Hancur-Hancuran Jejak Pembunuhan di KM 50

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area kilometer (KM) 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)berlanjut ke perusakkan bangunan agar tak bisa digunakan. Lalu penutupan lagi untuk jalur persinggahan. Akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi-saki bisu pembunuhan dan pembantaian terhadap enam anggota enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat Kepolisian.

Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi mungkin hilang tetapi jejak tidak bisa. Terlalu terang peristiwanya. Terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya-upaya untuk menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu.

Menghapus jejak di Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah wujud dari kegelisahan perencana dan pelaku pembunuhan yang sangat luar biasa. Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area kilometer 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan.

Penghilangan TKP ini akan menjadi kasus tersendiri. Pasal 216 KUHP menghadang di depan. Begitu juga dengan delik perusakannya yang terancam dengan Pasal 233 KUHP. Lumayan juga ancaman jukuman. Bisa 4 tahun penjara. Ada dua mesium yang kelak bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya.

Pertama adalah "Monumen Enam Syuhada" sebagai peringatan atas kebengisan aparat kepolisian melawan ketidakberdayaan rakyat. Kedua, "Museum Hak Asasi Manusia " ini lebih luas. Bukan hanya peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI saja, tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya. Ini kalau kekuasaan ini suah berganti tahun 2024 nanti

Kilometer 50 dan areal sekitar Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan anti penjajahan politik negara kepada warga negara. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung pada syahid.

Penghancuran sarana fisik di rest area KM 50 menyedihkan dan memilukan. Bagian dari upaya untuk menghilangkan jejak, ingatan, dan pembuktian. Penghancuran ini menjadi bukti terbaru dari kejahatan yang terjadi. Perlu pengusutan siapa yang mengatur penghancuran rest area KM 50? Apa motif politik? Apa keterkaitan dengan laporan Komnas HAM dan instruksi Kapolri baru tentang penyelesaian kasus?

Kapolda Metro Jaya kini hilang bagai tertiup angin. Tak pernah muncul lagi dalam berita yang terkait kilometer 50. Dimanakah posisi petinggi Polri yang satu ini? Padahal awalnya diwacanakan akan mengisi jabatan strategis di Mabes Polri. Tetapi ternyata tidak. Ya namanya juga wacana. Bisa iya, namun bisa juga tidak. Tergantung user yang mau menggunakan.

Memang Kapolda Metro jaya mestinya diberhentikan dulu, atau sekurangnya dinon-aktifkan, agar penyelidikan dan penyidikan atas pelanggaran HAM enam anggota laskar FPI dapat berjalan obyektif, transparan, dan bebas hambatan. Jangan sampai posisi Fadil Imran sebagai Kapolda Metro Jaya sekarang bisa menjadi hambatan penyelidikan dan penyidikan kasus ini.

Pengusutan harus cepat dimulai. Bukankah rest area sudah diratakan tanah. Terlalu lama para pelaku pembunuhan dibiarkan untuk menghirup udara bebas. Sementara aktor intelektual dan perencana juga telah cukup waktu untuk berfikir keras agar dapat lolos dari jeratan hukum. Mereka mungkin saja bisa lolos di pengadilan dunia, namun tidak untuk pengadilan akhirat.

Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan. Keadilan dapat menggusur kezaliman. Kekuasaan yang zalim bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak terwujud.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

1273

Related Post