OPINI
Kemauan Manusia Tak Berbatas, Dengan Dukungan Dunia Yang Berbatas
by Prof. Ir. Yazid Bindar M.Sc. Ph.D. Bandung FNN - Dunia saat ini menghidupi 7,8 miliar orang. Manusia hidup dengan dukungan pangan yang ditumbuhkan dari hamparan tanah pertanian pada kulit bumi. Manusia hidup maju dan modern saat ini berkat diadakannya bahan bakar fosil dalam perut bumi. Manusia menggali tanah bawah perut bumi untuk mengambil minyak bumi, gas bumi, batubara dan mineral. Permukaan tanah bumi adalah tempat manusia untuk menanam pangan. Perut bumi dijadikan manusia untuk tambang bahan kehidupan maju. Bahan dalam perut bumi dikuras dan bahkan dihabiskan. Bahan diolah untuk menjadi kemewahan hidup yang tak berbatas. Bahan dari perut bumi suatu waktu habis. Tanah permukaan bumi suatu waktu tidak mampu lagi berfungsi untuk menumbuhkan pangan. Manusia kini hidup dalam kondisi tidak berkelanjutan. Kemampuan dukungan dunia terbatas dan terus berbatas. Pikiran manusia dengan otak yang cemerlang berkelana untuk memanfaatkan isi dunia. Manusia hendak merubah apa yang ada di bumi ini untuk kehidupannya. Hutan yang menjulang diubah manusia untuk keperluan hidupnya tak berbatas. Laut yang terhampar dikeruk isinya dengan teknologi maju langit yang menjulang. Diisi dengan segala satelit dan alat angkasa yang melayang layang tak tertambat. Tanah yang berisi bahan dalam perut bumi digali untuk membawa isinya ke permukaan bumi. Bahan-bahan sisa hasil olahan dengan otak cemerlang manusia setelah digunakan, dibuang begitu saja di permukaan bumi. Permukaan bumi menanggung semua bahan buangan manusia yang sudah tidak berguna lagi buat mereka. Plastik hanya berfungsi menyenangkan hidup manusia dalam waktu yang singkat. Namun manusia membuang plastik hasil gunanya di permukaan bumi. Permukaan bumi menanggung semua kotoran hasil olahan manusia. Gaya hidup manusia mengekploitasi permukaan dunia, dan bahkan langit dunia bermula dari yang sederhana. Manusia menemukan api, dan api digunakan untuk peningkatan kehidupan. Kini api digunakan untuk membakar hutan yang sengaja dilakukan untuk mempermudah keinginan manusia tercapai dengan cepat. Manusia menemukan berbagai bahan kimia. Bahan kimia maju membawa kehidupan manusia ke tingkat nyaman tinggi. Bahan kimia yang sudah terpakai dibuang ke hamparan tanah oleh manusia. Rongsokan bahan-bahan kimia menjulang di tempat buangan sampah. Air yang semula bersih dan aman dikonsumsi oleh manusia, kini berupah menjadi air yang terkontaminasi oleh bahan bahan kimia yang dibuang manusia. Gaya hidup ekploitatif ini makin meningkat dengan teknologi yang dihasilkan oleh daya pikir, daya imaginasi, daya ingin dan daya buat manusia. Kini manusia hidup sebagai masyarakat kompleks. Kota-kota besar muncul sebagai lambang kemewahan masyarakat komplek. Manusia memperdagang hasil olahannya dari bahan baku yang diambil dalam perut bumi dan bahan baku hasil tanaman dari tanah bumi. Ini semua ditopang oleh produk bumi. Sebagian produk bumi dapat dihasilkan kembali sebagai bahan terbarukan. Sebagian besar produk bumi malah merupakan bahan yang tidak terbarukan. Kini masa penurunan kemampuan dukungan bumi sudah mulai terjadi. Penurunan dukungan energi untuk kehidupan sedang memasuki massanya. Menipisnya spektrum luas sumber daya tak terbarukan adalah tanda penurunan dukungan energi. Populasi global tumbuh melampaui daya dukung bumi. Populasi global tumbuh besar sebagai hasil pikir manusia yang diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Menyediakan bumi dengan kelengkapan yang sudah diadakan untuk kehidupan manusia. Manusia diberi kemampuan dari olah pikir secara evolusif berkembang terus. Capaian manusia dengan olah pikir mampu mempercepat jutaan kali reaksi gas nitrogen yang ada di udara dengan gas hidrogen untuk menghasilkan gas amnonia. Reaksi ini direkayasa dengan percepatan jutaan oleh Haber dan Bosch. Hasil akhir rekayasa percepatan Haber dan Bosch adalah penggunaan turunan ammonia untuk menjadi pemasok nitrat dan ammonium ke tanah dengan laju cepat, sehingga tanah mampu menghasilkan produk pertanian dalam jumlah sekian kali lipat dari yang tanpa ini. Ini dikenal dengan pupuk nitrogen anorganik. Hasilnya adalah produk pangan dihasilkan dalam jumlah yang terus menerus naik, dan jumlah penduduk dunia naik eksponensial. Pupuk nitrogen anorganik diproduksi dari gas nitrogen udara dan gas alam atau batubura secara besar-besarkan. Dengan ini, dunia mampu menghasilkan produk pangan dalam jumlah yang diperlukan. Tetapi gas alam dan batubara merupakan bahan yang tidak terbarukan. Bahan ini akan memasuki masa habisnya. Maka dunia tidak akan mampu lagi mendukung keperluan pangan dimasa depan dengan jumlah populasi sebanyak ini. Dunia akan menghadap krisis pangan, krisis energi dan krisis mata pencarian atau krisis keuangan. Iklim yang cocok untuk produksi pangan berubah, karena manusia selalu memompa gas karbon ke udara. Ini membuat krisis-krisis ini akan menguat terus, akibat manusia tidak mau mengubah kemauan dalam mengejar kenyamanan hidup tingkat tinggi. Prediksi apa yang akan terjadi, mau tidak mau harus dilakukan walaupun ini menimbulkan kekhawatiran besar. Dari sekian krisis-krisis yang akan dihadapi, satu fokus yang harus dicurahkan adalah penyadaran akan arti tanah pertanian. Tanah pertanian sudah menjadi tempat produksi pangan. Berbagai bahan pupuk diinjeksi manusia untuk menaikkan kemampuan produksi lahan terhadap bahan pangan. Tanah pertanian diinjeksi dengan berbagai pupuk nitrogen seperti urea, ammonioum nitrat, ammonium chlorida atau ammonia. Semua pupuk ini diproduksi dari bahan fosil. Komponen pupuk berikutnya yang diinjeksi ke lahan pertanian adalah pupuk Phousfor (P) dan pupuk Kalium (K). Kebiasaan produksi pangan dengan pupuk NPK yang dihasilkan dari bahan bakar fosil dan mineral tambang membuat produksi pangan bergantung 100 % pada doping NPK dari luar. Tanah yang sudah disiapkan isinya dengan segala komponen alami untuk menumbuhkan pangan diubah kemampuannya oleh manusia dengan cara doping NPK dari luar. Siklus alami penyediaan nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+) sudah disediakan oleh Yang Maha Kuasa. Dengan bantuan mikroorganisme dalam tanah untuk merubah nitrogen dari udara menjadi nitrat dan ammonium ini. Doping N dari luar dalam jumlah banyak langsung dengan cepat terkonversi menjadi nitrat dan ammonium dalam jumlah berlipat-lipat dibanding yang dihasilkan secara alami. Tanaman tumbuh dengan cepat menghasilkan bahan pangan seperti padi dan gandum dalam jumlah yang besar. Mikroorganisme yang ada dalam tanah tidak lagi berguna sebagai proses alami. Mikroorganisme ini dapat dikatakan menghilang karena tiidk mampu lagi hidup di tanah dengan konsentrasi nitrat dan ammonium yang tinggi. Ini merupakan tindakan manusia yang merubah siklus alami proses terbentuknya nitrat dan ammonium dengan cari doping tetapi mematikan proses alami ini. Manusia sampai hari ini masih mengatakan bahwa keperluan pasokan pupuk NPK dari luar akan selalu ada. Kami akan beli pupuk NPK dengan ketersediaannya. Manusia dalam produksi pangan sudah bergantung 100 % kepada pupuk NPK untuk doping tanah pertanian ini. Tetapi kini manusia harus disadarkan bahwa pupuk nitrogen itu dibuat dari bahan baku udara sebagai sumber nitrogen (N2) dan bahan baku gas alam dan batubara sebagai sumber hidrogen (H2). Gas alam dan batubara merupakan bahan bakar fosil yang memiliki masa habisnya. Haber Bosch mampu mempercepat reaksi N2 dan H2 berjuta kali dengan katalisnya membentuk ammonia (NH3). Amonia ini adalah bahan dasar untuk membuat pupuk nitrogen yang diperlukan untuk mendoping tanah. Ammonia direaksikan dengan gas CO2 untuk menghasilkan pupuk Urea CO(NH2). Ammonia direaksikan dengan HCl untuk menghasilkan pupuk NH4Cl. Ammonia juga direaksikan dengan asam nitrat untuk menghasilkan pupuk NH4NO3. Semua pupuk nitrogen sebagai mesin utama produksi pangan saat ini akan memasuki masa ketidakmampuan untuk disediakan lagi ketika gas alam dan batubara bakalan memasuki massa habisnya. Tuhan sudah menyediakan nitrogen N2 dalam udara buat makhluknya dimuka bumi. Kandungan N2 dalam udara disediakan sebanyak 79 %. Kandungan oksigen (O2) adalah 21 %. Oksigen dikonsumsi oleh makhluk hidup untuk bernafas. Oksigen dibuatkan siklus produksinya kembali Tuhan Yang Maha Kuasa oleh peristiwa fotosintesis pada daun-daun tumbuhan hijau. Reaksi fotosintesis pada daun hijau merupakan reaksi antara gas CO2 dan air (H2O) membentuk senyawa dasar glukosa dan gas O2. Gas O2 dibebaskan ke udara untuk mengganti gas O2 yang sudah dikonsumsi. Senyawa dasar glukosa menjadi dasar untuk pembentukan senyawa karbohidrat, sellulosa, hemisellulosa dan lignin melalui metabolisme lanjut dalam tumbuhan. Karbohidrat adalah bahan pangan buat manusia. Sellulosa, hemisellulosa dan lignin merupakan biomassa yang digunakan sebagai pakan dari hewan-hewan ternak dan bahan keperluan hidup manusia juga. Mari kita berpikir tentang keberadaan N2 di udara yang lebih dari dua kali jumlah O2 di udara. Padahal, manusia tidak melihat secara langsung bahwa N2 dikonsumsi langsung. Kita jangan salah pikir dulu. N2 disediakan dalam jumlah yang besar dalam udara atmosfir merupakan persediaan atau sebagai gudang N2 yang Allah sudah siapkan sepanjang bumi ini ada. Nitrogen adalah unsur utama pembentuk protein. Protein merupakan bahan dasar pembentuk tubuh manusia. Peranan protein dalam tubuh manusia sangat vital. Protein juga merupakan bahan dasar pembentuk tubuh ikan dan hewan-hewan. Nitrogen adalah bahan dasar utama pembentuk kloropil pada daun yang bertugas untuk menyerap energi matahari dalam menjalankan reaksi pirolisis. Penulis adalah Kelompok Keahlian Teknologi Pengolahan Biomassa dan Pangan Fakultas Teknologi Industri ITB, ybybyb@fti.itb.ac.id
Setan & Iblis Ikut Bahas Korupsi Bansos
by Kisman Latumakulita Jakarta FNN – Pagi tadi (Jum’at 26/02), selesai sholat subuh, saya baca pesan dari teman yang pernah menjadi menteri di eranya kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Pesannya dikirim dari semalam sekitar jam 21.45 WIB. Namun baru dibaca selesai sholat subuh. Isi pesannya adalah, “adinda, bisa ke rumah jam 08.00 WIB pagi ini untuk sarapan, sambil ngombrol-ngobrol kecil di rumah”? Tanpa pikir panjang, saya langsung jawab saja, “insya Allah bisa bang”. Cuma kemungkinan saya agak terlambat yang bang, karena harus ketemu dengan teman yang sudah terlanjur janjian jam 06.30 WIB pagi ini. Dijawab oleh abang yang mantan menteri itu “ok saja adinda. Abang tunggu ya. Sampai jumpa di rumah dinda nanti”. Sebagai wartawan, tentu saja ini adalah kesempatan yang tidak bakalan saya disia-siakan. Saya sudah mulai terbayang bakalan dapat cerita dan informasi penting sekitar pemerintah Jokowi, naik dulu ketika masih menjadi anggota kabinet maupun sekarang. Paling kurang ada kesempatan untuk saya menggali dan menanyakan beberapa informasi penting dari sang mantan menteri. Tepat jam 07.45 WIB, saya meninggalkan rumah teman untuk menuju rumah mantan menteri tersebut. Karena macet, saya baru tiba di rumah sang mantan menteri jam 09.15 WIB. Setelah dipersilahkan oleh staf rumahnya untuk masuk ke ruang tamu, tiga menit kemudian mantan menteri keluar dari kamar pribadi untuk menemui saya. Kami lantas saling memberikan salam protokol kesehatan (prokes) dengan menunukan kepal tangan masing-masing dari jarak jauh. Sambil menunggu sarapan dihidangkan, sang mantan menteri mengajak saya untuk foto-foto dengan beberapa latar belakang lukisan yang dibuat dengan alat lukis dari pedang. Latar belakang foto kami bedua lainnya adalah ketika sang menteri masih mudah. Stafnya lalu memfoto kami berdua untuk beberapa kali. Setelah itu, hidangan sarapan pagi disajikan untuk kami berdua. Sambil sarapan dan ngopi tanpa gula, mantan menteri itu bilang, “anda ini kan wartawan gila. Saya kanal kamu sejak awal tahun 1990, saat baru pulang kuliah S-3 dari Amerika. Saat itu, kita sama-sama membongkar skandal rente ekonomi Iuran Hasil Hutan (IHH) dan Dana Reboisasi (RD) yang sangat kecil dipungut untuk negara. Sementara mereka para pengusaha Hak Pengusahaan Hutan (HPH) bisa kaya raya tanpa melakukan investasi”. Pengusaha HPH hanya investasi alat untuk menebang kayu. Saya jawab, “benar bang. Ketika itu saya masih wartawan yunior di Harin Ekonomi NERACA. Abang membantu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan yang sangat peduli dengan masalah eksploitasi hutan yang tidak banyak memberikan manfaat, baik kepada negara maupun untuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan sebagai pemilik sebenarnya hutan. Sambil sarapan, sang mantan menteri bertanya kepada saya, “Kisman, kamu tau nggak, apa yang sedang dibahas oleh para iblis dan setan dalam pertemuan mereka beberapa hari belakangan ini”? Saya jawab, ”ya pasti nggak taulah bang. Saya kan bukan iblis dan setan”. Kemudian saya tanya kepada sang mantan menteri, “memangnya yang abang tau tema apa yang dibahas setan dan iblis”? Sambil tertawa kecil, sang mantan menteri menjawa, “pasti yang dibahas itu korupsi di Indonesia yang merata, dan tidak pernah berakhir. Korupsi yang hampir merata di semua kementerian dan lembaga. Totol korupsi di industri asuransi dengan palaku yang sama hampi mencapai Rp. 100 triliun. Kalau ada yang belum terungkap, bukan karena tidak adanya korupsi. Ini hanya soal waktu saja. Nanti juga akan terungkap pada waktunya". Namun korupsi di Indonesia yang paling banyak dibahas setan dan iblis adalah korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos). Ditambahkan sang mantan menteri, kalau setan dan iblis juga bingung nggak abis pikir, masa dana Bansos untuk orang kecil yang lagi kesulitan akibat pandemi kovid-19 dikorupsi sih? Tega-teganya mereka para kader partai yang mengaku sebagai pembela rakyat kecil tersebut ya? Dimana rasa kemanusian mereka terhadap orang kecil? “Kita-kita (iblis dan setan) yang spesialis penghisap darah manusia saja, masih pilih-pilih darah segar mana yang mau dihisap? Yang pasti bukan darahnya orang-orang kecil yang akan dihisap oleh kita-kita. Sebab pasti darahnya tidak lagi lagi segar, karena kurang vitamin dan nutrisi. Namun kalau darahnya para oligarki dan konglomerat yang merampok uang rakyat itu pasti kita dihisap. Karena pasti masih segar dan bau enak”. Mengakhiri pertemuan yang hampir dua jam itu, sang mantan menteri mengingatkan saya agar Portal Berita FNN.co.id jangan sampai bosan untuk memberitakan korupsi dana Bansos tersebut. Alasannya, FNN jangan sampai kalah dengan iblis dan setan yang sangat perduli dengan korupsi dana Bansos. Masa FNN kalah perduli dengan iblis dan setan? Oh ya, ada lagi nih. “FNN jangan juga lupa dengan soal Goodie Bag anak Pak Lurah yang harganya Rp. 15.000,- per unit”. Padahal Boodie Bag itu kalau bisa dikerjakan oleh Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), harganya bisa lebih murah, yaitu Rp 5.000,- per unit. Bisa memberikan pekerjaan kepada UMKM dalam jumlah yang banyak, dengan harga yang sangat murah”. Goodie Bag itu penunjukan langsung sebanyak 10 juta unit kepada PT Sritex, sehingga total anggaran adalah Rp. 150 miliar. Setan dan iblis juga mengingatkan kalau penunjukan langsusung itu hanya dibolehkan untuk proyek dengan nilai di bawah Rp. 200 juta. Kalau penunjukan langsung untuk pekerjaan di atas Rp. 200 juta, iblis dan setan sepakat kalau itu pidana. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Buzzer Denny Siregar Membuat Bising Aceh
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Adalah ungkapan syukur "Alhamdulillah" dari Denny Siregar, aktivis Syi'ah yang sekaligus buzzer yang masyarakat Aceh marah. Denny menyindir warga Aceh dan pemerintahannya atas laporan Badan Pusat Statintik (BPS) Aceh mengenai naiknya angka kemiskinan sebesar 15,43 % pada September 2020 yang dinilai tertinggi di Pulau Sumatera. Twit Denny sangat menyakitkan. Denny mengoceh "lho, propinsi termiskin itu prestasi. Karena jadi propinsi kaya itu biasa, sudah banyak yang melakukannya. Miskin itu gaya hidup yang tak semua orang bisa. Pertahankan posisi juara bertahan. Anda bisa". Dengungan buzzer ini dinilai tak layak. Karena hanya dengan berdasar laporan BPS saja, Denny sudah menyimpulkan terlalu jauh. Bersyukur lagi. Netizen mengingatkan akan kontribusi Aceh bagi bangsa dan negara ini besar. Sumber Daya Alam (SDA yang dialokasikan Aceh untuk Pemerintah Pusat cukup besar. Baik itu gas alam, nikel, emas, minyak bumi, hingga perkebunan. Dikaitkan dengan sejarah perjalanan bangsa ini, maka mudah menunjukkan sumbangan besar tidak ternilai dari masyarakat Aceh. Mulai dari sumbangan pesawat RI OO1 Seulawah 1 dan 2, kapal laut, hingga emas 28 kg. Bahkan sebagian besar emas di puncak Monas adalah sumbangan sukarela dari putera Aceh Teuku Markam. Apakah itu mau dianggap tidak ada? Sindiran Denny Siregar dinilai keterlaluan dan berbahaya. Aceh, Maluku, dan Papua adalah propinsi yang potensial untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bila hantaman semakin tajam, dan penghargaan kepada masyarakat Aceh hilang, maka bukan mustahil bakal berujung pada desakan referendum pemisahan dari NKRI. Jika ini yang terjadi bukan hanya Aceh yang berpisah. Ada efek domino yang meluas. Pemerintah harus segera membungkam buzzer-buzzer berbahaya seperti Denny, Abu Janda, Ade Armando dan lainnya sebagai wujud penegakan hukum berdasarkan keadilan. Kebebasan yang diberikan kepada para buzzer tanpa batas, dapat menciptakan ketersinggungan regional maupun nasional. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan aspek keagamaan atau keumatan. Denny Siregar sudah berulangkali berulah. Berulangkali pula dilaporkan ke Kepolisian tanpa ada tindak lanjut proses hukum. Kondisi ini akan menyebabkan kekecewaan publik yang semakin memuncak dari hari ke hari. Proteksi kepada buzzer dinilai mencolok dan berlebihan. Privilege yang unlawful. Tidak mengherankan kalau publik harus mencurigai penegakan hukum kita amburadul dan jorok. Mengapa Denny selalu sinis dalam cuitannya, dan senantiasa menohok kepada sentimen keagamaan? Sebagaimana Denny menuduh "calon teroris" kepada santri cilik di Tasikmalaya dulu? Nampaknya Denny tidak akan menyerang jika Aceh bukan propinsi khusus yang menerapkan syari'at Islam. Tiga status yang melekat pada diri Denny, sehingga terkesan Islamophobia. Pertama, sebagai buzzer yang sewarna dengan rezim yang kurang, atau tidak bersahabat dengan umat Islam. Radikalisme dan ekstrimisme diarahkan pada umat Islam. Sayangnya, bersamaan dengan itu minta dana wakaf dari umat Islam. Satu sisi butuh dana umat Islam setelah gagal mengelola ekonomi bangsa. Namun sisi lain bersikap Islam phobia. Kedua, sebagaimana pengakuannya bahwa Denny adalah Syi'ah, sementara mayoritas umat Islam Indonesia itu Sunni. Sebagai aktivis Syi'ah tentu Denny dituding berupaya menciptakan instabilitas dengan ocehan dan sikap politiknya. Ketiga, sebagai pegiat sosial media, Denny memanfaatkan media ini untuk menyerang banyak orang dan tokoh seperti Novel, Prabowo, Almira Yudhoyono, HRS, hingga Anies Baswedan. Tokoh Aceh Fahrul Rozi dibully saat pembuatan Qonun yang berkaitan dengan Hukum Keluarga. Sikap sinis kepada masyarakat dan pemimpin Aceh sebagai propinsi berprestasi kemiskinan sungguh menyakitkan. Jika Denny berada dan menjadi warga Aceh mungkin saja sudah dihukum mati. Beruntung Denny berada di area ibu kota Negara, sehingga bisa berlindung dan sembunyi di pantat penguasa. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tolak Zuhairi Misrawi Sebagai Dubes Arab Saudi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pengajuan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar Kerajaan Saudi Arabia terus menuai kontroversi. Persoalannya adalah rekam jejak kader PDI-P ini yang memang kontroversial. Disamping pendukung Lesbi, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT), Ahmadiyah dan Syi'ah, juga fikiran liberalnya menyentil Syari'ah. Shalat gerhana dan ibadah umroh dipermasalahkan. Pegiat Aktivis Jaringan Islam Nusantara (JIN) ini membuat ocehan dalam Twitter yang mem"bully" ibadah umroh. Syari'at Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam dan perintah Allah Subhaanahu Wata’ala dalam Al Qur'an ini dinistakan. Misalnya, membandingkan dengan amalan lain. "Dikampung kalau mau berdo'a cukup baca Yasin atau ziarah kubur. Sekarang harus ke Mekkah dengan biaya tinggi. Beragama jadi mahal". Cuitan lainnya adalah "padahal, kalau kita umroh berarti kita menyumbang devisa bagi Arab Saudi". Untuk ini Zuhairi membuat tagar konspirasi. Asumsi bahwa umroh adalah bagian kejahatan konspirasi untuk menguntungkan negara Saudi Arabia. Menurutnya pula, "secara sosiologis ziarah kubur itu menjadikan biaya beragama relatif lebih murah daripada harus umroh ke Mekkah". Betapa Zuhairi melecehkan ketentuan Allah Subhaanahu Wata’ala jika soal ibadah diukur semata pada nilai materi. Allah pun tidak pernah memaksakan ibadah umroh tetapi mengembalikan pada kemampuan. Zuhairi dengan alasan materi telah menafikan syari'at Allah tentang perintah melaksanakan ibadah umroh. Bagaimana bisa jika seorang Duta Besar di negara tempat dua kota suci Makkah dan Madinah berada, justru profil aktivis yang menistakan syari'at? Mengecilkan makna ibadah umroh serta menyerang Pemerintah Saudi Arabia sendiri ? Menganggap umroh sebagai konspirasi demi devisa Saudi adalah perbuatan kriminal. Menkopolhukam Mahfud MD perbah merasa kesal dengan cuitan Zuhairi Misrawi tentang umroh yang dibandingkan dengan ziarah kubur berharga murah. Mahfud MD menyatakan, "banyak orang yang berwisata ke Eropa, Australia, Amerika dan negara lain sekedar wisata. Masak orang berwisata umroh diejek ? Keblinger dan genir toh". Duta Besar model seperti ini bakal memalukan diri sendiri karena menista syari'at. Merendahkan bangsa dengan kualitas rendah keagamaan, serta tidak akan mampu membangun persahabatan dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tak ada yang bisa diharapkan dari Duta Besar yang tidak menghargai bangsa dan umatnya sendiri. Apalagi melecehkan negara dimana dia bertugas. Karenanya wajib kita sebagai bangsa bermartabat dan umat Islam yang senantiasa khidmah ibadah kepada Allah, untuk menolak pengangkatan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar di Kerajaan Saudi Arabia. Meskipun kita faham bahwa urusan mengangkat duta dan konsul itu kewenangan Presiden. Tetapi aspirasi rakyat harus didengar. Publik layak untuk mendesak Kementrian Luar Negeri Indonesia mencabut usulan Zuhairi Misrawi sebagai Duta Besar Saudi Arabia. Masyarakat juga boleh meminta Komisi I DPR RI agar menolak Zuhairi Misrawi untuk dilakukan fit dan proper test sebagai Calon Duta Besar. Wajar dan demi menjaga harmoni hubungan Indonesia dengan Saudi Arabia, sangat dimengerti jika Pemerintah Saudi tidak mau menerima Zuhairi Misrawi untuk ditempatkan sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Kerajaan Saudi Arabia. Sebab Zuhairi Misrawi memang belum atau tidak pas dan pantas menjadi Duta Besar. Tahu diri dengan mundur itu lebih baik dan bermartabat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
The New Istiqlal
by Imam Shamsi Ali Makasar FNN - Hari Ahad kemarin, 22 Februari 2021 masjid Istiqlal melangsungkan hari jadi atau Miladnya yang ke 43. Acara itu dihadiri oleh Wakil Presiden (Wapres) KH. Ma’ruf Amin dan beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju. Ada juga pejabat tinggi negara lainnya, serta perwakilan-perwakilan negara sahabat termasuk Akting Dubes Amerika Serikat. Saya sendiri secara pribadi diundang melalui telpon langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. Sayang sekali saya tidak bisa hadir karena terlebih dahulu terikat oleh beberapa jadwal di Makassar, Sulawesi Selatan. Namun Jumat lalu saya menyempatkan hadir Jumatan di Istiqlal sekaligus menjadi narasumber pada pelatihan peningkatan SDM Rohis/Bintal TNI. Masjid Istiqlal memang sangat membanggakan bangsa Indonesia. Selain karena bersejarah, juga merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini tentu juga dikenal sebagai masjid negara. Dan karenanya untuk pertama kalinya, pengangkatan Imam Besar dan seluruh jajaran struktur kepengurusannya melalui Surat Keputusan Presiden RI. Kali ini Istiqlal memang sedang berbenah. Saya yakin bahwa semua ini tidak lepas dari kelihaian Imam Besar, Guru dan Kakak saya, Professor Nas. Kelihaian itu tidak saja secara substansi keilmuan karena beliau memang seorang guru besar dalam ilmu agama. Professor Nas juga dalam hal profesionalitas menejemen yang beliau miliki. Ditambah lagi keluasan dan keluwesan beliau dalam membangun komunikasi dan relasi dengan semua pihak, baik dengan pemerintah maupun masyarakat luas, bahkan dengan non Muslim sekalipun. Kini Istiqlal semakin berbenah. Tentu saya tidak ingin memakai kata sempurna. Karena kesempurnaan itu hanya milik Allah, sang Khaliq. Tetapi masjid Istiqlal semakin membaik, maju dan berkembang baik secara fisik maupun secara substansi (program dan kegiatan). Secara fisik, dalam sejarahnya baru kali ini masjid Istiqlal mendapat perhatian penuh dari pemerintah dan semua masyarakat luas untuk direnovasi secara besar-besaran. Dan itu dapat disaksikan secara dekat di saat mengunjungi masjid Istiqlal. Salah satu hal yang unik di masjid Istiqlal saat ini adalah penyinarannya dengan memakai sistem solar (matahari). Selain itu masjid Istiqlal memperbaiki segala fasilitasnya secara profesional, termasuk ruang-ruang sekolah/perkuliahan yang semakin indah. Bahkan mungkin yang juga unik, khususnya di Indonesia, adalah dihadirkannya tempat olah raga atau Gym yang modern. Nggak itu karena masjid Istiqlal memiliki wawasan membangun manusia seutuhnya. Sehat secara spiritual, intelektual, dan juga secara fisikal. Tetapi dari semua itu yang paling menggembirakan adalah bahwa visi masjid Istiqlal tidak lagi bahwa masyarakat itu harus memberdayakan masjid. Saat ini justeru minimal harus ada perhatian timbal balik. Sehingga yang berkembang dan kuat bukan masjidnya saja. Namun juga masyarakat atau jamaah masjid tersebut. Perberdayaan masjid sebagai pusat pemberdayaan masyarakat ini terlihat dalam inisiasi berbagai program yang, menurut saya pribadi, sangat maju dan inovatif. Saat ini ada 41 bentuk program yang dicanangkan oleh masjid Istiqlal. Dan bersamaan dengan hari Miladnya yang ke 43 program-program tersebut diluncurkan secara resmi oleh Wakil Presiden RI. Saya tidak akan menyebutkan kesemua 41 program itu. Semuanya dapat diakses melalui website masjid Istiqlal saat ini. Saya hanya akan menyebut tiga hal yang menurut saya sangat relevan dan diperlukan. Pertama, terbentuknya Majelis Mudzakarah masjid Istiqlal yang beranggotakan 20 orang dan diketuai oleh Ahli Tafsir dan Ulama Indonesia, Prof. Dr. Quraish Shihab. Saya sendiri dimasukkan sebagai salah seorang anggota di Majelis tersebut. Dengan terbentuknya Majelis Mudzakarah ini, masjid Istiqlal kemudian meluncurkan program pengkaderan ulama yang secara akademik setingkat S2 dan S3. Program ini dikerjasamakan dengan Institute Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta. Kedua, sebagai bagian dari pengkaderan Ulama tadi, masjid Istiqlal secara khusus melakukan pengkaderan Ulama wanita. Bagi saya pribadi hal ini sangat penting dan inovatif, bahkan sesungguhnya sangat diperlukan untuk tujuan-tujuan multidimensi yang sangat penting. Pengkaderan Ulama perempuan akan menjawab berbagai tuduhan bahwa Islam itu diskriminatif kepada wanita, khususnya dalam Kajian keagamaan. Dan tentuny lebih khusus lagi bahwa wanita akan memiliki akses besar dalam penafsiran-penafsiran yang selama ini diakui atau tidak memang “masculine dominant” (didominasi oleh Ulama pria). Setahu saya belum ada negara Islam yang melakukan hal ini selain Indonesia. Maroko Beberapa waktu lalu mengadakan hal yang sama. Di mana kedudukan mufti juga diperbolehkan untuk diduduki oleh kaum hawa. Hanya saja Indonesia melangkah lebih jauh karena memang program ini adalah mengkader Ulama yang akan berkontribusi secara penuh dalam keilmuan dan pemikiran Islam. Ketiga, masjid Istiqlal ingin menjadi pelapor jaringan masjid-masjid besar dunia. Bagi saya pribadi hal ini sangat penting dan relevan karena memang masanya Indonesia berada di garis depan untuk meraih kepemimpinan di dunia global, khususnya di dunia Islam. Jika hal ini terwujud maka tentu salah satu kegalauan saya sebagai Putra bangsa yang telah lama di luar negeri akan terjawab. Saya adalah putra bangsa yang beragama Islam yang telah lama mengimpikan peranan global Umat Islam Indonesia. Semoga masjid Istiqlal ke depan dapat bekerjasama dengan Nusantara Foundation dan Pesantren Nur Inka Nusantara Madani untuk memainkan peranan global itu. Insya Allah. “Selamat kepada Masjid Istiqlal di hari jadi yang ke 43. Dan selamat sebagai The New Istiqlal”. Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nusantara Madani USA.
Tergerusnya Modal Sosial Kader HMI di Usia 74 Tahun.
by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Pada 5 Februari kemarin, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memperingati Milad ke-74 tahun. Tentu saja di usia 74 tahun, bagi HMI bukan lagi yang muda. Namun HMI terus dan terus saja mengalami pergolakan politik yang melintasi zaman. Dinamika konflik yang terus berkepanjangan itu memporak-porandakan internal pengurus yang tak terkendali. Momentum proses pembelajaran soal mengkaji isu situasi nasional dan mancanegara dilewatkan begitu saja dalam bidang bidang. Kenyataan ini ditambah lagi dengan tergerusnya modal sosial antar sesama kader, yang bisa dipengaruhi kapanpun dan oleh siapapun. Situasi ini menjadi tantangan terberat untuk perjalanan HMI memasuki era for point zero (4.0) sekarang dan mendatang. Menariknya, tema yang diangkat saat milad ke 74 itu “mengokohkan kometmen kebangsaan dan keindonesiaan”. Beragam opini yang tampil membelah reaski kader ke dalam kubu pro dan kontra secara masif datang silih berganti. Bahkan tanpa berkesudahan. Kenyataan itu merupakan dampak dari konflik yang masuk ke dalam lingkup internal perkaderan. Secara historis, bisa kita lihat kembali bagaimana tujuan HMI hadir? Salah satunya tentang komitmen HMI untuk mengangkat derajat umat islam dan mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Untuk itu, perlunya mengoptimalkan tujuan dan komitmen kehadiran HMI tersebut. Bukan sekedar hanya memelihara komitmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Sekali lagi perlu mengoptimalkan. Bukan sekedar memelihara kometmen yang telah dibuat oleh pendiri HMI. Dalam kenyataan asasinya, bahwa HMI adalah organisasi yang memiliki peran aktif dalam denyut nadi dan gerak langkah pembangunan nasional. Sayangnya, belakangan ini HMI lebih banyak menyita waktu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal memata. Seperti layaknya organisasi yang saja baru lahir kemarin sore. Sebagai organisasi perkaderan yang memiliki tujuan perjuangan, kiprah HMI sementinya diutamakan untuk melihat tantangan persoalan pembangunan ke depan. Menjadi kewajiban gerak serta langkah kader-kader HMI dalam mengejawantahkan tujuan-tujuan HMI. Untuk itu, perlu diingat kembali tentang independensi HMI yang menurut pengamatan penulis ini mulai hilang di dalam jiwa kader HMI. Bahwa independensi HMI adalah salah satu moral kader HMI yang seharusnya tetap dijunjung tinggi. Independensi HMI menjadi sesuatu yang utuh. Sesuatu yang original, sehingga HMI memiliki posisi tawar untuk selalu berkontribusi dalam pembangunan nasional. HMI tidak dibawa dan diseret-seret ke dalam kepentingan politik pragmatisme. Itulah sejatinya jati diri HMI. Potret tergerusnya modal sosial itu cukup kompleks. Meramba seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan. Berdampak pada kekacauan sistem nilai dan kepercayaan dalam diri kader. Sistem nilai yang hanya bertumpu pada pragmatisme. Suka atau tidak suka, itulah yang terjadi saat ini. Padahal, bukan untuk kepentingan pragmatisme itu HMI lahir. HMI lahir untuk ke-Islaman dan ke-Idonesiaan. Jauh sebelumnya telah didesaign khusus oleh aktor-aktor intelektual HMI, dan itu diajarkan oleh para master HMI di ruang ruang basic training atau Latihan Kader (LK) Satu yang dibalut dengan lima kualitas insan cita HMI sebagai pintu masuk awal berHMI. Yaitu, kkualitas akademis, kualitas pencipta, kualitas pengabdi, kualitas bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur dan kualitas bernafaskan Islam”. Subhanallah, betapa sangat mulianya para pendiri dan senior HMI yang telah menyiapkan kader-kader HMI dengan “lima kualitas insan cita HMI” tersebut. Bagi para pendiri dan senior HMI yang telah mendahului kita menghadap robbina, semoga Allah Subhaanahu Wata’ala selalu merahamati para pendiri dan senior HMI dengan rahmat-Nya tidak terbatas itu di dalam kuburnya. Belum cukup hanya di LK satu saja, jenjang khusus perkaderan di HMI ini kalau diibaratkan semacam kuliah, banyak yang telah lulus S-3 . Tentu pemahaman yang utuh tentang bagaimana insan yang hanief ini memihak kepada yang benar secara independensi. Memihak yang benar itu memihak kepada perintah Al-qur’an dan hadist, yang dimana Al-qur’an menyampaikan kepada sesuatu yang haq. Keberanan berdasarkan Al-qur’an dan Hadits itulah yang perlu diperjuangkan, dalam konteks dinamika HMI tentang Ummat dan bangsa. Namun sayang seribu kali sayang. Lembaran desaign yang baik dan mulia itu tinggal bungkusnya saja. Isinya telah lenyap dimakan rayap. dan entah kemana jejaknnya. Celakanya lalgi, modal sosial yang tergerus tersebut, juga mengacaukan komitmen sosial. Sebaliknya, berpacu memproduksi dan melahirkan komitmen material.Bahkan terlihat menjadi semakin terdepan dalam menghancurkan kekuatan silaturahmi yang awalnya mampu menghangatkan hubungan sosial antar kader HMI dan lainnya. Hubungan antar pribadi sesama kader HMI, sesama kelompok berubah menjadi hubungan yang hanya berbasis yang di ukur secara finansial semata. Itulah konsekuensi nyata dari berlangsungnya perkaderan hari ini. Tentu ukuran-ukuran material menjadi patokan untuk menilai. Kesuksesan dan kegagalanpun diukur berdasarkan isi kantong setiap kader yang berkontestasi, mulai pada level bawah hingga Pusat. Sepatutnya, setiap kader HMI mampu menempatkan dirinya secara proporsional, sehingga harmonisasi hidup sosial antar kader berlangsung dalam suasana sama-sama menghormati dan menghargai. Modal sosial menjadi sesuatu nilai yang sangat berharga jika setiap pribadi mampu memberi, mampu peduli dan mampu saling memaafkan bila ada perbedaan. Peringatan yang disampaikan Rasullaah Sallaahu Alaihi Wasallam, “aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Demikian Hadist ini sangat erat kaitannya dengan independensi HMI yang semestinya disimpan dalam jiwa setiap kader. mampu untuk dimplementasikan dalam kehidupan sosial, sehingga senantiasa mendapatkan ridha dari Allah Subhaanhu Wata’ala. Menjelang kongres yang akan berlangsung, beberapa pekan ke depan. Mari sama-sama kita menata rumah hijau ini dengan niat yang tulus. Niat yang tanpa adanya hujatan serta adu-domba yang berlebihan dinatara sesama kita. Menata kembali konsistensi independensi yang adaptif sesuai dengan visi HMI. Mari menata konsistensi independensi adaptif yang sesuai dengan tuntutan zaman yang serba digital ini, serta excellen untuk kemajuan rumah kita bersama. Seperti yang pernah ditawarkan oleh pendiri HMI Almarhum Lafran Pane sebagai kemerdekaan hati. Semoga Allah Subhaanahu Wata’ala mengampuni segala kasalahannya, dan kemuliaannya mendirikan HMI menjadi pintu yang terbuka lebar untuk menggapai syurganya Allah. Penulis adalah Bakal Calon Kandidat Ketua Umum PB HMI.
Dana Covid Pemerintah Mulai Sesak Nafas?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020, yang namanya sangat panjang, dan susah dihafal itu sudah memberi keleluasaan penggunaan dana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan pandemi Covid 19. Saking leluasanya, maka Pasal 27 memberikan an membebaskan para pembuat kebijakan keuangan yang terkait Covid-19 dari tuntutan hukum. Dampak positifnya adalah kebijakan keuangan yang terkait penanggulangan pandemi menjadi prioritas. Sedangkan negatifnya bisa terjadi pemborosan, kebocoran, dan pengelolaan yang tidak becus. Anggaran sangat mudah untuk dibesar-besarkan dari yang sebenarnya. Mark up anggaran bisa terjadi dengan sangat gampang, seperti yang terjadi pada Bantuan Sosial (Bansos) yang menyeret mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan anak Pak Lurah. Indonesia menurut Laporan Bank Dunia termasuk 10 negara berpendapatan kecil menengah, dengan jumlah hutang Luar Negeri (LN) yang besar. Sampai akhir Desember 2020, besaran hutang kita telah mencapai Rp. 6.074 triliun. Sementara total hutang baru Pemerintah tahun ini akan mencapai Rp. 1.439 triliun, akibat pandemi Covid 19. Pemerintah sendiri mulai berjanji dan teriak untuk waspada. Hutang yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi back fire. Tragisnya lagu, hutang dikorupsi oleh orang-orang yang berlindung di sekeliling istana. Padahal pandemi Covid-19 yang menjadi alasan keleluasaan penggunaan dan peningkatan hutang kini sudah terasa menjadi back fire. Alokasi dana penanganan Covid 19, juga mulai tersendat. Jumlah pasien Covid yang semakin terus meningkat, dan mencapai angka di atas satu juta orang, dengan tingkat keterisian Rumah Sakit akumulatif 70%, telah melampaui angka batas aman yang ditetapkan oleh WHO, yaitu maksimal 60%. Menurut Asosiasi Rumah Sakit (ARSSI) pemerintah mulai tidak mampu membayar klaim biaya pasien yang ditaksir sebesar Rp. 1 triliun lebih. Ketidakmampuan pemerintah untuk membayar Rumah Sakit untuk tiga bulan Oktober, November, dan Desember 2020 cukup menggelisahkan banyak Rumah Sakit. Karena hal ini tentu mempengaruhi cash flow Rumah Sakit tersebut. Jumlah tersebut, belum termasuk Januari dan Februari 2021 nanti. Angla Rp. 1 triliun klaim tersebut tentu bertambah dengan tagihan bulan sebelumnya akibat adanya dispute. Sebagaimana dahulu BPJS yang juga bermasalah dalam pencairan pembayaran kepada Rumah Sakit, kini klaim pembayaran penanganan pasien Covid-19 pun mulai bermasalah. Dana Covid-19 di pemerintah mulai sesak nafas. Pemerintah harus membayar tanggungan triliunan rupiah untuk sebuah Rumah Sakit. Sementara dana pemerintah mulai megap-megap. Sebagai contoh, Rumah Sakit yang hanya mernyediakan 30 bed (tempat tidur) untuk pasien Covid-19, pemerintah telah menunggak untuk tiga bulan sebesar Rp. 10 miliar. Dapat dibayangkan untuk Rumah Sakit yang menyediakan bed jauh daripada itu. Tentu saja tunggakan pemerintah kepada Rumah Sakit jauh lebih besar lagi dari yang hanya 30 bed. Jika janji untuk waspada tak terealisasi, dan pemerintah abai terhadap penyelesaian tunggakan kepada Rumah Sakit, maka bukan saja berpengaruhi terhadap pelayanan pasien Covid 19. Tetapi juga akan dapat mengganggu keadaan Rumah Sakit itu sendiri. Bukan hal yang mustahil beberapa Rumah Sakit swasta dapat ambruk akibat Covid-19 ini. Pemerintah harus serius memperhatikan keadaan ini. Semoga saja dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19, pemerintah tidak sedang berada di ruang ICU dan isolasi. Sehingga butuh ventilator untuk menstabilkan pernafasannya. Nafas yang semakin sesak dan tersendat. Wajar saja, kalau pemerintah berharap bisa mendapatkan dana wakaf dari Umat Islam. Namun sayangnya, Umat Islam keburu sudah tidak percaya dengan pemerintah. Sikap Umat Islam yang tidak mau percaya, karena pemerintah selalu berubah-ubah. Pagi bisa menjadi tempe, dan sore berubah menjadi dele. Ditambah dengan sikap Islamphobia. Untuk itu, kiranya penting bagi pemerintah untuk untuk meningkatkan keberhasilan penanganan pandemi Covid 19, khususnya berkaitan dengan pendanaan, antara lain : Pertama, meningkatkan alokasi anggaran. Rencana anggaran sektor kesehatan yang akan dialokasikan ternyata masih terkecil, yaitu hanya Rp. 104,7 triliun, dibandingkan untuk sektor perlindungan sosial Rp. 150,96 triliun, pariwisata, ICT, ketahanan pangan Rp. 141,36 triliun, dan korporasi & Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) sebesar Rp. 156,66 triliun. Kedua, audit ketat anggaran untuk penggulangan Covid-19. Jangan sampai dana untuk menggulangi Covid-19 menjadi obyek perlombaan korupsi. Kasus korupsi dana bansos menjadi bukti tentang rawannya dana-dana atas nama kondisi darurat, sangatlah untuk disalahgunakan. Pandemi Covid-19 telah ikut membahagiakan dan memakmurkan para perampok. Ketiga, memprioritaskan pengamanan pembayaran untuk sarana kesehatan, termasuk tunggakan kepada Rumah Sakit Swasta. Tidak boleh ada tunggakan klaim pembayaran kepada Rumah Sakit, baik Swasta maupun pemerintah. Sebab hal ini berbahaya bagi layanan pasien Covid-19, termasuk untuk keberlangsungan hidup Rumah Sakit. Covid-19 tak boleh membunuh semua. Hutang yang bengkak dan kebocoran yang mengejutkan adalah sinyal lampu kuning menuju merah. Bahwa keuangan keuangan pemerintah dalam bahaya. Gambaran kemampuan pemerintah mengelola potensi dan keuangan negara, berada pada titik yang sangat rendah. Semoga Pemerintah bukan pasien yang harus segera masuk ruang IGD, dan memerlukan alat bantu pernafasan. Pemerintah jangan seperti dana Covid-19 yang mengalami sesak nafas berat. Janji Pemerintah untuk waspada jangan sampai menjadi tagihan baru rakyat yang mulai tak percaya dan bosan dengan prilaku pemerintah yang banyak janji. Namun banyak juga inkar janji, terutama janji kampanye. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Hancur-Hancuran Jejak Pembunuhan di KM 50
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area kilometer (KM) 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)berlanjut ke perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan. Lalu penutupan lagi untuk jalur persinggahan. Akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi-saki bisu pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat Kepolisian. Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya. Terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya-upaya untuk menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus jejak di Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah wujud dari kegelisahan perencana dan pelaku pembunuhan yang sangat luar biasa. Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area kilometer 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Penghilangan TKP ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang di depan. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam dengan Pasal 233 KUHP. Lumayan juga ancaman jukuman. Bisa 4 tahun penjara. Ada dua mesium yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. Pertama adalah "Monumen Enam Syuhada" sebagai peringatan atas kebengisan aparat kepolisian melawan ketidakberdayaan rakyat. Kedua, "Museum Hak Asasi Manusia " ini lebih luas. Bukan hanya peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI saja, tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya. Ini kalau kekuasaan ini suah berganti tahun 2024 nanti Kilometer 50 dan areal sekitar Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan anti penjajahan politik negara kepada warga negara. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung pada syahid. Penghancuran sarana fisik di rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50? Apa motif politik? Apa keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang penyelesaian kasus? Kapolda Metro Jaya kini hilang bagai tertiup angin. Tak pernah muncul lagi dalam berita yang terkait kilometer 50. Dimanakah posisi petinggi Polri yang satu ini? Padahal awalnya diwacanakan akan mengisi jabatan strategis di Mabes Polri. Tetapi ternyata tidak. Ya namanya juga wacana. Bisa iya, namun bisa juga tidak. Tergantung user yang mau menggunakan. Memang Kapolda Metro jaya mestinya diberhentikan dulu, atau sekurangnya dinon-aktifkan, agar penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran HAM enam anggota laskar FPI dapat berjalan obyektif, transparan, dan bebas hambatan. Jangan sampai posisi Fadil Imran sebagai Kapolda Metro Jaya sekarang bisa menjadi hambatan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Pengusutan harus cepat dimulai. Bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama para pelaku pembunuhan dibiarkan untuk menghirup udara bebas. Sementara aktor intelektual dan perencana juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum. Mereka mungkin saja bisa lolos di pengadilan dunia, namun tidak untuk pengadilan akhirat. Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan. Keadilan dapat menggusur kezaliman. Kekuasaan yang zalim bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak terwujud. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Gencatan Senjata & Dialog Jakarta-Papua, Cara Paling Bermartabat
by Marthen Goo Jayapura FNN - Mestinya di era modern, orang harus berpikir bijaksana. Mencari jalan-jalan damai dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam semangat tersebut, maka mekanisme penyelesaian masalah seperti musyawarah untuk mufakat menjadi jalan penyelesaian masalah yang paling bertabat dan mengagumkan. Cara lain adalah dialog atau perundingan bisa dan sangat terbuka untuk dilakukan. Menolak perundingan dan dialog itu cara berfikir primitif, kampungan dan kuno. Jika negara itu meyakini bahwa negaranya menganut sistem demokratis, maka yang dipakai dalam pencarian penyelesaian masalah adalah dengan cara-cara bermartabat dan demokratis pula. Cara itu dengan mengedepankan semangat demokrasi. Bukan dengan kekerasan atau pendekatan militer yang berlebihan, sehingga rakyat tidak berdosa yang menjadi korban. Menghindari korban sekecil apapun itu adalah cara befikir yang orang-orang top yang berkelas dan mengumkan. Menurut Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua, Ambrosius Mulait, “kita sepakat, kekerasan tidak akan menghasilkan kedamaian. Baiknya mengedepankan gencatan senjata. Daripada bicara sana-sini, tetapi hasilnya tidak berubah. Peristiwa terus terjadi karena pemerintah tidak serius. Pemerintah pusat dan daerah harus mencari solusi masalah Papua secara konprehensif. Hari ini rakyat Intan Jaya membutukan pertolongan semua pihak”.(Jubi.co.id: 19/2/2021). Sementara Komisioner Komnas HAM (periode 2013 -2017), Natalius Pigai dalam mengunjungi Fraksi-fraksi di DPR RI memberikan rekomendasi agar Otonomi Khusus dibekukan dan digelar “Perundingan”. Tentu rekomendasi itu didasari berbagai masalah-masalah di Papua dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang tidak Efektif dan Efisien. Kesemuanya agar terciptanya kedamain. Riset yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berusaha merumuskan bahwa ada empat akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah integrasi Papua dan indentitas politik orang Papua. Kedua, kekerasan politik dan masalah pelanggaran HAM. Ketiga, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus. Keempat, marjinalisasi orang Papua. Tentu empat masalah tersebut masih terus terjadi di era otonomi khusus. Pendekatan yang militeristik masih dianggap sebagai solusi di era modern dan era reformasi. Padahal pembangunan yang diheboh-hebohkan tersebut, menurut pendeta Dr. Benny Giay, “di Papua adalah pembangunan bias migran”. Tentu pembangunan yang dilakukan di Papua jika dilihat dari pernyataan Pendeta Doktor Benny Giay dan hasil penelitian LIPI, justru turut memberikan bobot mempercepat marjinalisasi terhadap penduduk Papua. Apalagi Papua dijadikan daerah operasi militer yang berdampak pada semua sektor. Pendekatan tersebut berbeda jauh dengan yang dilakukan Belanda terhadap penduduk Papua, yakni dengan pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan. Mestinya dalam menyelesaikan masalah di Papua, tidak dilakukan pendekatan kekerasan atau militer. Pemerintah bisa mengkaji lebih dalam dari referensi Gus Dur dan referensi yang dilakukan oleh Belanda terhadap pendekatan masyarakat di Papua. Kekerasan Itu Menelan Korban Kekerasan atau pendekatan kekerasan yang dilakukan di Papua hanya mengorbankan warga sipil. Juga mencederai semangat demokrasi yang sudah dibangun sejak 1998 dengan lairnya reformasi. Tujuan reformasi adalah pemenuhan hak asasi manusia bagi semua manusia Indonesia ataupun dimana saja, tanpa batas dan tanpa memandang status golongan, suku, ras atau budaya. Pendekatan kekerasan di Papua telah merugikan rakyat sipil Papua. Ratusan , bahkan ribuan rakyat mengungsi di hutan-hutan. Dimana pun mereka pergi, hak kehidupan mereka diabaikan. Pemerintah belum menyiapkan tempat pengungsian yang wajar dan layak bagi warga. Hak hidup mereka tidak diberi jaminan. Kasus Nduga, Timika dan kini di Intan Jaya pun mengalami peristiwa yang sama. Mestinya pengungsian menjadi tanggungjawab negara. Terkait peran pemerintah (negara) terhadap pengungsian, bisa kita lihat perpedaan perlakukan. Saat warga pendatang atau migran di Wamena mengalami persoalan dikarenakan dampak dari peristiwa rasisme, negara cepat hadir untuk memproteksi dan melindungi warga migran. Hal itu berbeda dengan pengungsian orang asli Papua. keseriusan terhadap untuk memproteksi orang asli Papua tidak terlihat. Ada perlakuan yang berbeda dari negara. Karenanya kekerasan di Papua yang berlangsung begitu lama, dan terus menerus, apalagi diikuti dengan perlakuan yang berbeda, sesungguhnya juga turut merusak Demokrasi. Merusak Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama), Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (Sila ketiga). Perlindungan terhadap warga. terkhusus sila kelima soal keadilan pun tidak diwujudkan. Terhadap empat hal yang fundamental itu, memberikan bukti ada yang salah dalam implementasi kebijakan yang melindungi segenap warga bangsa dan mewujudkan secara kongkrit pembukaan UUD ’45. Gus-Dur harus dijadikan referensi dalam mengelolah negara untuk memproteksi seluruh rakyat dengan mengedepankan aspek demokrasi (musyawara untuk mufakat), kemanusiaan dan kebudayaan. Gus-Dur pernah telah membuktikan bahwa mewujudkan Papua sebagai “tanah yang damai bisa dilakukan”. Walaupun hanya satu tahun kepemimpinan Gus Dur, Papua sempat menjadi Papua yang damai. Intinya soal “Hati nurani dan keseriusan”. Bukan pada banyaknya kunjungan ka Papua. Kita harus sepakat bahwa kekerasan hanya mencederai kemanusiaan. Merendahkan martabat manusia, seakan manusia tidak memiliki nilai yang humanis. Seakan cara-cara damai tidak bisa dilakukan. Pilihan utamanya hanya kekerasan, dan merusak citra kemanusiaan. Padahal Indonesia telah meratifikasi, dan bahkan merumuskannya dalam Pancasila, UUD ’45 sampai pada UU tentang HAM. Jika kekerasan hanya merendahkan martabat kemanusiaan, maka semua pihak harus bersepakat untuk dilakukannya “gencatan senjata”. Cara kongkrit dan bermartabat yang bisa dipakai sebagai sarana gencatatan senjata tersebut adalah “Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua”. Cara damai dan cara-cara bermartabat sesungguhnya sudah harus dilakukan. Dialog Itu Indah Soekarno dikenal dengan “founding father”, selalu berkata “…Jangan sekali-kali melupakan sejarah…” yang kemudian dikenal dengan istilah Jas-Merah. Tentu kekerasan yang berulang-ulang tidak akan dilupakan oleh anak cucu. Akan membuat kebencian seumur hidup dalam perjalanan bangsa. Sehingga, harus dipikirkan cara-cara damai agar kedamaian pun tidak dilupakan, bahkan menjadi prinsip. Ciri bangsa yang bermartabat selalu mencari jalan damai dengan cara bermartabat. Cara itu adalah yang mengedepankan nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan, keadilan serta mengedepankan demokrasi dan dialog. Jangan dijadikan dimbolis belaka. Indonesia dikenal dengan musyawarah-mufakat, dimana itu sebuah mekanisme yang selalu dipakai dalam mencari solusi damai. Dengan semangat itu, telah dipakai mencari solusi damai di Aceh. Pemerintah menggelar perundingan. Tentu dalam perundingan yang dialukan antara Aceh dan pemerintah pusat, tidak membahas tujuan. Dalam perundingan yang dilakukan membahas tentang masalah-masalah, kemudian dirumuskan solusi bersama. Sehingga, tidak ada alasan untuk menolak perundingan, karena itu mekanisme paling damai menyelesaikan masalah. Sesungguhnya hal yang sama bisa dilakukan di Papua. Mengutip perkataan almarhum Dr. Muridan SW. (peneliti senior LIPI), “dialog itu tidak membunuh”. Itu terbukti juga dalam mekanisme adat di Papua, ketika semangat menyelesaikan masalah yang rumit, dikenal dengan sebutan “Para-para Adat”. Sebuah mekanisme yang dipakai masyarakat adat dalam menyelesaikan berbagai masalah “mari bicara doloo”. Semangat mewujudkan “Papua Tanah Damai”, almarhum Dr. Pater Neles Tebay Pr, saat sebelum meninggal dunia, sebagai koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dan kemudian Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya Dialog Jakarta- Papua untuk menyelesaikan masalah Papua secara holistik. Sayangnya, hal itu belum dilihat penting. Karena dialog belum dilakukan juga pasca pertemuan tersebut. Barang kali kalau setelah koordinator JDP saat itu berjumpa presiden dan proses sudah dilakukan, masalah-masalah yang sekarang sedang terjadi sudah tidak ada lagi. Barang kali sudah tidak ada perang-perangan. Sudah tidak ada lagi pengungsian. Tidak ada lagi rakyat yang korban atau mungkin militer Indonesia yang korban. Tentu saja semua itu belum terlambat untuk mencari cara yang bermartabat, walau banyak yang sudah menjadi korban. Dengan rumitnya masalah di Papua, jika pemerintah ingin menyelesaikan masalah secara menyeluruh sebagai bangsa yang bermartabat, maka cara-cara yang bermartabat bisa dilakukan. Salah satu jalan yang efektif dan efisien adalah harus digelarnya Dialog atau Perundingan Jakarta-Papua. Presiden harus memberikan kewenangan Politik kepada Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin untuk mengurus pelaksanaan perundingan seperti penyelesaian masalah di Aceh. Dengan demikian, Presiden harus mengangkat Special Envoy untuk mempersiapkan semua tahapan sampai perundingan itu terjadi. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Papua.
Aneh Juga, Kok Menteri Bisa Kritik Kebijakan Pemerintah?
by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN - Indonesia memang unik. Bagaimana tidak, setelah enam tahun Presiden Jokowi memerintah, barulah masyarakat diminta untuk melakukan kritik kepada pemerintah. Kritiknya juga yang keras. Sayangnya, banyak yang tidak percaya karena menengok pada sejarah. Presiden yang sama, Jokowi pernah menyatakan rindu untuk didemo. Namun setelah di demo, eh malah banyak yang ditangkap, menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang tewas ditembak. Soal kritik ini, keunikan muncul kembali. Ada menteri anggota kabinet Jokowi yang mengeluh atau mengkritik kebijakan Pemerintah. Publik merenung apakah menteri itu bukan bagian dari Pemerintah? Atau mungkin karena tidak ada visi misi menteri, tetapi yang ada adalah visi dan misi Presiden. Sehingga menteri bebas mengkritik visi misi Presiden? Adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Teten Masduki yang curhat berkonten kritik dalam acara Program Kolaborasi Akselerasi Mencetak 5000 Eksportir. Kata Teten, bahwa KUKM telah dipersulit oleh Pemerintah untuk melakukan ekspor. Banyak izin dan sertifikat yang harus dipenuhi untuk hal ini. Akibatnya, KUKM berat untuk melakukan ekspor berbagai komoditas. Sebaliknya, impor dari negara lain justru sangat mudah. Tidak berbelit-belit. Sebagai rakyat, apalagi pengusaha KUKM tentu berharap ada langkah konkrit untuk mempermudah ekspor dan mempersulit impor. Hal ini untuk mendorong semangat agar KUKM menjadi sokoguru usaha masyarakat, yang bukan saja diproteksi tetapi dibantu dan didorong oleh pemerintah. Kenyataan yang terjadi di pemerintahan Jokowi ini berbeda antara langit dengan bumi, jaka dibadingkan eranya Soeharto dulu. Ketika Orde Baru berkuasa, semua yang berbau impor dihalangi dengan berbagai kebijakan pemerintah. Impor hanya dikecualikan untuk barang-barang yang menjadi bahan baku produksi, dan tidak bisa dihasilkan dari dalam negeri. Akibatnya, ribut yang tak berkesudahan dengan organisasi perdagangan dunia World Trade Organisation (WTO) tidak bisa dihindari. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perundingan dengan WTO adalah Rahmat Saleh, Arifin Siregar, Sudrajat Jiwandono dan Billy Yudono. Sementara ekpor, terutama produk-produk dari KUKM harus digenjot dengan segala cara. Makanya, dibentuk Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) di bawah Departemen Perdagangan. Seharusnya Menteri Teten bukan dalam kapasitas mengeluh atau mengkritik. Tetapi langsung saja mengambil kebijakan atau mendiskusikan dengan menteri terkait lainnya, yaitu Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perindutrian dan Menteri Pertanian untuk keluarnya suatu kebijakan yang memudahkan ekspor produk-produk KUKM. Bila perlu "menekan" Presiden agar mengeluarkan kebijakan yang memudahkan dan menguntungkan KUKM. Masyarakat dan pelaku usaha KUKM butuh mendengar dan menjalankan kebijakan yang memudahkan untuk ekspor produk mereka. Tidak perlu diajak untuk ikut pusing bersama pusingnya sang menteri. Apalagi hanya untuk mendengar curhat atau kritikan. Menteri itu bukan pengamat, tetapi pengambil keputusan. Bahasa lainnya menteri adalah Pemerintah juga. Pemerintahan memang kacau, koordinasi dalam kabinet saja tidak bagus. Presiden dan para Menteri cari panggung sendiri-sendiri. Mungkin juga korupsinya sendiri-sendiri. Sampai-sampai saling mengkritik pula. Terlihat seperti kekanak-kanakan. Jadi teringat pada bulan Juni 2020 lalu, dalam Rapat Paripurna Kabinet, Presiden mempertontonkan marah-marah dan mengkritik para menteri di panggung publik. Entah apakah ini pertanda kalau menterinya yang tak becus atau Presidennya sendiri yang kacau-balau? Atau kedua-duanya memang bermasalah? Kasus keluhan, curhat, dan kritik Menteri KUKM Tenten Masduki adalah bukti inkompetensi atau impotensi. Tontonan yang sebenarnya tidak menarik untuk dilihat dan didengar rakyat. Namun apa boleh buat. Masalah utamanya ada kepala pemerintahan yang memang tidak becus memimpin. Kata Cirero, “ikan itu busuknya dari kepala”. Pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa tidak ada visi menteri, itu sebagai mengukuhkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden adalah penanggungjawab. Karenanya kekacauan kebijakan ekspor impor, kemerosotan ekonomi, tingginya hutang luar negeri, hingga pelanggaran hak asasi oleh Polisi, maka muaranya adalah Presiden. Semoga sistem pemerintahan presidensial tidak menyebabkan Presiden menjadi pembawa sial. Apalagi jika berwatak pembual dengan kabinet abal-abal. Membawa Indonesia meluncur terus menuju predikat sebagai negara gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.