OPINI

Cara Abu Janda Mendapatkan Jalan-jalan Gratis ke Prancis

by Asyari Usman Jakarta FNN - Kamis (29/10). Teman saya, M Rizal Fadillah, menulis tentang kemunculan tiba-tiba Permadi Arya alias Abu Janda setelah lama tak kedengaran berceloteh. Padahal, kata Bung Rizal, akhir-akhir ini suasana politik cukup panas gara-gara Omnibus Law (OBL) dan kehadiran Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Eh, sekali muncul, Abu membuat video di restoran Prancis di Indonesia. Di dalam video itu, Abu memesan makanan Prancis. Abu mengatakan, dia tidak memboikot produk Prancis. Tak lupa, dia mengajak umat Islam Indonesia agar memaafkan orang-orang yang menghina Nabi Muhammad SAW. Nah, kok sekali muncul lagi langsung Abu Janda memihak ke Presiden Emmanuel Macron yang belum lama ini mengatakan agama Islam sedang dalam krisis? Saya coba bantu Bung Rizal mendapatkan jawaban mengapa Abu itu tiba-tiba muncul di resto Prancis. Saya menduga, Abu Janda menghilang selama kisruh OBL karena ada yang tak lancar. Mungkin tersendat. Karena macet, dia malas tampil membela OBL. Atau, bisa jadi juga dia takut dikejar-kejar kaum buruh dan mahasiswa. Pas ada penghinaan Islam oleh Macron, si Abu melihat peluang bagus. Ada celah untuk diundang jalan-jalan gratis ke Prancis. Sebab, Prancis saat ini sedang mencari sebanyak mungkin teman orang Islam. Karana umat Islam di seluruh dunia sedang memboikot Prancis. Abu Janda membaca gelagat itu. Kebetulan Abu Janda itu “orang Islam juga”. Orang Islam yang cocok dengan Charlie Hebdo --majalah mingguan yang rutin menerbitkan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad. Kemarin ‘kan cuma di resto Prancis yang ada di Indonesia. Entah kapan-kapan nanti, Abu bisa masuk resto Prancis asli di Paris. Disponsori oleh pemerintah Prancis. Lumayan ‘kan? Tentulah mantap. Apalagi nanti bisa selfie dengan Macron bersama isterinya. Bisa menandingi selfie Jokowi dengan Macron tempo hari. Apakah Abu Janda tidak merasa tersakiti oleh penghinaan Macron dan Charlie Hebdo terhadap Islam dan Nabi SAW? Kelihatannya tidak. Dia tidak seperti umat Islam pada umumnya. Dia tidak lagi punya sensitivitas penghinaan terhadap Islam, Nabi, Quran, dan simbol-simbol lainnya. Tapi, mengapa Abu menjadi tak sensitif? Pertama, mungkin karena Abu Janda itu “orang Islam juga”. Kedua, mungkin Abu Janda mengikuti akidah Islam Nusantara. Boleh jadi dia punya nabi sendiri, Nabi Nusantara. Sehingga, penghinaan terhadap Nabi Muhammad tidak masalah bagi dia. Bisa jadi pula Abu sudah sempat ikut program imunisasi penistaan agama semasa kasus Ahok dulu. Yang membuat dia tak terganggu lagi oleh penistaan agama Islam. Bahkan, waktu itu, dia membela Ahok habis-habisan. Imunisasi penistaan agama itu membuat Abu Janda menjadi sangat kebal ketika ada penghinaan terhadap Islam. Saking kuatnya vaksin yang disuntikkan ke otak Abu Janda, dia malah berbalik mengatakan penistaan bukan penistaan, penghinaan bukan penghinaan. Jadi, begitu Bung Rizal. Tak heran kalau Abu Janda tiba-tiba muncul di resto Prancis di Indonesia sambil membela Prancis, Macron dan Charlie Hebdo.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Jokowi Jadi Wapresnya Airlangga Hartarto 2024?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kamis (29/10). Ini usulan nyeleneh kader dan petinggi Golkar Leo Nababan untuk Pilpres 2024, yaitu Airlangga sebagi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapre) adalah Jokowi. Usulan yang "out the box" ini memang menggelikan. Bahkan bisa membuat tertawa terbahak-bahak sampai mati. Bisa dibilang mati ketawa ala Indonesia. Leo Nababan berharap kemudiannya Jokowi maju kembali sebagai Capres. Tujuanya untuk mengawal pembangunan agar bisa terlaksana hingga tahun 2045. Keberadaan sebagai Cawapres ini hanya untuk menerobos dan mengakali aturan yang tidak lagi membolehkan untuk menjabat sebagai Presiden lebih dari dua kali berturut turut. Karena Jokowi untuk menjadi Capres lagi setelah 2024 memang tidak dibolehkan. Namun untuk menjadi Cawapres masih dibolehkan. Maka celah inilah yang dilihat oleh Leo Nababan untuk mendorong kembali Jokowi setelah tahun 2024 nanti. Semua boleh, kecuali ada larangan. Sama seperti anak dan mantu Jokiwi yang maju sebagai calon Walikota Solo dan Medan. Meskipun kapasitas dan kapabiltas dari anak Gobran Rakabuming, dan mantu Bobby Nasution diragukan dan dipertanyakan. Namun karena tidak ada aturan yang dilanggar, jadinya boleh-boleh saja. Apalagi ada sejumlah Partai Politik yang berebutan untuk mendukung Gibran dan Bobby. Aneh cara berfikir politisi Golkar ini. Kalkulasi politik yang pragmatik, amatiran dan picisan hanya untuk menjilat Jokowi. Kadang juga salah baca, seolah-olah Jokowi itu tokoh karismatik. Bacaan rakyat banyak, Jokowi justru gagal dalam memimpin bangsa ini sekarang. Terlebih dan nyata itu pada periode kedua dari kepemimpinan Jokiwi. Sehingga siapapun yang menggandeng Jokowi dipastikan bakal rontok. Kalau nggak percaya, lihat saja hasil survei Litbang Kompas, media pendukung utama Jokowi. Begitu juga dengan hasil survei indikator politik, milik Burhanudin Muhtadi, salah satu lembaga survei pendukung utama Jokowi. Rontoh tingkat kepuasan publik kepada Jokowi sekarang. Buang dulu fikiran mekanisme keterpilihan dengan cara curang. Karena cara ini hanya bisa mendustai untuk jangksa waktu sesaat. Tetapi tidak bisa mendustai untuk selamanya. Sebab cara curang itu akan tercatat sepanjang hayat kehidupan bangsa ini sebagai sejarah hitam dan kelam. Leo Nababan dan politisi lain pendukung Jokowi, apa bisa menghapus jejak keterpilihan Jokowi pada Pilpres 2919 lalu? Dengan dugaan kemenangan yang berbingkai rekayasa dan manipulasi angka? Semua itu akan dicatat oleh sejarah anak milenial sekarang. Pastinya akan dibuka nanti saat Jokowi tidak lagi punya kekuasaan. Sementara kekuasaan itu dipastikan berakhir. Untuk mampu bertahan hingga 2024 saja, itu sudah sangat hebat. Kisah kepemimpinan Jokowi diduga akan bertambah gawat. Hari ke hari berjalan tertatih-tatih akibat kebijakan yang tidak merakyat. Selalu saja membuat gelisah dan kecewa berat rakyat. Urusan Omnibus Law saja terus diganggu-gugat. Yang diharapkan oleh Jokowi agar datang, seperti masuknya invetasi dari asing, malah tidak bakal datang-datang. Sementara yang tidak diharapkan oleh Jokowi, seperti demo masih di seluruh penjuru tanag air oleh buruh, mahasiswa dan pelajar, justru datang membuat Jokowi pusing tidak karuan. Membuat kebijakan yang menyulitkan sendiri kekuasaan Jokowi. Mebuat Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Ngakunya betujuan untuk meningkatkan dan mempermudah masuknya investasi asing. Mana ada investasi yang masuk di era pandemi virus corona sekarang. Akibatnya, yang datang berhadap-hadapan dengan Jokowi adalah demo masif dari para buruh, mahasiswa dan pelajar STM di seluruh penjuru tanah air. Jika Presiden bergeser menjadi Wapres, maka nasib "dilupakan" akan sama dengan Ma'ruf Amin. Hilang otoritas kepemimpinan dalam mengelola negara. Seperti burung yang dikurung di dalam sangkar emas. Belum lagi jika ada bongkar bongkaran dosa politik saat menjabat Presiden. Sebagai Wapres, tentu saja proteksi kekuasaan menjadi lemah. Apalagi jika "dilepas" oleh Presiden. Jadi terbayang model "mati ketawa cara Rusia". Seorang warga berteriak "Nikolay goblog" lalu ia ditangkap oleh KGB. Ia berkelit bahwa yang dimaksud adalah Nikolay yang lain. Tetapi petugas KGB itu tetap bersikukuh "Kalau kau teriak Nikolay goblog, maka pasti itu adalah Kaisar". Jika nantinya pak Jokowi siap posisinya hanya sebagai Wapres, sudah barang tentu akan membuatnya imut imut. Rakyat pun tertawa tanpa jeda. Dan inilah "mati ketawa ala Indonesia". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pemuda & Mahasiswa Hadapi Penguasa Otoriter

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (29/10). Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe bangsa Indonesia. Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Itulah bunyi sumpah pemuda 28 Oktober 1928 Para pemuda Indonesia bersumpah. Sumpah pemuda ini lahir dari Konggres Pemuda II. Dimana seluruh organisasi pemuda berkumpul dan sepakat untuk mengangkat sumpah, yaitu sumpah pemuda. Sebelumnya, 30 April-2 Mei 1926, para pemuda dari berbagai organisasi baik Jong Java, Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain-lain berkumpul. Mereka menyatukan satu cita-cita, yaitu kemerdekaan Indonesia. Diperlukan wadah organisasi persatuan bagi para pemuda untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan itu. Dan Konggres Pemuda II menguatkan semangat memperjuangkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Para pemuda saat itu mampu melampaui batas-batas kepentingan. Baik itu kepentingan pribadi maupun kelompok. Melepaskan ego etnis, agama dan kelompok. Melebur jadi satu wadah perjuangan. Berjuang bersama, hidup atau mati untuk Indonesia merdeka. Saat itu, mereka menghadapi musuh bersama yaitu penjajahan Belanda. Penderitaan rakyat akibat penjajahan menggugah para pemuda untuk bersatu dan melakukan perlawanan. Hasilnya, 17 Agustus 1945, Indonesia pun merdeka. Pada era Soekarno, para pemuda pun bangkit kembali. Tepatnya tahun 1966. Otoritarianisme kekuasaan yang digemgang Soekarno menjadi isu bersama. Triggernya adalah pemberontakan PKI dan krisis ekonomi. Dan pada tahun 1967, Soekarno yang 22 tahun berkuasa pun tumbang secara tragis. Sedangkan era Soeharto, isunya pun sama. Yaitu otoritarianisme kekuaaan Soeharto. Dwi Fungsi ABRI dan Golkar menjadi pengawal utama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Pada 1998, krisis ekononi menjadi trigger para pemuda, khususnya mahasiswa. Hasilnya, Soeharto pun terguling. Setelah itu, era reformasi lahir. Sudah 22 tahun. Muncul Jokowi. Banyak pengamat menilai jika di era Soeharto tentara menjadi pengawal utama, maka di era Jokowi posisi itu digantikan oleh polisi. Menurut mereka, hal ini setidaknya dilihat dari sejumlah posisi strategis bagi perwira polisi. Besarnya anggaran kepolisian, maupun keberpihakan polisi terhadap kepentingan politik istana. Lepas dari semua itu, kekuasaan Jokowi seringkali dianggap tak sejalan dengan kemauan rakyat. Berkolaborasi dengan DPR. Lahirlah banyak peraturan yang dianggap tak berpihak kepada rakyat. Gelombang protes yang begitu masif, dan terus-menerus menjadi bukti nyata adanya penolakan dan perlawanan rakyat terhadap pemerintah maupun DPR. UU KPK, UU Corona, UU Minerba, RUU HIP, dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Semuanya mendapatkan penolakan masif dari rakyat. Namun meski ditolak rakyat, semua aturan itu diketuk palu di DPR, dan ditanda tangani presiden. Sah barang itu! Tersisa RUU HIP yang masih mencari celah. Protes rakyat tak berhenti. Diantaranya dari mahasiswa dan pelajar. Beberapa mahasiswa dan pelajar ditangkap dan menjadi tersangka. Kantor GPI-PII diobrak abrik. Bahkan, ada yang mati saat berhadapan dengan aparat. Belum lagi nasib sejumlah pengkritik pemerintah. Di dalam setiap demo, selalu saja ada provokator. Entah siapa mereka, dan diutus oleh siapa. Pelaku dan otaknya terlalu canggih hingga nggak terendus. Mahasiswa dan pelajar terjebak dan menjadi korban. Pasal tindak anarkis berhasil menjerat mereka. Di luar demo, kita hanya bisa kasih nasehat, jangan terprovokasi. Jangan melakukan tindakan anarkis. Jangan terjebak tindak pelanggaran hukum. Namun nampaknya, ada pihak yang melakukan cipta kondisi agar demo anarkis dan mahasiswa bisa ditangkap. Apakah ketika sejumlah mahasiswa ditangkap akan menyurutkan mental mereka dan mengendorkan demo? Bergantung! Sebab, ada mahasiswa yang dilobi, lalu dikasih uang, kemudian berhenti demo. Ada juga mahasiswa yang ketika temannya ditangkap lalu ciut nyalinya. Ada mahasiswa yang malah nyalahin teman-temannya yang ditangkap. Mereka itu fokus urus IP, karena takut kalau lulus gak dapat kerjaan. Inilah tipologi mahasiswa pecundang, begitu kata para senior mereka. Bagi mahasiswa yang terus berteriak tak berhenti menyuarakan kepentingan rakyat untuk buruh, untuk pendidikan, untuk pribumi, untuk keselamatan bangsa, merekalah yang kelak paling siap memimpin bangsa ini kedepan. Mereka adalah para mahasiswa tangguh yang terus menjaga idealisme, patriotisme, dan nasionalismenya. Mereka terus mematangkan diri sebelum kelak estafet kepemimpinan bangsa diserahkan kepada mereka. Saat ini, isu yang dihadapi mahasiswa dan pemuda adalah kekuasaan yang otoriter. Mirip dengan yang dihadapi oleh mahasiswa era tahun 1928, 1966 dan 1998. Apakah mahasiswa sekarang akan sekuat dan sehebat para penguasa pendahulunya? Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Merindukan Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam

by Imam Shamsi Ali New York City FNN - Hari-hari ini Umat Islam di berbagai belahan dunia diingatkan oleh salah satu peristiwa penting dunia. Sebuah peristiwa yang membawa goncangan dan perubahan dahsyat secara global. Itulah kelahiran manusia terbaik (khaerul anaam), sekaligus penutup (khaatam) dan penghulu (sayyid) para nabi dan rasul. Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam terlahir di bulan Rabi’ul awwal. Bulan yang tentu mengingatkan akan kehadiran sosok pembaharu (reformer) dan agen perubahan ke arah yang lebih baik (al-muslih). Tetapi yang terpenting beliau hadir sebagai penyampai (muballig) risalah khatimah (the final message) Allah ke seluruh manusia sekaligus tauladan (uswah) bagi semua manusia. Tentu menuliskan mengenai Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam serasa melempar segenggam garam ke lautan samudra. Selain sedemikian banyak yang telah menulis tentang beliau, dan dalam segala aspek hidupnya, baik dari kalangan “believer” (yang mengimaninya) maupun yang “unbeliever” (tidak mengimaninya). Juga karena menuliskan tentang beliau, tidak akan pernah menemukan akhir dari keindahan cerita perjalanan hidupnya. Sebab Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam adalah memang manusia. Tetapi beliau tidak seperti manusia lainnya. Beliau adalah mutiara di tengah bebatuan. Kesempurnaannya mencapai puncak ketinggian. Keindahannya dirinya menyingkap gulita. Segala lini hidupnya begitu indah nan menawan. Ungkapan di atas adalah puji-pujian yang populer dan sering dibacakan oleh kalangan Muslim IPB (India Pakistan Bangladesh). Sebuah pujian yang memang menggambarkan realita kesempurnaan sosok Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam. Pujian yang terpenting tentunya bukan pujian manusia. Tetapi yang terpenting adalah pujian dan pemuliaan penciptanya, Allah Subhanahu Wata’ala sendiri. Berkali-kali beliau dipuji dalam Al-Quran. Salah satunya, “sungguh engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung”. Keimanan dan kecintaan kita kepada Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam menjadi bagian integral dari keimanan kita kepada Rabb itu sendiri. Bahwa “laa ilaaha illa Allah” itu tidak akan terpisahkan dari “Muhammad Rasululullah”. Hanya melalui (ajaran) Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam, kita akan mencapai keimanan yang benar dan hakiki kepada Allah Suhanahu Wata’ala. Suasana iman seperti di atas harus menjadi bagian dari detak nadi para Mukmin. Tetapi di momen Rabi’ul Awwal inilah kita kembali membangun komitmen dalam iman dan cinta kepada beliau. Kita “recharge” atau mengisi lagi dada kita dengan gelora iman dan cinta. Sehingga komitmen ketaatan kepadanya semakin membara. Hadir Kembali Risalah Dalam dunia yang penuh goncangan, cobaan dan fitnah saat ini, sosok Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam sangat dirindukan oleh manusia untuk hadir kembali. Sebuah sosok yang tidak akan tenang dengan berbagai penyelewengan kehidupan manusia. Kita diingatkan kembali tentang keadaan Kota Mekah sebelum lahirnya sosok Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam. Kejahiliyaan, kezholiman, rasisme, dikriminasi jender dan ras. Kekerasan (peperangan) antar suku menjadi pandangan lumrah. Dan tentunya penyelewengan akidah (kesyirikan) menjadi ideologi masyarakat Amerika saat itu. Hal di atas itulah yang menjadikan Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam resah, bahkan sedih. Beliau tidak merasakan ketenangan batin dengan suasana kehidupan yang bobrok secara sosial (public). Dan karenanya, beliau kerap mengadakan “takhannuts” di atas “Gunung Cahaya” (Jabal Nur). Keresahan batin akibat berbagai penyelewengan sosial sesungguhnya itulah yang mengantar kepada diangkatnya Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam sebagai Rasul dan nabi terakhir (khaatam an-nabiyyin wal mursaliin). Dengan tujuan itu pula, beliau melakukan perjuangan (jihad) hingga terjadi perubahan mendasar di semenanjung Arabia dalam masa kurang dari 23 tahun. Maka, di tengah ketidakpastian dunia saat ini, dimana kerap kebenaran dianggap salah dan kesalahan dianggap benar. Orang baik dianggap berbahaya dan orang jahat justeru dipromosikan sebagai orang-orang baik. Disaat seperti inilah kerinduan akan kehadiran Muhammad (SAW) itu sangat terasa. Ditengah dunia yang penuh keanehan saat ini, dimana agama justeru kerap dipandang ancaman. Sebaliknya, idiologi dan prilaku “anti agama” dipandang sebagai nilai positif. Disaat orang-orang yang beragama dipersekusi, sementara mereka yang anti dan kerap merendahkan agama seolah mendapat perlakuan istimewa. Berbagai prilaku imoralitas seolah dilindungi sehingga semakin merejalelah dan berani. Akibatnya ancaman kepada integritas (akhlak) kehidupan manusia semakin terancam. Agama dan moralitas dianggap ancaman. Sebaliknya, pelanggaran dan dosa-dosa dianggap modernitas dan kemajuan. Dunia Barat juga, seperti yang terjadi di Prancis saat ini, nilai-nilai kebaikan universal kebebasan misalnya, gunakan seenak udel manusia. Pelecehan kepada nilai-nilai keagamaan, Kitab Suci dan mereka yang dihormati dan dimuliakan (para rasul dan nabi) menjadi biasa atas nama kebebasan. Saya khawatirnya Macron dan konconya, ketika isteri dan anaknya yang dicintai dilecehkan hanya akan menyikapinya secara biasa. Akankah dia sekedar bersikapi sebagai sekedar ekspresi kebebasan? Atau ketika Prancis yang dia cintai dengan semangat nasionalisme itu dihinakan atau direndahkan. Akankah dia anggap hal itu sebagai sekedar ekspresi kebebasan? Di tengah dunia yang merasa berperadaban (civilized) dan maju dalam pemikiran intelektualitas, manusia semakin menampakkan kebodohannya (jahiliyah) yang nyata. Prilaku paradoks semakin nyata. Bahkan kemunafikan dipertontonkan dengan tidak malu-malu lagi. Di tengah dunia yang bobrok (jahil) dan gelap inilah Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam dirindukan kehadirannya. Sosok yang kembali hadir sebagai “nur” (cahaya), “rahmah” (kasih sayang), dan sekaligus “uswah” (tauladan) bagi seluruh alam. Tentu harapan kehadiran beliau tidak mungkin lagi secara fisik. Beliau adalah “basyar” (manusia biasa) yang masa dunianya telah berakhir. Tapi nilai-nilai (values), ajaran, ketauladanan beliau hidup hingga akhir zaman. Dan semua itu telah diamanahkan di atas pundak umatnya. Maka kerinduan akan hadirnya Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam di dunia ini merupakan tantangan lansung kepada umatnya. Mampukah Umat ini menjadi representasi Muhammad kepada dunia? Mampukah Umat ini menghadirkan kembali cahaya, nilai-nilai (values) dan ketauladanan baginda Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam? Disini pulalah makna peringatan Maulid. Bahwa Maulid bukan pada bentuk acaranya. Tetapi lebih kepada memahami, menghayati, mengamalkan dan menyampaikan apa yang menjadi amanah kepada kita dari baginda Nabiyullah Salallaahu Alaihi Wasallam. Yaitu membawa agen-agen perubahan di dunia. Menghadirkan kembali cahaya itu di tengah kegelapan yang melanda dunia saat ini. Kita cinta Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam, kita rindu Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam. Semoga kita disatukan bersama Rasulullah Salallaahu Alaihi Wasallam di dalam Syurga-Nya Allah Subhanahu Wata’ala. Amin! Penulis adalah Imam/Direktur Jamaica Muslim Center USA & Presiden Nusantara Foundation.

Indonesia Bangkrut Akibat Menjual Martabat Bangsa

by Teuku Gandawan Xasir Jakarta FNN - Rabu (29/10). Sejak zaman penjajahan Belanda kita sudah punya para raja dan para bangsawan yang lebih memilih hidup tetap mewah walau jadi kaki tangan penjajah. Sesungguhnya mereka tidak punya kehormatan, tidak punya keberanian, tidak pula punya simpati dan empati kepada rakyatnya. Mereka lebih memilih hidup yang demikian daripada harus mati karena berperang membela wilayah dan rakyatnya. Kita juga punya rakyat biasa yang sejatinya adalah para petarung, tapi memutuskan tidak bertarung melawan penjajah. Mereka malah bergabung jadi tentara kelas dua Belanda untuk berperang, membunuh dan menangkap bangsanya sendiri. Mereka punya keberanian, tapi sayangnya keberanian itu malah digunakan untuk menghancurkan bangsa sendiri. Mereka bangga mendapat kompensasi uang receh Belanda atas kebusukan itu. Selain itu, kita juga punya rakyat biasa yang memutuskan perang bukan urusan hidupnya. Urusan hidupnya adalah bertahan hidup walau harus jadi pekerja harian di lahan pertanian, perkebunan dan perdagangan yang dimiliki penjajah Belanda. Mereka tak perduli nasib sesamanya yang terus bermatian akibat kekuasaan dan kebiadaban penjajah Belanda yang mereka dukung. Yang penting bagi mereka bisa hidup makmur alakadarnya. Tak cukup dengan itu, ada pula sebagian dari rakyat ini yang kerjanya mencari makan dari melaporkan segala tindak tanduk sesama rakyat lainnya yang menolak keberlangsungan Belanda sebagai penjajah. Mereka ini tidak perduli dengan laporannya cuma dihargai dengan uang sekepeng. Tidak perduli juga jika itu bisa menyebabkan kematian begitu banyak sesama anak bangsa. Tabiat-tabiat buruk ini juga ada ketika Indonesia diduduki oleh Jepang. Sesuatu yang tentu saja sangat dinikmati oleh Belanda dan Jepang. Tabiat busuk tak bermartabat inilah yang bisa membuat Belanda negara kecil di belahan Eropa bisa berkuasa begitu lama di Indonesia. Artinya kita terus dijajah dalam waktu yang lama karena pengkhianatan sesama kita. Sesama kita yang rela dengan penuh tawa mengorbankan nyawa sesama anak bangsa asal dirinya hidup dalam kemewahan versi dirinya. Setelah Indonesia Merdeka apa yang terjadi? Kaum Penjual Martabat ini tetap ada dan tetap jadi benalu. Jika dulu kita berperang melawan penjajah yang mereka dukung, kini kita mengisi pembangunan di era kemerdekaan sambil bertarung dengan mereka. Kerja mereka apa? Selalu menempel kepada kekuasaan atau pemerintah. Mengambil peran sebagaimana biasanya yakni menjadi benalu bagi pembangunan. Menghasut setiap penguasa untuk lebih perduli kekuasaan dan kekayaan. Mereka masa bodoh dengan tujuan pembangunan, masa bodoh dengan martabat bangsa dan negara. Mereka sibuk mengejar fulus, masa bodoh dengan dinar dan dirhamnya melayang ke pihak asing atau konglomerasi. Mereka yang berjabatan sibuk memberikan kemudahan kepada konglomerat dan asing untuk menguasai sumber daya alam. Barternya dia mendapatkan puluhan hingga ratusan miliar kekayaan pribadi atau kelompok, sementara pihak yang didukungnya mengeruk kekayaan hingga triliunan. Pada hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020, sudah waktunya kita sebagai anak bangsa kembali bersumpah ulang. Kita harus kembali kepada kesejatian tujuan keberadaan bangsa ini. Kita wajib bersumpah ulang tentang tumpah darah kita adalah satu, yaitu Indonesia. Jangan ada lagi yang siap menumpahkan darahnya bukan untuk kemajuan Indonesia. Kita wajib berbangsa yang satu yaitu bangsa Indonesia. Yang saat ini masih merasa dirinya juga bangsa lain, silahkan angkat kaki atau silahkan berganti kewarganegaraan. Dan kalau untuk bahasa saja kita bisa bersepakat hanya ada satu bahasa yaitu bahasa Indonesia, maka tujuan kita juga harusnya hanya satu yaitu mewujudkan kejayaan Indonesia. Jangan lagi ada yang mengambil peran sebagai kaki tangan kepentingan asing. Jangan juga menjadi benalu di negara sendiri, yang tak perduli konsekuensi perilaku diri yang bisa merugikan nasib sesama anak bangsa. Jangan lagi menginjak-injak kepentingan dan tujuan berbangsa dan bernegara di atas kepentingan diri atau kelompok. Berhentilah berkedok dan bertopeng tentang ideologi lain selain Ideologi Pancasila. Berhentilah membuat kemudahan investasi di bidang apapun yang tidak untuk memakmurkan rakyat keseluruhan. Berhentilah jadi agen pembuat kebangkrutan bangsa dan negara. Penulis adalah Direktur Eksekutif Strategi Indonesia.

Politisi Sempit Pentingkan Fasum, Gubernur Anies Pikirkan Martabat Bangsa

by Asyari Usman Jakarta FNN - Selasa (27/10). Ada satu berita menarik yang tercecer. Tak sempat dibahas saking banyaknya rangkaian perstiwa penting di seputar Omnibus Law UU Cilaka (singkatkan saja menjadi OBL). Kejadian itu sepele sebenarnya. Tapi, peristiwa ini menunjukkan betapa lebarnya jurang intelektualitas antara Gubernur DKI Anies Baswedan dan ketua Fraksi Golkar di DPRD DKI, Basri Baco. Di manakah jurang visioner (visionary gap) yang menganga itu? Ini kita bahas. Seperti diberitakan media, banyak fasilitas umum (fasum) yang dirusak oleh entah siapa ketika berlangsung unjuk rasa (unras) rakyat yang menentang OBL. Nah, Basri Baco berpendapat Anies seharusnya marah-marah. Karena, menurut dia, Gubernur berharap marah. Basri tampaknya geram sekali melihat reaksi Anies yang tidak gebrak-gebrak. Barangkali, dia ingin Anies seperti Ahok. Memaki-maki di depan kamera. Karena tidak marah, Basri malah menduga para perusuh anarkis yang merusak fasum itu adalah pendukung Anies. Yang menyebabkan Gubernur tidak bisa marah. Beginilah kualitas anggota DPRD DKI. Ketua fraksi Golkar pula. Orang ini kemungkinan nanti bisa masuk ke DPRRI. Bayangkan kalau orang “narrow minded” (berpikiran sempit) seperti ini duduk di lembaga legislatif nasional. Ada dua “error” cara berpikir Basri Baco. Error pertama, apakah dia bisa memastikan bahwa para perusuh adalah mahasiswa, buruh, atau elemen-elemen peserta unras lainnya? Error kedua, kalau pun para perusuh itu adalah pendemo, apakah reaksi marah kepada rakyat yang melancarkan protes terhadap sesuatu yang mereka yakini akan menghancurkan kehidupan anak-cucu mereka, merupakan cara terbaik untuk membangun masyarakat yang bermartabat? Di tengah berbagai bukti yang mengungkap cara kotor para penguasa untuk mengacaukan unras damai menjadi rusuh, apakah isi kepala Pak Basri langsung menelan mentah-mentah pernyataan bahwa pelaku kerusuhan adalah para pengunjuk rasa? Tidakkah beliau mempunyai nalar analitik dalam melihat situasi secara menyeluruh? Seharusnya Basri menunjukkan kaliber sebagai politisi Golkar. Apalagi ketum beliau, Airlangga Hartarto, bangga Golkar sebagai partai senior di Indonesia. Kok malah berkomentar seperti orang-orang yang terbiasa nongkrong di warung kopi di jalan kelas III-C? Barangkali, Basri melihat demo OBL sebagai sesuatu yang tak perlu dilakukan. Aksi yang sia-sia. Buang-buang tenaga dan waktu. Bisa juga dimaklumi jika dia berpendapat demikian. Tapi, sebagai wakil rakyat di wilayah ibukota, sungguh komentar Basri masuk kategori di bawah garis kemiskinan intelektualitas. Haram hukumnya seorang politisi ibukota negara berada di golongan minus kecendekiaan. Memang berbeda jauh. Jomplang sekali. Dia dan Anies berlainan kelas. Basir melihat demo dari sudut pandang teknis-materialistis. Tentang berapa miliar kerusakan fasum. Itu pun kalau benar pendemo yang melakukan pengrusakan. Sebaliknya, Anies melihat demo secara filosofis-psikologis. Dia menatap puing-puing demo dengan renungan tentang nasib rakyat yang selalu menjadi korban kerakusan. Tentang pemegang kekuasaan yang berubah menjadi monster buas dan sadis. Anies menyimak demo dengan visi seorang negarawan. Yang merisaukan ketidakberdayaan rakyat di depan para cukong yang telah menguasai semua lini Indonesia. Basri lebih senang memegang kalkulator untuk menghitung kerugian material. Sedangkan Anies lebih banyak memikirkan cara untuk melepaskan rakyat dari cengkeraman oligarki cukong. Dia tak perlu kalkulator, tapi setiap saat Anies membuat kalkulasi tentang kedaualatan rakyat di masa depan. Basri lebih banyak tersita oleh konstruksi fasilitas umum yang rusak. Tentu ini bukan dosa. Tapi, Anies menumpahkan pikirannya tentang konstruksi martabat manusia Indonesia di tengah kebijakan penguasa yang tidak memihak rakyat. Semoga saja Basri Baco bisa melihat demo OBL dengan nalar yang lebih tajam.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Jokowi Akan Dikudeta Siapa?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (27/10). Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Darmadi Durianto mewanti-wanti agar Presiden Jokowi waspada. Sebab kemungkinan Jokowi akan dikudeta oleh Menteri yang sedang bermanuver untuk kepentingan politik. Menteri-menteri ini akan kudeta di tengah jalan. Karena itu menurutnya ,Jokowi harus segera melakukan reshuffle kabinet. Tentu saja penyataan Darmadi Durianto ini tak jelas sasarannya. Kepada siapa yang dimaksudkan dengan para menteri tersebut. Pastinya Darmadi Durianto tidak berani juga menyebut nama. Hanya menurutnya mereka merangkak keistana mengganggu kinerja Pemerintah. Pertengahan jalan nanti akan mulai terlihat misi kepentingan politik mereka untuk kepentingan 2024. Demikian menurut Darmadi Durianto. Sebenarnya pandangan tersebut sangat kontradiksi. Sebab tidak jelas waktunya. Bibilang antara kudeta dan Pilpres 2024. Hanya isu tentang kudeta ini mengejutkan, karena disamping tidak ada dalam budaya ketatanegaraan kita, juga kudeta sipil itu mustahil bisa terjadi. Kalau toh ada yang punya keinginan, maka itu hanya hayalan semata. Dipastikan tidak akan terjadi. Ataukah yang dimaksud oleh Darmadi Durianto adalah kudeta Menteri yang berasal dari kalangan pensiunan atau mantan militer? Luhut, Prabowo, Rozi, Moeldoko atau Terawan. Luhut dalam pandangan awam sudah lama meng"kudeta" karena menjadi penentu Pemerintahan. Prabowo setelah masuk kabinet sudah berubaha menjadi "anak manis" pemuja, pemuji dan…. Jokowi. Mungkin karena kemarin jumpa Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat, sehingga patut untuk dicurigai. Fachrul Rozi, Menteri Agama yang lebih bikin susah umat beragama, terutama umat Islam. Sementara Terawan Menteri Kesehatan yang justru babak belur dihajar Corona. Terawan pasti tidak masuk dalam kualifikasi sebagai pemberontak. Apalagi Terawan nyata-nyata telah menjadi obyek yang ditunjuk-tunjuk oleh Presiden dalam beberapa rapat kebinet. Mengapa PDIP begitu khawatir akan terjadinya kudeta? Jangan-jangan seperti ini meniru pola yang dipakai jaman Pertai Komunis Inbdonesia (PKI) dulu. Dibangunlah isu politik tentang keberadaan Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terdahap Presiden Soekarno. Ternyata PKI sendiri yang mencoba untuk mengambil alih kekuasaan itu dari Presiden Soekarno. Hasilnya sejumlah jendaral dari TNI Angkatan Darat, termasuk Menteri Panglima Angkatan Darat Jendral TNI Ahmad Yani dibunuh. Politik lempar batu sembunyi tangan. Reshuffle kabinet, yang bukan untuk pembenahan kinerja, tetapi mencegah kudeta adalah sangat berbahaya. Bisa masuk semburan fitnah "firehose of falsehood". Apalagi dalam kondisi dimana tingkat kepercayaan dan kepuasan masyarakat yang rendah kepada pemerintah Jokowi saat ini. Reshuffle kabinet untuk saat ini bukan solusi yang pas. Karena dipastikan tidak akan mampu untuk menjadi dewa yang menyelamatkan pemerintahan Jokowi dari keambrukan. Kuncinya bukan pada para Menteri. Tetapi pada Presiden yang lemah soal leadership. Jika kudeta menjadi isu yang diperbesar, maka nanti akan ada omongan orang "maling teriak maling". Seperti satpam yang diikat perampok, padahal itu adalah kerjasama antara pelakukan perampokan dengan satpam yang mengingat. Tujuannya adalah merampok bersama dengan upaya mengecoh orang lain yang dianggap bodoh. Sebuah rekayasa "playing victim". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pemimpin Yang Berintegritas

by Shamsi Ali New York City FNN – Selasa (27/10). Di musim politik dan Pilkada seperti ini, tentunya masyarakat atau umat lagi-lagi diperhadapkan kepada kenyataan-kenyataan yang terkadang membingunkan. Tentu salah satunya adalah bingung dalam menentukan pilihan pada Pilkada tersbut. Dalam menentukan pilihan, terkadang memang tidak sederhana. Akan banyak sekali pertimbangan yang terlibat. Dari pertimbangan kedekatan (keluarga dan teman), kemampuan, Ilmu, karakter, agama, hingga kepada faktor uang. Saya menilai pertimbangan-pertimbangan itu sah-sah saja. Tapi pastinya ada pertimbangan yang seharusnya menjadi “flatform” atau dasar pilihan yang bersifat universal. Artinya, harus ada pertimbangan dasar yang menjadi alasan utama dalam menentukan pilihan. Salah satu pertimbangan utama dalam menentukan pilihan adalah agama dan karakter kandidat. Agama menjadi penting karena diharapkan seorang pejabat akan lebih amanah. Dengan agama pastinya seorang pejabat akan memiliki rasa tanggung jawa (sense of responsibility). Tidak saja secara duniawi (kepada rakyat ya). Tetapi lebih dari itu, tanggung jawab ukhrawi kepada Rabbnya di akhirat kelak. Agama seseorang itu dalam konotasi sosial, termasuk kepemimpinannya, akan terbentuk dalam wujud “karakter kemanusiaan”. Agamanya akan terbaca dalam prilaku dan integritasnya. Pemimpin yang beragama secara benar, tidak akan menjadikan simbol-simbol keagamaan sebagai mainan politik. Di saat musim kampanye serta merta menjadi “so religious” (nampak seperti beragama). Dari ragam kegiatan keagamaan, hingga kepada penampilan lahirnya menjadi nampak sangat beragama. Pemimpin yang beragama justeru akan menampakkan nilai-nilai agama itu dalam menjalankan kampanye politiknya. Bahwa dia tidak akan membangun kekuatan politiknya di atas dasar keuangan yang maha kuasa. Sehingga dia tidak akan membeli suara. Jika memang punya uang, maka uang itu akan dipergunakan dalam bentuk “programming” yang bersifat sosial dan manfaat umum. Bukan membeli suara melalui apa yang dikenal di negeri ini dengan “serangan fajar”. Pemimpin yang beragama juga mengedepankan pertarungan visi/misi dan program, ketimbang faktor lain dalam laga politiknya. Bahwa sebuah perhelatan politik memang memerlukan duit. Tetapi pemimpin yang berintegritas (berakhlak) akan selalu meraih hati masyarakat melalui visi/misi dan programnya. Tentu pemimpin beragama juga adalah pemimpin yang memiliki prilaku yang mulia. Pemimpin yang tetap “tawadhu” dan menjalin komunikasi dan silaturrahim dengan siapa saja tanpa memandang status sosialnya. Bukan ramah di saat kampanye. Tetapi berubah total di saat telah menjabat. Pemimpin beragama juga menjaga nilai-nilai moralitas dalam hidupnya. Maka dia akan menjauhi segala yang dilarang agama. Apapun itu, dari berbohong kepada rakyatnya, minum khamar, berjudi dan melakukan penyelewengan dalam hal kehidupan intimnya. Jika seorang calon itu dikenal memang sering ke Macau atau Singapura untuk berjudi jangan harapan akan mampu menjadi pemimpin yang berketauladadan bagi masyarakatnya. Sementara ketauladanan akan menentukan wajah masyarakat di masa depan. Disinilah kemudian masyarakat (pemilih) harus jeli membaca atau mencari tahu siapa pemimpin yang akan dipilihnya. Kesalahan dalam menentukan pilihan akan berdampak tidak saja lima tahun dalam kepemimpinannya. Tetapi boleh jadi berimbas ke dalam kehidupan yang lebih jauh lagi ke depan. Silahkan memilih teman, kerabat, bahkan saudara. Tetapi hendaknya pertemanan, kekeluargaan dan persaudaraan tidak menjadi pertimbangan yang menentukan. Karena tidak menutup kemungkinan saudara yang dipilih, namun tidak berintegritas itu justeru mencampakkan kepentingan masyarakat umum, bahkan teman dan keluarga yang memilihnya. Saya justeru khawatir, jangan-jangan menjatuhkan pilihan berdasarkan pertemanan dan kekeluargaan itu justeru menjadi bagian dari bentuk “nepotisme” tanpa disadari. Sebuah prilaku menyeleweng yang hina dalam kehidupan publik. Lebih runyam lagi disaat pilihan itu, ternyata didasarkan kepada kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat. Mendukung kandidat tertentu karena sebuah harapan untuk mendapat proyek tertentu pula. Atau dalam bahasa pinggir jalan, “ada kerupuk di balik rantang”. Penulis adalah Imam di kota New York & Presiden Nusantara Foundation.

Gus Nur Itu Paham Betul Nikmat atau Derita Dunia Hanya 2.5 Jam

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (26/10). Orang-orang yang duduk dengan kekuasaan besar biasanya selalu menjaga kesehatan mereka agar selalu prima. Rumah mewah. Mobil luks. Makanan bagus-bagus. Istirahat cukup. Pemeriksaan kesehatan teratur dan terjadwal. General check-up maupun pemeriksaan rutin lainnya. Cek darah, jantung, ginjal, selalu normal. Mereka seolah ingin atau berharap hidup1,000 tahun. Kalau bisa. Mungkin saja mereka merasa bisa. Atau, berhayal bisa sampai segitu. Cuma probabilitasnya sangat kecil. Kalau tak boleh dikatakan nihil. Rentang usia yang paling mungkin dicapai adalah 100 tahun. Menurut catatan “The Centenarian” –media yang mengamati populasi di atas 100 tahun— ada sekitar 450,000 orang di muka Bumi ini yang berusia 100 tahun atau lebih. Hanya sekitar 0.006 persen saja dari sekitar 7,800,000,000 penduduk dunia. Lalu, apa kaitan antara judul tulisan ini dengan usia 100 tahun? Begini. Gus Nur (Sugi Nur Raharja) ditangkap pada 24 Oktober 2020. Persis tengah malam, pukul 00:00. Penceramah NU garis lurus ini dilaporkan oleh kalangan NU juga dengan tuduhan penghinaan dan penyebaran kebencian. Cemarah-ceramah ustadz yang memiliki kanal You Tube ini terasa keras. Terutama bagi orang-orang yang menyenangi kehidupan duniawi. Nah, di sini mulai terlihat kaitan antara usia 100-an tahun dan judul tulisan. Lebih mengerucut lagi, Gus Nur itu adalah orang yang paham betul bahwa hidup di dunia ini hanya 2.5 jam (dua setengah jam) saja. Walaupun disebut 100 tahun menurut kalender manusia. Inilah durasi hidup di dunia dalam perbandingan dengan hidup di akhirat. Satu hari di akhirat itu sama dengan 1,000 (seribu) tahun di dunia. Begitulah Allah jelaskan di dalam al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 47. “…inna yauman ‘inda rabbika ka-alfa sanatin mimma ta’uddun.” (artinya: “…Sesungguhnya satu hari di sisi Tuhanmu sama dengan seribu tahun menurut hitunganmu.”) Dari sinilah didapat durasi hidup manusia hanya sekitar 2.5 jam di mata Allah. Itu pun kalau orang bisa sampai 100 tahun. Kembali ke Gus Nur. Bagi beliau, dan mungkin banyak orang lain yang paham, senang terus-menerus di dunia atau menderita tanpa akhir, tak sampai 2.5 jam. Kalau orang hari ini berusia 50 tahun, maka kesenangan atau penderitaan di dunia hanya tinggal 1 jam 15 menit lagi. Sangat “singkat”. Karena begitu “singkat” itu, Gus Nur tidak mau membuang-buang waktunya. Beliau gunakan detik demi detik usianya untuk persiapan menghadapi “Hari Pertanggungjawaban”. Dia mengambil sikap tegas. Tak kenal kompromi. Kebenaran harus ditegakkan, kezaliman wajib dimusnahkan. Begitu cara Gus Nur melihat kehidupan di dunia. Tentu ini untuk orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bisa jadi banyak orang yang tidak peduli dengan perbandingan durasi itu. Yang penting bagi mereka adalah bisa hidup nikmat tanpa pernah disentuh kesusahan. Mereka akan melakukan apa saja asalkan menyenangkan. Sampai akhirnya mereka tidak bisa lagi membedakan kebaikan dan keburukan. Tak bisa melihat kebenaran dan kebatilan. Tidak lagi mengenal konsep halal dan haram. Semua disikat. Itulah sekadar upaya saya memahami pikiran Gus Nur. Bagaimana persisnya, hanya beliau dan Allah SWT yang tahu. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Rezim Yang Ngotot Dan Bandel

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (26/10). Undang-Undang Omnibus Law dianggap "mission sacre" oleh Pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa menjadi aksi berkelanjutan. Demo dan unjuk rasa tidak reda dengan hanya penangkapan penangkapan. Kegoncangan bukan saja di tingkat nasional, tetapi juga reaksi internasional. Para buruh marah, mahasiswa terbangun, pelajar terinspirasi, umat Islam siap siaga. Langkah pun sudah dimulai bersama. Ada tiga hal yang menjadi fenomena menarik dari sikap pemerintah atas penentangan atau unjuk rasa Undang-Undang Omnibus Law ini, yaitu : Pertama, ngotot sampai titik darah penghabisan. Taruhannya siap sampai kursi goyang atau rubuh. Kehebatan apa di belakang undang-undang otoriter ini ? Betapa kuat sang pengorder. Sepertinya berapapun "economic and political costs-nya” siap untuk dibayar. Kedua, bandel dan nakal alias ngeyel yang menganggap semua sebagai hal yang wajar. Nanti juga rakyat akan diam sendiri. Suruh saja ke MK kan saja. Paling dijewer-jewer sedikit, namanya juga "Pemerintahan Sinchan". Yang penting ujungnya bus akan jalan terus meski supir mabuk atau ugal-ugalan. Ketiga, planga-plongo. Pemerintah yang bingung mundur kena maju kena. Antara misi dan reaksi membuat sikap Pemerintah seperti orang yang "kesambet setan". Linglung berjalan sambil menghitung angka-angka dan tertawa. Pemerintah yang depresi, cemas, dan stress. Negara dalam ketidakpastian. Jokowi sudah sulit dipercaya untuk mampu mengendalikan negara ke arah yang dicita-citakan. Penampilannya kalem, namun selalu bikin kebijakan yang gaduh. Bias antara manajemen konflik dan mis-manajemen. Faktanya mengelola negara secara acak-acakan. Undang-Undang Omnibus Law adalah aturan tebal bermakna tipis. Nafsu besar tenaga kecil. Seperti keangkuhan di tengah kelemahan. Orientasi kerakyatan yang gagal. Buruh dilecehkan dan rakyat yang dinistakan. Bagai lempar makanan kepada hewan dari dalam mobil. Jika dasar penolakan itu hoaks karena dianggap buta undang-undang, maka Pemerintah lah yang telah menciptakan dan memproduksi hoaks dengan aturan yang membabi buta. Buruh itu tidak bodoh. Mahasiswa yang membantu buru itu bukan rekayasa, umat teriak karena ikut terinjak. Bus "menabrak sana sini" melesat terburu-buru untuk kejar setoran. Dunia ikut bersuara. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) telah meminta agar Undangg-Undang Omnibus Law dibatalkan karena melanggar hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup. Selanjutnya "Undang-Undang ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata" kata Charles Santiago, Ketua APHR. Gerakan aksi buruh menentang Undang-Undang Omnibus Law didukung pula oleh organisasi serikat buruh internasional seperti Internasional Trade Union Confederation (ITU), yang menurut Said Iqbal Ketua KSPI organisasi ini beranggotakan 59 konfederasi serikat pekerja dari 34 negara Asia dan Pasifik. Kebijakan semestinya diambil dengan mudah untuk memulihkan keadaan, yakni tunda atau batalkan. Tetapi yang mudah dan simpatik ini nyatanya sangat sulit. Kesannya lebih baik mengorbankan segalanya daripada menarik kembali Undang-Undang Omnibus Law. Sungguh rezim telah menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Rezim memang tidak aspiratif, ngotot dan bandel. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.