Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanistis (Bagian-1)

Tulisan ini sebagai catatan akademis singkat terhadap buah pikir Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH. teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Univesitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heurestika Hukum”.

by Prof. Dr. Syaiful Bakhri SH. MH.

Jakarta FNN - Membaca pemikiran Prof. Dr. H. M. Syarifuddin SH.,MH. dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, mencerminkan kematangan pemikiran sebagai seorang hakim. Kematangan sebagai buah hasil pergumulan panjang dalam mencari, dan menemukan jawaban atas setiap permasalahan hukum yang ujungnya penjatuhan putusan oleh Hakim.

Pekerjaan Hakim tersebut sebagaimana diuraikan secara lugas dalam Pidato Pengukuhannya, yakni upayah untuk menyelaraskan hukum dan keadilan. Upaya melalui kegiatan menafsirkan aturan. Membentuk norma baru. Mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara. Puncaknya menjatuhkan pidana, sebagai kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif Hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan (Syarifuddin, 2021: 06).

Dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menyadari bahwa terdapat suatu problematikan klasik yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas. Problem itu tidak saja dalam dunia akademis, melainkan sebuah tantangan dalam dunia praktik. Yang dimaksud adalah dalam hal disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum yang sama.

Kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi, memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan. Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi (Langkun, 2014: 2).

Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai Putusan Pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, kenyataan ini semakin melebarkan jarak antara ekspetasi masyarakat terhadap Putusan Hakim, dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri.

Meminjam pandangan Gustav Radbruch, bahwa terdapat setidaknya tiga tujuan hukum, yakni dua keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. Dalam mewujudkan tujuan hukum itu, Gustav menyatakan perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum.

Asas prioritas itu diperlukan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum. Begitu juga begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut. Pertama, keadilan hukum. Kedua, kemanfaatan hukum. Ketiga, kepastian hukum (Erwin, 2012: 123).

Urutan yang demikian, menunjukan bahwa pentingnya posisi keadilan dalam setiap penjatuhan putusan hakim. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu. Keadilan juga harus membawa manfaat bagi seluruh pihak. Pada akhirnya keadilan dan kemanfaatan tersebut dibulatkan melalui bentuk sebuah putusan yang mencerminkan terpenuhinya kepastian hukum.

Dengan jalan pikiran yang demikian, maka putusan hakim tidak sekedar menjadi sebuah dokumen hukum yang mencerminkan “aura” kepastian hukum di dalamnya. Tetapi dalam setiap lembar, setiap pertimbangan, dan setiap argumentasi yang terurai dalam mebentuk sebuah putusan, di dalamnya terdapat sinar-sinar keadilan hukum yang memandu setiap aliran pikiran, yang pada akhirnya turut mebawa kemanfaatan hukum.

Keadilan sebagai isu yang sentral dalam dinamika putusan hakim, merupakan hal yang harus dan mutlak mendapatkan perhatian serius. Keadilan adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan secara serius, berkelanjutan, agar dapat dirasakan kemanfaatannya. Perjuangan itu memerlukan waktu, pikiran, dan bahkan kepasrahan dengan hasil yang diperoleh.

Perjuangan untuk mencapai keadilan sebagai suatu jalan yang berliku, sangat berduri dan penuh dengan ketidaknyamanan. Tetapi mesti berhujung pada penghentian terakhir, dengan hasil yang mungkin saja memuaskan ataupun mengecewakan. Meski demikian keadilan tetap menjadi isu utama dalam problematikan kehidupan (Bakhri, 2019: 5).

Walaupun perjuangan mencapai keadilan dalam hukum pidana hingga sekarang belum terpecahkan. Tetapi setidaknya hukum pidana, berupaya untuk mewujudkan rasa keadilan. Melalui hukum pidana dan pemidanaan, maka tujuan mulianya adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum, melalui kepentingan hukum dan keadilan.

Perjuangan untuk memperoleh keadilan tentu memerlukan sikap yang konsisten. Karena keadilan seolah-olah tanpa dapat disentuh. Sehingga untuk mendapatkan tiga tujuan hukum tersebut, diperlukan energi untuk pencapaiannya. Bisa melalui berbagai jalan dan rintangan terjal untuk bisa sampai pada sasaran yang dituju (Bakhri, 2016 : 7).

Dalam memenuhi tujuan hukum melalui Putusan Hakim, penulis menawarkan sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum. Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani). Dalam bahasa latin heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu (Romanyc, 1985: 47). Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan sesuatu pengetahuan baru (Engel, 2006: 2).

Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic which treats of the art of discovery or invention”, cabang dari logika yang membahas tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru (Romanyc, 1985: 48). Dalam Psikologi Gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang memungkinkan. Herbert Simon dan Allen Newell memahami heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu permasalahan dalam ruang yang lebih luas (Engel, 2006: 8).

Dalam gagasannya, Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin menawarkan metode heuristika dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa seringkali terjadi ketika berhadapan dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya. Apalagi jika hanya mengandalkan aturan hukum yang ada.

Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan suatu perkara tidak bisa mengandalkan pada ketentuan undang-undang semata. Misalnya, dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki kemiripan dalam peranan sipelaku. Hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat, atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa (Syarifuddin, 2021: 20).

Dikemukakan bahwa pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dalam banyak kejadian, aturan atau formula itu tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Untuk itu, menurut Prof. Dr. Muhammad Syafruddin, tetap diperlukan proses kreatif untuk menjajaki kemungkinkan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah tempat yang disebut heuristika, karena berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada tidak memungkinkan. (bersambung).

Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

330

Related Post