OPINI
Misi Politik GAR Alumni ITB Yang Gagal
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Nafsu Gerakan Anti Radikal (GAR) Alumni Intitut Teknologi Bandung (ITB) untuk merusak nama baik Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA. nyaris gagal. Alih alih Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) memproses laporan GAR alumni ITB, malahan kini GAR yang mengalami gegar sosial. Giliran GAR menerima pukulan publik bertubi-tubi. Ketua KASN Agus Pramusinto menyatakan bahwa KASN tidak berkomentar apa-apa, dan menegaskan laporan GAR ITB tidak memiliki bukti atas pelaporannya. Karenanya KASN langsung saja melanjutkan laporan tersebut ke pihak Satgas Penanganan Radikalisme dan Kementrian Agama. Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Quomas menanggapi dengan dingin. Yaqut yang biasa ribut soal radikalisme, ektrimisme dan intoleransi ternyata menyarankan agar tidak gegabah dalam menilai radikal dalam kasus pelaporan Prof Din Syamsuddin. Sikap Menag Yqut ini sejalan dengan pandangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebelumnya PBNU dan PP Muhammadiyah sekapakat menolak anggapan Prof Din Syamsuddin dituduh radikal. Sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) keagamaan terbesar di Indonesia itu menyatakan tuduhan GAR bahwa Prof. Din Syamsuddin radikal, sangat tidak berdasar dan tidak mempunyai bukti konkrit. Selain PBNU dan PP Muhammadiyah, banyak tokoh nasional yang tampil mengecam GAR alumni ITB, dan membela Prof. Din Syamsuddin yang masih menjadi dosan tetap di UIN Syarif Hidayatullah itu. Para tokoh itu, mulai dari Prof. Azyumardi Azra, Hidayat Nur Wahid, Marsudi Syuhud hingga Mahfud MD. Publik menilai GAR alumni ITB kini sebagai model buzzer penguasa. Keluar dari citra akademisi, dan menjadi sebuah kelompok politik kepentingan sesaat. Berujung bukan saja mendesak pembubaran, tetapi juga langkah penindakan hukum. Perbuatan GAR alumni ITB dapat dikualifikasikan kriminal. Reaksi sesama alumni ITB muncul juga bermunculan. Kali ini kelompok organisasi Keluarga Alumni ITB Penegak Pancasila dan Anti Komunis (KAPPAK) membuat pernyataan menohok. Meski mengaku terlambat, akan tetapi tajam dalam mengkritisi. KAPPAK mendesak Rektorat dan Senat ITB agar menindak tegas GAR alumni ITB karena ikut campur dalam urusan internal ITB. Demikian juga dengan dosen yang terlibat agar ditertibkan karena dinilai telah merusak kredibilitas ITB. KAPPAK yang berangkat dari penegakan nilai Pancasila dan Anti Komunis mengingatkan agar seluruh alumni ITB harus menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berkarya, dan berkiprah pada platform ilmiah dalam kawalan nilai-nilai Pancasila. KAPPAK juga meminta agar Ikatan Alumni (IA ITB) segera mengambil sikap terhadap kelompok "anti radikal" tersebut. Mungkin KAPPAK melihat ada nilai-nilai "anti Pancasila" dalam gerakan ini. GAR mencoba untuk berlindung dibalik isu-isu radikalisme. Namun patut diduga ada maksud-maksud lain, misalnya untuk menciptakan kekacauan dan perpecahan di lingkungan ITB. Reaksi luas atas sikap GAR alumni ITB yang tendensius dan berbau buzzer politik ini, menyebabkan banyak pertanyaan atas keberadaan GAR ITB tersebut. Banyak pihak mulai menguliti kelompok ini. Mulai dari aspek SARA, konteks etnis dan agama dibongkar. Apalagi keberadaan "orang pemerintahan" sebagai inisiator dan provokator, hingga privasi sang juru bicara pun mulai diselidiki dan dikomentari. Pencatutan terhadap nama-nama para pendukung GAR alumni ITB mulai dipersoalkan. Disamping gegar sosial GAR mengalami gegar moral. Akibatnya, rencana busuk GAR terbaca juga oleh publik. Hanya karena selama ini Prof. Din Syamsuddin selalu kritis dalam mengoreksi berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Memang pilihan terbaik untuk stabilitas dan kredibilitas ITB sebagai perguruan tinggi perjuangan yang terkenal banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang hebat, adalah segera untuk menindak GAR ITB. Bubarkan GAR adalah pilihan yang paling sederhana. Kebijakan lebih dari itupun adalah hal yang wajar. GAR telah merusak citra ITB, moral akademis serta menghancurkan nilai dan karakter mulia bangsa. Ketika bangsa ini mewaspadai ancaman perusakkan nilai-nilai Pancasila dan bahaya komunisme, model gerakan politik GAR alumni ITB seperti ini harus dengan cepat diantisipasi dan dieliminasi. Sikap yang berlambat-lambat dapat menimbulkan bencana untuk banga dan ITB. GAR ITB telah gagal melakukan kudeta moral dan intelektual. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Pak Hakim, Jangan Hukum Dr. Syahganda, Jumhur, Dkk (Bag-2)
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Pembaca FNN yang budiman. Tidak ada perang yang benar-benar bersih. Perang juga tidak hanya tentang adu teknik menembak. Perang menyajikan adu siasat, dalam banyak hal. Ada agitasi, ada intimidasi, ada penyebaran berita bohong, ada tipu daya dan sejenisnya. Bawaan alami perang adalah mematikan lawan dan menghadirkan ketakutan. Menghadirkan ketakutan itu cara mendekatkan lawan pada keadaan bertekuk lutut, menyerah. Itu jelas. Tetapi selalu ada orang yang tak takut, bergairah menyambut perang. Sama dengan, selalu ada yang bersedia jadi penghianat. Keonaran Itu Harus Kongkrit Keonaran menjadi ciri keadaan segera setelah proklamasi diumumkan. Sekutu yang didalamnya ada Belanda tiba di Indonesia. Keonaran itu menjadi sebab November 1945 Sekutu mengadakan jam malam. Rosihan Anwar, Jurnalis tiga zaman ini menulis tanggal 19 November pemerintah mengeluarkan maklumat. Isinya menempatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di sekeliling Jakarta. Itu berarti TKR ditarik ke luar dari Jakarta. Sekutu tidak pernah netral. Mereka condong ke Belanda. Kantor besar Kepolisian di lapangan Gambir digrebek Sekutu dibawah pimpinan Mayor Masset. Menurut Muhammad Yuanda Zara, sejarahwan terkemuka ini, Sekutu tak mau menyebut nama Jakarta. Mereka tetap menyebut Batavia. Sekutu menyebut pasukan TKR sebagai ekstrimis. Tentara Ghurka, tentara Sekutu ini, persis KNIL masuk ke luar kampong mencari perempuan. Terjadi keonaran di kampung-kampung yang dimasukinya. Sangat menakutkan. Para suami khawatir istri mereka akan diperkosa tentara. Disisi lain, gerombolan juga beraksi semaunya. Perampokan, tulis Ventje Sumual juga terjadi di pasar-pasar. Lalu anak anak muda tidak terlatih dan terorganisir, yang tentara sekutu dan NICA sebut mereka gerombolan, terus mencari perkara dengan tentara, terutama dengan KNIL. Ini terjadi, misalnya di Cililitan. Di Bali, tulis Ida Bagus Astika Pidada dalam Kulturistik, dalam Jurnal Bahasa dan Budaya Vol. 3. Nomor 2, Juli 2019 menyebut, Belanda memprovokasi rakyat untuk mengurung pemuda. Rakyat di Pengajaran bersedia mengejar pemuda dengan beberapa alasan. Mereka yang dikejar itu dikatakan perampok atau penggarong serta pengacau. Beraneka macam tuduhan Belanda kepada para pemuda. Perang selalu begitu. Yang dicari panglima tertinggi. Itu sebabnya Bung Karno mau dibunuh tentara Belanda. Mobil yang ditumpangi Bung Karno ditembaki tentara Belanda. Ini terjadi tanggal 29 Desember 1945. Profesor Soepomo, Muh. Roem bahkan Sjahrir yang perdana menteri pun, menurut Rosihan Anwar hendak dibunuh terntara Belanda. Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin mau dirampas mobilnya. Peristiwa penembakan terhadap Bung Karno itu menjadi alasan Tan Malaka jumpa Bung Karno. Bagi Tan Malaka, Bung Karno dan Bung Hatta berada dalam keadaan bahaya jika tetap tinggal di Jakarta. Kepada Bung Karno, Tan Malaka mengajukan satu soal. Soal itu adalah kalau bung Karno dibunuh, siapa yang memimpin Indonesia? Tan Malaka lalu menyarankan kepada Bung Karno membuat testamen Politik. Bung Karno setuju. Dalam testamen politik itu disebut empat nama. Mereka adalah Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan Wongsonegoro. Lalu Tan Malaka, si agitator dan propagadis kawakan ini, berkeliling Jawa. Kepada orang-orang yang ditemuinya, Tan Malaka menyebarkan cerita yang masuk kualifikasi pasal 14 ayat (1) dan 15 “UU Nomor 1 Tahun 1946, yakni berita berlebihan dengan maksud menimbulkan keonaran”. Apa yang diberitakan Tan Malaka? Beritanya adalah Bung Karno dan Bung Hatta telah ditawan Inggris di Jakarta. Mereka tidak bisa keluar kota. Tan Malaka juga menceritakan testamen politik itu. Dia, dalam testamen itu ditunjuk sebagai ahli waris mereka untuk mengambil alih serta melanjutkan pimpinan Republik Indonesia. Berita bohong atau berita berlebihan dengan maksud untuk menimbulkan keonaran inilah yang ditakuti oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir. Untuk merontokannya, pada pertengahan Desember 1945 Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir mengadakan perjalanan ke Jawa. Politik selalu menyediakan cara untuk eksis. Upaya Bung Karno, Bung Hatta dan Sjahrir tak menyurutkan langkah Tan Malaka. Tan Malaka terus menggerakan roda propaganda. Dia segera memotori pertemuan Persatuan Perjuangan (PP) di Solo tanggal 5-6 Januari 1946. Bermodalkan energi baru itu, Tan Malaka melipatgandakan oposisinya kepada Sjahrir. Menyiarkan berita bohong, bukan kerjaan Tan Malaka semata. Sama sekali bukan. Seperti yang sudah-sudah, tulis Jendral A.H Nasution (Almarhum), semoga Allah Subhanahu Wata’ala membalas semua kebaikannya, dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 4, agitasi dan propaganda semakin hebat. Sampai kita dari TRI mengkhawatirkan kemungkinan pecah perang saudara. Surat kaleng, selebaran, dan perang desas-desus, ditemukan dimana-mana. Isinya penuh provokasi. Hebatnya diuraikan secara logis, sehingga mudah dicerna pikiran rakyat jelata. Banyak pula provokasi yang menyebut Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Amir Sjarifudin penghianat bangsa, penjual negara. Desas-desus Belanda menandai mata-matanya dengan tanda khusus, terus bergerak. Ini berkembang menjadi sesuatu yang tidak dapat dinalar. Banyak orang yang dibunuh hanya karena kebetulan pada pakaiannya terdapat unsur-unsur warna bendera Belanda (Noordjanah, 2010: 131). Satu artikel di dalam “Harian Berdjoeang” (tanda petik dari saya) menuklis bahwa “beberapa mata-mata moesoeh ditangkap dengan membawa lampoe senter (battery). Lampu ini memakai tanda tiga warna (merah-putih-biru) (Harian Berdjoeang, 9 April 1946 dalam Nordjannah). Para laskar yang mendengar desas-desus itu tak tinggal diam. Situasi semakin mencekam. Mereka mencari mata-mata Belanda yang menyamar. Hampir setiap orang yang dicurigai berafiliasi dengan Belanda diperiksa. Segala sesuatu yang dianggap asing atau tidak dikenal langsung dicap “agen NICA” (Lucas, 2004:184) Belanda terus melakukan demoralisasi prajurit. Tak tanggung-tanggung A.H. Nasution juga jadi sasaran NEFIS. NEFIS menyebar isu bahwa Nasution adalah seorang agen NEFIS. Kolonel tersebut mengatakan “seorang perwira NEFIS meminta kepada perwira TNI yang dibebaskan itu untuk menyampaikan pesan-pesan kepada Jenderal Nasution. Pesannya, Jenderal Nasution adalah sahabat karibnya.” Tidak hanya A.H. Nasution, Kolonel Gatot Subroto pun jadi sasaran demoralisasi. Itu sebabnya Gatot Subroto langsung menghadap Wakil Presiden. Kepada Wapres, Gatot menceritakan selebaran-selebaran yang menyebutnya sebagai “agen NICA” (A.H. Nasution, 1983: 18) Orang-orang republik merespon situasi itu. Pada perayaan Idul Adha pertama pasca-kemerdekaan, sebuah slogan menarik dimuat koran Kedaulatan Rakjat di Yogya. Slogan itu berbunyi, "biasa menjembelih kambing, siap menjembelih moesoeh" (cetak miring dan tanda petik dari saya). Sekutu melalui Evening News, koran mereka, juga gencar menyebarkan propaganda. Belanda yang diuntungkan sekutu, gencar memancing dan menyiarkan kabar-kabar bohong. Rakyat dibingungkan dengan pamflet-pamflet gelap. Melalui iklan dan poster-poster, mereka menjawab provokasi Belanda. (Tashadi, dkk., 1996:142) Akibatnya jelas. Terjadi banyak salah faham dan kesimpangsiuran di kalangan pejuang. Laskar-laskar perjuangan juga masyarakat mengaklami situasi itu, (Lihat Hutri Limah, Cahyo Budi Utomo, Andy Suryadi, dalam Journal of Indonesian History (2018). Bebaskan Mereka Itu Terhormat Perang meminta komando, dan disiplin rigid. Sayangnya TKR yang telah terbentuk sejak Oktober 1945, tidak kapabel untuk diandalkan menangani keadaan. Laskar-laskar perlawanan, yang dibutuhkan untuk perlawanan semesta, dalam kenyataannya sangat tidak terorganisir, dan tidak terkordiansi. Sampai dengan keluarnya UU Nomor 1 Tahun 1946, lascar-laskar ini sulit disatukan. Ini soal besar. Itu sebabnya tanggal 1 Januari 1946 atau sebulan lebih sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan, Bung Karno mengganti nama TKR menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Juga mengganti nama Kementerian Keamanan menjadi Kementerian Pertahanan. Sayangnya laskar-laskar ini tetap belum dapat disatukan dalam satu organisasi. Menurut Abdoel Fatah, dalam bukunya Demiliterisasi Tentara nama baru untuk organisasi tentara itu tak lama. Tanggal 23 Februari 1946, tiga hari sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 dibentuk, Bung Karno kembali mengganti nama TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Januari dan Februari 1946 adalah bulan penuh berita boghong alias propaganda oposisional Tan Malaka kepada Sjahrir. Oposisi ini didukung oleh beberapa eksponen politik. Dan berhasil melemahkan Sjahrir. Sjahrir pun mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Bung Karno. Sjahrir dipropagandakan tidak dapat diandalkan untuk merealisasikan apa yang disebut Tan Malaka dengan merdeka 100%. Sjahrir, akhirnya benar-benar mengajukan surat yang intinya dia meletakan jabatan. Itu terjadi tanggal 23 Februari 1946, tiga hari sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan. Tan Malaka, dipercayakan Bung Karno membentuk kabinet. Tetapi Tan Malaka gagal memenuhi mandat Bung Karno. Akhirnya Bung Karno menunjuk Sjahrir membentuk kabinet Sjahrir II. Lalu apa pentingnya kenyataan ketatanegaraan dan keamanan itu dalam konteks perkara ini? Norma “memberitakan kabar bohong atau kabar yang berlebihan” dengan maksud membuat keonaran, tak bisa diinterpretasi lain selain masalah historis lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1945 itu Yang Mulia Pak Hakim. Teks itu, dengan argumentasi apapun, harus dikontekskan pada keadaan nyata peristiwa dan siatuasi sejak September 1945 hingga Februarui 1946. Dalam konteks itu, norma “kabar dan berita bohong atau berlebihan” adalah norma yang menunjuk keadaan kongkrit yang terjadi saat itu. Bukan yang lain Pak Hakim. Apalagi disandarkan dengan situasi sekarang. Jauh panggang dari api. Jangan perlihatkan kalau yang mulia Pak Hakim tidak mengerti dan tak paham sejarah lahirnya undang-undang. Jelas, ini bukan soal bahasa. Sama sekali bukan. Ini soal black box dan history text “menyiarkan kabar bohong atau berlebihan dan keonaran“. Tak logis bila soal “menyiarkan kabar bohong atau berita berlebihan” dalam pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 diperjelas dengan mencari makna semantiknya. Norma berita bohong atau berlebihan yang dimaksudkan untuk menimbulkan keonaran, tidak lain merupakan berita yang tidak dikehendaki, karena berakibat nyata-nyata dan langsung memperburuk keonaran yang telah terjadi. Interpretasi teks atas norma berita bohong atau berlebihan yang disiarkan untuk menimbulkan keonaran” tidak bisa dilakukan dengan pendekatan noscitur asocis. Sama sekali tidak bisa. Mengapa? Kata-kata itu telah sangat jelas dalam kamus bahasa. Interpretasi teks yang tepat, yang harus digunakan adalah purposivist interpretation. Interpretasi ini mengharuskan hakim menemukan intensi teks. Tidak dengan memeriksa rangkaian teks. Teks tidak diperlakukan sebagai denominasi. Cara ini memungkinkan Yang Mulia Pak Hakim menemukan intensi original teks yang diasumiskan oleh pembentuk teks pasal 14 dan 15 UIU Nomor 1 Tahun 1946. Infrensi nalar terhadap teks, dalam interpretasi ini difokuskan pada ratio legis-nya. Social base of text-nya, dengan demikian muncul sebagai inti inferensi. Interpretasi ini memungkinkan hakim menemukan apa yang disebut objective teleologis. Inti objective teleologis harus merujuk pada objective purpose of norm. Interpretasi ini akan menghasilkan original intention teks. Inferensi atas kenyataan kongkrit setidaknya sejak september 1945 hingga 23 Februari 1946, mau tak mau harus dijadikan menu utamanya, bahkan satu-satunya. Inferensi jenis ini dalam pragmatic enrichment juga mengharuskan actual text dipertalikan pada keadaan kongkrit. Hasilnya tidak lain selain teks atau norma “menyebar berita bohong dan seterusnya harus dibaca” bahwa berita bohong dan seterusnya itu hingga menimbulkan keonaran adalah berita yang sebagian atau seluruhnya tidak benar, menjadi sebab “memburuknya keonaran yang telah terjadi.” Titik. Keonaran dalam konteks teks pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 bukan keadaan baru. Apalagi keadaan yang dihasilkan oleh berita bohong atau berlebihan. Berita bohong atau berita berlebihan justru memperburuk keonaran yang telah terjadi. Semoga ilmu yang memandu para Yang Mulia Hakim hingga berlabuh di keadilan. Menemukan hukum karena berilmu sungguh merupakan idaman semesta. Semesta akan merana kalau hukum ditemukan tanpa ilmu. Semesta merada kalau Dr. Shahganda, Jumhur, Anton, dkk tidak dibebaskan. Hakim, seperti Syuraih menemukan keadilan berdasarkan panduan ilmu, dengan balutan istiqamah pada Allah Yang Maha Tahu dan Maha Adil. Syuraih tahu itu adalah cara semesta mengunci pintu neraka untuk dirinya. Ia tahu semesta mengharumkan eksistensinya dengan keadilan. Tidakkah semesta menyerukan, “duhai orang-orang berakal, jadilah kalian penegak keadilan”. Tidakah Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan hambanya untuk menetapkan dengan adil? Semoga. (Selesai) Penulis adalah Pengajar HTN Univesitas Khairun Ternate.
Pertarungan Media Tentang Istana
By Nuim Hidayat PERTARUNGAN politik, selain berlangsung di DPR, kantor-kantor pemerintahan pusat-daerah dan lain-lain, juga berlangsung di media. Baik media ‘mainstream’ maupun media sosial. Dengan ratusan juta pengguna internet di tanah air, media sosial –fb, yoututube, twitter, instagram dan lain-lain- kini tidak kalah serunya dengan ‘media mainstream’. Youtube yang dikelola Deddy Corbuzier atau Hersubeno Arief tidak kalah pamornya dengan TV Kompas. MetroTV yang didanai ratusan milyar, ‘goyang’ dengan Channel Youtube Refly Harun dan seterusnya. Banyak masyarakat kini mulai meninggalkan TV dan ‘memantengi’ handphone tiap harinya. Di media pun kini kebijakan redaksinya (politik media) terbelah. Ada yang oposan dan banyak yang pro istana. Media-media berita mainstream, seperti Kompas TV dan Metro TV pro istana. Sedangkan TVOne cenderung oposan. Tapi karena Aburizal Bakrie mempunyai jaringan bisnis yang ‘menyerempet istana’, TVOne cenderung lebih hati-hati. Bahkan Program ILC yang diasuh Karni Ilyas yang penontonnya jutaan, 2021 ini ditiadakan. Karni menggantinya dengan channel Youtube Karni Ilyas Club (wawancara dan debat tokoh). Kompas TV meskipun punya motto Independen dan Terpercaya, tapi dalam kenyataannya pemberitaannya cenderung pro istana. Media ini sering mengkritisi kebijakan Anies, memuji Ahok, mendukung pembubaran FPI dan lain-lain. Tapi Kompas cerdik. Ia membungkus politik medianya dengan halus. Ia sering menampilkan oposan juga dalam pemberitaannya. Beda dengan Metro TV yang terlihat vulgar politik keredaksiannya mendukung kebijakan istana. Di media sosial, TV yang popular mendukung kebijakan istana dan ‘menghabisi’ oposan adalah Cokro TV. Media TV Youtube ini diawaki oleh Ade Armando, Denni Siregar, Syafiq Hasyim, Ahmad Sahal, Nong Darol dan lain-lain. Ia hampir tiap hari muncul dengan opini-opini yang memojokkan oposan. Habib Rizieq, FPI, Anies Baswedan, Rocky Gerung, Fadli Zon, Ustadz Abdussomad, Gerakan Islamisasi Kampus, PKS dan semacamnya menjadi bahan kritikan dan sinisan bagi mereka. Ade Armando, tokoh utamanya, juga sering mengekspos tokoh-tokoh liberal untuk dijadikan teladan bagi mereka. Seperti Musdah Mulia, Grace Natalie dan lain-lain. Edisi mutakhir mereka mendukung kebijakan istana untuk membubarkan FPI, SKB Tiga Menteri, mendukung pernyataan Jokowi tentang kritik, mendukung kaum Tionghoa dan lain-lain. Jumlah penontonnya ratusan ribu. Kadang sampai 800 ribu. Jumlah subscriber Cokro TV berjumlah 1,19 juta. Di kalangan oposan, TV Youtube yang terkenal minimal tiga. Yaitu : FNN, Hersubeno Point, dan Refly Harun. Forum News Network (FNN) dan Hersubeno Point dikelola mantan wartawan Republika, Hersubeno Arif dan kawan-kawan. Sedangkan Channel Refly Harun diasuh sendiri oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun. Channel Yotube Refly Harun jumlah subscribernya juga 1,19 juta. Ia bersama timnya kini tiap hari mengupload opini tentang kondisi politik di tanah air. Terakhir, ia membahas tentang: Ada Fadjroel di GAR ITB, Saat SBY pun Ikut Sumbang Kritik, Eng Ing Eng Beredar Foto Jokowi dan Abu Janda, Karni Ilyas Blok Twitter Fadjroel Ada Apa?, Buzzer itu Bernama Denny Siregar, Din Syamsuddin Radikal Salah Alamat, PKS Tanyakan Gaji Abu Janda dan lain-lain. Penonton channel ini sampai 600-an ribu. FNN jumlah subscribernya 23,6 ribu orang. Sedangkan Hersubeno Point 182 ribu orang. Edisi mutakhir Hersubeno Point di antaranya tentang: Jangan Biarkan ITB Hancur Jadi Institut Teknologi Buzzer, Yang Bener Aja Jokowi Dorong Gibran Nyagub DKI 2022, Channel Hersubeno Point Diserang, Aksi Gerilya Abu Janda Agar Tak Masuk Penjara, Ini Dia Tokoh yang Memelihara dan Menyusupkan Abu Janda, Ketua MUI: Buzzer itu Pemakan Bangkai, SBY: Tindakan Moeldoko Sudah Tidak Bisa Ditolerir dan lain-lain. Selain di Youtube, pertarungan juga terjadi di twitter. Diantara tokoh-tokoh yang aktif dalam twitter adalah : Fadli Zon, Mahfud MD, Rizal Ramli, Hidayat Nur Wahid, Tengku Zulkarnain dan lain-lain. Era keterbukaan informasi ini memungkinkan orang untuk menyampaikan pendapat seluas-luasnya. Karena itu Undang-Undang ITE yang pasal-pasal karetnya menjerat kebebasan berpendapat, harusnya dicabut. Banyak tokoh mengusulkan hal ini, tapi pemerintah dan DPR ‘diam saja’. Kini, presiden dan para menteri menyerukan untuk masyarakat tidak segan mengkritik pemerintah. Para pendukung pemerintah ramai-ramai menyuarakan hal ini, tapi para oposan pesimis. Rocky Gerung menganggap bahwa pernyataan Jokowi itu paradoks karena banyak aktivis ditangkapi. Rizal Ramli mengingatkan tentang politik 1000 bunga Mao Zedong dan di medsos viral pernyataan Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan bahwa kebebasan bicara dijamin, tapi kebebasan setelah bicara tidak dijamin. Meski Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa mereka yang mengkritik tidak akan ditangkap, para oposan tetap meragukan. Mereka menyatakan bahwa kalau pemerintah menghormati kebebasan berbicara, harusnya pemerintah membebaskan Jumhur Hidayat, Syahganda, Habib Rizieq dan pimpinan FPI dan lain-lain. Wallahu azizun hakim. Penulis buku "Agar Batu-Bata Itu Menjadi Rumah Yang Indah".
Pak Jokowi Minta Dikritik, Hipokrisi Dalam Demokrasi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Dalam sambutan di acara Ombudsman, Presiden Jokowi berpidato yang terlihat hebat dan mantap. Diantaranya Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk memberi masukan dan aktif mengkritik pemerintah. Sikap yang sangat luar biasa dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan masyarakat, terutama kalangan oposisi civil society dan pers. Permintaan tersebut ditanggapi masyarakat beragam. Sayangnya, lebih banyak yang bersikap sinis daripada bahagia. Angin politik sepoi-sepoi ini membuat mata terbelalak. Bak mimpi di siang bolong. Bukan terkejut, tetapi tak percaya. Bahkan senyum sambil tertawa kecil. Apakah gerangan yang main dimainkan lagi oleh Presiden kita ini? Mantan Wakil Presdien (Wapres) Jusuf Kalla (JK) mempertanyakan bagaimana caranya mengkritik itu tanpa ditangkap oleh polisi. Sebab terlihat Jokowi seolah-oleh membuka pintu untuk dikritik. Tetapi tombak penjara siap menancap di dada bagi mereka yang masuk dari pintu yang terbuka. Sebab tidak sesuai antara yang diomongin dengan kenyataan yang terjadi. Sejumlah tokoh oposisi yang berbeda pendapat dengan pemerintah masih mendekam di dalam penjara. Tecatat Habib Rizieq Shihab (HRS), Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ustazah Kingkin, Gus Nur dan lain-lain telah lebih dulu ditahan polisi. Bahkan Ustadz Maheer sampai-sampai meninggal di dalam Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Hanya berselang beberapa sebelum atau sesudah himbauan agar pemerintah dikritik dengan keras, lima mantan pengurus Front Pembela Islam (FPI) kembali ditahan penguasa. Penahanan dengan delik yang sangat ece-ece, yaitu pelanggaran Protokol Kesehatan (Prokes). Makanya, pertanyan Pak Jusuf Kalla itu sebenarnya sebagai sindiran terhadap orang yang paling tau prilaku Pak Jokowi yang tidak seiya sekata. Dulu Pak Jokowi juga mengatakan rindu untuk didemo. Jejak digitalnya masih ada sampai kini. Tetapi ujungnya pendemo babak belur, ditangkap, bahkan tewas ditembak oleh aparat. Wajar saja kalau masyarakat skeptis dengan pemintaan Pak Jokowi agar pemerintah dikritik dengan keras itu. Tentu ada tiga skenario dari permintaan Jokowi untuk dikritik tersebut. Pertama, memang Jokowi dan lingkaran elit telah sadar bahwa tanpa kritik, kehidupan demokrasi bergeser menjadi otokrasi. Itu berarti tercatat dalam sejarah, bahwa di eranya pemerintahan Jokowi, telah mengingkari amanat Konstitusi. Meskipun demikian, masih lebih baik terlambat diperbaiki, daripada tidak sama-sekali. Better late than never. Kedua, pemeritahan Jokowi terpaksa membuka pintu kritik, karena putus asa menghadapi kenyataan ketidakmampuan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Masalah kesehatan, ekonomi, hukum, dan politik hancur-berantakan tak terkendali. Masih terbuka sedikit celah untuk meminta maaf kepada publik, ya hanya dengan terpaksa membuka pintu kritik. Ketiga, nah ini yang paling banyak diduga masyarakat. Kritik memang dibuka luas dan lebar. Tetapi setelah itu dibungkam dengan masif. Merujuk pada cara Presiden diktator Uganda Idi Amin yang menyatakan “menjamin kebebasan berbicara, tetapi tidak menjamin kebebasan setelah bicara”. Prilaku yang mirip sama juga dilakukan oleh pemimpin Cina Mao Zedong. Mao Zedong menyatakan “membiarkan bunga mekar, setelah itu bunga semua dipetik. Para pengeritik terhadap kekuasaan Mao zedong dibantai habis setelah diberi kebebasan untuk mengkritiknya. Semoga pengalaman buruk pada Idi Amin dan Mao Zedong tidak terjadi di Indonesia. Makanya tidak berlebihan bila Pak Jusuf Kalla mengingatkan agar tanya lagi “bagaimana caranya agar tidak dipanggil polisi”? Skenario Ketiga inilah yang paling dikhawatirkan rakyat. Berangkat dari ketidakpercayaan terhadap janji-janji kampanye dan juga kinerja Pak Jokowi. Apalagi Jokowi dikenal sebagai Presiden yang inkonsisten. Mencla-mencle sebutannya. Pidato Jokowi dianggap hanya main-main. Karena di bawah mimbar pidato itu masih ada dua anjing galak yang terus menggonggong, yakni buzzer dan UU ITE. Pada sisi lain, paradigma Polisi belum berubah untuk reformasi kultural. Masih seperti tentara di eranya Orde Baru 32 tahun lalu. Polisi masih menjadi alat pemerintah. Bukan sebagai bukan alat negara. Artinya, penegakan hukum dapat dimanfaatkan sebagai alat pemenuhan keinginan politik pragmatik. Digunakan untuk menekan dan menghukum lawan-lawan politik semata. Jadi permintaan untuk aktif kritik, dan masukan sebagaimana diungkapkan Jokowi di acara Ombudsman dinilai bertendensi untuk memproteksi. Sepanjang masih banyak tokoh dan aktivis dipersekusi dan berada dalam jeruji besi, undang undang pengancam terus unjuk gigi, serta aparat yang gemar dan hobby mengeksekusi, maka permintaan untuk dikritik tetap menjadi sebuah hipokrisi dalam demokrasi. Rakyat menuntut bukti dan tidak butuh basa basi. Sebaiknya jangan tebarkan PHP lalgi. Toh, sudah terlalu banyak janji-janji kampanye yang tidak tersealisasi. Pagi tempe, sore dele. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Din Syamsuddin Penggagas Konsep “Darul Ahdi Was Syahadah”
by M. Hatta Taliwang Jakarta FNN - Hubungan saya dengan Prof. Din Syamsuddin sudah lama, sehingga saya punya catatan panjang tentang sosok ini. Tak elok saya ceritakan detail. Saya memang satu daerah dengannya, dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Jadi, saya banyak tahu riwayatnya sejak muda hingga sekarang. Tetapi tak ingin menceritakan hal-hal yang khusus. Saya hanya ingin ikut menjawab tuduhan terhadap Prof Din Syamsuddin yang dituduh radikal-radikul. Sepertinya pelapor Prof. Din Syamsuddin yang mengatasnamakan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ke Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) tidak memahami makna radikal dan radikalisme. Mungkin juga karena kurang baca berita di koran, televisi, atau media online. Sebab Prof. Din Syamsuddin justeru merupakan tokoh Islam yang sangat moderat. Prof Din Syamsuddin adalah penggagas konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Negara Kesaksian). Konsep ini kemudian disepakati oleh Muktamar Muhammadiyah tahun 2015 sebagai pedoman umat Islam untk mengisi Negara Pancasila. Gagasan ini dipidatokan kembali di Gedung MPR pada tanggal 1 Juni 2012 atas undangan Ketua MPR Taufik Kiemas. Pandangan yang sama dipidatokan Prof. Din Syamsudin lagi di Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir pada konperensi internasional tentang pembaharuan pemikiran Islam. Prof. Din Syamsuddin dikenal sering menghimpun para tokoh lintas agama dan berbagai elemen kemajemukan bangsa untuk kerukunan dan kebersamaan. Saya sering diundang pada diskusi yang menghadirkan berbagai tokoh lintas agama. Dalam kaitan ini, Prof. Din Syamsudin juga memprakarsai pembentukan Inter Religious Council (IRC) Indonesia, dan menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk kerukunan bangsa yg melahirkan berbagai kesepakatan penting. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh perdamaian dunia. Antara lain dibuktikan memprakarsai Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasatiyat Islam (Islam Jalan Tengah). Pertemuan yg menghasilkan Pesan Bogor ini sangat penting utk mengarus dan mengutamakan Jalan Tengah dalam beragama. Lewat lembaga yg dipimpin Prof. Din Syamsuddin, yaitu Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations, menyelenggarakan World Peace Forum tujuh kali, sejak 2006 sampai dengan 2018. Forum yang menghadirkan para tokoh dari berbagai negara. Yang terakhir mengangkat tema The Middle Path for The World Civilization, yang antara lain mempromosikan Pancasila untuk menjadi ideologi dunia. Selanjutnya Prof. Din Syamsudin aktif dalam dialog antar agama dan peradaban. Bahkan sampai dengan sekarang menjadi President of Asian Conference on Religions for Peace(ACRP) yang berpusat di Tokyo Jepang. Jugad Co-President of Religions for Peace International yang berpusat di New York Amerika. Dalam kapasitas ini, Prof Din Syamsuddin diundang berpidato di PBB mewakili Islam dalam rangka World Interfaith Harmony Week. Selaiun itu, Prof. Din Syamsudin diundang untuk bverpidato pada konpererensi Organisasi Katholik Dunia di Assisi, yang dihadiri Paus Fransiscus. Juga berpidato pada General Assembly World Jewish Congress di Buddapest. Minggu lalu menjadi pembicara pada Perayaan Hari Persaudaraan Sedunia yg diadakan oleh The Higher Committee for Humanity Fraternity. Masih banyak lagi forum internasional yang dihadirinya, sehingga banyak menerima penghargaan dari beberapa negara. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah selama dua periode berturut-turut, sejak tahun 2005-2015. Ketua Umum Mejelis Ulama Indonedsia (MUI) tahun 2014-2015), dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI tahun 2015-2020. Prof. Din Syamsuddin dikenal sebagai tokoh Muslim moderat seperti wawasan keagamaan Muhammadiyah. Tentu sebagai tokoh Islam dan akademisi, Prof. Din Syamsuddin sangat concerned membela kebenaran dan keadilan. Maka beliau tidak segan-segan mengeritik penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945, yang diyakininya sebagai amar ma'ruf nahyi munkar. Sangat terkenal dan konsisten dengan sikap yang demikian. Bagi yang memahami dunia akademik dan pergerakan Islam, memahamai radikalisme secara benar, maka tidak akan ceroboh menuduh Prof. Din Syamsuddin radikal. Kritis atas kebijakan pemerintah dengan data dan fakta obyektif yang disajikan tidaklah memadai untuk menjadikan itu sebagai hal yang radikal. Apalagi jika dikaitkan dangan prinsip demokrasi dan UUD45 yang memberi tempat untuk mengemukkan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Prof. Din dalam berbagai percakapan dengan kami, sering mengatakan sudah selesai dengan urusan dunia. Sehingga hemat kami, Prof Din dipecat dari ASN dan berhenti mengajar di FISIP UIN Jakarta tidak akan menjadi masalah baginya. Kami yakin banyak Universitas Swasta di dalam dan luar negeri akan menawarkan posisi sebagai dosen untuk Prof. Din Syamsuddin. Dugaan kami justru FISIP UIN Jakarta akan rugi karena Prof. Din Syamsuddin adalah satu-satunya Guru Besar di Prodi Hubungan Internasional saat ini. Sehingga tidak etis jika ada sekelompok alumni sebuah Perguruan Tinggi yang mengadukan dosen atau Guru Besar Perguruan Tinggi lain atas alasan yang mengada-ada, tak proporsional dan absurd, misled and misleading. Bisa saja orang luar ada yang berspekulasi dan berasumsi, apakah ulah kelompok ini merupakan bagian dari operasi intelijen atau kerja dari buzzer bayaran? Atau mereka disponsori oleh pihak yang diketahui tidak menyukai Prof. Din Syamsuddin berada di Majelis Wali Amanat (MWA) ITB sebagai penjelmaan pertarungan aliran keagamaan dan politik di lingkungan kampus? Dugaan kami, perlakuan tidak adil terhadap Prof Din Syamsudin dengan mendongkelnya dari ASN, justru menguntungkan kelompok oposisi. Sebab akan membuat Prof Din Syamsuddin lebih bebas dan leluasa menggerakkan kelompok oposisi menghadapi kezaliman penguasa. Penulis adalah Direktur Eksekutif Institut Soekarno Hatta.
Kebangsaan Din Syamsuddin Memang Radikal & Mendasar
by Poetra Adi Soerjo Sumbawa FNN - Saya berasal dari Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekampung dengan Prof. Din Syamsuddin, dan banyak berinteraksi dengan berbagai aktivitas dan pikiran beliau. Purna sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin lebih banyak pulang kampung, mengabdikan diri membangun generasi. Beliau mendirikan dan sekaligus menjadi pengasuh Pesantren Modern Internasional Dea Malela. Psantren yang santrinya datang dari seluruh penjuru dunia, demi membangun satu generasi Islam berkemajuan. Generasi yang bisa menebar rahmat bagi seluruh alam. Di Pesantren ini salah satunya saya banyak berjibaku dengan pikiran pikiran Prof. Din Syamsudin. Tidak hanya terkait agama dan kebangsaan, tetapi juga dunia dan peradaban. Dalam berbagai interaksi tersebut, saya berkesimpulan, memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin sangat "radikal". Radikal itu berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara dalam, utuh dan menyeluruh. Tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi, tetapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian inilah saya memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof. Din Syamsuddin memang sangat dalam, kuat dan mengakar (radikal). Prof. Din Syamsuddin bukanlah orang yang gamang dalam memahami setiap disiplin keilmuan. Beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik. Sebagai seorang Profesor, Din Syamsuddin memiliki segala tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu. Apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof. Din Syamsuddin dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara, peradaban barat. Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah, Master dan Phd di California University Amerika Serikat, menjadikan pikiran-pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan Timur dan Barat. Islam yang demokrasi dan pembangunan. Untuk itulah Prof. Din Syamsuddin memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia. Terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam menempatkan kata radikal. Kesalahan membangun definisi radikal inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof. Din Syamsuddin. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cenderung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism. Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar agama (ushuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah saya mengakui Prof. Din Syamsuddin sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal. Namun demikian, jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir yang difahami sebagian alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat-menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap yang ekstrim, karena melampaui batas. Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang, gamang dan mudah digoyang. Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir. Ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang-orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang mendasar (radix). Karena kedangkalan berpikir itulah yang membuat mereka gamang dan mudah distir atau dibelokkan menjadi ekstrimis. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis. Ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda. Radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Radikalisme berpikir memang akan melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah, jika tradisi berpikir kritis dipandang sebagai ekstrimisme. Apalagi labeling radikalis dewasa ini cenderung disematkan hanya karena berbeda pendapat dengan kekuasaan. Para intlektual yang tidak radix dan atau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit menggunakan terma radikal tidak pada tempatnya. Orang-orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix dalam jangka waktu yang lama telah menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit. Pagi bicara tahu sore bicara tempe. Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap. Berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap. Namun lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian "aku lelah menjadi separuh". Orang yang separuh memang nelangsa. Dalam kapasitas Prof Din Syamsuddin sebagai seorang ASN, apakah beliau tidak boleh kritis dan berbeda pendapat dengan pemerintah? Banyak orang yang tak sadar bahwa dunia akademisi adalah panggung mimbar bebas. Panggung yang lepas dari intervensi negara dan pasar. Seorang akademisi bebas menyampaikan thesis yang dibangunnya, apapun temuan dan dalam forum apapun itu. Jangan karena seseroang terikat dengan norma sebagai seorang ASN, laku harus mengatakan demokrasi telah berjalan dengan baik, meski sebenarnya sedang jatuh pada titik nadirnya hanya karena dia tidak boleh berbeda pendapat dengan kekuasaan sebagai seoramg ASN. Untuk itulah ada UU yang lex specialis bagi guru dan dosen yang meski sebagai seorang ASN. Namun tetap bebas menyampaikan apapun temuan yang didasarkan pada indikator indikator ilmiah yang dibangun. Di Pondok Modern Internasional Dea Malela, Prof. Din Syamsuddin telah dan sedang membangun generasi muda yang kuat dalam berpikir. Kokoh dalam berpendirian. Berkarakter dalam bersikap, dan terbuka dengan berbagai perbedaan. Prof. Din Syamsuddin adalah orang yang sudah, sedang dan terus berbuat untuk membangun generasi bangsa yang berkarakter. Generasi dengan tradisi berpikir yang terbuka dan komplek. Generasi yang tidak rapuh menghadapi dalam menghadapi problematika kebangsaan dan keagamaan di era post truth. Era dimana kita sedang menyaksikan orang-orang tak lagi memahami apa yang sedang dibicarakan. Apalagi untuk memahami orang lain. Jauh dari yang diharapkan. Prof. Din Syamsuddin telah menjadi figur dan tokoh dunia dalam isu perdamaian dan kemanusiaan yang universal. With or with out state, Prof. Din Syamsuddin sebagai pribadi telah menjadi rujukan bagi terbangunnya jembatan pengertian antar peradaban. Betapa ruginya Indonesia, jika seorang tokoh yang dikenal dunia sebagai simbol perdamaian dan telah berkonstribusi besar dalam berbagai konflik dunia justru di-blackmail di negaranya sendiri. Negara harusnya mengambil untung dari keberadaan dan pergaulan internasional Prof. Din Syamsuddin yang telah menjadi duta dunia. Faktanya Indonesia selama ini telah diuntungkan dari berbagai aktivitas Prof. Din Syamsuddin di dunia Internasional. Penjurubicaraan beliau atas isu-isu perdamaian telah membawa harum dan atau setidaknya menutup banyak bopeng wajah demokrasi Indonesia selama ini. Karena dalam kapasitasnya berbicara sebagai penyeru perdamaian, solidaritas, toleransi dan HAM. Prof. Din Syamsuddin tetaplah direkognisi dunia sebagai orang Indonesia dan sekaligus sedang menjurubicarai Indonesia. Sehingga lucu jika emas yang telah menjadi duta Indonesia di berbagai forum dunia justru dirusak dengan labelling radikal dalam pengertian yang sempit di negerinya sendiri. Dilabeli dengan pengertian radikal dengan basis definisi yang contradictio in terminis. Definisi yang sebenarnya sedang menpertontonkan kedunguan kita sebagai bangsa dalam peradaban pengetahuan. Penulis adalah Anak Muda Sumbawa & Direktur Eksekutif Open Parliament Institute.
Ketika Segalanya Dipolitisir
by Shamsi Ali Doha FNN - Seringkali kita dengarkan istilah poltisasi agama. Tentu yang dimaksud adalah penggunaan atau pelabelan agama untuk kepentingan-kepentingan politik. Dengan kata lain agama dijadikan obyek demi meraih kepentingan politik. Agama diserert-seret, dibawa-bawa untuk hal-ihwal yang berkaitan dengan politik semata. Ternyata dalam dunia, dimana politik menjadi penentu dominan dalam kehidupan publik, bukan hanya agama yang dipolitisir. Tetapi hampir segala aspek kehidupan publik yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa diwarnai oleh terpaan angin politik. Dari soalbudaya, pendidikan, bahkan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari rasa politik alias politisasi. Orang-orang mendukung atau menentang sesuatu bukan karena memang hal itu baik atau sebaliknya tidak baik. Tetapi karena secara politik tidak sejalan dengan rasanya (kepentingannya). Bertentangan dengan keinginan dan kepentingan politik sesaat. Bentuk busana didukung, bahkan dipakai bukan karena “murni” (genuine) suka atau senang dengan busana itu. Tetapi karena busana itu pada saat tertentu mendukung kepentingan politiknya. Lihatlah larisnya baju-baju koko dan peci di musim-musim politik. Atau wanita-wanita politisi yang selama ini dengan terbuka menentang “syariah” ikut memakai jilbab di musim-musim politik. Bahkan istilah-istilah syariah seperti halal dan wakaf juga menjadi laris ketika hal itu dapat mendukung kepentingan atau imej politik tertentu. Padahal secara umum syariah oleh orang-orang yang sama dianggap berbahaya, bahkan anti Pancasila, anti UUD dan anti NKRI. Kini kecenderungan itu merambah ke ranah konsep karakter orang atau sekelompok orang. Seseorang dengan mudah dianggap intoleran hanya karena yang bersangkutan tidak sejalan dengan posisi pilitiknya. Demikian sebaliknya. Betapa prilaku kasar dan intoleransi seseorang atau sekolompok orang dipertontonkan tanpa malu. Tetapi tetap saja dibiarkan, bahkan seolah dipelihara dan dilindungi. Akibatnya konsep toleransi terasa aneh. Toleransi yang pernah saya sebut dengan toleransi memihak. Toleransi yang dipasung untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Politisasi Radikalisme dan Moderasi Kini yang juga mengkhawatirkan adalah politisasi kata radikal dan intoleransi. Juga sebaliknya dengan kata moderat. Seseorang akan mudah dilabeli dengan kata radikal hanya karena berseberangan secara kepentingan politik. Sebaliknya seseorang atau sekolompok orang dengan enteng dilabeli moderat karena sejalan secara kepentingan politik. Masalahnya kemudian label radikal dan intoleransi ini tidak berakhir pada tataran persepsi atau wacana semata. Tetapi boleh jadi membawa kepada perangkap keamanan atau ancaman stabilitasi negara. Pada akhirnya orang yang dipaksakan untuk diposisikan sebagai posisi radikal dan intoleransi itu dianggap membahayakan negara atau pemerintah. Saya kembali teringat peristiwa 9/11 di Amerika Serikat. Dimana saat itu kata radikal atau ekstrim menjadi kata yang paling populer berdampingan dengan kata “terror”. Sehingga peperangan apa yang disebut “terror” ketika itu tidak bisa dilepaskan dari peperangan kepada “kaum radikal”. Belakangan opini tersebut semakin tergiring menuju kepada satu kelompok. Yaitu orang-orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan global Amerika dan sekutunya di berbagai belahan dunia, khususnya di Timur Tengah. Tetapi oleh pihak-pihak tertentu penggiringan opini semakin mengarah kepada Umat Islam. Pada akhirnya apa yang disebut sebagai peperangan kepada “terror” atau “war on terror” dimaknai sebagai peperangan kepada Umat Islam. Inilah sesungguhnya dikemudian hari yang diterjemahkan oleh Donald Trump dalam sebuah kebijakan “Muslim Ban” atau pelarangan orang Islam untuk masuk Amerika. Dimulai dari tujuh negara. Tetapi tujuannya mengarah kepada pelarangan secara totalitàs kepada orang Islam untuk masuk Amerika. Pada sisi lain, sejak Bush hingga Trump, ada pihak-pihak tertentu yang kemudian dilabeli “Muslim moderate”. Pelabelan itu bukan berdasar pada substansi moderasi itu sendiri. Karena beberapa pihak yang dianggap moderate justeru secara ideologi cukup kontras dengan nilai-nilai moderasi. Di zaman GW Bush misalnya, Saudi Arabia dijuluki sebagai negara/bangsa yang moderate. Saya masih ingat bagaimana Pangeran Bandar Bin Sultan, Dubes Saudi untuk AS ketika itu begitu akrab dengan Presiden Bush. Padahal dari sekian yang dituduh sebagai pelaku serangan 9/11 mayoritasnya berkebangsaan Saudi Arabia. Yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa ternyata penilaian radikal, intoleran dan/atau moderat itu banyak dan ditentukan oleh kepentingan, termasuk kepentingan politik ketika itu. Dan pada akhirnya nilai itu terasa kehilangan esensinya. Hari-hari ini isu radikal kembali ramai dibicarakan. Prof. Dr. Din Syamsuddin MA, tokoh nasional dan internasional, mantan Ketua Umum Muhammadiyah dua periode, Presiden Kehormatan Agama-Agama Dunia untuk perdamaian (World Religion for Peace) dan seabrek posisi nasional maupun internasional konon dilaporkan oleh apa yang disebut Getakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB. Saya pribadi sangat terkejut dan kecewa. Karena saya yakin, siapa saja yang memiliki logika sehat akan melihat Pak Din Syamsudin tidak saja sebagai tokoh nasional dan internasional yang moderat. Tetapi juga beliau berada di jalan perjuangan untuk membangun Moderasi (advancing moderation) dan perdamaian dunia (world peace). Pak Din Syamsudin sendiri pernah menjadi Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Perdamaian dan Dialog antar Agama dan Peradaban. Hanya saja beliau meninggalkan posisi itu karena ada sesuatu yang tidak sejalan dengan visi beliau sebagai tokoh agama dan perdamaian. Apakah begitu mudah kemudian seorang Din Syamsuddin dituduh sebagai radikal hanya karena tidak setuju atau tidak sejalan dengan keadaan atau kebijakan politik yang ada? Begitu mudah mengingkari perjalanan panjang dan bersejarah beliau dalam membangun moderasi dan perdamaian? Disinilah urgensinya untuk kita saling mengingatkan. Kiranya masanya perlu menghentikan politisasi istilah radikalisme atau moderasi. Selain hanya menambah keresahan dalam masyarakat, juga akan semakin mempertajam kecenderungan karakter “we vs them” (kami lawan mereka). Kecenderungan memecah belah atau “divide at empire” ini pastinya hanya akan semakin melemahkan Umat dan bangsa itu sendiri. Karena sesungguhnya Umat dan tokoh-tokohnyalah, termasuk pak Din Syamsudin, yang menjadi tulang punggung ketahanan bangsa. Karenanya serangan kepada tokoh-tokoh agama seperti pak Din Syamsudin ini adalah bagian dari upaya pelemahan Umat dan bangsa. Kecurigaan-kecurigaan itu boleh saja terbangun. Salah satunya, jangan-jangan memang ada “hidden power” yang bermain dan bertepuk di balik layar. Semoga tidak! Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation.
Budaya Lapor Dan Demokrasi Kita
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Prof. Dr. Din Syamsuddin MA ke Komisi Aparatur Negara (KASN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tuduhannya, dugaan pelanggaran kode etik Pegawai Negeri Sipil karena berpolitik. KASN menindaklanjuti laporan itu dan melimpahkan kepada Satuan Tugas Penanganan Radikalisme ASN. Shinta Madesari dari GAR mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme (TEMPO, 14 Februari)). Lalu, tanggapan pun muncul dari banyak pihak. Banyak yang menyayangkan isu radikalisme dikaitkan dengan sosok Din Syamsuddin. Tak kurang dari organisasi sekelas Pengurus Besar Nahdatul Ulama ikut berkomentar. Muhammadiyah, yang punya sejarah panjang dengan Din Syamsuddin, telah lebih dulu bicara. Reaksi personal juga ditunjukkan sejumlah tokoh. Sebut saja Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid hingga Guru Besar UIN Jakarta Prof. Azyumardi Azra. Media sosial berkecamuk. Netizen, seperti biasa, kembali perang narasi. Laporan GAR alumni ITB tersebut pada akhirnya menjadi sumber kegaduhan baru. Gaduh itu muncul karena laporan ini dipandang bertentangan dengan karakter dan rekam jejak Prof. Din Syamsudin. Memori publik rupanya lekat dengan sosok Prefesor yang intelek dan teduh. Jauh dari kesan radikal-radokul. Selama ini, publik memang mengenal Prof. Din Syamsudin sebagai tokoh lintas agama, yang berpikiran moderat dan konsisten mengampanyekan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah salah satu inti ajaran agama Islam yang mengedepankan jalan pertengahan. Tidak sulit mengaca karakter itu pada sejarah perjalanan hidup Prof Din Syamsudin. Presiden Jokowi sendiri pernah memandatkan Din sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog kerjasama antar-peradaban yang melaksanakan Konsultasi Tingkat Tinggi di Bogor pada 2019. Rekam jejak lainnya dengan mudah ditemukan di mesin pencari google atau cukup mengunjungi laman Wikipedia. Jadi, wajar bila ada reaksi publik dalam menentang pelaporan GAR alumni ITB beraneka ragam. Ada yang menanggapi dengan pernyataan lembut, ada pula yang berkomentar keras. Ketua DPP Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah misalnya, mengatakan bahwa pelaporan tersebut adalah bentuk kebencian yang tidak berdasar, gegabah, dan tidak punya data yang kokoh. Penentangan publik terhadap pelaporan Prof. Din Syamsudin sekaligus menunjukan sosok cendekiawan Islam ini adalah aset bangsa. Pada level inilah pencapaian Prof. Din Syamsuddin harus diakui sebagai kekayaan. Masyarakat agaknya punya "rasa memiliki" terhadap dirinya. Hak Warga Negara Melaporkan seseorang adalah hak semua warga negara. Namun, laporan pelanggaran kode etik yang kemudian ditangani dalam satuan tugas radikalisme menggiring persepsi bahwa Prof Din Syamsudin radikal-radikul. Namun, belakangan Pemerintah mengaku tidak akan menindaklanjutinya. Pengakuan ini disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD. Mahfud malah balik menegaskan, sosok Prof. Din Syamsudin sangat bertolak belakang dengan yang dituduhkan GAR alumni ITB. "Pak Din itu pengusung moderasi beragama (washatiyyah Islam) yang juga diusung oleh pemerintah", begitu kata Mahfud. Namun, ombak kegaduhan terlanjur berkecamuk. Gelombangnya sulit ditebak akan terdorong angin hingga ke mana. Pemuda Muhammadiyah mengatakan akan menempuh langkah hukum apabila GAR ITB tidak mencabut laporan dan meminta maaf. Artinya, ada kemungkinan kasus ini tetap berlanjut, meski laporan tidak ditindaklanjuti Pemerintah. Mekanisme hukum memang memungkinkan pelapor menjadi terlapor. Bila laporan terbukti tidak berdasar, sehingga merugikan nama baik terlapor, pihak yang merasa dirugikan dapat melaporkan balik. Umumnya, argumentasi yang digunakan adalah dalil pencemaran nama baik, dan atau perbuatan tidak menyenangkan. Aturan hukumnya nyata ada. Menjadi Titik Balik Hukum biarlah tetap menjadi persoalan hukum. Pertanyaan penting bagi kita sebagai bangsa, apakah kita akan membiarkan fenomena lapor-melapor terus menerus mengusik hari-hari kita? Berapa banyak laporan yang sebenarnya dimotivasi sentimen kebencian, politik, dan lain-lain? Lantas, berapa banyak energi bangsa yang dihabiskan untuk sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting? Pelaporan GAR alumni ITB terhadap Prof. Din Syamsudin tidak boleh menguap begitu saja. Kejaian ini harus menjadi pembelajaran kita sebagai bangsa. Peristiwa ini harus kita jadikan titik balik menata demokrasi dan kehidupan sosial yang lebih baik. Jangan acak-kadit seperti ini. Sebelum kasus GAR alumni ITB meledak, dalam konteks berbeda, Presiden Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja Pemerintah. Namun, tak berselang lama, mantan Wakil Presiden bertanya-tanya, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Tidak sulit menebak arah pertanyaan Pak Jusuf Kalla itu. Pertanyaan ini agaknya lebih berupa satire terhadap kehidupan berdemokrasi kita saat ini. Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit lapor, begitu kalimat yang sering terdengar. Mulai dari obrolan warung kopi hingga perbincangan di linimasa media sosial. Kalimat ini sekaligus merefleksikan kegundahan hati sebagian masarakat. Perbedaan pendapat adalah sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi. Penghormatan terhadap perbedaan pendapat merupakan roh bagi gerak dinamis demokrasi itu sendiri. Kita boleh berbeda pendapat terhadap suatu persoalan bangsa. Namun kita sepakat untuk tidak sependapat. Artinya, perbedaan pendapat tetap dihargai sebagai sebuah kewajaran. Pun, Bhineka Tunggal Ika harusnya kita pahami dengan utuh. Tidak semata-mata hanya dipakai untuk menyamakan visi besar kita dalam memandang perbedaan. Tetapi juga untuk menumbuhkan perbedaan sebagai sebuah kekuatan dalam berbangsa. Konteksnya tidak sebatas menjaga kemajemukan warga bangsa, tetapi juga menjaga kemerdekaan pikiran. Kalau hanya sekadar berbeda lantas menjadi bahan pelaporan, tentu tindakan ini justru berbahaya bagi demokrasi. Kita berharap, negara menjamin kemerdekaan pikiran sebagai dialektika yang sehat. Tentu sepanjang tidak melawan aturan. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.
Covid-19 Memicu Great Reset Dunia Pendidikan
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Dalam sejarah umat manusia, belum ada peristiwa yang bisa memicu perubahan dalam berbagai spektrum kehidupan secara radika, kecuali pandemi Covid-19. Penularan virus mematikan itu, telah memaksa kita melakukan banyak penyesuaian dan adaptasi. Meninggalkan sesuatu yang lama. Bahkan mengadopsi hal-hal baru. Bagaimana misalnya, kita yang terbiasa bekerja harus datang ke kantor, setor muka, dan mengisi absensi, kini beralih dengan bekerja dari rumah (WFH). Demikian juga di sektor layanan medis, konsultasi dengan dokter secara jarak jauh (telemedis) telah menjadi tren baru. Perubahan pola dan kebiasaan, juga terjadi di sektor pendidikan. Sekolah jarak jauh, pembelajaran daring, teleedukasi, virtual learning, webinar. Itulah berbagai jenis kegiatan pendidikan yang baru kita kenal dalam satu tahun terakhir. Namun diadopsi secara masif. Semua perubahan perilaku, pola dan kebiasaan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 itu terakumulasi dalam satu gelombang great reset. Istilah great reset ini, diintroduksi oleh World Economic Forum yang bermarkas di Swiss. Perubahan tatanan secara besar-besaran dan terjadi sangat mendasar. Covid-19, telah memicu great reset di sektor pendidikan. Great reset, semestinya memacu kita bergerak cepat. Beradaptasi secara gesit. Sehingga tidak ketinggalan dan terlindas oleh gemuruh pandemi Covid-19. Dalam hal ini, negara semestinya telah membuat rancangan bangun arah bangsa di era great reset. Namun apa yang terjadi di Indonesia setelah setahun Covid-19. Saat guru dan murid di Indonesia masih harus tatap muka secara virtual, di daerah asal Virus Covid 19 di Wuhan Cina sana, sekolah telah dimulai sejak Agustus 2020. Di provinsi lain Negeri China, sekolah tatap muka bahkan telah dimulai jauh sebelum Agustus. Begitu juga dengan Jepang, Norwegia, Australia, dan beberapa negara lainnya. Setahun berlalu, kita masih jalan di tempat. Disebut begitu, karena belum ada titik terang sekolah tatap muka bakal dimulai kapan. Target atau agenda dari Departemen pendidikan pun belum terdengar lagi. Sebelumnya, sekolah diagendakan buka Januari 2021 lalu. Namun rencana itu dianulir. Pembatalan itu harus dilakukan karena Covid-19 tak kunjung dapat terkendali. Belakangan, kasus positif malah semakin mencemaskan. Kementerian Kesehatan mensinyalir tahun ini jumlah kasus Covid-19 bakal mencapai 1,7 juta. Sementara mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla memprediksi lebih tinggi lagi. Menurutnya, angka kasus covid-19 dapat menembus dua juta kasus pada April 2021. Ironisnya, bila kita mengamati ribut-ribut pembicaraan di ruang publik. Isu yang sering diperdebatkan justru soal-soal di luar urusan Covid-19. Kalau bukan politik, ya, sentimen sosial-keagamaan. Tengok misalnya, isu kudeta Partai Demokrat atau kicauan rasis seorang netizen yang menghangat baru-baru ini. Isu tentang Covid-19 sendiri mulai jarang menjadi headline news. Begitu pula dengan perbincangan tentang dunia pendidikan di tengah pandemi. Isu pendidikan sempat menjadi perbincangan hangat publik. Namun, tema yang diperdebatkan justru soal aturan pemakaian jilbab di sekolah. Sungguh, energi bangsa ini banyak terkuras pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu. Dalam konteks membangun kewaspadaan terhadap virus, soal-soal itu justru berpotensi menjauhkan alam bawah sadar kita kepada gurita pandemi Covid-19. Seringnya fokus perhatian terhadap pandemi ditelikung oleh isu-isu lain yang menguat, barangkali tak banyak di antara kita yang menyadari bahwa negeri ini telah menorehkan tiga rekor buruk Covid-19 dalam dua bulan terakhir. Sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus. Sebagai negara nomor satu di Asia dengan tingkat kematian akibat Covid-19 terbanyak. Sebagai negara nomor satu di Asia dan nomor tiga di dunia dengan jumlah dokter yang wafat terbanyak. Tapi sudahlah, sembari memperketat protokol kesehatan diri dan keluarga, kita percayakan saja penanggulangan Covid-19 kepada Pemerintah dan Satgas Penanganan Covid-19 serta aparat terkait lainnya. Kita doakan mereka yang diamanahi mengembang tugas mulia itu dapat segera merumuskan formulasi penanganan Covid-19 yang tepat dan efektif. Kendala dan Dampak Kecendrungan perkembangan Covid-19 membawa kita pada kesimpulan, bahwa sekolah virtual masih akan berlangsung lama. Kondisi ini sangat disayangkan. Karena proses belajar-mengajar daring nyatanya tidak efektif, atau setidaknya belum menemukan titik ideal. Itulah akibat keterlamabatan pemerintah memberikan respons secara ilmiah terhadap pandemi ini. Disebut demikian, karena pertama, survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan, sebanyak 43 persen pelajar mengeluhkan kuota, sebanyak 29 persen tidak memiliki alat seperti telepon pintar atau komputer, dan yang tidak terkendala oleh keduanya hanya 16 persen. Survei itu dirilis Agustus 2020. Artinya, enam bulan pertama pelaksanaan sekolah virtual, sebagian besar pelajar masih terkendala teknis. Pertanyaannya, jika kendalanya saja demikian, bagaimana kita akan mendiskusikan efektivitas belajar-mengajar virtual? Kedua, survei KPAI yang dirilis 3 Januari 2021 menemukan, sebanyak 57 persen siswa mengaku kesulitan menerima materi pelajaran melalui virtual. Sebanyak 87 persen siswa menginginkan pembelajaran tatap muka secara langsung. Kesulitan proses belajar mengajar semakin dirasakan ketika pelajaran praktikum tidak mungkin dilakukan virtual. Sejumlah kendala di atas menunjukkan problem mendasar dalam dunia pendidikan kita di masa pandemi. Belum lagi berbicara dampak turunan lainnya. Dampak derivatif dimaksud adalah, pertama, belajar mengajar virtual secara tak langsung mengarahkan keakraban anak remaja dengan gadget. Mereka dirumahkan, jauh dari pergaulan sosial sesungguhnya. Alhasil media sosial berpotensi besar menjadi alternatif komunikasi sekaligus ruang sosial baru yang menyenangkan. Facebook, Twitter, Instagram, bukan hal baru bagi pelajar saat ini. Di beranda media sosial, anak-anak bisa menemukan informasi sarat kebajikan. Tetapi dengan mudah pula tersodori bacaan penuh hasutan. Fakta seringkali beradu pengaruh dengan hoax, ditambah sampah kata-kata dan kata-kata sampah yang tak henti lalu-lalang di linimasa media sosial. Kedua, potensi lost generation atau generasi yang hilang. Istilah lost generation muncul kali pertama untuk menggambarkan situasi yang terjadi setelah pasca Perang Dunia I di tahun 1920 silam. Dalam konteks dunia tanpa perang, generasi bangsa dapat "hilang" bila pendidikan tercerabut dari diri generasi bangsa, termasuk bila pembelajaran berkualitas kita biarkan terus menerus terjadi tanpa merumuskan konsep lanjutan yang lebih efektif. Lost generation harus mendapat perhatian secara serius. Terlebih karena lost generation tidak semata faktor kegagalan pencapaian pembelajaran yang berkualitas, tetapi juga bersinggungan dengan pengaruh faktor ekonomi. Kita tahu, situasi ekonomi bangsa sedang sulit. Pandemi telah menyebabkan banyak orang tua siswa yang kehilangan sumber pendapatan Desember 2020, Badan PBB untuk anak-anak (UNICEF) telah memberikan indikasi kuat adanya potensi itu. UNICEF menemukan, sebanyak 938 anak Indonesia putus sekolah karena kendala biaya sebagai imbas kemerosotan kemampuan ekonomi akibat pandemi. Sebanyak 75 persen di antaranya tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan secara permanen karena orang tua putus pekerjaan. Problem pandemi bagi dunia pendidikan memang cukup kompleks. Pasalnya, akar persoalan tidak murni sebatas relasi dunia pendidikan dengan situasi wabah. Keadaan ekonomi nasional, kehidupan sosial bangsa, dan bahkan keberpihakan politik atau kebijakan negara menjadi faktor penentu pula. Hal lain, sistem pendidikan nasional kita tidak dibangun untuk mengantisipasi situasi wabah, khususnya pandemi yang berkepanjangan seperti saat ini. Akibatnya, konsep penyesuaian metode belajar-mengajar pada keadaan darurat dirumuskan bersamaan dengan situasi darurat itu sendiri. Langkah ini tentu membuka peluang kekurangan di sana-sini. Peran Pemuda Dalam situasi yang demikian kompleks itu, bagaimana peran pemuda dan remaja? Diskusi kita hari ini adalah contoh terbaik kreativitas pemuda dan remaja yang tergabung dalam Himpunan Pelajar Muslim Indonesia (HILMI). Kegiatan HILMI menjadi bukti bahwa anak muda dapat berpartisipasi aktif mendukung upaya penanggulangan pandemi dan krisis akibat pandemi secara intelek melalui diskusi. Ini bagus karena diskusi adalah tradisi intelektual yang harus terus berkecamuk. Peran pemuda sejatinya memang harus dominan dalam lalu-lalang gagasan. Dalam konteks pandemi, partisipasi kaum muda juga dibutuhkan dalam menyebarkan informasi akurat mengenai Covid-19, mengatasi mitos dan stigma yang berkembang, mengawasi hoax, dan seterusnya. Perubahan jaman telah mengantar kita kepada revolusi industry 4.0. Penguasaan kaum muda pada penggunaan teknologi informasi seperti internet, dapat dijadikan pintu masuk menemukan cara-cara baru dan inovatif untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media massa, lembaga legislatif, dan lain-lain. Gunakan saluran itu menyampaikan saran dan kritik secara elegan. Juga, maksimalkan media sosial. Kita tahu, media sosial dijejali dengan akun-akun antagonis. Sejukkan dan warnailah dengan ghirah yang menggelora. Saling mengingatkan dalam situasi pandemi adalah langkah nyata pemuda membantu negara. Saya menaruh harapan besar kepada HILMI. Para pelajar yang tergabung dalam organisasi ini semoga dapat mengambil kunci harakah yang berbeda dari pemuda lain. Dua kata kunci dalam akronim HILMI harus dijiwai dengan serius, "pelajar" dan "muslim". Resapi dan camkan maknanya di sepanjang jalan perjuangan menuju cita-cita. Bahwa hari ini situasi pandemi mengharuskan pelajar menempuh pendidikan secara virtual, itu adalah tantangan yang harus dijawab. Lawan rasa malas, berdiskusilah guna membantu guru menemukan ide terbaik mendongrak efektivitas proses pembelajaran daring. Pada akhirnya, pupuk bagi mekarnya pelajar adalah pendidik. Bagaimanapun, keberhasilan proses belajar-mengajar virtual akan sangat bergantung pada kreativitas dan kemampuan guru dalam berinovasi dan berimprovisasi. Tentu termasuk membangun komunikasi dengan orang tua siswa, misalnya melalui Whatsapp grup atau aplikasi lainnya. Di tengah situasi yang serba virtual ini, menjadi penting bagi para pegiat pendidikan memikirkan langah-langkah alternatif yang dipandang dapat mengatrol efektivitas belajar-mengajar daring. Sifatnya bisa berupa terobosan pribadi guru atau kebijakan internal sekolah. Jika pun ada yang ingin diusulkan dan diperjuangkan di tingkat nasional, saya selaku Anggota Komite III DPD RI siap mendukung. Penulis adalah Anggota Komite III DPD RI.
Gokil Abis Kalau Pilkada Serentak 2024
by Nanik S. Deyang Madiun FNN - Apapun alasan yang dijadikan pemerintah untuk ngotot tidak mau merevisi UU Pemilu, sehingga tetap menunda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2022 dan 2023, menimbulkan tanda tanya besar. Bila sampai Pilkada serentak 2024, nni benar-benar ngaco an gokil abis. Pemerintah maunya Pilkada pada tahun 2024, bareng atau serentak dengan Pemilihan Presiden Pilpres dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Untuk remeralisasikan rencana itu, diketahui pimpinan negara sampai harus turun sendiri melobi ketua-ketua partai. Anehnya, DPR yang tadinya paling bersemangat untuk mengajukan revisi, malah sekarang terkesan membeo. Terakhir mayoritas DPR mengikuti saja apa kemauan pemerintah, kecuali Partai Demokrat yang masih tetap menginginkan adanya revisi UU Pemilu, sehingga Pilkada bisa dilakukan di tahun 2022 dan 2023. Pilkada yang sesuai dengan berakhirnya masa jabatan para Kepala Daerah. Salah satu yang masa jabatannya habis itu adalah Gubernur DKI. Meski saya bisa mengira-ngira apa dibalik semua itu, tetapi saya tutup mata saja. Pura -pura nggak tau sajalah. Saya hanya akan menulis kalau betapa powefullnya Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Bayangkan Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan 2023 itu sebanyak 272 ( Gubernur, Bupati dan Walikota). Artinya selama dua sampai tiga tahun 272 kepala daerah akan dijabat oleh penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota. Siapa yang bakal menjadipenjabat Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut? Ya PNS yang akan ditunjuk oleh Kemendgri. Ini ngaco dan jelas gokil abis. Mungkin baru kali ini dalam sejarah Indonesia, sejak merdeka, ada 272 Gubernur, Bupati dan Walikota yang dijabat oleh penjabat dalam jangka waktu sampai bertahun -tahun. Karena dalam UU administrasi, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan para penjabat tersebut, juga masih sangat "abu-abu". Makanya, bisa dibayangkan betapa kisruhnya tata kelola suatu pemerintahan daerah, bila nanti penjabat tersebut mengambil kebijakan-kebijakan yang justru kontra produktif dari kepala daerah yang masa jabatannya habis. Peluang bagi terjadinya penyimpangan atau korupsi juga sangat besar, bahkan terbuka lebar. Karena penjabat Gubernur, Bupati dan Walikoa itu punya beban moral kepada rakyat. Mereka bisa membuat kebijakan sesuka hati. Yang penting bagi-bagi proyek dengan DPRD setempat. Kepentingan rakyat bergeser menjadi kepentingan penjabat dengan DPRD semata Persoalkan Legitimasi Pemilu Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, akan ada sekitar 272 pelaksana tugas, penjabat, atau penjabat sementara kepala daerah jika pilkada digelar serentak pada 2024 nanti. Para kepala daerah sementara itu akan ditunjuk oleh Presiden (untuk gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati dan Walikota). Menurut Burhanuddin, jika benar terjadi, maka ini menjadi masalah dari sisi legitimasi dan demokrasi. Sebab Para plt dan penjabat kepala daerah itu bukan hasil pilihan rakyat secara langsung. Kewenangan mereka pun terbatas dalam menentukan kebijakan. Selain itu, lanjut Burhanuddin, keberadaan plt dan penjabat kepala daerah dalam pilkada ini memiliki implikasi ke Pemilu 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Daerah yang akan habis masa jabatan di 2022 dan 2023 ialah para kepala daerah di Jawa dan Sumatera. Seperti Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan. Daerah-daerah itu memiliki basis populasi pemilih yang besar. "Kalau misalnya muncul dugaan abuse of power untuk kepentingan 2024, baik Pileg maupun Pilpres, karena penggunaan plt atau penjabat, saya khawatir legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan," kata Burhanuddin. Penulis adalah Wartawan Senior.