Pak Hakim, Jangan Hukum Syahganda dan Jumhur

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum (Bagian Pertama)

Ternate FNN - Tim penasihat hukum Syahganda yang berjumlah 25 orang terlihat skeptis terhadap persidangan Syahganda. Sikap itu diperlihatkan, pada satu sidang dengan walk out. Skeptisisme itu terlihat juga pada persidangan Jumhur Hidayat. Sama, ada keraguan terhadap bobot kejujuran hakim yang menyidangkan perkara mereka.

Kalau kasus yang dipaksankan kepada Sahghanda, telah memasuki pemeriksaan bukti. Ini berbeda dengan peradilan untuk kasus yang dipaksakan kepada Jumhur. Sidang perkara Jumhur baru sampai tahap putusan sela. Tetapi apapun itu, skeptisisme telah melilit kencang tubuh kejujuran peradilan.

Kemuliaan Artifisial

“Yang Mulia”, itu panggilan untuk hakim di peradilan manapun. Sebutan itu harus duiberikan kepada mereka saat para hakim yang memeriksa dan mengadili sebuah perkara, apapun itu. Hakim, entah berkelakuan baik, berpengetahuan top atau tidak, harus dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia” kala mereka memeriksa dan mengadili perkara. Itu absolut.

Sebegitu mulianya hakim, sehingga penghormatan kepada mereka diberikan sejak hakim itu memasuki ruang sidang. Bahkan hingga meninggalkan ruang sidang itu. Berdiri dan bersikap hormat, itu sikap yang diharuskan oleh adab peradilan kepada siapapun kala hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang.

Begitu peradaban hukum memuliakan para ahli yang putus perkara ini. Sebutan mewah itu disodorkan peradaban hukum, karena “adil” bekerja dan menemukan bentuk kongkrit melalui putusan mereka. Peradaban hukum tak membekali mereka dengan senjata dan pasukan. Tidak.

Peradaban hukum hanya membekali mereka dengan “independensi.” Itu benteng dan senjata mereka yang tercanggih. Peradaban hukum betul-betul memandang mereka sebagai hal penting ,yang tidak terkira. Contemp court, untuk tujuan itu, disodorkan untuk mengaja kehormatan mereka.

Tetapi semulia-mulianya hakim didunia ini, pasti tak lebih mulia dari wali Allah Subhanahu Wata’ala. Kemulian hakim diberi oleh hukum, sedangkan kemuliaan para wali Allah datang dengan sendirinya. Wali malah menyembunyikan kemuliaannya dihadapan manusia. Kemuliaan yang didemonstrasikan, sejatinya bukan kemuliaan. Itu sebabnya wali tak mencari dan meminta orang memuliakan mereka. Sama sekali tidak. Hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang tahu kewalian mereka. Top markotop.

Hakim pasti tak mencarinya. Kemulian mereka diberikan oleh peradaban hukum. Karena sejumlah pertimbangan, yang epistemologisnya jelas. Itulah beda hakim dan wali. Hakim dimuliakan oleh peradaban politik dan hukum karena dalam sifat epistemologisnya berinduk pada keadilan. Main golf, bukan pekerjaan wali. Entah kalau hakim. Boleh jadi ada yang melepas penat dengan cara main golf. Mungkin seiring datangya kepenatan berurusan dengan tumpukan erkas yang harus diselesaikan.

Apakah hakim-hakim di pengadilan negeri Depok, yang saat ini sedang memeriksa, mengadili dan akan memutus perkara sahabat Dr. Syahganda Nainggolan, melepas penat dengan cara golf? Entahlah. Hebatkah mental hakim-hakim ini? Entahlah.

Sikap hakim yang tidak membolehkan Dr. Syahganda Nainggolan hadir di persidangan merupakan sikap terkordinasi? Entahlah. Bila ya, dengan siapa kordinasi dilakukan? Layakkah kordinasi dipertimbangan dalam menganalisis kenyataan pahit nan pedih ini? Tak ada alasan untuk spekulasi bicara.

Hakim-hakim yang hebat atau biasa-biasa saja, dimanapun di dunia ini tahu, mereka bukan tukang hukum orang. Pasti itu. Tukang hukum itu pekerjaan orang tak berakal. Bandit pun belum tentu mampu melakukannya. Mereka juga punya rasa, punya belas kasih, punya akal dan hati.

Para hakim didunia ini tahu pekerjaan mereka adalah menemukan hukum untuk perkara yang mereka periksa, adili dan putus. Tidak lebih. Menemukan itu setara pekerjaan meniti titian tipis terjal. Sekejab saja hilang fokus, keseimbangan melayang, anda akan terjatuh, terjerembab dalam derita nan pedih.

Itu dicontohkan oleh hakim Syuraih, sang ahli fiqih, yang diangkat Sayidina Abubakar menjadi hakim ini. Syuraih, hakim top sepanjang masa ini, dalam sejarah peradaban hukum Islam terukir utuh dengan konsistensi, tawaddu tanpa batas. Tawaddu, karena ia mengerti risiko dirinya, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai hakim. Kedalaman pemahamannya terhadap Din Islam, hak dan bathil, asbabun nudzul teks dari kalam Allah, sungguh mengagumkan.

Syuraih tahu keharusan berlaku adil dalam memutus perkara. Dia juga tahu akhir hidup yang pasti. Kedalaman ilmunya menenggelamkan diri di lautan kalam Allah, tersaji menjadi kunci utama dia menghidupkan samudara keadilan. Sebab di jalan itu dia memperlakukan para Khulafa Ar-Rashidin, Sayidina Umar dan Sayidina Ali, sebiasa dia memperlakukan rakyat biasa. Dia, terlihat pada perkara baju besi yang diklaim Sayidina Ali Bin Abi Thalib, memperlakukan teks tidak sebatas huruf demi huruf.

Dia mengerti yang dikenal dengan beyond the text. Tahu penyebab lahirnya teks itu. Pengetahuannya membawa dirinya menyelami apa yang disebut asbabul nudzul-nya, atau apa yang P.S Atiyah, ahli hukum Inggris sebut sebagai black box. Syuraih tak mungkin dicampakan sejarah. Ia terlalu anggun untuk dibiarkan tercecer dalam memori pemikiran dan peradaban peradilan Islam. Tak canggung, atau harus berkoordinasi dengan Sayidina Ali. Ia memutus berdasarkan hukum dan ilmu yang dipunyainya.

Status Sayidina Ali sebagai Imam dan Amirul Mukminin, tak mampu membuat Syuraih kehilangan iman. Kebesaran Sayidina Ali, tak membuatnya membungkuk khas jongos, yang terampil dengan suka menjilat kekuasaan. Hebat, sebab adil itu perkara besar. Lebih besar dari semesta. Adil itu jelas, bukan perkara politik kelas pecundang. Bukan. Ini perkara, yang terlalu besar untuk dianggap biasa. Adil bukan perkara teknis hukum. Adil bukan perkara, yang John Rawls, Hakim Agung Amerika yang top itu sebut fairness.

Memahami teks, adalah step awal absolut bagi hakim. Tetapi teks tidak pernah sempurna sebagai penanda maksud pembuatnya. Teks selalu memiliki konteks. Konteks hanya dapat dimengerti kalau diinterpretasi. Interpretasi, bukan kegiatan yang lepas tuntas dari kedalaman pengetahuan dan derajat nilai yang dianut oleh hakim.

Interpretasi tidak mungkin tidak merupakan pengujian, tes, terhadap keselarasan norma dengan prinsip-prinsip yang melembaga dalam sistem hukum, yang menjadi bagian integralnya. Derajat keterterimaan norma yang bersifat hipotetikal, dan justifikasi keputusan yang didasarkan padanya, tergantung pada seberapa tepat sebab timbulnya aturan itu dimengerti secara utuh oleh hakim.

Cukupkah itu? Tidak. Itu masih tergantung pula pada apakah derajat keterterimaannya terlihat konsisten dan koheren atau tidak. Praktis aturan yang bersifat hipotetik harus dicari konteksnya, lalu ditimbang konsistensi dan koherensinya dalam penerapannya. Itulah jalan kecil menemukan hukum yang adil.

Telusuri Konteks Lahirnya UU

Hakim dalam perkara kawan-kawan ini, mau atau tidak mau, harus menemkukan secara tepat konteks teks pasal 14 dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Menyiarkan “berita atau pemberitaan bohong” atau “kabar yang berlebihan” bukan teks tanpa konteksnya. Konteksnya harus kongkrit, tak hipotetikal.

Teks itu harus dikenali dengan sangat cermat oleh majelis hakim. Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu.

Tidak diperlukan juga ahli bahasa, juga ahli administrasi negara untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa? Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti.

Terminologi “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong” dalam pasal 14 ayat (1) itu, untuk semua alasan apapun, terus terang, tak memerlukan penjelasan ahli bahasa. Sama sekali tidak perlu. Tidak juga diperlukan ahli bahasa untuk membuat terang maksud norma “kabar yang tak pasti” atau “kabar yang berkelebihan” dalam pasal 15 UU 1 Tahun 1946 itu. Sekali lagi tidak. Mengapa?

Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menunjuk “berita-berita yang telah tersiar oleh media resmi” sebagai berita tak pasti. Berita mengenai demonstrasi buruh, itu nyata. Dapat diverifikasi. Demonstrasi yang diberitakan itu, nayat-nyata terjadi. Itu sebabnya, untuk alasan apapun, berita yang diberitakan oleh siapapun yang merujuk berita itu, atau berita lain dari siapapun, tidak dapat dikategori sebagai “berita tak pasti, dan bohong yang disengajakan menciptakan keonaran”. Begitu Pak Hakim.

Kecuali jongos kekuasaan, ilmu hukum tidak menyediakan argumen untuk siapapun menginterpretasi, apapun metode atau pendekatannya, demonstrasi sebagai keonaran. Tidak itu. Demonstrasi yang ricuh, jelas tidak sesuai dengan hukum. Onarkah ini? Tidak juga. Kericuhan itu hanya berakibat secara hukum menjadi alasan hukum demonstrasi dibubarkan. Kalau ada yang membakar, dan sejenisnya, ilmu hukum mengharuskan pelakunya dihukum. Hanya itu titik. Tidak lebih dari itu Pak Hakim.

Tindakan melawan hukum pada demonstrasi itu, sama sekali tidak dapat ditunjuk ilmu hukum sebagai “keadaan hukum yang mengubah sifat demontrasi itu sebaga peristiwa hukum sah menjadi melawan hukum. Ini juga disebabkan norma “memberitakan berita yang berlebihan dan dengan sengaja membuat onar” sama sekali tidak bersifat hipotetikal.

Norma “menyebarkan berita bohong, dan dengan sengaja menerbitkan keonaran” dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946, menunjuk keadaan kongkrit Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Norma pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) juga pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 ini bertolak dari keadaan kongkrit pada Dr. Syahganda, Jumhur dan teman-temannya.

Situasi politik dan keamanan jauh dari beres dalam arti minimal sekalipun di tahun 1946 itu. Kabinet baru terbentuk tanggal 4 September 1945, organ pemerintah dan negara belum terbentuk. KNIP masih jadi badan pembantu Presiden. TNI baru belum ada. Polisia apalagi, entah dimana?

TKR memang dibentuk tanggal 5 Okober 1945, tetapi organisasinya jauh dari masuk akal untuk sebuah negara yang akan berperang. Desas-desus Belanda akan masuk lagi terus menghantui masyarakat. Benar tanggal 15 September 1945 sekutu masuk. Belanda, si tukang jajah membonceng di dalamnya. Namanya NICA, di dalamya ada tentara.

Politik dalam negeri tidak juga stabil. Ada ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Bung Karno. Pemerintahannya dinilai antek jepang dan fasis. Pemerintah ini dinilai tidak menguntungkan diplomasi Indonesia. Sekutu tidak akan suka bicara dengan pemerintah.

Cara untuk menghindarinya adalah mengubah sistem pemerintahan itu. KNIP yang dari awal dirancang menjadi badan yang membantu Presiden, diubah jadi badan legislatif. Karena situasi, maka fungsi itu cukup diselenggarakan oleh satu Badan Pekerja (BP). BP KNIP akhirnya dibentuk, dengan 15 personl. Sjahrir, orang yang sedari awal tidak sejalan dengan Bung Karno memimpin Badan ini.

Kelak setelah melewati perbincangan politik yang perlu, sistem pemerintahan diubah. Dinyatakan dalam Maklumat X yang ditandatangani Bung Hatta. Tanggal 14 November 1945 sistem pemerintahan Presidensial dengan Bung Karno sebagai Presiden berakhir. Diganti dengan Kabinet Sjahrir I, diresmikan pada tanggal itu juga. Bung Karno tak keberatan. Tetapi Ali Sastroamidjoyo jelas menilai tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, apapun alasannya.

NICA Belanda, beraksi keras. Begitu juga tentara sekutu. NICA malah merekrut sebagian personil KNIL, tentara lokal yang dipekerjakan sebagai tentara mereka. Sebagian lagi, yang terbanyak tentu saja, tetap bekerja untuk Indonesia yang masih muda itu. KNIL Belanda sangat ganas. (Bersambung).

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

528

Related Post