Presiden Jokowi Tambah Lucu, Belajar dari Srimulat Ya?
by Jarot Espe
Surabaya, FNN- Malam itu Kabul Tessy Basuki muncul di panggung Srimulat dengan monolog genit nan ceriwis. Khas peran pembantu rumah tangga.
"Aku iki sakjane bingung," ujar Tessy menyatakan rasa gelisah atas perilaku majikannya.
"Dikongkon dadi pembantu, wis tak turuti." (disuruh jadi pembantu, saya jalankan).
"Dadi tukang kebon, oke. sopir, opo maneh." (jadi tukang kebun, oke. jadi supir pun, apalagi).
Pokoknya, sang majikan meminta Tessy Wahyuni Riwayati Hartatik (nama beken Kabul Basuki di panggung) untuk berperilaku sebagaimana pemilik rumah. Merasa sama-sama memiliki. Namun begitu Tessy mulai melirik istri majikan yang gemerlap ditimpa kilau perhiasan permata di jari tangan dan leher, sang bos marah besar. Kalap..!
"Kan dia bilang anggap saja rumah sendiri. Lha bener kan.. apa salahnya kalau istri bos menjadi milik bersama."
Seisi panggung serasa runtuh oleh gelak tawa.
Tessy mewakili prototype pelawak khas Srimulat. "Unik, nyleneh. Saat muncul di panggung, dia harus mampu menarik urat bibir penonton untuk tersenyum," ujar Teguh Slamet Raharjo berbagi tips keberhasilan para pelawak didikannya.
Panggung Srimulat merupakan paradoks kehidupan karena semata-mata memberi hiburan, meski mereka sesungguhnya perlu dihibur karena himpitan ekonomi.
Ingat Srimulat, saya jadi ingat Presiden Jokowi, karena mereka sama-sama dilahirkan di Kota Solo. Maaf, wajah Pak Jokowi juga menggemaskan. Sumpah lucu, tapi beliau tidak pernah tertawa saat berbicara, padahal itu kocak, menghibur.
Dulu, menjelang Pilpres 2014, Pak Jokowi dilekatkan sebagai sosok Ratu Adil alias Satrio Piningit atau pemimpin yang dinantikan karena akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Ketika itu ditampilkan foto Pak Jokowi yang bersahaja. Mimiknya serius, meski di belakang hari mengundang senyum sinis, karena hingga Pak Jokowi terpilih menjadi presiden kedua kali, belum terlihat tanda-tanda kehadiran Ratu Adil. Ekonomi menukik tajam ke bawah, aktivis pro-demokrasi dipenjarakan.
Yang paling gress (terbaru) ketika Pak Jokowi merasa rindu dikritik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan, kata bapak presiden dalam sambutan laporan akhir tahun Ombudsman RI, 8 Februari lalu.
Banyak yang ingin tersenyum pak, tapi ditahan-tahan, karena takut terjerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Takut disangka menghina Kepala Negara, khawatir dianggap menyebarkan berita bohong alias hoax, bahkan dilaporkan ke polisi dengan framing menebar kebencian.
Kalau Pak Jokowi gak percaya, tanyakan ke ekonom Kwik Kian Gie yang dibuzzer habis-habisan lantaran mengemukakan pendapat berbeda. Padahal niatnya cukup baik, memberi langkah alternatif. Tapi buzzer tak mengenal kosa kata kritik. Mereka membalas Kwik, bahkan menyentuh ranah pribadi Pak Kwik.
Atau Pak Jokowi bisa ngecek di akun twitter, karena mantan menteri Anda, Susi Pudjiastuti menyampaikan langsung keluhannya. Bu Sus menulis, pandemi sudah cukup membuat depresi sosial, ekonomi dan kesehatan. Ia memohon presiden menghentikan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama, ras, suku ataupun relawan.
Kekhawatiran Bu Susi berbanding lurus dengan pernyataan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang menilai pembuatan UU ITE seharusnya menekankan perlindungan dan keamanan informasi masyarakat. Usman tidak melihat urgensi pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di dalam UU ITE. Menurutnya, kedua pasal itu dihapus saja, apalagi pencemaran nama baik sudah ada di KUHP.
Kembali ke Bu Susi, mengapa permohonan penghentian ujaran kebencian ditujukan ke Pak Jokowi? Karena bapak adalah Presiden Indonesia, yang dengan gamblang meminta agar masyarakat tidak ragu-ragu melontarkan kritikan.
Terus terang pak, saya tersenyum. Bukankah tema lawakan Srimulat sering menggunakan paradoks semacam itu. Pembantu yang diperankan Tessy, diminta untuk berperilaku sebagaimana lazimnya sang majikan. Anggap saja rumah sendiri, kecuali berbagi ranjang dengan istri.
Nah jangan-jangan yang dimaksud Pak Jokowi seperti majikan Tessy. Lontarkan kritikan, asalkan jangan ke Pak Jokowi. Ahh... Pak Jokowi begitu. Tapi cukup menghibur kok.
Penulis adalah Pemerhati Seni.