Pidana Mati Untuk Korupsi Bansos, Itu Sangat Logis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Ternate FNN - Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial Republik Indonesia itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Juliari tersangkut kasus dugaa korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kementerian yang dipimpinnya. Ia akhirnya, entah minta berhenti, atau diberhentikan oleh Presiden dari jabatan itu.
Geram dengan korupsi dana untuk oran miskin ini, maka bergemalah pidana mati untu para pelakunya. Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK), begitu gema tuntutan itu. KPK tidak boleh kehilangan nyali untuk menuntut Juliari dan kawan-kawannya dengan pidana mati. Mereka dianggap keterlaluan. Bantuan negara untuk orang fakir dan miskin, ko masih dimakan juga. Keterlaluan biadab memang.
Begini Kuncinya
Apakah bansos kepada rakyat miskin, ditengah keadaan ekonomi yang sangat berantakan, dan daya beli masyarakat yang terus bergerak turun, dapat dijadikan justifikasi mengenakan pidana mati kepada para pelaku tindak pidana ini? Apa uang yang akan diserahkan kepada Juliari dapat dikategori uang suap?
Bisakah uang itu dikategori sebagai keuangan negara? Ya uang negara? Apakah uang yang ketika disita penyidik KPK terlihat bertas-tas besar itu adalah uang negara? Mungkinkah secara hukum, uang yang terlihat berasal dari penyuap alias swasta, tak memiliki sifat dan kapasitas hukum sebagai uang negara?
Itulah soal-soal elementer hukum, yang harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Mengapa? Hukum korupsi itu punya kriteria jelas. Pelaku tindak pidana korupsi dapat dipidana mati bila terdapat dua syarat atau keadaan hukum. Pertama, uang yang dikorupsi harus uang yang secara hukum, nyata-nyata memiliki sifat sebagai uang negara. Kedua, tempus (waktu) terjadi tindak pidana (delic) itu harus bersifat absolut, terjadinya keadaan bencana.
Soal-soal di atas harus dibuat terang hukumnya oleh Penyidik KPK, suka atau tidak. Tidak bisa main pakai pidana mati saja. Penyidik harus mampu menemukan keadaan-keadaan itu. Setelah itu, barulah muncul justifikasi untuk pidana mati. Tanpa keadaan-keadaan itu, tidak bisa dipakai hukum pidana mati.
Apakah penyidik KPK punya kemampuan untuk menemukan sifat keuangan negara pada uang yang dipakai menyuap Juliari itu? Dengan cara apa penyidik memasuki dan menemukannya? Satu-satunya cara yang tepat secara hukum adalah melakukan interpretasi. Tetapi bukan interpretasi analogi. Sebab hukum pidana tidak memberi tempat untuk itu. Berbahaya risikonya. Lalu harus pakai interpretasi apa? Bagaimana step-stepnya menurut kaidah keilmuan hukum? Sukarkah soal ini? Tidak sama sekali.
Penyidik, dalam kerangka itu, dapat menggunakan interpretasi tekstual dengan pendekatan ejusdem generis. Penyidik harus mengawali interpretasinya dengan memeriksa fakta. Lalu secara deduktif menginferensinya dengan kaidah hukum. Dalam inferensi ini, penyidik harus benar-benar memeriksa.
Kata Ali, pejabat humas KPK, seperti dilansir Liputan6.com (27/1/2021) KPK telah memeriksa Budi Pamungkas. Budi diminta keterangan terkait keikutsertaan perusahaannya dalam menyediakan paket bansos. Tidak itu saja. Budi juga dimintai keterangan tentang teknis pembayaran atas kerjasama pengadaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemensos.
Temukan Uang Negara
Keterangan ini menaik. Apanya yang menarik? Proyek ini telah berjalan. Pembayaran telah dilakukan. Kenyataan ini bernilai sebagai penentu. Dimana letak penentunya? Proyek ini telah berjalan, dan uang negara telah keluar dari kas negara untuk mebayar paket bansos.
Masalahnya sekarang uang swastakah yang mau diberikan kepada Juliari? Uang itu murni berasal dari pengusha? Apakah uang itu dapat dikategorikan sebagai keuntungan pengusaha? Sebab memperoleh keuntungan dalam berusaha itu soal biasa. Masalahnya, apakah keuntungan itu turut dirancang oleh pejabat pengguna barang dan jasa itu atau tidak? Ini harus dibuat sejelas-jelasnya oleh penyidik KPK.
Agar jelas, maka tidak ada pilihan lain, selain soal-soal berikut dibuat jelas oleh penyidik KPK. Apakah jenis dan jumlah barang memiliki nilai uang setara Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) atau tidak? Apakah jenis dan jumlah barang bantuan itu tidak setara dengan nilai uangnya Rp. 300.000,- tetapi tetap dihargai setara Rp.300.000,-
Sekali lagi, soal-soal diatas harus dibuat jelas oleh penyidik KPK. Bila dapat dilakukan secara meyakinkan oleh KPK, maka dapat diketahui ada atau tidak mark-up harga. Semoga tidak ada mark-up. Bagaimana kalau ada mark-up? Apa konsekuensi hukumnya?
Konsekuensinya penyidik harus memperoleh fakta yang secara jelas menerangkan kesesuaian angka Rp.300.000 dengan jenis dan jumlah barang. Dalam hal tidak terdapat kesesuaian antara angka Rp. 300.000 dengan jenis dan jumlah barang, maka penyidik menggunakan fakta itu sebagai dasar konstruksi tentang sifat jumlah uang atas harga barang itu.
Konstruksinya bisa seperti ini. Agar terlihat tak melawan hukum, maka selisih harga barang, yang seharusnya tidak perlu ada atau terjadi, tetapi tetap diadakan. Lalu diintegtrasikan ke dalam anggaran bansos. Cara itu menjadi pijakan penyidik memasuki konstruksi atas sifat uang itu.
Itu fase krusial. Pada titik ini, suka atau tidak penyidik harus melakukan interpretasi terhadap uang Bansos perpaket itu. Adakah selisih lebih didalamnya? Dalam hal ada selisih lebih di dalam anggaran Bansos perpaket, maka tersedia jalan kristalisasi sifat hukum uan itu sebagai keuangan negara.
Penyidik, mau tau mau harus melakukan interpretasi. Metodenya tak mungkin lain selain tekstualis. Interpretasi, tidak lain merupakan kontruksi menurut istilah Profesor Sudikno Mertokusumo menemukan hukum. Ini sangat eksplosif. Lalu bagaimana inferensinya?
Inferensinya begini. Selisih lebih uang, sebut saja Rp. 10.000. (sepuluh ribu rupiah) per paket, sebagai fokus interpretasi tekstual. Pendekatannya ejusdem generis. Pendekatan ini mengharuskan penyidik fokus pada terminologi “keuangan negara”. Terminologi ini jelas didefenisikan pada pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Pada titik itu penyidik harus fokus menemukan sifat selisih uang sebesar Rp. 10.000,- per paket. Bila nyata-nyata uang selisih lebih sebesar Rp. 10.000,- yang itu dimaksudkan untuk dijatahi kepada Juliari, terlepas dari jumlah akumulatifnya, maka interpretasi tekstualis dengan pendekatan ejusdem generis jadi begini. Uang sebesar Rp.10.000. itu adalah spesis dari uang yang dianggarkan untuk bansos.
Jadi, total uang untuk kegiatan Bansos, yang sebesar Rp. 300.000. per paket itu adalah genusnya. Sedangkan uang Rp 10.000,- per paket, yang berasal dari anggaran bansos ini adalah spesisnya.
Kongklusinya adalah uang sebesar Rp. 10.000,- itu merupakan spesis dari genus (uang untuk seluruh anggaran bansos sebesar Rp. 300.000,- per paket). Konsekuensi konstruksi hukumnya menjadi begini, uang sebesar Rp. 10.000,- yang merupakan selisih lebih dari harga yang seharusnya, mutlak memiliki sifat hukum sebagai keuangan negara. Hukumnya jelas kasus ini bukan penyuapan.
Peluang Terbuka Lebar
KPK seperti dilansir (liputan6.com) sedang menyelisik peran dan arahan khusus dari mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam pengadaan bantuan sosial (bansos) untuk wilayah Jabodetabek di Kementerian Sosial tahun anggaran 2020. Penyidik KPK memeriksa Ex ADC Mensos Eko Budi Santoso pada hari ini, Rabu (27/1/2021). Eko diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Juliari Batubara. "Eko Budi Santoso didalami pengetahuannya terkait peran dan arahan khusus tersangka Juliari Peter Batubara.
Peran dalam hal apa? Penentuan jenis dan jumlah barang? Termasuk harganya? Dua hal ini, saya cukup yakin, menjadi episentrum penyidikan KPK. Tetapi saya juga berharap penyidik KPK tidak menemukan fakta itu. Sebab bila penyidik menemukan fakta itu, maka kelebihan harga Rp. 10.000 ,- per paket akan menjadi terang. Terang dalam makna uang Rp.10.000,- yang menjadi selisih lebih itu dirancang secara sadar, atau dimaksudkan untuk dikembalikan kepada pejabat.
Hukumnya jelas. Hukumnya adalah tindak pidana. Sekali lagi, ini bukan penyuapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana ini lebih tepat diterapkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal ini membenarkan terdakwanya dituntut dengan pidana mati. Ayat (2) pasal ini mengatur norma adanya keadaan tertentu. Apakah pandemi Covid-19, dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai bencana non alam atau tidak? Secara hukum itu tidak menentukan determinatif. Mengapa?
Kenyataannya, pandemi itu nyata-nyata ada. Ini telah menjadi kenyataan umum. Keadaan itu juga menjadi dasar Mensos keluarkan paket Bansos. Masalahnya bagaimana memberi nilai dan sifat hukum terhadap kenyataan (pandemi covid-19) itu?
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.