal, seperti Islam yang inklusif, yang toleran, yang dialogis, akomodatif dan yang berperikemanusiaan. Islam yang ramatan lil alamain. Untuk itu, memperkuat dakwah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan ala HMI merupakan sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Sebagai upaya narasi tanding (counter-narration) terhadap diskursus yang ektremisme agama dan formalisasi syariat Islam. HMI dapat memanfaatkan perkembangan teknologi informasi untuk melakukan narasi tanding tersebut. Dalam rangka melakukan misi yang mulia ini, HMI ditopang oleh sumber daya kader yang melimpah. Kader HMI yang tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia. Bahkan di luar negeri sekalipun, masih ada kader-kader HMI yang tetap eksis, berada di depan. Dengan modal jaringan yang luas dan solid itu, akan mempermudah HMI dalam menebarkan benih-benih ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Selain itu, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI tidaklah mempertentangkan agama dan negara. Sebab keduanya harus saling melengkapi satu sama lain. Agama sangat dibutuhkan sebagai fondasi nilai dalam bernegara. Sedangkan negara dibutuhkan HMI sebagai wahana untuk kemaslahatan publik dan mensejahteraan rakyat, sesuai dengan tujuan bernegara pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI harus menjadi penetralisir terhadap gagasan atau upaya-upaya yang hendak mempertentangkan antara agama dan negara. Termasuk diskursus yang menganggap aspirasi politik Islam sebagai politik untuk membentuk negara Islam. Padahal, aspirasi politik Islam adalah politik nilai sesuai dengan tujuan bernega. Aspirasi politik Islan bukan politik simbolik. Politik Islam adalah mencapai kesejahteraan rakyat untuk semua. Keadilan sosial yang hadir untuk semua warga negara. Toleransi dan saling menghargai sebagai sesama anak bangsa. Berdiri sma tinggi, dan duduk sama rendah. Perdamaian dan keharmonisan yang tidak bertentangan dengan demokrasi dan negara. Akhir kata, Dies Natalis HMI ke-74 menjadi momentum penting bagi kita untuk melakukan reformasi organisasi demi memperkuat komitmen dan dakwah k-Islaman dan ke-Indonesiaan HMI. Dirgahayu HMI. Yakin usaha Isnya Allah sampai. Penulis adalah Ketua Bidang Riset dan Teknologi PB HMI Periode 2018-2020.

Ketika Pengikut Melaknat Pemimpinnya

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Qura’an Surat Al Ahzab 66-68 mengingatkan akan penyesalan di hari akhir nanti untuk pengikut atau pendukung kepada pemimpin yang dipilih dan diabdikan. Pemimpin yang dielu-elukan, bahkan sampai dikultuskan. Sementara pemimpin hanya mengarahkan pada urusan duniawi semata. Akhirnya mereka bersama-sama masuk ke dalam neraka jahannam. Akibat kepatuhan yang membabi buta itu, wajah mereka dibolak-balikkan di neraka, lalu berkata "Alangkah baiknya jika kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul (QS 33:66). Dan juga mereka berkata “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar". (QS 33:67). Tunduk dan patuh pada jabatan, pangkat, kekayaan serta pengaruh penguasa tanpa landasan nilai moral dan spiritual, yang menyebabkan terjerumus dan mengikuti jalan sesat. Hal ini adalah akibat dari pemimpin dan pembesar yang mengajak, memprogram, serta mempropagandakan kesejahteraan material dan kebahagiaan yang semata bersifat profan. Mengabaikan kebenaran moral adakah konsekuensi dari kepemimpinan yang hanya mengumbar hawa nafsu. Kepemimpinan yang berorientasi pada sukses infrastruktur duniawi. Lalu zalim dan menindas gerakan spiritual keagamaan. Menindas gerakan yang selalu mengingatkan penguasa agar kekuasaan itu dijalankan dengan amanah dan jujur. Sayangnya penguasaha kalau diingatkan rakyatntya, maka penguasa dengan mudah menuduh rakyat dengan sebutan ekstrim dan radikal. Pada hari kiamat, saat siksa pedih di Neraka, para pengikut bukan saja menyesali atas sikap dirinya, tetapi juga mengutuk pemimpin yang dipuja-puja dan diikutinya dahulu. Memohon agar sipemimpin itu disiksa dengan berat dan berlipat (QS 33:68). Betapa dahsyat penyesalan dan sikap yang menyalahkan pengikut (follower) pada pemimpin (leader) di tengah penderitaan abadi keduanya di Neraka. Akibat selama di dunia terbiasa dan hobby membuat orang lain menderita. Kroni dan oligarkhi keserakahan dari kekuasaan yang dinikmati dan dibagi-bagi. Kenikmatan yang berefek pada kesengsaraan bersama . Bersama-sama memperolok-olok dan meminggirkan kebenaran agama dan para pengikutnya. Menjauh dari jalan Allah dan membenci risalah Nubuwah. Syari'ah lalu dimusuhi. Pengikutnya ditangkap-tangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara. Bahkan ada yang dibunuh tanpa diadili. Jihad ditakut-takuti sebagai perbuatan ekstrim dan intoleransi, fanatisme dihancurkan dan nilai moral diputar-balikkan. Melumpuhkan orang-orang beriman dengan bahasa toleransi dan modernisasi. Kemunafikan yang selalu dibudidayakan, dan kekafiran yang dilestarikan. Kebenaran agama menjadi musuh utama dari para penyelenggara negara. Bahasa-dan instilah-istilah agama, sebisa mungkin menjadi barang larang di masrakatat, kecuali yang berkiatan dengan pemasukan untuk negara seperti infaq, zakat dan sadaqah. Kehidupan dunia menjadi sangat jumawa, karena segala sarana tersedia. Kaya, kuasa, dan punya senjata dan hukum untuk menekan mereka yang melawan kekuasaan. Akibatnya, rakyat merasa tidak lagi mempunyai kekuatan apapun yang dapat memperdaya mereka. Maka, dibangun budaya berlomba mendekat Istana yang mampu diubah menjadi berhala. Tetapi semua itu ada batas masanya. Di depan ada ancaman dan siksa. Lalu para pengikut menjadi menyesal dan menyeru dengan ujaran benci dan murka. Dalam putus asa dan tak berdaya, itu para pengikut hanya hanya mampu berkata ,"Robbana aatihim dhi'faini minal adzabi wal 'anhum la'nan kabiiro". Artinya, “wahai Tuhan kami, timpakanlah mereka dengan adzab dua kali lipat, dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar”! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Kudeta Demokrat, Ada Luhut di Belakang Moeldoko?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Pertempuran jelang Pilpres 2024 mulai menghangat. Sejumlah tokoh nasional mulai ancang-ancang untuk menjadi kontestan dalam pergelaran 5 tahunan tersebut. Setelah ramai “kampanye” Erick Tohir, Menteri BUMN, melalui sejumlah media luar, ruang terpasang di sejumlah daerah di Indonesia, terkini kabarnya Moeldoko juga menyusul bakal ikut kontestasi Pilpres 2024. Yang dilakukannya tidak main-main. Moeldoko dituding telah siapkan “kudeta” menjungkalkan Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) dari kursi Ketum Partai Demokrat. Dengan kata lain, Demokrat dilirik Moeldoko menjadi “kendaraannya” untuk maju Pilpres 2024. Meski Partai Demokrat hanya mengantungi suara lebih-kurang 8 persen pada Pemilu 2019 lalu, Demokrat yang kini menjadi “oposisi tanggung itu”, dipandang berpotensi mengirim capres pada Pilpres 2024. Selain dua nama tokoh nasional di atas, nama Anies Baswedan, Sri Mulyani, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, AHY, dan bahkan nama Mensos Tri Rismaharini, muncul juga di tengah masyarakat sebagai kandidat capres dan cawapres terkini. Di belakang mereka, masih ada nama Capres dan Cawapres 2019 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harus diakui, meski gelaran Pilpres 2024 masih berselang lebih-kurang 3 tahun lagi, situasi politik mulai memanas. “Konflik” Demokrat dengan Moeldoko diyakini akan semakin panas. Mungkin saja akan berimbas ke parpol-parpol lain. Jika para gajah sudah mulai bertarung seperti sekarang, siapa yang akan menjadi korban? Apakah pertarungan para gajah tersebut akan menguntungkan atau demi kepentingan rakyat? Hanya sang waktu yang bisa memberikan jawaban! Terungkapnya “rencana kudeta” Moeldoko, Kepala Staf Presiden (KSP), itu disampaikan AHY sendiri dalam jumpa pers sebelumnya. AHY memang tak menyebutkan nama, karena mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan menunggu proses konfirmasi. Pasca konferensi pers AHY, berkembang spekulasi, siapa sosok pejabat pemerintahan yang dimaksud AHY ini. Selasa malam (2/2/2021), KSP Moeldoko sendiri memberikan penjelasan langsung yang bisa disaksikan oleh rakyat. “Respon beliau sudah terprediksi. Nervous, gugup, dilihat dari gerakan tangan dan beberapa kali KSP Moeldoko menyebut gua gue gue,” ungkap Kepala Badan Komunikasi DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra. Moeldoko menganggap dirinya dikaitkan dalam gerakan ini, karena berdasarkan foto-foto belaka. Padahal, faktanya tidak demikian. “Untuk itu, atas nama Partai Demokrat, saya perlu memberikan tanggapan atas pernyataan KSP Moeldoko,” lanjutnya. Pertama, pertemuan antara KSP Moeldoko dan beberapa kader Demokrat, tidak dilakukan di rumah, melainkan di luar rumah. Kedua, kedatangan kader Demokrat dari daerah ke Jakarta, itu dilakukan secara terstruktur dan sistematis oleh pelaku gerakan. Menurut Herzaky, ada yang mengundang, membiayai tiket pesawat, menjemput di bandara, membiayai penginapan, termasuk konsumsi. Ketiga, Jika Moeldoko mengatakan konteks pembicaraan nggak dimengerti, sungguh sulit dipahami.” Berdasarkan keterangan yang dimiliki Demokrat, pembahasan utama yang disampaikan pelaku gerakan dalam pertemuan itu adalah rencana mengusung KSP Moeldoko sebagai calon Presiden 2024. “Untuk memuluskan rencana tersebut, para pelaku gerakan mempersiapkan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat, melalui proses Kongres Luar Biasa (KLB),” lanjut Herzaky Mahendra. Keempat, proses pengiriman surat Ketum Demokrat AHY kepada Presiden Joko Widodo merupakan buah dari komitmen dan kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk saling menjaga hubungan baik dan komunikasi yang lancar. Komitmen tersebut dilakukan juga untuk menghentikan tindakan orang-orang yang gemar mencatut dan mengatasnamakan Presiden, maupun nama Ketum Partai Demokrat, dengan tujuan yang tidak baik dan mengadu domba. Mereka, kata Herzaky, berencana menjemput KSP Moeldoko sebagaimana menjemput SBY pada 2004 sebagai calon presiden. Lalu ada pelaku gerakan bernama Yus Sudarso menyatakan, “apa salahnya kami melakukan ini? Salahnya adalah upaya pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat yang sah melalui Kongres Luar Biasa,” tegas Herzaky Mahendra. Dulu, hal itu tidak ada. Bapak SBY duduk sebagai Dewan Pembina,” lanjutnya. Jadi, kalau KSP Moeldoko mau menjadi Capres melalui Partai Demokrat, ya bikin KTA dulu sebagai kader Partai Demokrat. Jangan tiba-tiba ingin menjadi Ketua Umum, apalagi melalui KLB. Itu saja sudah salah besar. Itu jelas inkonstitusional. Pak Moeldoko itu siapa? Pak Moeldoko itu KSP, stafnya Presiden. Tugasnya sekarang membantu Presiden menyelesaikan pandemi dan krisis ekonomi. “Kasihan rakyat, lagi pandemi kok malah memikirkan pencapresan. Kasihan Presiden yang membutuhkan bantuan untuk menangani krisis pandemi dan ekonomi,” ujarnya. Sebut Luhut Dalam tulisan sebelumnya, saya menulis, sebagai mantan pamen berpangkat Mayor yang juga anak presiden, AHY pasti sudah tahu siapa “dalang kudeta” yang dimaksud itu. Tak mungkin seorang Moeldoko bisa “bermain” sendiri tanpa dukungan “Jenderal Pebisnis”. Ini adalah kontestasi untuk meraup semua parpol di bawah kendali Jenderal Pebisnis tadi. Dia seser dulu parpol-parpol yang kecil-kecil, sambil ambil-alih PDIP dan Golkar. Demokrat dia incar karena sudah lemah betul di bawah kendali AHY. Cuma Gerindra saja nanti yang “setengah dilepas” sang Jenderal Pebisnis tadi. Ketika semua parpol di Indonesia sudah di bawah kendalinya, dia bebas menentukan siapa “RI-1 dan RI-2” pilihannya. Jadi, kalau dikecilkan skupnya hanya soal menjegal Anies Baswedan, bukan tipenya sang Jenderal Pebisnis itu. Yang “main” sekarang itu ya dia ini. Kalau cuma playing victim dan skenario SBY ya kurang cantik mainnya. Padahal ini bukan permainan SBY. Kalau ini permainan SBY, rasanya terlalu kasar dan arogan. Saya yakin, SBY mainnya akan lebih cantik. Siapa Jenderal Pebisnis yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya itu? Sekarang mulai terbuka. Sebelumnya, Moeldoko menyebut nama Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Moeldoko mengatakan bahwa Luhut juga pernah bertemu dengan sejumlah kader Demokrat, sama seperti dirinya. Menanggapi hal itu, filsuf politik Rocky Gerung memaparkan, terdapat dua kemungkinan yang terjadi. “Ya dua soal sebetulnya. Ingin nyari patron supaya bebannya enggak terlalu berat, maka sebagian dilimpahkan kepada Pak Luhut,” katanya di kanal YouTube Roger Official seperti dikutip Pikiranrakyat-Depok.com pada Kamis, 4 Februari 2021. Akan tetapi Roger tidak melihat Luhut melibatkan diri di dalam proyek kudeta Partai Demokrat. “Mungkin Pak Luhut punya pengetahuan tentang apa yang terjadi di internal Partai Demokrat,” ujar dia Tetapi ini, AHY langsung bikin konferensi pers. Artinya, ada skala persoalan yang luar biasa besar itu,” lanjut Roger yang akademisi itu. Roger memperkirakan saat ini sangat mungkin 10 persen kader Partai Demokrat di tingkat DPC sudah dapat sejumlah uang. Jadi, mungkin problem-problem itu yang dikhawatirkan oleh Partai Demokrat, karena itu dibeberkan. Menuru Roger, Moeldoko berupaya untuk mencari pelindung. Tetapi bahwa hal kurang tepat. “Itu peristiwa yang lain dengan maksud yang lain. Karena itu jangan terlalu banyak cari alibi, Pak Moeldoko. Nanti kejebak. Sementara Luhut itu dijadikan jembatan untuk memberi tahu pada Presiden Joko Widodo bahwa tidak sedang terjadi apa-apa. Tidak hanya Moeldoko. Konon, Luhut juga pernah didatangi mantan Bendahara DPP Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang sama-sama ingin Kudeta Demokrat. Presiden Jokowi sendiri, kabarnya, ngamuk setelah baca surat AHY yang dikirimkan kepadanya. Ia memanggil “Kakak Pembina”. Jokowi marah habis-habisan. “Segera beresin semua kalau nggak mau dicopot”, begitu kata Jokowi saking marahnya, mengutip akun Twitter@DalamIstana. “Kakak Pembina” yang dimaksud selama ini tidak lain adalah KSP Moeldoko. Apakah ini sinyal bahwa istana pecah? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pemilu Serentak 2024, Berapa Lagi Mau Terbunuh?

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Pertanyaan aneh tetapi rasional berdasarkan pengalaman empirik. Pemilu 2019 telah tewas lebih dari 800-an petugas secara misterius tanpa penyelidikan seksama. Ditambah saat aksi unjuk rasa 21-22 Mei. Saat itu Pemilu digabung antara Pemilihan Legislatif (Pileg)dan Pemilihan Presiden (Pilpres) dalam satu hari. Nah kini ada beberapa partai politik bersikukuh dan ngotot untuk menyelenggarakan Pemilu serentak. Bukan saja Pileg dengan Pilpres yang disatukan. Tetapi juga bersama dengan Pilkada 34 Provinsi dan 416 Kabupeten serta 98 Kota. Jadi, total Pilkada pada 2024 nanti ada 558 daerah. Terbayang bagaimana tingkat kesulitan dan "kelelahan" yang bakal dialami para penyelenggara. Belum lagi soal kecurangan. Waktu 2019 lalu, rakyat perhatian tersedot ke Pemilu Pilpres sehingga perhatian dan pengawasan pada Pileg menjadi kurang. Bahkan boleh dibilang tidak ada yang peduli dengan Pilkada. Sehingga abai terhadap kecurangan yang mungkin saja masif pada Pileg. Bukan rahasia lagi jika money politics marak terjadi pada setiap pelaksanaan Pileg. Karena hampir semua pasang mata masyarakat tertutup oleh magnet kompetisi dua sampai tiga pasang kontestan Pilpres. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilpres selalu saja yang paling menarik perhatian masyarakat. Kenyataan ini membuat ruang kecuarangan para Pelig dan Pilkada menjadi sangat masif. Partai Politik memang pragmatis dan "koor" dengan suara mayoritas setelah Presiden sebagai dirijen melalui Kepala Staf Kantor Presidenan (KSP) Moeldoko memberi arah kecenderungan kepada Pilkada 2024. Tak peduli dengan garuk-garuk Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bingung dan bersiap-siap dengan risiko yang lebih parah dari Pemilu tahun 2019. Ketua KPU pasti sudah mulai memperkirakan berapa banyak jumlah anak buahnya yang menjadi Kalompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal karena kelelahan. Petugas yang terbunuh oleh "kelelahan" kelak mungkin lebih banyak lagi. Lalu siapa yang harus tanggung jawab? Apakah bakal didiamkan begitu saja, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Karenanya DPR RI dalam memutuskan bahwa Pilkada serentak harus tetap dilaksanakan tahun 2024, sebaiknya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut. Pertama, evaluasi total penyelenggaraan Pemilu gabungan Pileg dan Pilpres tahun 2019, dan harus ada model pelaksanaan penyelenggaraan yang baru agar lebih terjamin keamanan khususnya para petugas. Kedua, penyelidikan ulang kasus terbunuh akibat "kelelahan". Meninggalnya para petugas Pemilu karena peristiwa '"pelanggaran HAM" ini dinilai janggal. Baru terjadi dalam sejarah Pemilu di negara Republik Indonesia. Belum pernah terjada pada pemuli-pemuli sebelumnya. Anehnya, pemerintah dan KPU tidak melakukan penyelidikan khusus. Ketiga, baik KPK, Pemilu Watch, serta aparat lebih seksama mempersiapkan pengawasan Pemilu serentak "aneh" dan "dipaksakan" tahun 2024 tersebut. Karena politik uang, kecurangan, serta "virus sabotase” sangat mungkin terjadi di tengah kebingungan KPU dan penyelenggara Pemilu Daerah. Konsekwensinya pengawasan tidak boleh diperlonggar. Perlu penegasan pula bahwa Pileg, Pilpres, dan Pilkada yang dilakukan serentak tahun 2024 sebenarnya bukanlah pelaksanaan dari asas demokrasi (kedaulatan rakyat). Melainkan kondisi ini sebagai sebuah praktek dari mobokrasi (kedaulatan gerombolan). Bagaimana tidak, pemaksaan kehendak politik (political violence) lebih dikedepankan daripada kebijakan politik (political wisdom). Partai Politik berjuang melalui upaya politik dengan "memakan" kelompok politik yang lemah. Bila perlu dengan cara-cara pengeroyokan sekalipun. Merujuk pada Pemilu 2019 yang lalu, wajar bila timbul pertanyaan serius yang muncul dalam benak masyarakat, apakah Pemilu 2024 akan berjalan dengan jujur, adil, dan aman? Berapa banyak lagi anggota KPPS dan Pengawasan yang akan terbunuh akibat kelelahan? Sekibat partai-partai politik yang hanya memikirkan kepentingan partainya sendiri ? Paradigma politik kontemporer yang sama sekali tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah Presiden Jokowi Dikudeta?

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - DI tengah ramainya persekongkolan politik untuk mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono oleh Jend TNI (Purn) Moeldoko Cs, terbesit dalam benak saya tentang kemungkinan kudeta terhadap Presiden Joko Widodo. Apakah itu mungkin terjadi ? Kalau pertanyaannya seperti judul tulisan ini, maka kemungkinannya bisa saja terjadi. Apalagi beberapa hari lalu, di Myanmar juga telah terjadi kudeta militer atas penguasa sipil di negeri pagoda itu. Kanselir Negara Aung Saan Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap. Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing diberi wewenang penuh memegang kendali militer oleh Penjabat Presiden Myint Swe. Amerika Serikat yang selama ini menjadi pendukung Suu Kyi kecewa atas kudeta ini. Sebaliknya warga muslim Rohingnya yang diusir rezim Aung San Suu Kyi, menyambut gembira peristiwa kudeta tersebut. Berita mengenai penangkapan Suu Kyi itu tersebar dengan cepat di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh, di mana sekitar sejuta pengungsi Rohingya tinggal. "Dia penyebab semua penderitaan kami," kata tokoh masyarakat Farid Ullah seperti dilansir kantor berita AFP dari Kutupalong -- kamp pengungsi terbesar di dunia. Di era Orde Baru, setiap gejolak politik yang terjadi di negara tetangga Filipina selalu menjadi bahan analisa yang menarik untuk dikaji. Ini karena Presiden Filipina waktu itu Ferdinand Marcos dianggap memiliki kemiripan dengan Presiden Soeharto. Sama dengan Soeharto, Marcos merupakan Presiden terlama di Filipina. Dia menjadi Presiden Filipina sejak tàhun 1965 dan berakhir pada tàhun 1986 setelah digulingkan melalui kekuatan People Power. Nah ketika Marcos digulingkan oleh Corazon Aquino, seorang politisi wanita Filipina tàhun 1986, secara tidak langsung peristiwa politik tersebut telah menginspirasi kalangan sipil di Indonesia. Gerakan People Power di Filipina waktu itu telah membangkitkan semangat warga sipil di Tanah Air yang kemudian akhirnya terwujud dalam Gerakan Reformasi yang terjadi tàhun 1998. Seperti kita ketahui, pada bulan Mei 1998, Soeharto akhirnya bisa ditumbangkan setelah menjadi presiden selama 32 tàhun. Banyak analis politik menyebutkan, Soeharto waktu itu lengser dari kursi presiden bukan sepenuhnya sebagai gerakan people power seperti di Filipina. Proses suksesi di Indonesia waktu itu kental dengan gerakan politik yang awalnya dipicu oleh mundurnya sejumlah menteri kepercayaan Soeharto. Sejarah telah mencatat, Ginandjar Kartasasmita merupakan sosok menteri yang memelopori gerakan politik di jajaran Kabinet Pembangunan yang melawan kekuasaan Soeharto. Kendati sebelumnya dia dikenal dekat dengan Soeharto, tapi toh Ginandjar bersama sejumlah menteri lainnya memilih melawan Soeharto dengan cara ramai-ramai mengundurkan diri dari kabinet. Setelah itu, bola politik bergulir ke lembaga MPR-RI. Ketika itu Ketua MPR Harmoko yang sebelumnya dikenal sebagai loyalis Soeharto saat puluhan tahun menjadi Menteri Penerangan , akhirnya juga ikut mencabut mandat yang telah diberikan MPR kepada Soeharto. Jadi, dengan kata lain, lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan bukan sepenuhnya karena gelombang aksi mahasiswa. Aksi demo mahasiswa hanya sekedar faktor yang ikut memanaskan situasi politik waktu itu. *Pergantian Panglima TNI* Pertanyaannya, apakah pergantian presiden sekarang bisa dilakukan melalui proses politik seperti yang terjadi tàhun 1998 ? Secara de facto, saat ini sulit mengharapkan pergantian presiden melalui gerakan atau proses politik. Sebab saat ini hampir semua kekuatan parpol sudah dapat dikendalikan rezim oligarki. Memang peran Presiden Jokowi tidak seperti Soeharto yang waktu itu mampu mengontrol semua kekuatan politik yang paling penting yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar (ABG). Namun, kini Presiden Jokowi dikendalikan oleh kekuatan pemilik modal (konglomerat) dan oligarki Parpol. PDIP sebagai partai penguasa, selain mampu mengatur Presiden Jokowi juga bisa "mengatur" suara parpol lain di parlemen kecuali PKS. Dalam contoh sederhana, betapapun besarnya keinginan Presiden Jokowi untuk mengganti Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan berbarengan dengan reshuffle menteri beberapa waktu lalu, namun kalau Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri tidak setuju, maka keinginan Jokowi pun kandas. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, Jokowi telah mengajukan beberapa kali usulan untuk mengganti Kepala BIN sebab Budi Gunawan dianggap sudah cukup lama menjabat sebagai Kepala BIN yakni sejak tàhun 2016. "Namun usulan Jokowi tersebut ditolak Megawati. Padahal Jokowi akan memberi tempat jabatan menteri di kabinet kepada Budi Gunawan. Akhirnya, dalam reshuffle kabinet beberapa waktu lalu, Kepala BIN tidak jadi diganti," kata sebuah sumber. Lalu kelompok mana yang potensial untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Jokowi? Saya mengamati, kelompok yang sangat potensial untuk melakukan itu adalah jajaran militer. Sedangkan Polisi sudah berada di bawah kendali langsung presiden setelah mendapat anggaran jumbo dari APBN. Selama tàhun 2020 saja, Polri menikmati suntikan dana APBN sebesar Rp 104,7 Trilyun. Dengan demikian, Polri telah menjadi anak emas pasca reformasi, khususnya dengan alokasi anggaran yang besar. Di atas kertas, kecil kemungkinannya pihak kepolisian melakukan kudeta. Justru Polri yang akan mengamankan posisi Presiden Jokowi. Bagaimana dengan kelompok militer TNI ? Meskipun secara institusi lembaga TNI sudah bisa dikendalikan presiden sebagai Panglima Tertinggi, namun di lapisan bawah masih muncul riak-riak kecil dan gesekan akibat adanya kecemburuan yang muaranya bersumber pada perbedaan sumber anggaran antara TNI dan Polri. Kenyataan ini, antara lain misalnya, tercermin dari kasus bentrokan antara kelompok TNI dan polisi di Kawasan Ciracas Jakarta Timur beberapa waktu lalu. Memang masih patut dipertanyakan apakah sebagian prajurit atau perwira TNI yang kecewa itu, akan mampu melakukan kudeta atau tidak. Yang jelas kalau melihat peristiwa kudeta di Myanmar, yang melakukan kudeta adalah pemimpin tertinggi militernya. Momen kudeta militer di Indonesia bisa saja terjadi pada saat proses pergantian Panglima TNI. Seperti diketahui, tàhun 2021 ini Panglima TNI Jenderal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun. Pada tàhun 2014 atau saat pertama Jokowi menjadi presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla, tradisi pemilihan Panglima TNI dari tiga angkatan secara bergilir mulai dirombak. Pada periode pertama sebagai Presiden, Jokowi tidak mengajukan nama Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) sebagai pengganti Jenderal Moeldoko dari unsur Angkatan Darat, sesuai dengan tradisi bergilir pengangkatan panglima sebelumnya, tetapi mengangkat KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Gatot Nurmantyo dilantik sebagai Panglima TNI pada 8 Juli 2015. Namun Gatot menjadi Panglima TNI hanya 2,5 tahun, kemudian digantikan oleh Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menjabat KSAU. Kali ini, Jokowi menerapkan kembali tradisi bergiliran dalam pengangkatan Panglima TNI. Penunjukan KSAU Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI. Pasal 13 ayat 4 menyebutkan, Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan. Marsekal Hadi Tjahjanto secara resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai Panglima TNI pad 8 Desember 2017. Sebenarnya, Presiden Jokowi juga melakukan penataan organisasi TNI bersamaan dengan penyusunan Kabinet Indonesia Maju 2019–2024. Melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, yang ditandatangani 18 Oktober 2019, ditetapkan satu posisi baru, yakni Wakil Panglima TNI yang keberadaannya membantu Panglima TNI untuk urusan teknis organisasi. Meski jabatan wakil panglima kembali dihidupkan setelah dihapus tahun 2000, tetapi hingga saat ini belum ada jenderal bintang empat yang ditunjuk mengisi posisi tersebut. Tiga kepala staf dari tiap matra, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara berpotensi menjadi wakil panglima di organisasi TNI itu. Menurut sejumlah sumber di bidang Polkam, posisi Wakil Panglima TNI sebenarnya sudah ditawarkan kepada KSAD Jenderal TNI Andhika Perkasa, namun dia menolak jabatan tersebut. Andhika lebih memilih sebagai KSAD karena dianggap lebih penting dan strategis daripada posisi Wakil Panglima TNI. "Jenderal Andhika Perkasa akan lebih memilih jabatan sebagai Panglima TNI ketimbang Wakil Panglima TNI," ujar sebuah sumber di bidang Polkam. Nah, akankah Presiden Jokowi kembali akan mengesampingkan KSAL dan lebih memilih KSAD dalam menunjuk Panglima TNI yang baru nanti ? Jika Presiden Jokowi mau konsisten dengan tradisi giliran dalam penentuan jabatan Panglima TNI, maka Panglima TNI mendatang seharusnya berasal dari angakatan laut, yakni KSAL Laksamana TNI Yudo Margono. Kita lihat saja nanti apakah Panglima TNI baru akan diberikan lagi kepada KSAD atau KSAL. Yang jelas, jika pergantian Panglima TNI ini tidak menimbang dan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada terutama keadaan yang dialami para prajurit TNI, akan bisa menimbulkan gejolak keamanan. Dan bukan mustahil akan mendorong terjadinya kudeta militer. Wallohu a'lam bhisawab. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pemilu Serentak 2024, Waraskah Itu Pak Presiden?

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Pemilu dan pilkada memang bisa ditunda. Bisa juga dipercepat, dan diakali dengan seribu satu akal udang dan bulus. Mati tidak. Mati itu pasti. Dia akan mendatangi siapapun sesuai tabiatnya, yang tak tertebak mahluk. Tak ada seorangpun, termasuk Presiden, yang sejauh ini terlihat menolak menyelenggarakan pilkada pada tahun 2022, bisa lari dari kedatangannya. Sebagai mahluk, presiden dengan semua kebesaran artifisialnya, tak dibekali dengan kemampuan untuk menghindari kematian. Nafas akan selalu begitu, menemui akhir yang pasti. Nafas akan berhenti pada waktunya. Selalu begitu dalam rahasianya, kematian mengirim sebab untuk mendahuluinya. Kematian Yang Brutal Tidak seperti pemilu dan pilkada yang bisa diprediksi awal dan akhirnya, mati tidak? Tidak seperti pemilu dan pilkada, mati tak bisa diakali. Kematian punya tabiat sendiri, yang untuk alasan apapun, oleh siapapun, tidak dapat disetarakan dengan pemilu. Mati itu pasti dalam semua aspeknya. Pemilu tidak. Ingat, Pemilu itu, apapun jenisnya, bisa diakali pada semua sudutnya dari awal hingga akhir. Akhir yang menyenangkan untuk siapa? Dan akhir yang pahit untuk siapa? Selalu mudah dikerjakan dan disajikan dalam pemilu. Siapa menang dan siapa kalah, tersaji menjadi hal biasa dalam pemilu dimanapun itu. Termasuk dunia politik sedemokratis Amerika sekalipun. Itulah tabiat bawaan pemilu yang disajikan sejarah. Sejarah sehitam itu, terekam otentik sejak pemilihan konsul di Romawi kuno dan beberapa presiden Amerika. Pemilihan konsul di Romawi kuno tahun 68 setelah masehi terekam oleh Machivelli dengan jual beli suara. Sejarah Romawi itu, dan sejarah pemilu Amerika adalah menjadi sejarah tentang mainan orang berduit. Kaum aristokrat Romawi kuno merupakan blok khusus pada strata patrician inilah yang mengendaslikan pemilihan konsul. Romawi yang memulai tradisi republik, yang dengan itu pemilu diadakan. Memberi sumbangan otentik tentang larangan jual-beli suara. Larangan itu teridentifikasi pada Lex Vigula. Lex ini diprakarsai pembentukannya oleh Vigulus, senator top yang dipercaya Cicero. Markus Tulius Cicero, yang kala itu ikut kontestasi Konsul, mendesaknya membuat lex itu. Cicero cukup yakin dia akan terlempar, bila kelakuan beli-membeli suara yang telah melembaga, yang dilakukan para aristokrat tak dihentikan. Level negarawan yang dimilikinya, diyakini tidak bisa membantunya. Terlalu banyak pemilih yang tidak cukup cerdas. Terlalu banyak pemilih yang tak dapat diandalkan dan diminta mengetahui risiko salah pilih orang. Cicero tahu tanpa UU itu, jabatan Konsul akan jatuh dan jatuh lagi pada kelompok aristokrat, oligarki yang sepanjang sejarah selalu membinasakan itu. Lex vigula memang berhasil membentengi Cicero. Dia menang dan jadilah konsul pada waktunya. Bagaimana dengan Indonesia? Hukum larangan beli-membeli yang diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada hanya memiliki daya ledak setara meriam bambu. Bunyinya doang yang gede. Efeknya? Nyamuk pun tak bisa sempoyongan, apalagi mati. Lalu Pemilu yang berintegritas? Itulah omong kosong terbesar dalam politik dan hukum pemilu Indonesia. Pemilu ya uang. Beli ini dan itu dalam nada curang dan sejenisnya dengan segala pembenarannya. Bagaimana dengan pemilu 2019? Itu pemilu pailing brutal, jorok, primitf dan bar-bar. Bahkan lebih jorok, primitif dan brutal dibandingkan dengan pemilu-pemilu otoritarian sepanjang orde baru. Pemilu Presiden, DPR, DPD dan DPRD 2019 tertulis jelas. Pemilu itu tertulis sebagai pemilu menjijikan, dengan duka dan pilu pada dimensi praktisnya. Itulah kenyataan sejarah tata negara dan politik Indonesia dibawah Presiden Jokowi. Lebih dari 800 orang Kelompok Petugas Pemungutan Suara (KPPS) mati. Mereka mati sesaat setelah mengadakan penghitungan suara. Ini otentik dengan ketelanjangannya yang utuh. Pemilu itu juga telanjang untuk ketidakberesan dan ketidaknetralan aparatur negara. Jorok, jijik, brutal, dan sejenisnya memang menjadi penanda pemilu 2019 itu. Entah ambisi murahan khas orang-orang tak beradab, yang tak punya malu, yang menyediakan dirinya menjadi jongos oligarki atau hal lainnya. Kematian tragis KPPS itu berlalu begitu saja. Tak ada investigasi terkordinir dan bertanggung jawab dari pemerintahan Jokowi. Bahkan belasungkawapun, kalau tak salah, tak terucap dari pemerintahan Jokowi. Tragis dan menyedihkan. Main kasar bermantel konstitusionalisme dalam pemilu 2019 itu. Hebat politik konstitutionalisme menerima hasil akhirnya sebagai legal. Konstitusionalisme memang begitu, selalu kalah dan menyerahkan nasibnya pada pemenang. Itu kelemahan terbesar konstitusionalisme. Postur kehidupan tata negara dan politik yang dihasilkan sesudah itu, jelas. Gersang dan main suka-suka, kasar dan habis-habisan terlihat menjadi epistemologi politik sesudah itu. Kearifan kelembagaan yang secara diam-diam diminta oleh demokrasi konstitusional, kini terlihat mengering sempurna. Corak politik berkelas rendahan ini, beralasan diproyeksikan sebagai hasil akhir pemilu “mematikan lagi” dan “brutal lagi” malah “lebih brutal” dan lebih menginjak-injak harkat dan martabat orang pada pemilu 2024 yang diserentakan nanti. Empat kotak saja telah mematikan begitu banyak petugas KPPS, apalagi lima kotak. Masih Waraskah? Hukum konstitusi tak lain merupakan kristalisasi murni ambisi dan kalkulasi partisan yang saling bersaing. Mengerti hukum konstitusi, termasuk yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) harus dimengerti juga dalam konteks itu. Hukum konstitusi tentang pemilu yang lahir dari putusan MK, entah nomor berapa itu, jelas mewakili perspektif ini. Bagaimana bisa menandai pandangan Bang (almarhum) Slamet Effendy Jusuf (semoga Allah Yang Maha Rahman selalu merahmatinya di alam sana), sebagai pemilu serentak? Bagaimana skema gagasan yang diperagakan Bang Slamet dimengerti sebagai pemilu lima kotak? Skema itu hanya menegaskan pejabat-pejabat untuk jabatan tunggal (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), harus dipilih. DPR, DPD dan DPRD juga harus dipilih. Tidak ada yang diangkat. Itu saja. Itu substantial intenttion dari gagasan yang diperagakan Bang Slamet. Tidak lebih dari itu. Hukum konstitutsi final saat ini secara kategoris menempatkan pilkada sebagai bukan pemilu. Memang saat ini sengketa pilkada diperiksa, diadili dan diputus oleh MK. Tetapi itu sepenuhnya disebabkan peradilan khusus yang diperintahkan pembentukannya oleh UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota belum dipenuhi. Kecuali mau menyebut hukum konstitusi tentang pemilu saat ini sebagai hukum suka-suka, seenaknya saja, asal saja, penggabungan pemilu presiden dan legislatif di level pusat dengan pilkada, jelas tidak waras. Sekali lagi itu pelaksanaan demokrasi yang tidak waras. Kalau akhirnya kedua jenis pemilihan ini disatukan, dan diserentakan penyelenggaraannya pada pemilu 2024, maka sempurnalah sifat “suka-suka” pada hukum pemilu. MK jelas punya andil besar atas lahirnya hukum suka-suka ini. Ahli hukum bukan jongos, bukan juga penjilat, entah apa namanya, memang bisa menemukan argumentasi penyatuan ini. Sekali lagi bisa. Ahli hukum yang bukan jongos dan babu politik bisa saja beragumen pemilu dan pilkada sebagai dua peristiwa hukum, yang secara konstitusional disifatkan sebagai dua hal hukum berbeda. Argumentasi justikatif itu tidak akan dapat dilihat lain, selain sekadar memoles kedangkalan penalaran dan inkonsistensi dari lembaga yang namanya MK. Pak Presiden, dengan segala hormat, saya sarankan abaikan putusan MK itu. Putusan itu tidak logis. Kalau kontraksi politik membayangi Pak Presiden sehingga harus diikuti, maka waras sekali kalau pelaksanaannya dipisahkan. Karena memang harus dipisahkan. Serentak pada satu waktu untuk pemilu Presiden, DPR dan DPD. Dan serentak pada waktu yang lain untuk pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Provinsi, kabupaten dan Kota. Itu cara waras merawat kehebatan bangsa, yang kian mengering, dan mencekam hari demi hari ini. Menyerentakan pemilu dan pemilihan kepala daerah, termasuk DPR provinsi, kabupaten dan kota bukan takdir konstitusi. Juga bukan takdir republik. Republik hanya punya takdir jabatan-jabatan itu harus diisi dengan cara dipilih. Mereka dipilih oleh rakyat. Republik ini menakdirkan mereka sebagai sumber kekuasaan. Itu saja. Tidak lebih. Jadilah orang besar. Orang besar menandai dirinya dengan kualitas dan kapasitas mengenal yang tak dikenal, dengan citarasa arif yang tak terjangkau politisi kacangan. Jadilah orang besar yang mampu membalut nafas, fikiran dan tindakannya dengan cita rasa menahan diri yang tak biasa. Konstitusi tak selalu indah. Tetapi bisa sangat indah dan menjadi kekuataan yang di Amerika ditunjuk sebagai penyumbang kejayaan mereka, karena dua hal. Putusan hakim dan keputusan pemimpin politik, khususnya Presiden. Presiden-presiden hebat memandu kehebatannya dengan kearifan. Mereka tahu kearifan pemimpin politik memiliki tempat istimewa dalam demokrasi. George Washington, Thomas Jefferson, Ulisius Grant, dan lainnya, memenuhi kualifikasi itu. Mereka membuat konstitusi dan demokrasi terlihat hebat, dalam sifatnya sebagai modal politik tak tergantikan. Toleransi terhadap sikap lembaga lain, itu juga yang diminita demokrasi konstitusional menghidupkan mimpi-mimpi konstitusi. Golkar, Nadem, PKS dan Demokrat, untuk alasan separtisan apapun, tidak dapat dibilang menyimpan amibis lain atas gagasan agar pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan pada tahun 2022 ini. Waras mereka. Ada sisi kemanusiaan yang timbangannya begitu berat dalam gagasan itu. Partai-partai itu terasa tidak sedang main kasar, apalagi main habis-habisan sampai menabrak, menghancurkan prinsip-prinsip konstitusi. Sama sekali tidak. Nelar mereka waras. Terlihat nyata citarasa penghormatan kemuliaan manusia dalam gagasan itu. Demokrasi itu ada karena ambisi memuliakan manusia, bukan mematikan melalui politik tak yang waras dan jorok. Jangan ada lagi KPPS yang mati. Tetapi KPPS akan mati lagi, bila pemilu dan pemilihan kepala daerah diserentakan pada waktu yang bersamaan. Menghindarinya akan terasa seperti kerbau menangkap angin disenja hari. Mimpi Golkar, Nasdem, PKS dan Demokrat itu masuk akal. Ada cahaya terang kemanusiaan yang dijanjikan akan menyinari jalannya bangsa ini. Lupakanlah sejenak ambisi partisan. Sejukkanlah bangsa ini sesejuk embun pagi. Waras memang menyambut gagasan mereka. Renungkanlah itu Pak Presiden agar terlihat waras. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.