OPINI

Menepis Pendapat Amien Rais Soal Kembali ke UUD 1945 (Bagian-4)

by Mayjen TNI (Purn.) Prijanto “Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”. (Al Quran, Surah Al Hujuraat : 13) Jakarta FNN – Sabtu (31/10). ”Untuk membedakan dan mempermudah, maka hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”. Amien Rais berpendapat, jika kembali ke UUD 1945, maka pasal Hak Asasi Manusia (HAM) dan sepuluh ayat yang melindungi HAM Indonesia menjadi hilang. Juga tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI. Padahal justru UUD 1945 pasca perubahan yang telah menjamin Pasal 1 ayat (1) tidak dapat diubah. Sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Benarkah pendapat ini? Sejarah mencatat, perdebatan penyusunan UUD 1945 tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa Indonesia. Mencermati Piagam Jakarta, Islam tampak memberikan warna. Karena itu, nilai dalam artikel ini salah satunya dipilih Surah Al Hujuraat : 13. Firman Tuhan tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Manusia saling mengenal, saling menghormati agar bersatu. Pemahaman tersebut mendasari pandangan bangsa Indonesia terkait HAM. Artinya, negara melindungi segenap hak asasi warga negaranya. Termasuk di dalamnya hak-hak asasi individu. Strategic Assessment Hal ini dapat kita baca dalam alinea-1 Pembukaan UUD 1945. Narasi yang menunjukkan sikap bangsa Indonesia dalam menghargai hak HAM sebagai makhluk sosial. Bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Pokok-pokok pikiran Pembukaan ini mengalir ke pasal-pasal UUD 1945. Pasal 6 UUD 1945, “Presiden ialah orang Indonesia asli” menunjukkan bangsa Indonesia menjunjung tinggi hak asasinya orang Indonesia asli. Pribumi atau orang Indonesia asli, juga disebut boemiputra, adalah suku-suku bangsa pertama yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Mereka datang dari arah penjuru dunia, mana saja tidak masalah. Selama mereka datang pertama ketika Nusantara ini masih perawan, tiada penghuni, mereka itu orang Indonesia asli. Silakan baca : (https://www.teropongsenayan.com/83343- adakah-dan-siapakah-orang-orang-bangsa- indonesia-asli -itu). Apakah pribumi itu ada dan diakui? Ya, pribumi itu ada dan diakui. PBB mengakui adanya pribumi dengan hak-haknya. Penjajah Belanda juga mengakui dengan membagi status sosial : (1) European/Eropa (2) Vreemde Oosterlingen/Timur Asing (3) Inlander/ Pribumi. The founding fathers telah mempraktekkan HAM bangsa Indonesia dengan menetapkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Hal ini sejalan dengan penelitian Dr. La Ode, bahwa hakikatnya (1) Pribumi pendiri negara (2) Pribumi pemilik negara (3) Pribumi penguasa negara. (M.D. La Ode, 2018, Trilogi Pribumisme, Resolusi Konflik Pribumi Dengan Non Pribumi di Berbagai Belahan Dunia). Ketika sidang BPUPKI mencari dasar negara, diawali pemikiran Muh. Yamin (29/5/1945), Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr Soepomo (31/5/1945), terakhir Ir. Soekarno (1/6/1945), belum ada satupun yang ditetapkan sebagai dasar negara. Semua pemikiran dijadikan bahan oleh Panitia Sembilan. Awalnya Panitia Sembilan menyelesaikan konsep Pembukaan Undang-undang Dasar, dengan apa yang kita kenal sebagai Piagam Jakarta. Sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18/8/1945 untuk pengesahan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta sudah mengalami perubahan. Beberapa perubahan antara lain. Pertama, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, “Presiden orang Indonesia asli yang beragama Islam” berubah menjadi “Presiden orang Indonesia asli”. Perubahan berjalan secara musyawarah dan penuh etika. Usul perubahan justru datang dari golongan agama Islam. Hal ini membuktikan, betapa penting dan mahalnya persatuan dan sikap toleransi dalam bernegara. Inilah wujud praktek menghargai hak asasi orang lain. Dengan tidak adanya pasal HAM di UUD 1945 sebagaimana di UUD 2002, apakah bisa menuduh bangsa Indonesia abai terhadap HAM? Jelas saja tidak. Walau tidak secara eksplisit, UUD 1945 sudah mewadahi HAM dalam perspektif manusia sebagai makhluk sosial yang di dalamnya ada HAM individu. Dalam hal ini, negara tidak memihak kepada golongan yang paling kuat atau besar saja. Tidak juga menganggap kepentingan seseorang sebagai paling penting. Namun, negara menjamin keselamatan, kemerdekaan dan kebutuhan hidup warga negaranya. Termasuk hak asasi orang yang ada di dalamnya. Soepomo menyebutnya sebagai teori integralistik ajaran Spinoza, Adam Muler dan lain-lain. Namun, jika ada pendapat itu bukan ajaran Spinoza, tidak masalah. Sebut saja itu pandangan bangsa Indonesia. Nilai itu ada di dalam Pancasila dan ditransformasikan ke pasal-pasal UUD 1945, demi persatuan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indah sekali. Kita memang tidak menganut teori individualistis dari Thomas Hobes dan John Locke, ataupun teori golongan ajaran Marx, Engels dan Lenin. Kita mengambil dari budaya yang tumbuh dalam masyarakat. Budaya yang lebih suka berpikir dan berbuat kebajikan untuk orang lain. Apakah para pengamandemen menyadari itu? Ya, mereka sadar, terbukti adanya Pasal 28J UUD 2002. Bahwasanya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Sesungguhnya, Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 2002, ada di dalam “cakupan” Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945. Artinya, Pasal 26 s/d Pasal 34 UUD 1945, turunannya bisa dalam bentuk undang-undang. Dengan isi seperti pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, atau bahkan lebih luas lagi. Apabila kita kembali ke UUD 1945, untuk disempurnakan dengan adendum, Pasal 1 ayat (1) menjamin lestarinya NKRI. Kita tidak akan temui DPD sebagai ciri negara federal. Kita tidak ketemu Pilpres langsung yang kita tengarai sebagai penyebab robeknya persatuan, dan telah cenderung membelah bangsa berdasarkan SARA. Juga merusak sendi kehidupan sosial budaya. Di sisi lain, kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran bagi warga negara, antara lain juga terwadahi dalam Utusan Golongan dan Utusan Daerah sebagai anggota MPR. Disinilah rakyat non Parpol memiliki hak mengajukan calon Presiden/Wapres serta menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (GBHN). Berbeda dengan di UUD 2002, hak rakyat non Parpol di atas tidak kita temui. Padahal ada pasal HAM. Dengan demikian, jika kembali ke UUD 1945 untuk kita sempurnakan tidak masalah. Karena persoalan HAM terwadahi dalam UUD 1945. Ada narasinya, ada juga praktek bernegaranya. Untuk lebih memahami HAM di UUD 1945 dikaitkan dengan pasal-pasal HAM dalam UUD 2002, kita bicarakan dalam artikel bagian-5. Semoga bisa dipahami dan bermanfaat demi bangsa dan negara. Insya Allah, Aamiin. Penulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.

Uang Siapa Yang Mau Diembat Untuk APBN?

by Salamuddin Daeng Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Sepanjang tahun 2020 tambahan utang luar negeri pemerintah amat kecil. Kurang dari U$ 1 miliar saja. Informasi ini didapat dari data Bank IndonesiaSelain itu, data ini juga disampaikan sendiri oleh Menteri Keuanghan Sri Mulyani tentang utang luar negeri Indonesia dalam lomba konten Anggaran Pendapatann dan Belanja Negara (APBN). Lho, APBN Kok dilombakan? Pencitraan buat apa ini? Namun yang pasti utang yang bersumber dari Surat Utang Negarabertambah sekitar Rp. 600 triliun lebih. Angka tersebut sampai dengan akhir Agustus 2020. Ini adalah utang dalam negeri. Kebetulan saja belom ada sumber lain bisa diandalkan untuk dipakai mengisi kekosongan APBN tahun 2020 dan 2021 nanti. Pertanyaannya, ini utang dari duitnya siapa? Sebagian kita tau bahwa pemerintah meminjam dana Bank Indonesia. Pemerintah juga memaksa Bank Indonesia untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana. Jumlahnya sengaja tidak diumumkan secara resmi, namun pemerintah memasang target pembiayaan atau utang lebih dari Rp. 1000 triliun lebih. Bank Indonesia apakah akan mengggunakan seuruh uang bank yang dipegangnya untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana? Padahal uang yang dipegang Bank Indonesia merupakan dana masyarakat dalam cadangan wajib minimum (GWM) bank yang disimpan di Bank Indonesia. Apakah dana ini juga mau dialihkan ke APBN. Luar biasa kalau sampai Bank Indonesia berani melakukan kebijakan yang konyol itu. Membeli Surat Utang Negara di pasar perdana dengan menggunakan dana masyarakat yang disimpang di Bank Indonesia. Karena hal itu mengandung resiko sangat besar. Mengapa demikian? Mengingat yang mau dipakai untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana tersebut adalah dana tabungan milik masyarakat di bank. Dana tersebut bisa dicairkan sewaktu waktu. Kapan saja kalau dibutuhkan. Apalagi dalam kondisi sepertri sekarang. Nah, bisa dibayangkan kalau masyarakat mencairkan dananya, namun tiba-tiba bank tidak punya dana karena sudah dipakai untuk membeli Surat Utang Negara di pasar perdana? Bisa saja terjadi masyarakat anti dan mengular berkepanjangan di teler dan ATM untuk melakukan penarikan besar-besaran. Inilah awal dan akhir malapetaka bagi Pak Jokowi dan pemerintahnya. Kalau begitu, darimana sumber lain dari utang dalam negeri pemerintah? Kuat dugaan bahwa dana masyarakat yang ada di PT Jamsostek, PT Taspen, PT asabri, Dana Haji, Dana Zakat, Infak dan Sadakah, dana perusahaan asuransi dalam negeri BUMN dan swasta semua “dipaksa” untuk dimasukin ke dalam APBN sebagai Surat Utang Negara. Selain sumber-sumber ini, tentu tidak ada lagi sumber dalam negeri yang bisa disedot masuk ke APBN. Tidak mungkin orang menjual tanah atau harta bendanya hanya untuk membeli Surat Utang Negara yang dijual pemerintah Jokowi . Belum pernah ada pengakuan masyarakat seperti itu. Sehingga ini boleh jadi, dana-dana yang sudah parkir di lembaga keuangan, baik bank maupun non bank bakal disedot besar-besaran ke dalam Surat Utang Negara. Dipastikan ini adalah langkah yang sangat berbahaya dari Menteri Keuangan. Memaksakan diri dengan pengeluaran yang besar, namun didapat dari utang kepada dana masyatakat. Selain itu, memaksakan diri juga untuk melalukan suntikan dana besar kepada perusahaan swasta milik konglomerat dan BUMN. Namun dengan menyedot tabungan dan simpanan masyarakat. Yang sasngat mengerikan sekali jika kebijakan ini mengkibatkan terjadi sedikit saja keguncangan dalam sekror keuangan. Semuanya bisa bablas dan hancur-hancuran. Sebab bisa amblas semuanya bersama dengan APBN. Ledakannya bisa melewati krisis 98. Mudah mudahan saja tidak terjadi. Kondisi ini makin diperparah lagi dengan sikap pemerintah telah mengabaikan sama sekali prinsip- prinsip pengeloaan anggaran yang transparan dan akuntable dalam era pandemi. Dengan kekuasaan penuh pada Presiden dan Menteri Keuangan sebagaimana yang diberikan oleh UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai pengesahan Perpu Darurat Nomor 1 Tahun 2020, maka pemgelolaan anggaran pemerintah sangat tertutup dan sesuka hati saja. Bahayanya jika terjadi masalah, maka tidak ada yang bisa mengingatkan pemerintah. Jika tidak ada alarm yang kuat dari Badan Pemeriksa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan dari publik, maka krisisi bisa terjadi secara mendadak. Selain itu, anggaran negara dapat dikorupsi sesuka hati. Makanya waspadalah! Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI).

MUI Serukan Boikot Perancis!

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Tidak saja negara Arab, Indonesia pun boikot produk Perancis. Kali ini, seruan itu datang dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Seruan ini diikuti oleh sejumlah Organisiasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam. Diantaranya adalah Ikatan Ulama Asia Tenggara dan Wahdah Islamiyah, ormas Islam yang diketuai KH. Zaitun Rasmin. Tidak saja boikot, MUI dan Ormas Islam meminta pemerintah mengambil sikap tegas. Pemerintah harus segera memulangkan Duta Besar Indonesia di Perancis. Wahdah Islamiyah lebih Tegas lagi, menuntut pemerintah mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia. Efektifkah seruan MUI tersebut? Bergantung! Pertama, akan sangat bergantung seberapa gencar MUI menyuarakan seruan itu. Jika setiap ulama di MUI terus menerus bicara ke media, membuat tulisan, meme dan semacamnya, maka seruan akan berdengung. Namun, jika MUI hanya membuat surat pernyataan, setelah itu diam, maka suara MUI hanya akan terdengar lirih dan sayup-sayup saja. Sekali ditiup isu lain, maka akan lenyap seketika. Soal sosialisasi, MUI memang sangat lemah. Mungkin karena MUI nggak punya relawan buzzer dan infulencer seperti FPI. Juga nggak punya buzzer dan infulencer komersial seperti istana. Kedua, bergantung pada kemampuan MUI melakukan konsolidasi dan mendorong ormas Islam, para tokoh, hingga pejabat negara untuk mendengungkan seruan boikotnya. Untuk ini, MUI perlu secara masif melakukan lobi dan konsolidasi keluar. Umumnya, para ulama di MUI sudah sangat sibuk dengan tugas dan kepentingan organisasinya masing-masing, sehingga konsolidasi keluar atas nama lembaga MUI seringkali lemah. Ketiga, akan jauh lebih berdengung seruan boikot itu jika MUI memimpin langsung "masirah qubra". Kerahkan demo besar-besaran dan mendesak presiden untuk mengambil sikap tegas. Mulai dari membuat pernyataan, memulangkan Duta Besar Indonesia untuk Perancis, lalu mengusir Duta Besar Perancis dari Indonesia, hingga boikot produk-produknya. Tetapi, apa MUI didengar presiden? Selama ini, audiensi MUI ke presiden seringkali tidak efektif. MUI tidak punya daya tawar. Bahkan cenderung diabaikan nasehatnya oleh istana. Baru-baru ini, audiensi MUI ke Istana terkait UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) diabaikan istana. Masukannya ditolak. MUI keluar istana tanpa hasil apapun. Dalam kasus dukungan penghinaan kepada Nabi Muhammad Salallaahu Alaihi Wasallam oleh presiden Perancis Immanuel Marcon, MUI perlu mempertimbangkan "Masirah Qubra". Demo besar. Pertama, ini akan memberi energi dan dorongan yang kuat kepada pihak istana untuk mengambil sikap tegas. Sampaikan ke Istana, jangan takut jika mobil Esemka diboikot oleh Perancis. Kedua, demo yang besar-besaran akan menjadi sosialisasi yang efektif ke telinga masyarakat. Bahwa MUI menyerukan boikot terhadap produk-produk Perancis. Demo akan memastikan bahwa masyarakat mendengar seruan boikot dari MUI tersebut. Ketiga, ini akan memberi pesan kuat kepada masyarakat muslim di seluruh dunia, agar mereka ikut melakukan protes keras. Juga untuk mengkonsolidasikan massa secara besar-besaran dalam memboikot produk-produk Perancis. Jika fatwa MUI terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok mampu menghadirkan tujuh juta massa umat Islam. Apalagi jika MUI dan seluruh ormas Islam turun langsung untuk memimpin demo serta melakukan konsolidasi massa. Hasilnya tentu saja lebih dahsyat lagi. Cukup setiap ormas Islam mengerahkan sejuta massa, maka akan berkumpul belasan hingga puluhan juta massa dari Monas sampai Bundaran HI hingga memadati Jl Soedirman-Thamrin Jakarta. Mungkin ini akan menjadi demo terbesar di sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia. Jika demo ini dilakukan dan berhasil, maka pabrik milik Perancis di Indonesia bisa tutup, dan impor dari Perancis bisa berhenti. Ini baru akan memberi efek jera kepada Perancis. Sekaligus akan memaksa Immanuel Macron, presiden Perancis meminta maaf. Masalahnya, MUI berani dan punya nyali tidak? Kalau cuma seruan boikot lewat surat yang diviralkan by PDF di medsos, mungkin banyak yang malas buka. Dijamin nggak bakal efektif. Bukan percuma, tapi tidak akan pernah besar pengaruhnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Future Impossible Tense

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Sebuah meme atau karikatur bertema English Class di papan tulis tertulis "Tense". Artinya pelajaran tentang waktu. Si guru bertanya kepada muridnya "One day our country will be corruption free. Which tense is it?" Si murid lalu menjawab "Future impossible tense". Si guru lantas marah, he he hee. Nampaknya ini sedang cocok bagi kondisi Indonesia sekarang ini tentang pemberantasan korupsi. Suatu jawaban dari murid yang pas dengan kalimat "Future impossible tense". Sebab bangsa ini telah pesimis pada hilangnya korupsi. Jangankan hilang, untuk berkurang saja tidak yakin. Cara penegak hukum memberantas korupsi memang sangat tidak meyakinkan. Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan yang semakin dikebiri. Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil memaksa lembaga KPK untuk dimandulkan. Operasi Tangkap Tanga (OTT) KPK tergantung pada Dewan Pengawas ber SK Presiden. Politik hukum pada era Pemerintahan Jokowi yang buruk seperti ini mesti dipertanggungjawabkan kelak. Tidak dianggap angin lalu. Jangan sampai dianggap sesuaitu yang biasa-biasa saja. Presiden Soekarno jatuh bukan oleh korupsi keuangan, tetapi Soekarno sangat doyan dan menikmati betul korupsi kekuasaan politik atau ideologi. Sementara Soeharto memang terkait korupsi keuangan yang membuatnya jatuh. Keberadaan KPK adalah solusi reformasi di bidang Pemerintahan. Efektif sekali keberadaan Komisi ini pada awalnya. Di masa Pemerintahan Jokowi KPK dilumpuhkan. Akibatnya buntut kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menjadi mengendap. Skandal Bank Century juga tenggelam. Jiwasraya hanya yang ecek-ecek saja. Pertamina selesai dengan sendirinya. Potensi korupsi dana Covid 19 sudah diamankan dengan Perppu Nomor 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU Nomo 2/2020. Sama sekali tidak ada kemauan keras dari pemerintahan ini untuk memberantas korupsi. Rezim investasi Jokowi disindir Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo. Bahwa Amerika sangat siap untuk berinvestasi di Indonesia, tetapi bersihkan dulu dari budaya korupsi. Syarat berat bagi rezim yang sudah terbiasa kongkalikong dengan gaya usaha model Cina. Suap suap suap, mark up, dan komisi sana komisi sini. Percukongan adalah biang dari korupsi. Sayangnya hal seperti dianggap biasa-biasa saja. Hal yang lumrah saja. Pidato-pidato tentang pemberantasan korupsi hanya "lip service" belaka. Sadarkah akan prediksi bahwa nanti akhir dari masa jabatan pemerintahan adalah awal dan dimulainya bongkar-bongkar kasus mega korupsi ? Ketika kekuasaan di tangan, segala kejahatan bisa diredam dan disembunyikan. Tetapi ketika kekuasaan sudah tak ada, maka itulah masa penghukuman tiba. Sebagus dan serapi apapun bau busuk korupsi yang ditutupi dan disembunyikan oleh penguasa ini, tetap saja meninggalkan jejak. Sebab belajar dari pengalaman yang sudah-sudah para pejabat Bank Indonesia (BI) milsanya, baru diproses kasus korupsinya setelah kekuasaan berganti. Begitu selalu pengalaman yang harus dijadikan rujukan. Mulai terasa saat ini akan getaran kejengkelan rakyat Indonesia pada perilaku pemimpin culas, curang, picik, tamak dan khianat. Dilakukan oleh oligarki, korporasi, konglomerat, aparat, dan pejabat yang korup dan jahat. Meskipun demikian, saat ini kalimat untuk Indonesia bebas korupsi masih "Future Impossible tense". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Immanuel Macron vs Politisi Indonesia

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Pernyataan presiden Perancis Immanuel Macron menggegerkan dunia. Tidak saja membuat marah orang Islam, orang Kristen, dan bahkan sejumlah umat beragama marah. Penggiat demokrasi juga marah. Immanuel Macron bilang bahwa Islam dan umat Islam sedang terjadi krisis dimana-mana. Presiden Perancis ini memberi ruang bagi munculnya karikatur yang menghina Nabi Muhammad sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Publik bertanya, bagaimana "jika" ada yang membuat karikatur Immanuel Macron dan istrinya bertelanjang bulat dan melakukan hubungan intim di atas panggung dengan latar belakang gambar anak-anaknya dan rakyat yang sedang bertepuk tangan berada di kursi penonton? Apakah ini bagian dari kebebasan berekspresi? Kan ngawur! Dipastikan, umat Islam tak akan membalasnya dengan cara-cara seperti itu. Sangat rendahan, tak berkelas dan melanggar tidak saja "aturan syar'i" tetapi juga menyalahi tata krama sosial dan kemanusiaan. Kita pun juga akan mengutuknya jika itu terjadi. Bukan membela Immanuel Macron. Tetapi membela kewarasan moral dan rasionalitas yang sehat. Pernyataan Immanuel Macron menuai protes banyak pemimpin negara. Bahkan sejumlah negara Arab seperti Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-lain dengan cara memboikot produk dari Perancis. Di Indonesia, juga sedang ada penggalangan untuk melakukan hal sama. Pernyataan Macron tidak saja akan merusak hubungan Perancis dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Tetapi juga berpotensi merusak hubungan antar umat beragama di seluruh dunia. Sebuah pernyataan yang tidak saja nggak pantas keluar dari seorang kepala negara. Tetapi itu juga pernyataan destruktif dan sangat berbahaya. Penyataan Immanuel Marcon ini menunjukkan bahwa dia memang seorang presiden yang belum begitu matang, dan sempit wawasan. Sebab ketika human right itu didefinisikan, maka ia terbatas. Semua yang didefinisikan itu terbatas. Hanya Tuhan yang tak terbatas. Di luar itu, semua terbatas. Apa batasnya? Hak asasi itu tak boleh mengambil, mengganggu dan merusak hak orang lain. Kalau mengambil, mengganggu dan merusak hak orang lain, itu bukan hak asasi, tetapi kejahatan. Setiap kejahatan itu destruktif. Merusak tatanan dan hubungan sosial. Menciptakan disharmoni, bisa menjadi ancaman keamanan dan kenyamanan sosial, bahkan global. Setiap kejahatan itu berpotensi melahirkan kejahatan yang lain. Bahkan bisa lebih dahsyat lagi ketika direspon dengan cara-cara yang negatif. Tidakkah perang itu seringkali terjadi karena adanya aksi kejahatan yang direspon dengan reaksi kejahatan? Immanuel Macron nggak cerdas. Bahwa statemennya itu tak hanya bahaya untuk keamanan dunia. Tetapi juga menjadi bumerang buat negaranya sendiri. Anda bisa bayangkan, kalau semua negara berpenduduk muslim melakukan boikot terhadap produk Perancis? Negara itu bisa saja collaps. Dan itu layak dan sah dilakukan sebagai hukuman terhadap negara yang memprovokasi konflik. Tapi, Abu Janda nggak mau boikot? Ah, anda jangan menurunkan kelas pendidikan dan sosial anda dengan memperhatikan "orang-orang" yang hidupnya sibuk cari perhatian. Lalu bagaimana dengan pemerintah Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas umat Islam? Menlu RI Retno Marsudi telah panggil duta besar Perancis. Entah apa yang dibicarakan, publik masih meraba-raba. Tetapi, ini tak begitu taktis dan efektif. Jauh lebih efektif jika presiden Jokowi ikut mengecam pernyataan Immanuel Macron. Tak harus sekeras Erdogan. Cukup bilang, "sangat menyayangkan apa yang diucapkan Immanuel Macron". Atau bisa juga menggunakan bahasa yang lebih lunak dan halus dari itu. Ini sudah lebih dari cukup. Yang penting, ada pernyataan sikap dari Jokowi. Ingat, Pak Jokowi adalah presiden mayoritas umat Islam terbesar di dunia. Layak jika bertindak atas nama rakyat yang dipimpinnya. Sebab, presiden itu bukan representasi diri, keluarga, partai dan kelompoknya. Presiden itu juga representasi rakyat yang dipimpinnya. Presiden mesti tak perlu berkeberatan menyuarakan kegelisahan rakyat Indonesia terkait pernyataan presiden Perancis itu. Kali ini, sikap AHY justru yang paling tepat dan berkelas. Atas nama demokrasi, ketua partai Demokrat ini mengecam pernyataan Immanuel Macron. Ini langkah AHY yang sangat cerdas. Aksi ini bisa membuka simpati rakyat, khususnya umat Islam kepada Demokrat. Rakyat berharap Pak Jokowi juga ikut membuat langkah cerdas, bahkan yang lebih cerdas lagi. Apa langkah cerdas dan lebih cerdas itu? Pak Jokowi pasti lebih taulah. Wong Pak Jokowi itu presiden ko. Kalau pernyataan tersebut keluar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), itu biasa saja. PKS selalu terdepan terkait isu-isu keislaman dan kemanusiaan. Partai dakwah ini sepertinya memang mendedikasikan diri untuk dua isu tersebut. Isu ke-Islaman dan Kemanusiaan. Untuk kemanusiaan PKS membuktikannya di saat ada bencana nasional maupun global. Selalu hadir atas nama kemanusiaan. Kalau langkah ini konsisten, terus diperbesar, maka aksi PKS akan terus mendulang simpati publik. Hanya perlu sosialisasi lebih taktis dan efektif. PKS kurang soal ini. Demi "keikhlasankah? Kalau kecaman terhadap Immanuel Macron itu dilakukan oleh PDIP, ini baru sesuatu luar biasa. Sesuatu banget. Atas nama demokrasi, PDIP mengajak rakyat Indonesia boikot produk Perancis. Ini akan menjadi berita besar. Jadi hot news dan headline media. Apalagi kalau diikuti oleh PSI. Ngarep ni yeee… Tapi, apa mungkin? Ngayal aja ah! Bagaimana dengan PKB? Apakah akan mengikuti mazhabnya Abu Janda? Jangan bercanda! Colek Cak Imin. Lama kita gak ngobrol. Tulisan ini menjadi media kita untuk bersalingsapa. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Mendambakan DPD RI Punya Nyala dan Nyali

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Jum’at (30/10). Profesor Jimly Asshiddiqie yang diinternal DPD sering kita panggil dengan sebutan Senator Jimly, sudah bersuara lantang. Bahwa para aktivis tidak pantas ditahan. Apalagi diborgol untuk disiarkan disebarluaskan dan dipertontonkan ke publik. Seperti perlakuan terhadap Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kingkin Anida dan beberapa aktivis lain. Mereka adalah cendekiawan, aktivis, pejuang HAM dan demokrasi serta pemimpin gerakan moral yang menjaga dan meluruskan kiblat bangsa. Mereka bukan penjahat. Bukan penghianat yang menggadaikan bangsa. Apa yang disuarakan aktivis-aktivis tersebut, bahkan merefleksikan kegelisahan rakyat yang terus mengartikulasikan aspirasi. Membanjiri jalanan. Dalam eskalasi panjang dan meluas. Aksi-aksi itu, bahkan masih terus berlangsung hingga hari ini. Maka festivalisasi penangkapan para aktivis banyak ditentang. Sejumlah rangkaian kebijakan yang mendahuluinya, UU Omnibus Law bahkan disoroti oleh media internasional seperti The Economist sebagai jalan mundur demokrasi menuju neo otoritarianisme. Itu adalah aib untuk negara demokrasi besar seperti Indonesia. Kritik lantang Senator Jimly, adalah representasi aspirasi masyarakat yang ril. Jangan biarkan Senator Jimly bersuara sendiri. Apa yang disampaikan, mewakili suara kita selaku anggota DPD RI. Mestinya juga diperjuangkan secara serius oleh mereka yang menyandang predikat sebagai wakil rakyat. Sangat tidak pantas jika keadaan demikian ini dibiarkan dan menjelma menjadi ketidakwarasan kolektif. Sebab barisan shaf yang terus menerus menyuarakan ketidaksetujuan atau penolakan terhadap banyaknya produk perundang-undangan yang tidak aspiratif semakin panjang. Sebelum terangkum dalam UU Omnibus Law, banyak UU yang telah mendapatkan penolakan dari masyarakat. Ada UU Minerba, RUU Haluan Ideologi Pancasila hingga RUU Pesantren. Dari 79 UU yang diintegrasikan dalam Omnibus Law, yang paling banyak mendapatkan penolakan adalah klaster Pendidikan dan Ketenagakerjaan. Bersyukurlah, para Guru Besar ikut bersuara lantang. Padahal, suaranya kerap kali diabaikan, atau sebatas mendapat respons basa-basi formalitas. Karena dianggap hanya suara kaum elite yang tak berakar kuat ke rakyat, dan akan segera berakhir bila telah diberi obat penenang. Namun Ternyata kali ini kekuasaan keliru. Karena mereka yang bersuara adalah yang punya rekam jejak yang berbeda. Punya kiprah pengabdian yang jelas. Mereka adalah puluhan, bahkan ratusan Guru Besar yang telah lama berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Seperti Profesor Jimly yang biasa juga dijuluki “Sang Pendekar Konstitusi”. Pernha menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama. Ada juga Guru Besar Ahli Hukum Tata Negara UGM, Profesor Zaenal Mochtar Ariifin yang mengusung ide Pembangkangan Sipil (civil disobidiece) sebagai ekspresi puncak kemarahan rakyat kepada kekuasaan. Suara ini tidak main main. Bobotnya tinggi. Para guru besar yang biasanya jarang-jarang sejalan dengan mahasiswa, kali ini besikap lain. Para Guru Besar dan mahasisanya punya sikap yang sama. Sehingga hanya kekuasaan yang telah tertutup nurani dan buta mata batinnya yang bisa dengan penuh keangkuhan untuk terus mempertahankan pendapat. Argumen yang bukan hanya tidak popular dan bertentangan dengan arus utama kepentingan rakyat. Tetapi juga telah jauh menyimpang dari menjalankan amanat rakyat. Maunya pemerintah tidak sejalan dengan maunya kebaynyakan rakyat. Namun pemerintah budeg dan tuli. Di tengah arus ketidakwarasan, para Senator yang terhormat harus tampil mendukung aspirasi rakyat. Berbaris di dalam satu shaf bersama Prof. Jimly Asshiddiqie untuk berjuang membebaskan para aktivis pergerakan. Mereka secara patriotik sejak masih mahasiswa telah mewakafkan dirinya demi bangsa ini. Menempuh jalan perjuangan yang dijamin oleh prinsip-prinsip demokrasi. Bagi DPD, sengkarut problem yang mendera bangsa adalah momentum membuktikan diri. Buktikan jika DPD adalah lembaga perwakilan pembawa aspirasi daerah ini, layak didaulat sebagai pengemban amanah rakyat yang sesungguhnya. Bahkan bisa tampil dalam membangun dialog dengan eksekutif. Dalam kondisi perekonomian yang jauh dari menguntungkan ini, DPD harus mendorong negara agar lebih fokus dalam melakukan pengendalian dan penanganan Covid-19. Serta menyelamatkan rakyat. Bukan sebaliknya menyesarakan rakyat. Laporan anyar Bank Dunia sudah mewanti-wanti. Sepertiga atau 90 juta penduduk Indonesia saat ini makan lebih sedikit akibat dampak ekonomi Covid-19. Fakta soal Covid-19 dan problem ekonomi serta kebutuhan mendasar rakyat itu, adalah tantangan konkret yang harus diselesaikan. Permasalahan yang tidak bisa diatasi jika situasi tidak kondusif terus dibiarkan dengan menciptakan pemantik-pemantik emosi publik yang berakar pada imajinasi jebakan masa depan yang suram. DPD dengan modalitas kepercayaan rakyat yang cenderung lebih baik, harus menjadi pelopor. Agar segala bentuk perdebatan yang tidak produktif ditinggalkan. Dahulukan anak negeri. Indonesia yang tegak sebagai Negara Kesatuan, harus bersikap mewujudkan kedaulatan. Menyusun UU berdasarkan kepentingan bangsa dan melindungi seluruh rakyat. Jangan sampai ada kesan, bila kerja-kerja yang dilakukan adalah balas budi terhadap negara donor. Sehingga ke depan, kita bukan hanya disibukkan dengan berpikir membayar angsuran pinjaman. Tetapi terancam untuk kehilangan segalanya. Kita terancam Kehilangan aset, kehilangan kemandirian. Semua itu berujung pada kehilangan harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa. DPD RI harus segera bersikap. Bila ini dilakukan, maka DPD akan dikenang punya Nyala dan Nyali. Penulis adalah Senator DPD RI

Kekuasaan Itu Mengumpulkan Yang Jahat, Merusak Yang Baik

by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (30/10). Penulis Amerika, Edward Abbey, mengatakan “Power is always dangerous. Power attracts the worst and corrupts the best.” (Kekuasaan selalu berbahaya. Kekuasaan itu mengumpulkan yang jahat-jahat dan merusak yang baik-baik). Tidak salah sedikit pun sinyalemen Abbey. Di negeri ini, orang-orang yang bermental dan bertujuan jahat berkumpul di sekeliling kekuasaan. Di situ ada para cukong, maling, pengusaha rakus, para politisi busuk, koruptor, dlsb. Selanjutnya, para pemegang kekuasaan merusak yang baik-baik. Orang-orang yang baik berubah menjadi penjahat. Kalau tidak menjadi penjahat, mereka berubah menjadi orang yang mendiamkan kejahatan. Kekuasaan itu sengaja menghancurkan sistem yang telah dibangun dengan bagus. Sebagai contoh, KPK yang sangat kuat dan membuat para koruptor tak berkutik, akhirnya dihancurkan oleh para penguasa. Power attracts the worst and corrupts the best. Inilah yang sedang berlangsung di Indonesia. Para cukong berkumpul di sekeliling penguasa. Para koruptor ikut membonceng. Mereka mendiktekan keinginan tentang bagaimana negara ini harus dikelola. Para penguasa legislatif dan eksekutif dikendalikan oleh oligarki cukong. Intimasi (kedekatan) penguasa-cukong inilah yang diduga kuat melahirkan Omnibus Law UU Cilaka dalam suasana yang diburu-buru. Yang sangat menyedihkan, para pemegang kekuasaan bagaikan tidak paham bahwa kerusakan yang mereka lakukan lewat tangan mereka hari ini akan menimpakan derita panjang kepada rakyat. Mereka tidak peduli. Jalan terus dengan sikap keras kepala. Inilah akibat kekuasaan dijalankan oleh orang-orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali kebejatan. Itulah orang-orang yang hanya memikirkan kepentingan sempit dan sesaat. Tega mengorbankan bangsa sendiri. Praktik pengelolaan negara seperti yang kita saksikan saat ini hampir pasti akan membuat Indonesia lemah dan terpuruk terus-menerus. Negara ini akan tertinggal dari negara-negara lain. Sangat mungkin akan mengalami krisis multidimensional akut dan tanpa henti. Seharusnya, di tangan orang-orang yang mengerti dan punya visi tentang masa depan bangsa, Indonesia sangat pantas menjadi negara besar yang dihormati. Indonesia semestinya sudah dekat menjadi negera yang memiliki keunggulan di segala bidang. Namun, karena kekuasaan dieksekusi oleh orang-orang dungu yang didukung oleh kaum tolol, habislah negara ini dirampas. Rakyat ditindas. Hari ini kita tidak bisa memperkirakan apakah perampasan akan berakhir. Sangat mungkin para cukong telah menyiapkan ‘road map’ (denah) untuk mencengkeram negara ini terus-menerus. Dengan skenerio yang ‘smart’, rapi . Sangat logis bahwa mereka, para cukong itu, sudah menyiapkan cara pembungkaman rakyat tanpa batas waktu. Sekali kekuasaan ada di tangan mereka, pastilah akan mereka pertahankan mati-matian. Tidak mungkin mereka akan menyerahkan kekuasaan yang telah mereka genggam saat ini. Novelis dan kritikus sosial Inggris, George Orwell (nama asli Eric Arthur Blair) menyimpulkan tentang genggaman kekuasaan. Dia mengatakan (1984), “We know that no one ever seizes power with the intention to relinquish it.” (Belum pernah ada orang yang merebut kekuasaan dengan tujuan untuk melepaskannya). Kita akhiri saja dengan satu pertanyaan fundamental: siapakah yang akan dan mampu merebut kembali kekuasaan dari tangan para cukong jahat itu? Wallahu a’lam. Yang jelas, itu tidak mudah dilakukan. Sebab, oligarki cukong berkolaborasi dengan banyak kekuatan politik dan individu-individu kotor yang mengendalikan “hardware” di sini.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Janin Ditolak Tiga Uskup Australia

by Mohammd Toha Surabaya FNN – Kamis (29/10). Dalam tulisannya disebutkan bahwa Gereja saja menolak Vaksin Corona. Sebab salah satu bahan pengembang biaknya menggunakan janin manusia yang diaborsi. Bagaimana ini dengan Rakyat Indonesia yang 85% penduduknya Muslim? Bagaimana Mejelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah? Penjelasannya adalah, janin manusia itu diaborsi secara sukarela oleh Ibunya. Yang menjadi masalah di sini bukan soal Ibunya sukarela atau dipaksa waktu mengakhiri kehamilannya dan menyerahkan bakal bayinya untuk digunting-gunting. “Memikirkan prosesnya saja bikin perut saya mulas dan hati serasa pecah berkeping,” ujar Dokter Tifauzia. Bukannya yang punya kehidupan adalah janin itu sendiri? Ditanya apa tidak dia, waktu mau dikeluarkan dari dalam rahim ibunya? Ikhlas apa tidak dia diaborsi demi kepentingan (bisnis) vaksin? Dalam beberapa penelitian, bagian janin yang digunakan adalah sel ginjal dan sel parenkim paru. “Kalau sudah terjadi organogenesis berarti usia janin itu lebih dari 120 hari dong,” tegasnya. Bagaimana Sumpah Dokter? Apakah seorang janin yang sudah ditiupkan ruh, yang jantung kecilnya sudah berdetak, atas nama kemanusiaan atau apapun itu, berhak untuk dihentikan kesempatan hidupnya? Sedangkan dia sama sekali tidak memiliki hak untuk jawab? Sekarang dari sisi manusia penerima vaksin. Ketika terjadi penerimaan vaksin, yang artinya juga menerima bagian dari sel janin yang diaborsi tadi, apakah tidak terjadi breeding antar sel? Apalagi itu akan menghasilkan konsekuensi yang sangat besar. Tak hanya sekedar bahwa manusia lain, dengan adanya vaksin ini, mendapatkan kesempatan hidup yang lebih besar. Tetapi juga ada tambahan sel baru. Sel yang berasal dari sel manusia lain, dengan segala kemungkinannya. Siapa yang bisa menjamin, segala pengorbanan ini akan memberikan hasil sesuai dengan yang dimaui manusia? Bahwa dengan vaksin yang isinya entah itu bayi, entah itu babi, kita menjamin bahwa coronavirus akan enyah selama-lamanya dari muka bumi? Bukankah, ketika bermain-main di area yang bukan wilayah kita, pada saat kita sedang playing God? Kok serasa pada menjadi Tuhan saja semua orang ini. “Saya, terus terang, cuma takut Azab saja. Masalah adalah kalau Azab-Nya datang, kita-kita yang ngga punya salah apa-apa, ikut kena akibatnya juga,” ujar Dokter Tifauzia mengakhiri tulisannya. Pendekatan Moral Sebelmnya diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras vaksin COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca. Sebab vaksin yang diprokduksi memiliki masalah etis, karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren 26 Agustus 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk virus corona (Covid-19). Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin tersebut justru menuai kritikan keras dari tiga Uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau, karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Dalam proses pengembangannya itu, mereka menggunakan sel-sel ginjal janin yang sengaja digugurkan. Konon, praktik seperti itu sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Tetapi, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies, Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher, dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca. Ketiga Uskup tersebut mengirim surat kepada Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mereka mendukung adanya vaksin Covid-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Meski tidak mengajak umat mereka masing-masing untuk memboikot vaksin AstraZeneca tersebut. Para uskup itu mengatakan bahwa umat berhak untuk menolak menggunakan vaksin tersebut. Bahkan jika mereka tak punya pilihan lain. Uskup Fisher bahkan menulis di akun Facebooknya soal masalah ini. Fisher menyatakan, vaksin Covid-19 dari Oxford itu menimbulkan apa yang disebutnya sebagai dilema etis. Menurut Deputi Kepala Kantor Kesehatan Australia Nick Coatsworth, kekhawatiran gereja itu tak bisa diabaikan. Tetapi disaat yang sama, dia menegaskan bahwa pengembangan vaksin memang membutuhkan kultur sel. “Sel-sel manusia sangat penting dalam pengembangan vaksin. Regulasi etis di sekitar penggunaan sel-sel manusia sangat ketat, terutama terkait sel janin manusia. Yang mengembangkan vaksin ini adalah unit penelitian di Universitas Oxford yang sangat terkemuka. Jadi menurut saya, kita bisa percaya pada cara mereka mengembangkan vaksin tersebut,” ungkap Nick. Menurut Robert Booy, pakar vaksin dari University of Sidney, penggunaan sel-sel janin yang digugurkan sudah biasa dalam pengembangan vaksin selama 50 tahun terakhir. Gereja tak pernah permasalahkan ini karena jarak yang sangat jauh antara penggunaan sel-sel janin dengan vaksin yang sudah rampung. Praktik ini sudah diterapkan sejak mengembangkan vaksin untuk Rubella, Hepatitis A, dan Cacar Air. “Sel-sel janin bisa melakukan 50 replikasi. Sementara sel-sel yang lebih tua lebih sedikit replikasinya. Jadi, untuk memproduksi vaksin, virus harus dibiakkan di dalam sel janin berkali-kali dan kemudian dipanen,” jelasnya. Kelak, elemen-elemen manusianya akan dibersihkan, dan yang digunakan hanya elemen virusnya saja. Artinya tidak ada DNA manusia lagi dalam vaksin yang sudah jadi. Diberitkan, PM Australia secara resmi telah memesan 25 juta dosis vaksin Covid-19 ke AstraZeneca. Rencananya vaksin-vaksin itu akan diberikan secara gratis kepada rakyatnya. Sementara Presiden Donal Trump yang sempat terpapar corona dengan pengobatan “sangat ampuh dan manjur”, yang disebutnya sebagai “berkah dari Tuhan”. Hanya beberapa hari kemudian Trump sudah kembali ke Gedung Putih. Seperti dikutip 24berita.com, Selasa (Oktober 13, 2020 610), obat eksperimental antibodi itu, dengan atau tanpa berkat tuhan, sejatinya adalah obat yang diberi nama REGN-COV2. Obat ini buatan perusahaan bioteknologi Regeneron di AS. Perusahaan itu sebelumnya mengajukan ijin penggunaan darurat kepada jawatan pengawasan obat dan makanan AS-FDA. Ternyata yang dipakai itu adalah obat berbasis jaringan sel janin manusia. Preparat eksperimental tersebut adalah kombinasi dan antibodi monoklonal REGN10933 dan REGN10987. Obat yang diberi nama REGN-COV2 itu berfungi sebagai imunisasi pasif, dengan unsur aktif yang dibuat secara sintetis dari antibodi yang dinetralkan. Dalam prosesnya, langsung maupun tidak langsung, digunakan jaringan sel yang berasal dari embrio alias janin manusia. Obat REGN-COV2 memang tidak langsung dibuat dari jaringan sel janin manusia. Mula-mula preparatnya dibuat dari sel yang berasal dari saluran indung telur hamster. Tetapi, untuk menguji keampuhan antibodi tersebut, dalam tes laboratorium digunakan jaringan sel yang berasal dari janin manusia yang digugurkan. Sel yang diberi nama ilmiah HEK 293T itu, berasal dari jaringan sel ginjal janin manusia yang digugurkan di Belanda pada 1970-an. Regeneron manfaatkan HEK 293T untuk produksi apa yang disebut pseudopartikel virus, yakni struktur seperti virus yang memiliki protein duri seperti pada virus corona. Hanya dengan cara dan prosedur semacam itu, bisa diketahui tingkat efektivitas antibodi dalam menyerang masing-masing virus. Apakah vaksin yang bakal dipakai di Indonesia itu juga berasal dari janin manusia? Wajar jika Dokter Tifauzia Tyassuma mengingatkan kita semua! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Abu Janda Ngoceh Lagi, Bela Marcon

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (29/10). Lama Abu Janda tidak muncul di media. Tokoh "super" pegiat medsos ini hilang di tengah iklim politik panas yang semestinya bisa jadi ladang ocehannya. Ada penolakan masih terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) yang didemo intens. Ada petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang ditangkap. Nah sekarang, pada saat ada kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam di Perancis Abu Janda muncul lagi. Sambil demonstratif makan di restauran makanan Perancis, Permadi Arya berpetuah agar umat Islam memaafkan penghina Nabi. Apakah mau membela Emmanuel Macron Presiden Prancis atau sang guru penghina yang dipenggal? Tentu saja Macron. Sebab yang terakhir sudah mati. Urusannya hanya dengan Allah saja di alam yang dipastikan mengejutkan dirinya. Ada dua kesalahan dari ocehan sang asbun, yang pro pembela penghina Nabi ini. Pertama, bahwa Presiden Perancis Emmanuel Macron tidak meminta maaf kepada umat Islam. Lalu apa yang mau dimaafkan ? Kedua, penghinaan bukan dilakukan kepada diri Nabi pribadi yang sudah tiada. Tetapi kepada ajaran Nabi. Kepada agama Islam. Umat Islam tentu tersakiti karena Nabinya dihina dengan sengaja, dan agama-Nya dinistakan. Dalam sejarah, hal ini bisa berujung pada hukuman mati atau perang terhadap pelaku penghinaan. Abu Janda seperti yang tidak merasa sakit, bahkan dengan akting sinis ngoceh agar umat Islam memaafkan. Umat Islam model apakah Abu Janda? Umat Islam sudah lama tidak jengkel atas ulah Abu Janda. Selama ini orang dengan nama asli Permadi Arya ini hilang tidak muncul lagi. Su'udhonnya Abu Janda kena corona atau dimakan buaya. Eh, tiba-tiba muncul berada di blok Perancis sang penghina Nabi. Dia rupanya sangat bahagia bisa memukul lebih sakit perasaan umat Islam. Arya seperti bela Macron. Momen untuk mengejek umat Islam yang dianggap tidak menghormati kebebasan pendapat. Perancis adalah perintis "Liberte, Egalite, Fraternite". Abu Janda menantang umat Islam dengan berada di ruang Perancis, layaknya bersaudara dengan Macron. Masuk dalam kelompok yang sama-sama sefaham yang bebas moral. Abu Janda tentu tidak khawatir ngoceh apapun yang menyinggung umat Islam dan Nabinya. Karena mungkin menganggap ada yang menjadi pelindung. Mumpung negeri ini sedang berpihak pada para penyembah berhala, yang tidak suka pada nafas Tauhid. Bendera merah tengkorak lebih ditoleransi daripada bendera Tauhid. Negeri yang lebih nyaman bagi fikiran, sikap, ideologi, maupun kultur kebebasan berpendapat. Kaumnya Abu Janda ketimbang para pembela agama. Negerinya para tikus. Les rats dangeroux pour l'homme. Muncul abu Janda bagaikan "whack a mole game". Jika si tikus nongol maka palu pemukul siap memukulnya. "Whack a mole game" adalah permainan mendera tikus tanah. Muncul si tikus dan memukulnya membuat tambahan nilai. Pahala dalam bahasa agamanya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Tikus.

Tiga Tahun Dipimpin Anies, Jakarta Telah Berubah

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (29/10). Gubernur Indonesia, begitu rakyat negeri ini menjuluki Gubernur DKI Anies Baswedan. Lahirnya julukan ini menunjukkan bahwa Anies diterima tidak saja oleh warga Jakarta. Tetapi juga diterima oleh rakyat Indonesia. Lima tahun, itu jatah untuk Anies memimpin Jakarta. Artinya, ada tersisa dua tahun lagi. Jabatan Anies akan berakhir pada Oktober 2022. Dan bisa diperpanjang jika ada pilkada pada 2022 nanti. Untuk mengukur kinerja Anies, mesti berangkat dari tiga hal. Pertama, visi Anies. Kedua, janji-janji Anies ketika kampanye Pilgub dulu . Ketiga, tingkat kepuasan warga atas pelayanan dan perubahan yang dilakukan Anies untuk Jakarta. Visi Jakarta di bawah kepemimpinan Anies adalah "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Visi ini juga sekaligus menjadi tageline. Visi yang mencakup tidak saja infrastruktur kota. Tetapi juga menggarap aspek psikologi warga. Untuk membuat maju kotanya, pembangunan infrastruktur menjadi keniscayaan. Pelebaran jalan, memperbaiki trotoar, memperbanyak taman. Ini pekerjaan yang lumrah saja. Toh, hampir semua kepala daerah melakukan pembangunan infrastruktur. Yang membedakan adalah seberapa besar fungsinya. Trotoar misalnya, kita bisa lihat setiap kota ada. Dibongkar lalu dibangun kembali, atau setidaknya ditambah dan dicat ulang. Kalau hanya ini yang dilakukan, berarti itu proyek menghabiskan anggaran. Terhadap trotoar di Jakarta, Anies melakukan pelebaran. Dalam kondisi lebar, trotoar benar-benar akan berfungsi dan membuat nyaman bagi para pengguna jalan. Tidak asal ada sebagai asesoris kota. Di kota-kota maju seperti di Amerika, Eropa, bahkan Jepang, Korea, Hongkong dan Sungapora, setiap hari banyak orang jalan kaki ke stasiun MRT, terminal dan public service yang jaraknya bisa 500 meter hingga 1 kilometer. Kok bisa? Karena tempat untuk jalan kaki lebar dan nyaman. Anies juga membangun jalur bersepeda. Untuk keperluan transportasi ke depan, diharapkan warga DKI lebih banyak yang naik sepeda. Baik ke kantor maupun urusan bisnis. Dengan begitu, polusi udara dan kemacetan bisa diminimalisir. Untuk itu, Pemprov DKI harus terus menerus dan lebih masif lagi kampanyekan sepeda. Untuk urusan transportasi, DKI menerapkan program Jaklingko. Satu tiket bisa digunakan untuk naik sejumlah kendaraan. Cuma dengan 5.000 rupiah anda setiap hari bisa keliling Jakarta menggunakan MRT, busway dan angkot. Tanpa kena biaya tambahan. Selain ganjil genap, program Jaklingko terbukti telah berhasil mengurangi tingkat kemacetan Jakarta. Pengguna public transportation yang semula hanya 360.000-an orang, kini naik menjadi lebih dari satu juta penumpang. Peningkatan yang hampir mencapai 200%. Pada tahun 2017, Jakarta masuk peringkat ke-4 kota termacet dunia. Tahun 2018 menjadi peringkat ke-7. Dan tahun 2019 menjadi peringkat ke-10 dunia. Kapan Jakarta keluar dari peringkat 10 besar kota termacet dunia? Ini yang menjadi PR bagi Anies. Kalau cuma naik angkot gratis saja, gampang bangat. Asal ada tulisan Jaklingko. Anda cuma butuh modal kartu e-toll atau kartu sejenis. Kasih kartu itu ke sopir, tempel di mesin Jaklingko, nol rupiah. Alias gratis. Saya sudah pernah merasakan ini. Selain ankot gratis, DKI juga telah berhasil menyulap Jalan Soedirman-MH. Thamrin manjadi semacam destinasi. Di ruas jalan itu, ada nuansa yang agak berbeda. Disitu, anda seperti tidak sedang berada di Indonesia. Tertata rapi, indah dan artistik. Selain infrastruktur jalan, beberapa waktu lagi, Jakarta akan punya stadion bertaraf internasional. Sekelas Real Madrid dan Barcelona. Proses pembangunannya sedang dikerjakan. Rencananya akan selesai tahun depan. Jika stadion ini jadi sebelum berakhirnya masa jabatan Anies, ini jadi poin. Ada juga masjid terapung dan museum Rasulullah di Ancol. Teringat masjid terapung di Jeddah dan museum Rasulullah di Turki. Alhamdulillah, di kedua tempat itu saya pernah berkunjung. Dari sejumlah infrastruktur yang dibangun di DKI, nampak perencanaan kota yang sengaja dibangun dengan orientasi kerakyatan. Artinya, punya dampak perilaku, mental dan psikologis bagi warga Jakarta. Mungkin ini sengaja dibuat agar visi Jakarta "Maju Kotanya Bahagia Warganya" bisa dicapai. Terkait soal pandemi covid-19, publik tahu bahwa Jakarta yang paling awal siaga. Sebanyak 48% rakyat yang mendapatkan tes PCR nasional adalah warga DKI. Sisanya 52% lagi dibagi di 33 provinsi. Tingkat kematian (mortality) sangat rendah. Hanya 2,8%. Lebih rendah dari mortality global, yaitu 3,3%. Ini bentuk nyata kesiagaan Gubernur dalam menghadapi pandemi. Di tengah pelajar dan mahasiswa yang kuliah dengan sistem wibiner, dimana kebutuhan Internet sangat tinggi, DKI membuat program JakWifi. DKI melakukan lemasangan Wifi di 9.413 titik. Program ini untuk membantu masyarakat, terutama mahasiswa dan pelajar, juga UMKM dan untuk kebutuhan produktif masyarakat yang lainnya. Di tengah pandemi, Wifi gratis di DKI ini bisa jadi malaikat penolong, khususnya untuk mahasiswa dan pelajar yang miskin. Di luar program-program itu, Anies masih berhutang 23 janji kampanye. Janji tetap janji. Tak ada alasan untuk diingkari. Anies memastikan 23 janji akan selesai di 2022. Rakyat harus terus mengingatkan, mengawasi, mengevaluasi dan ikut memastikan bahwa 23 janji Anies itu seluruhnya bisa tertunaikan. Tak satupun yang boleh dilewatkan. Bagaimana dengan janji-janji kampenye presiden dan para kepala daerah yang lain? Bagaimana dengan janji anggota DPR dan DPRD? Itu tugas anda menagihnya. Tiga tahun memimpin Ibu Kota, Jakarta mendapat WTP berturut-turut dari BPK. Ini bukti adanya clean governon dan good goverment. Tiga piala dari KPK terhadap DKI semakin menegaskan bahwa DKI adalah kota bebas korupsi. Ini soal integritas seorang pemimpin. Tersisa dua tahun lagi. Rakyat berharap Anies istiqamah. Konsisten dengan program-program yang berorientasi pada warga DKI. Melihat semua kebijakan Anies, terlihat ada kepastian soal komitmennya kepada rakyat. Jika Anies konsisten atas komitmen ini, pilpres 2024 bisa menguntungkan baginya. Lima tahun akan jadi catatan sepanjang sejarah Indonesia bagaimana Anies memimpin ibukota. Kelak, 100 tahun lagi, atau bahkan ribuan tahun lagi, rakyat akan membaca catatan itu. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.