OPINI
Dr. Ahmad Yani Dipanggil Penyidik, Apa Konsekuensinya?
by Dr. Margarito Kamis SH. MHum Barang siapa bisa menguasai nafsunya, ia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Namun barang siapa nafsunya mengalahkan akalnya, ia sungguh lebih rendah dari binatang (Jalaludin Arumi, 1207-1273). Jakarta FNN – Sanin (02/11). Dr. Ahmad Yani, SH.MH, dipanggil penyidik. Yani akan diperiksa sebagai saksi. Pemanggilan tersebut terkait dengan dugaan perkara tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) melalui media sosial. Kata Ahmad Yani, saksi itu kan orang yang mengetahui dan melihat peristiwa pidana. Tetapi sayangnya di surat itu tidak dijelaskan siapa tersangkanya? Dimana lokasinya? Cukup membingungkan memang, tetapi sebagai warga negara wajib hadir," jelasnya ((RMol, 1/11/2020). Pemeriksaan ini, normatifnya, merupakan kebutuhan penyidikan. Pasti dikerangkakan pada kebutuhan membuat kasus yang sedang disidik, bukan diselidiki, menjadi terang. Terang untuk dua hal, peristiwa pidananya dan pelakunya. Ini menarik untuk dianalisis. Kasus Hipotetik Menjadi saksi untuk tersangka siapa? Oleh karena tidak jelas, maka peristiwa “percobaan penangkapan” atau “ngobrol-ngobrol” beberapa waktu lalu di kantor Dr. Ahmad Yani beralasan untuk dipakai membuat kasus hipotesis. Yani menjadi saksi pada kasus ini. Perbuatan apa yang mengakibatkan Anton Permana ditetapkan jadi tersangka? Beritanya cukup beragam. Tidak ada penjelasan spesifik. Tetapi dari berita itu dapat dibuat hipotesis tentang kasusnya. Kasus hipotetiknya, Anton disuruh, atau mengambil sendiri atau diberikan pernyataan tertulis resmi KAMI dari personil KAMI, siapapun itu. Pernyataan itu dibuatkan narasi lalu dimuat di media elektronik, video atau apapun itu, miliknya. Setelah itu disebarkan. Begitulah kurang lebih kasus hipotetiknya. Bila dalam pemeriksaan atas dirinya atau saksi fakta lain, diperoleh fakta bahwa Yani mengetahuinya, pemanggilan ini beralasan. Kenyataan inilah yang dapat dipastikann diminta penyidik untuk diterangkan. Namun adakah saksi lain yang menerangkan hal yang sama? Setidaknya sebagiannya mirip? Bagaimana bila tidak ada, dan Yani punya alibi? Menarik. Bagaimana Juris memeriksa kasus hipotetik ini? Juris pasti memulai penalarannya dengan mengidentifikasi, mengorganisasikan, dan mengkategorisasi perbuatan itu, lalu memeriksa hukumnya. Ini sangat standar. Ini konsekuensi ajaran negara hukum, dan norma hukum selalu bersifat hipotetik. Tidak ada peristiwa, apapun itu, yang dapat dikualifikasi pidana, bila tak ada hukum positif mengkualifikasi peristiwa itu sebagai peristiwa pidana. Ingat itu baik-baik. Juris juga akan menginferensi kasus itu dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan primer. Pertama, apakah pernyataan KAMI yang dibuatkan narasi, entah oleh Anton sendiri atau orang lain, sebagian atau seluruhnya melawan hukum? Lalu disebarkan oleh Anton? Kedua, siapa yang membuat pernyataan tertulis itu? Dan siapa yang menandatanganinya? Serta siapa yang menyebarkan pernyataan itu untuk pertama kalinya? Nalar serendah apapun, tidak mungkin menyatakan bahwa sifat melawan hukum atau kualitas pidana serta-merta disandang pada peristiwa penyebaran pernyataan KAMI itu, hanya karena media elektronik. Tidak begitu. Tidak ada nalar hukumnya. Isi, sekali lagi isi materi pernyataan pada media elektronik you tube atau instagram itulah penentu determinatif kualifikasi hukum atas peristiwa itu. Tidak lebih dari itu. Hanya Itu saja. Konsekuensinya isi pernyataan-di dalam you tube atau instagram itulah yang pertama-tama harus dianalisis hukumnya. Apa saja isi pernyataan tertulis KAMI itu? Apakah pernyataan itu berisi seruan kepada buruh untuk melakukan mogok nasional? Bagaimana hukumnya bila pernyataan itu tidak berisi seruan, melainkan menyatakan dukungan verbal kepada buruh yang akan melakukan mogok nasional? Apakah pemogokan benar-benar terjadi? Bila terjadi, apakah berskala nasional? Bagaimana bila pemogokan itu terjadi secara parsial? Diatas semua itu, apakah hukum positif mengekategorikan pemogokan nasional atau parsial sebagai peristiwa melawan hukum, dan sifatnya pidana? Hukum positif mengakui mogok sebagai hak dasar pekerja atau buruh. Itu sebabnya hukum positif memberi kategori atas mogok itu. Kategorinya mogok yang sah dan mogok yang tidak sah. Untuk mogok yang tidak sah, ditentukan syaratnya untuk dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana. Itulah esensi pasal 186 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 186 ini menunjuk mogok pada pasal 137 dan 138 ayat (1) sebagai tindak pidana “sejauh” sekali lagi “sejauh” mogok itu tidak memenuhi keadaan-keadaan yang disyaratkan pada pasal 137 dan 138 itu. Hipotesiskan saja bahwa mogok itu benar-benar terjadi. Itu untuk sekadar menjaga nalar analisis. Dititik ini muncul masalah hukum sederhana yang sangat menarik. Masalahnya siapa yang mogok? Buruh atau pekerja? Siapa mereka, serta dimana peristiwa mogok itu? Bila ada buruh atau pekerja yang mogok, siapa tersangka dalam peristiwa mogok itu? Adakah itu? Bila ada, maka masalah melawan hukum pernyataan KAMI menjadi mudah dikonstruksi. Sebaliknya, bila tidak ada buruh atau pekerja yang ditersangkakan oleh penyidik, maka muncul soal hukum yang tidak sederhana. Mengapa? Untuk alasan apapun, kenyataan itu harus dianggap secara hukum pemogokan, sekalipun benar-benar terjadi, tidak dapat dikategori sebagai mogok yang tidak sah, yang memiliki kapasitas sebagai peristiwa pidana. Kenyataan itu menimbulkan konsekuensi yang sangat elementer. Apa konsekuensinya? Pertama, pernyataan tertulis KAMI tidak memiliki kapasitas sebagai pernyataan yang menyandang sifat melawan hukum. Apalagi melawan hukum pidana. Sekali lagi tidak. Kedua, karena pernyataan KAMI tidak memiliki kapasitas atau sifat melawan hukum, maka berlakulah prinsip “cesante causa cessat efectus” (dari penyebabnya, dapat ditetapkan akibatnya. Kalau penyebabnya berhenti, akibatnya juga berhenti). Oleh karena penyebabnya tidak melawan hukum, maka tindakan memberi dukungan itu, demi hukum, harus dianggap tidak melawan hukum. Karena tidak melawan hukum, maka isi pernyataan yang dinarasikan, lalu disebarkan secara elektronik itu, demi hukum tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum. Begitu nalar hukum berbicara. Titik. Bisa Buntu Hipotesiskan saja pernyataan tertulis KAMI itu memiliki sifat melawan hukum. Apa konsekuensinya? Cukupkah Dr. Ahmad Yani seorang diminta keterangannya sebagai saksi? Jelas tidak, apapun alasannya. Tidak ada ilmu hukum pidana yang dapat dipakai untuk membenarkannya. Konsekuensinya? Pertama, keterangan Dr. Ahmad Yani akan jadi titik tolak pengembangan menuju saksi lain. Kemana arahnya? Pemeriksaan ini bisa saja berkerangka mencari dan menemukan tersangka baru. Begitu nalar normatifnya. Konsekuensi teknisnya? Penyidikan ini harus menemukan kenyataan-kenyataan berupa bagaimana pernyataan itu dirancang? Siapa konseptornya? Pernyataan KAMI itu dikonsep oleh seorang saja, atau dikonsepkan oleh beberapa orang? Setelah lebih dahulu dirapatkan dan diputuskan dalam rapat KAMI? Siapa saja yang bicara dalam rapat itu, dan siapa bicara apa? Semua harus dijadikan materi pemeriksaan. Kedua, siapa yang mengetiknya, siapa mengeditnya, hingga siapa yang menyodorkan pernyataan itu kepada presidium KAMI untuk ditandatangani. Bahkan siapa yang memfasilitasi press conference atau menyebarkan pernyataan itu ke media massa. Semuanya harus diperiksa. Sungguh menarik menganalisisnya dari sudut hukum. Terlihat jelas adanya masalah yang tak sederhana. Apa masalahnya? Sejauh ini tidak ada satu pun buruh atau pekerja yang ditersangkakan karena melakukan perbuatan mogok. Ini vocal pointnya. Tidak ada orang ditersangkakan atas perbuatan yang didukung, tetapi ada orang ditetapkan jadi tersangka karena memberi dukungan? Tidak ada perbuatan yang dikualifikasi pidana, dan tidak orang yang ditersangkakan, tetapi ada orang turut serta menjadi pelaku tindak pidana? Kecermatan profesional benar-benar harus bicara. Tetapi lupakan dulu keadilan, lupakan dulu prinsip minimum negara hukum, yang diputuskan pada International Commission of Juris dalam kongresnya di Athena, Yunani tahun 1968. Menurut Profesor Ismail Suny, salah satu sayarat esensial minimum Rule of Law yang diputuskan dalam kongres itu adalah keamanan pribadi harus dijamin. Profesor Suny menyatakan tak seorang pun dapat ditahan atau dipenjarakan tanpa satu keputusan hakim atau untuk maksud-maksud prefentif (Ismail Sunyi, 1981). Esensi syarat ini dilembagakan dalam KUHAP, dan belakangan dalam UUD 1945. Apabila rute ini ditempuh secara profesional, due process of law, maka kasus ini pasti, bahkan mutlak bergeser dari tindak pidana ITE, ke tindak pidana biasa. Konstruksi tentang pelaku dan turut serta berubah secara fundamental. Anggap saja eksponen KAMI kelak dituduh menghasut. Soal hukumnya, siapa yang dihasut? Untuk memastikan siapa yang dihasut, mau tidak mau, orang yang dihasut itu telah ditetapkan jadi tersangka. Suka atau tidak. Begitulah hukumnya. Siapa dia? Sejauh ini tidak tersaji fakta adanya buruh atau pekerja, atau siapapun itu yang ditetapkan menjadi tersangka, karena melakukan perbuatan yang diangap dihasut. Bila mogok dianggap sebagai hal yang dihasut, maka tanpa adanya tersangka karena pemogokan itu, demi hukum, harus dianggap hal yang dihasut tidak terjadi. Bagaimana bila dikerangkakan pada pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Terlihat dari rumusannya, elemen penentu dalam pasal ini adalah kabar bohong dan keonaran. Pembaca FNN yang budiman. Mau kabar bohong sehebat apapun, tetapi kabar bohong itu tidak mengakibatkan hal yang dilarang yaitu keonaran, maka tidak ada tindak pidana. Keonaran adalah hal (keadaan) yang diakibatkan dari kabar bohong. Keonaran menjadi hal inti larangan. Kalau akibatnya tidak terjadi, maka tidak ada, sekali lagi, tidak ada tindak pidana. Apa hukumnya bila pernyataan itu dikualifikasi menyebarkan kebencian atau fitnah kepada individu, golongan masyarakat, suku atau agama? Menggunakan pendekatan “isolasionis” atau “pragmatic encrichment” atau “purposivstis” dalam ilmu interpretasi, yang dikenal sebagai pendekatan terlonggar sekalipun, tidak bisa. Mengapa? Terminologi menguntungkan buruh asing, atau oligarki misalnya, tidak dapat diberi kapasitas dan sifat kebencian. Mengapa? Sifat itu dihilangkan sendiri oleh UU Omnibus Cipta Kerja. Dari data tersaji UU itu dibicarakan sebagai UU yang akan mengakselerasi investasi. Investor, dimana pun, selalu dapat membawa tenaga kerjanya, terlepas dari expert atau tidak. Menggunakan pendekatan itupun, tidak dapat mengubah kata-kata tertulis KAMI tentang dukungan verbal itu sebagai kebencian. Termasuk tidak dapat mengubah pengertiannya menjadi kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi bentuk ekspresif kebencian? Bisakah unjuk rasa diinterpretasi menjadi keonaran? Tidak bisa. Hukum membenarkan unjuk rasa di negeri ini. Disisi lain, kenyataannya RUU Omnibus Cipta Kerja telah disahkan menjadi UU. Tindakan pengesahan, tidak dapat diinterpretasi, sekalipun dengan pendekatan terlonggar di atas, sehingga pengertiannya berubah dari disahkan menjadi tidak disahkan. Pembuat UU, DPR dan Presiden tidak bisa diinterpretasi menjadi satu golongan masyarakat atau individu. Benar-benar menghancurkan UUD 1945, bila pembuat UU diberi kapasitas dan sifat hukum sebagai satu golongan atau individu. Diatas semua itu, menarik memang menantikan ujung proses kasus ini. Bisa saja buntu. Namu bisa juga berkembang. Akankah penghentian penyidikan segera datang? Atau justru terus bergerak sampai ke pengadilan? Kalau pakai ilmu hukum positif, maka nampaknya penghentian penyidikan yang paling mungkin segera datang. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Anies Selamatkan Wajah Indonesia di Mata Dunia
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (02/11). Annoucement: Jakarta, Indonesia has won the 2021 Sustainable Transport Award! Congrutalations to the city for the exemplary achievement in public transportation, particularly with transjakarta. Begitu ungkap Institut For Transportation and Developnent Policy (ITDP) sebuah organisasi yang berbasis di New York. Jakarta oleh ITDP dinobatkan sebagai kota terbaik dunia untuk managemen transportasi. Jakarta menyabet juara pertama Sustainable Transport Award (STA). Ini untuk pertama kalinya negara di Asia Tenggara mampu menjuarai ajang STA. Tahun 2019 lalu, Jakarta hanya berada pada posisi runner up (nomor dua). Namun tahun 2020 ini Jakarta meraih juara pertama. Artinya apa? Ada progres perbaikan-perbaikan. Ini menunjukkan Jakarta terus mengalami perbaikan dan perkembangan dari hari ke hari. Atas penghargaan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah berhasil menyelamatkan wajah Indonesia di mata dunia internasional, kata Andi Arief, politisi Demokrat. Benar kata Andi, di tengah-tengah krisis ekonomi dan rusaknya demokrasi Indonesia di mata dunia, Anies berhasil membawa Jakarta sebagai kota terbaik dunia. Selamat ya Anies. Anda telah berhasil menyelamatkan wajah bangsa Indonesia di mata komunitas internasional. Begitu ucapan yang disampaikan sejumlah kalangan kepada Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta. “Alhamdulillah, ini untuk Pemprov DKI. Ini untuk warga Jakarta”, tegas Anies. Ada rasa syukur. Namun ada juga kerendahan hati. Anies sadar bahwa ini semua bukan semata-mata hasil kerja dirinya. Tetapi kolaborasi pegawai di Pemprov DKI bersama seluruh warga DKI. Sekali lagi, seluruh warga Jakarta. Tentu saja termasuk yang sering mendemo dan meminta Anies mundur. Bahkan Anies pun tak keberatan kalau prestasi ini lalu dikait-kaitkan dengan dua gubernur sebelumnya. Mungkinkah memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan tiga piala dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan berbagai kategori akan juga diklaim oleh pihak-pihak sebelumnya menjabat Gubernur DKI? Memang di mata publik, terasa tak adil. Aapalagi kalau terkait kasus ratusan miliar untuk Rumah Sakit Sumber Waras, pembelian tanah Cingkareng, tanah BMW, hasil reklamasi, dan kasus mangkraknya ratusan bus transjakarta, Anies harus menghadapi dan menyelesaikannya sendirian. Seolah-olah tidak ada keterlibatan pihak-pihak sebelumnya. Tetapi jika menyangkut prestasi yang diraih DKI Jakarta, ada saja banyak pihak yang sepertinya tak rela. Bahkan ingin mengambil hak paten tersebut dari Anies. Oke saja, tak apalah. Itu bagian dari dinamika. Kembali soal transportasi, Jakarta dianggap sangat ambisius untuk membenahi transportasi kota, begitu komentar ITDP. Ini wajar mengingat Jakarta adalah kota yang secara turun-temurun macet ddan semrawut. Ini jadi PR prioritas yang harus segera diselesaikan. Melalui program Jaklingko, Anies berupaya mengurangi tingkat kemacetan. Langkah Anies cukup berhasil. Dengan program Jaklingko, pengguna transportasi umum naik signifikan. Dari 360 ribuan orang di tahun 2017, naik menjadi lebih dari 1 juta orang di tahun 2020. Jakarta yang sebelumnya menduduki peringkat empat besar kota termacet dunia, sekarang telah naik menjadi peringkat ke 10 (Tom Tom Traffic Index) Tak hanya Jaklingko. Pembangunan trotoar dan jalur bersepeda di jalan protokol juga bagian dari sinergi langkah Pemprov DKI untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Apalagi di masa pandemi corona, warga Jakarta yang beralih ke sepeda naik sepuluh kali lipat. Program Jaklingko tidak saja menyatukan seluruh moda transportasi Jakarta secara fisik. Tetapi juga persoalan biaya. Uang senilai Rp. 5.000 adalah biaya yang cukup murah, hemat dan ekonomis untuk ukuran kota metropolitan seperti Jakarta. Jadi teringat ucapan Anies, "saya tak akan jawab dengan kata-kata, tetapi saya akan jawab dengan kerja dan karya". Anies nampaknya berhasil membuktikan ucapannya itu. Warga Jakarta, juga rakyat Indonesia akan menunggu bukti-bukti berikutnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Memindahkan Papua Dari Bahu ke Mobil (Bagian-2)
by Luthfi Pattimura Jakarta FNN – Rabu (01/11). Kebijakan pengembangan wilayah dalam upaya memotong rentang kendali di Papua dimulai dengan pembagian wilayah administratif (funsional region). Itu sesuai amanat Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1996 Tentang Pemekaran Provinsi Papua. Papua pun dibagi menjadi Papua, Papua Barat dan Papua Tengah. Sampai saat ini baru terealisasi penambahan 1 (satu) propinsi, yaitu Papua Barat. Padahal selain membagi Papua dalam tipologi, pembagian wilayah juga diikuti dengan kelahiran UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Papua. Lahirnya regulasi itu sebagai atribusi kebijakan merespons tuntutan perhatian pemerintah terhadap persoalan sosial ekonomi dan politik yang terjadi di Papua. Paling tidak, ada lima sasaran utamanya. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan afirmasi. Berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dinyatakan tegas dalam Pasal 33 ayat 3 huruf C, bahwa dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarnya ditetapkan oleh pemerintah dan DPR didasarkan pada usulan provinsi pada setiap tahun anggaran. Dana tambahan itu terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 huruf f menyebutkan, pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam dua puluh lima tahun seluruh kota-kota provinsi, kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas. Dengan demikian, Papua sebagai salah satu provinsi di Indonesia dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik, serta menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Kita perlu memberikan apresiasi terhadap kerja keras atau boleh disebut kerja cerdas pemerintah dengan cap Nawacita. Ada empat agenda yang berkaitan langsung dengan tujuan pembangunan infrastruktur jalan yaitu agenda 3,5,6 dan 7. Agenda tiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Agenda lima meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Agenda enam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Agenda tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Indikator capaian terhubungnya Propinsi Papua Barat dengan Propinsi Papua menjadi parameter output yang memastikan implementasi amanat Otsus tercapai. Lalu, apakah trans Papua efektif mendorong pergerakan arus orang. Juga pergerakan barang dan jasa sebagai penggerak utama (prime mover) terhadap multiplier effect yang akan dinikmati oleh penduduk Papua? Perlu dicermati. Keberadaan jalan pastilah dinikmati penduduk, terutama yang selama ini terisolasi. Setidaknya, waktu perjalanan bisa lebih cepat. Biaya angkut lebih murah. Volume angkut bertambah, dan akan berujung pada penungkatan mobilitas. Itu berarti, pembangunan jalan seharusnya mampu menjawab pertanyaan esensialnya. Jalan di bangun untuk apa dan bagi siapa? Indikator keberhasilan pembangunan jalan tidaklah cukup diukur dengan output melalui tersedianya atau terbangunnya jalan (performance indicator). Tetapi, seharusnya pada apakah jalan itu memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna? Memberi dampak terhadap persoalan pembangunan manusia, terutama kesejahteraan (substantive goals). Laba jangka panjang dari sebuah investasi pemerintah. Trans-Papua Jumlah pengguna jalan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin sudah lebih dari cukup. Tetapi bagaimana rasanya menggunakan jalan bagi mereka yang berada di pegunungan Papua? Yang membikin Janiver Manalu terenyuh? Dengan mencoba mengurai pertanyaan semacam itu, maka kita bersepakat bahwa jalan merupakan salah satu prasarana yang vital. Jalan sebagai upaya meningkatkan pembangunan wilayah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Tersedianya jaringan jalan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Bibangun pada lokasi yang tepat, akan mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk di wilayah yang bersangkutan terhadap prasarana dan sarana dasar, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan. Anak-anak genereasi pewaris masa depan bisa bersekolah dengan baik. Terutama orang tua mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila sakit, penduduk dapat dengan mudah menjangkau fasilitas dan layanan kesehatan yang tersedia. Maka, aksesibilitas yang baik, akan mengurangi biaya transportasi. Sehingga produk-produk yang dihasilkan penduduk perdesaan, khususnya komoditas pertanian memiliki daya saing yang cukup baik. Sebaliknya, keterbatasan jaringan jalan akan menyebabkan keterisolasian. Sehingga menghambat penduduk untuk keluar dari berbagai persoalan pembangunan, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta tingginya kemiskinan. Kalau boleh kami bercerita lagi. Gambaran teknis dari cerita Janiver juga kami dengar dari Ir. Osman H Marbun M.MT. yang menjabat Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII-Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum dan Parumahan Rakyat (PUPR), tentang Trans-Papua. “Rencana pembangunan jalan Trans-Papua termasuk Papua Barat, yang panjangnya 4.330 kilometer (km), sudah 95% selesai. Tinggal 154 kilometer lagi di tahun 2019 kita tangani. Itu berada di 10 segmen untuk Papua, dan dua segmen di Papua Barat,” jelas Osman. Suatu sore sepulang ngobrol dengan Omah Laduani Lasamai, Kepala Badan Litbang Provinsi Papua, kami duduk ngemper di lantai teras hotel. Terngiang pernyataannya, bahwa, infrastruktur di Papua adalah yang harus berbasis kearifan lokal. Baik alam maupun sosial budaya. “Kebutuhan paling mendesak orang Papua saat ini adalah kemandirian dan kesejahteraan. Jadi, masalah yang harus lebih didalami adalah kesejahteraan yang bisa didapat dari menggarap potensi kearifan lokal.” Pernyataan Laduani seperti menepuk bahu kami yang memikul pernyataan Kuahaty bahwa, infrastruktur jalan di Papua secara sempit musti memprioritaskan komunitas dan komuditas. Bahkan kini saatnya orang Papua memindahkan komuditas dari bahu ke mobil. Karena secara luas, kita masih melihat wilayah-wilayah dengan jaringan jalan yang terbatas. Ditandai dengan kondisi permukaan jalan yang buruk. Jembatan yang sempit, atau banyak belokan tajam, dan curam. Inilah bukti bahwa gagasan dan praktek memang kadang memiliki tenaga dan keterbatasan sendiri-sendiri. (bersambung).
“Diktator” Konstitusional?
by Zainal Bintang Jakarta FNN – Ahad (01/11). Tahun pertama pemerintahan jilid kedua Jokowi yang bersama-Maruf Amin dapat dikatakan terperangkap. Masuk ke dalam dua masalah yang sangat serius. Pertama, kasus Pandemi 19 yang melumpuhkan roda ekonomi dan berdampak kepada ekonomi masyarakat sejak sembilan bulan yang lalu, dan sampai sekarang masih sempoyongan. Kedua, adanya penolakan besar-besaran kalangan buruh, mahasiswa yang melibatkan pelajar dan masyarakat pada umumnya, terhadap persetujuan UU Cipta Kerja (Cilaka) dengan format Omnibus, di mana 76 UU eksisting diperas menjadi satu UU yang banyak diistilahkan sebagai UU sapujagat… Upaya pemerintah mengendalikan unjuk rasa penentang UU Cipta Kerja dianggap oleh banyak kalangan berlebihan. Bahkan disebut represif. Kebebasan berpendapat masyarakat yang disediakan konstitusi malah dibungkam dengan tindakan kekerasan aparat kepolisian di lapangan. Kenyataan ini mencuatkan fenomena kontroversi diantara ekspresi dengan represi. Konflik terbuka masyarakat sipil dengan negara telah mendorong dilakukan diskursus untuk menyoal kembali kualitas demokrasi. Muncul penilaian demokrasi mengalami kemunduran (democratic backsliding). Sebator Jimly Asshidiqie menyebut tindakan pemerintah di dalam mengelola demokrasi menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. “Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah bersama dengan DPR menunjukkan gejala “diktator” konstitusional. Walaupun ada proses demokrasi formal, proses pembuatan kebijakan dilakukan tanpa melibatkan publik”, kata pakar hukum tata negara itu saat berbicara di dalam salah satu acara diskusi. Jimly menunjuk 5 UU yang dibentuk pemerintahan Presiden Jokowi seperti UU Mahkamah Konsitusi, UU KPK, UU Minerba, UU Penanganan Covid-19, dan Omnibus Law UU Cipta Kerja. “Ada situasi dimana proses demokrasi dibajak selama era pandemi ini. Perundang-undangan dibuat tanpa pelibatan publik. Yang penting mengikuti syarat formal, dimana hal terpenting adalah DPR sudah menyetujui. Masyarakat pun saat ini terbelah menjadi dua kelompok yaitu “haters” dan “lovers”. Ini bisa merusak demokrasi ke depan, ujarnya. Anehnya, Presiden Jokowi sadar mengakui persetujuan DPR atas RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 lalu tidak memuaskan semua pihak. Jokowi pun meminta kepada mereka yang menolak isi UU Cipta Kerja untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja, silakan mengajukan uji materi atau Judicial Review (JR) melalui Mahkamah Konstitusi". Menurut Jokowi pemerintah meyakini UU Cipta Kerja adalah solusi Indonesia dalam masalah kebutuhan penyerapan tenaga kerja. Intensitas langkah Presiden mendorong kasus UU Cipta Kerja, maupun atas beberapa UU sebelumnya agar digugat melalui jalur konstitusional di MK, merupakan gejala politik baru di dalam kehidupan konstitusionalisasi atau juristocracy menjadi hal yang menarik untuk ditelisik. Sebagai inisiator UU, pemerintah selaku eksekutif kelihatannya lebih memilih menghindar berhadapan dengan publik (masyarakat sipil) penolak UU itu. Sebagai eksekutif, pemerintah sejak sejak awal memilih mendorong legislatif (DPR) tampil berhadapan di front terdepan pertama dengan publik. Setelahnya, melemparnya lagi ke pangkuan yudikatif (MK). Pihak eksekutif cenderung maunya terima bersih alias dalam keadaan welldone atau siap saji. Nampaknya telah terjadi disharmonisasi mekanisme trias politica sesuai teori Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan yang tercederai dan berjalan pincang. Karena nyaris seluruh beban perubahan kebijakan politik melalui jalur konstitusionalisasi lebih banyak ada pada legislatif dan yudikatif. Ilmuwan politik Kanada dari Universitas Toronto, Ran Hirschl dalam bukunya “Towards Juristocracy” : “The Origin Consequences of The New Constitutionalisme”, mengatakan “Konstitusionalisme Baru” di negara-negara dan entitas supranasional di seluruh dunia, reformasi konstitusional telah mengalihkan kekuasaan dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya dari lembaga perwakilan ke lembaga peradilan. Konstitusionalisasi hak dan pembentukan peninjauan kembali secara luas diyakini memiliki asal-muasal yang baik dan progresif. Juga konsekuensi penyebaran kekuasaan yang signifikan, yang disebut "Menuju Juristokrasi" menantang kebijaksanaan konvensional ini. Berdasarkan penyelidikan komparatif yang komprehensif tentang asal-usul politik dan konsekuensi yurisprudensial dari revolusi konstitusional baru-baru ini di Kanada, Israel, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, bukunya itu (2004), menunjukkan bahwa tren ke arah konstitusionalisasi hampir tidak didorong oleh komitmen tulus politisi terhadap demokrasi, sosial, keadilan, atau hak universal. Profesor ilmu politik dan hukum dalam bukunya itu, menunjukkan bahwa meskipun konstitusionalisasi hak dapat mendorong keadilan prosedural dan kebebasan negatif, hal itu tidak banyak membantu untuk memajukan gagasan progresif tentang keadilan distributif. Pada saat yang sama, pemberdayaan peradilan melalui konstitusionalisasi berdampak transformatif pada wacana politik. Oleh karena itu, dari identitas kolektif yang mendasar dan masalah pembangunan bangsa hingga keadilan restoratif dan kontroversi perubahan rezim, pengadilan konstitusional telah menjadi forum penting untuk menangani pertanyaan paling mendasar yang dapat direnungkan oleh pemerintahan demokratis. Ditegaskannya, agaknya yang paling baik dipahami, sebagai produk dari interaksi strategis antara lain. Pertama, elit politik yang hegemonik namun terancam. Kedua, pemangku kepentingan ekonomi yang kuat. Ketiga, pemimpin peradilan, koalisi tripartit yang mementingkan diri sendiri ini menentukan waktu, jangkauan, dan sifat reformasi konstitusi. Yang banyak disorot oleh para pakar konstitusi adanya langkah pragmatis yang diambil Presiden Jokowi dengan memanfaatkan semangat “juristocracy” dari rahim “konstitusionalisasi baru”, sebagai pintu keluar dari tanggung jawab atas sebuah proses legislasi. Karena mendapatkan penolakan keras dari publik, khususnya yang saat ini lagi memanas terkait dengan UU Cipta Kerja, Presiden memilih masalah itu diselesaikan melalui proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden memilih menumpang di jalan tol konstitusionalisasi yang terbuka sebagai hasil amandemen UUD 1945, yang menghadirkan lembaga MK sebagai pemutus sahih setelah dipisahkan dari Mahkamah Agung (MA. Presiden menghindar menggunakan mekanisme penyeleseian melalui kekuasaan politik eksekutif dengan menarik UU itu melalui instrumen Perppu ataukah jalur executive review. Ada kesan pemerintah secara sadar menghindari perbenturan langsung dengan protes publik untuk menjaga citra populis yang selama ini menjadi andalan untuk mememelihara legitimasi elektoral. Unsur subjektifitas yang melekat sebagai eksekutif pada diri Presiden selaku inisiator diyakini akan mengurangi bobot objektifitas. Kondisi itu manakala kemenangan pemerintah melawan protes publik melalui jalur executive review, pastilah tidak terhindarkan. Hal mana mengandung resiko menggerus populeritas Presiden. Menambah lebarnya luka psikologis yang sudah tertoreh yang timbul dari rangkaian proses UU terdahulu yang minus partisipasi publik. Jokowi terlihat sangat menyadari adanya potensi ancamandefisit citra itu. Fungsi dan peran MK sadar atau tidak berubah menjadi benteng perlindungan kekuasaan eksekutif. Ini resiko guna menghindarkan terjadinya benturan head to head antara Presiden dengan masyarakat sipil. Soalnya, melalui otoritas MK yang premis major sebagai lembaga independen, masyarakat akan dapat lebih mudah menerima putusan pengadilan. Putusan MK bersifat erga omne atau berlaku untuk semua sejak putusan dibacakan oleh hakim MK. Jelas ini adalah sebuah strategi yang dirancang pihak eksekutif untuk memenangi sengketa hukum yang sarat muatan politis dan karenanya cara-cara tersebut berbau “diktator” konstitusional terselubung. Oleh karenanya pula, tidak ada yang salah bila ada suara miring dari ranah publik yang mengaitkannya dengan revisi UU MK yang konon tanpa sebab musabab itu. Karena bagaimanapun kasus itu tetap tidak bisa menghapus kesan adanya injeksi keuntungan substansif kepada lembaga itu. Dan, untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia mendapatkan tontonan yang oleh banyak kalangan dikritisi sebagai sinteron “badut politik” gratis yang bergerak di dalam pusaran skenario “politik lari berputar”, yang bertujuan untuk menyamarkan “siapa yang mengejar siapa”. Penulis adalah Wartawan Senior & Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Kepada Sahabat Syahganda Nainggolan & Djumhur Hidayat
by Andi Rahmat Warna putih rambutmu, sahabatBukan bendera penyerahanLapis kerut dahimu, sahabatBukan tanda kelelahan Putih rambutmu, sahabatMengurai oanjang sejarah tegarPancaroba yang tidak meninggalkan jejak surutDalam setiap musimnyaSelalu saja menumbuh-merbakkan kuntum-kuntum seroja Lapis kerut dahimu, sahabatDalam terpahat di relung-relung nusantaraCinta yang tidak pernah matiYang menemani siang malammuDan aksara yang terus mengaliri tanah kitaMenumbuhkan, membiakkan dan merawatWarisan yang ditinggalkan moyang kita Kita mungkin berdiri diatas rentang yang berjarakTapi tanah yang kita pijak tidak pernah terputusLangit kita tetap membiruTerus melukis mimpi yang tidak henti kita kejarApa yang menyatu tidak akan pecahDalam jiwa yang bertaut, sahabatSelalu ada muara yang sama Kukatakan padamu, sahabatTetaplah berdiri tegakPutih rambutmu dan kerut dahimuAdalah matahari yang tidak pernah lelah terbit… Penulis adalah Mantan Aktivis '98
Adzab Untuk Penguasa Yang Sukses Infrastruktur
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (01/11). Banyak penguasa terlalu berorientasi pada pembangunan fisik semata. Lupa pada kewajiban fundamental untuk membangun kekuatan nilai spiritual keagamaan. Prestasi kekuasaan diwujudkan dengan sukses membangun infrastruktur fisik. Inilah fatamorgana kehidupan berbangsa dan bernegara. Wisata sejarah itu penting untuk menemukan kearifan memimpin, khususnya dalam menata sistem kemasyarakatan dan kenegaraan. Belajar dari sejarah yang diinformasikan oleh Maha Pencipta tentu sarat dengan nilai, tingkat akurasi yang tidak diragukan. Nilai-nilai keberannya menjadi mutlak dan hakiki. Tidak ada yang perlu diragukan. Sayangnya, penguasa zaman sekarang, masih banyak yang mau meragukan kebenaran yang datangnya dari Maha Pencipta tersebut. Dalam QS Al Fajr, Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan tiga jenis penguasa dan kaum yang salah orientasi, yaitu kaum Aad, kaum Tsamud, dan Fir'aun. Ketiga-tiganya digambarkan sukses melakukan pembangunan fisik. Kaum Aad dipuji. Karena kemampuan dalam membuat istana dengan bangunan yang indah dan megah "iroma dzatil 'imaad". Nabi Hud Alaihi Salam yang mengajak takwa diabaikan. Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan angin badai dingin selama delapan hari yang menghancurkan kau Aad. Kaum Tsamuud juga memiliki kemampuan dalam bidang teknologi tinggi "alladziina jaabuush shohro bil waad". Gunung atau lembah yang dibuat rumah dan bangunan megah. Gunung batu yang ditatah rapi. Seruan moral Nabi Saleh tidak didengar. Lalu Fir'aun juga yang disebut Qur'an memiliki bangunan-bangunan yang tinggi dan kokoh "wa fir'auna dzil autaad". Oposisi Fir'aun adalah Nabi Musa Alaihi Salam yang melakukan gerakan pembebasan Bani Israel. Fir'aun berusaha menumpas Musa dan pengikutnya. Kepada tiga penguasa atau pengendali sistem yang sewenang-wenang di muka bumi tersebut Allah Subhanahu Wata’ala beri hadiah kehinaan berupa adzab. Sebutannya adalah cemeti adzab "shobba 'alaihim shauto adzaab". Dicambuknya kaum dan penguasa infrastruktur yang hebat-hebat tersebut dengan variasi model. Kaum Aad diganjar dengan angin badai hingga tak tersisa, kecuali yang beriman. Mereka hancur berantakan dan bergelimpangan. Sedangkan kaum Tsamuud mati dengan cemeti adzab petir dan guntur bersuara keras. Bergelimpangan pula mereka. Sedangkan Fir'aun dan tentaranya ditenggelamkan di laut merah (bahrul ahmar) yang terkecoh pandangan "jalan tol" kezaliman. Faham materialisme yang sarba materi dalam berbagai bentuk, baik itu yang liberalisme, kapitalisme, komunisme, pragmatisme, atau sekularisme yang dikembangkan dan menjadi filisofi dalam membangun negeri tidak lain adalah Aad, Tsamud, dan Fir'aun kontemporer. Sekarang sedang dicoba untuk dihidupkan kembali pemahaman pembangunan yang serba infrastruktur hebat tersebut. Agama dan ketauhidan dalam wujud ketaatan ilihiah adalah basis pembangunan yang diridloi Allah Subhanahu Wata'ala. Mengabaikan aspek agama dan ketauhidan ini akan menjadi kausa dari cambukan cemeti adzab (shautho adzab) yang tak tertahankan. Hanya adzab dan kecelakaan yang pasti menanti, entah kapan datangnya. Hanya persoalan waktu saja. Namun pasti datang. Untuk itu, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat, para pemimpin bangsa dan negara Indonesia harusnya kembali sadar akan makna pembangunan yang hakiki. Agama adalah fondasi bukan periferi. Jangan coba-coba untuk pinggirkan agama. Apalagi sampai hinakan dan permainkan agama. Jika iya, maka tunggulah datangnya aparat Allah Subhanahu Wata’ala yang akan mencambukan cemeti adzab. Wisata sejarah akan sampai pada pemandangan yang mengerikan akibat dari salah persepsi, ideologi, dan investasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
Rakyat Boleh Tolak Vaksin Covid Bermasalah
by Mochamad Toha Surabaya FNN – Ahad (01/11). Diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras Vaksin Corona/COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca yang memiliki masalah etis. Karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren Aug 26, 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin itu justru menuai kritikan keras dari tiga orang uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia pada Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau. Karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, praktik seperti itu sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Namun, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies, Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher, dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19. Mereka mengirim surat kepada PM Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mendukung adanya vaksin COVID-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Terlepas dari polemik para uskup Australia tersebut, apakah rakyat atau warga negara di Indonesia punya hak untuk menolak vaksinasi atau imunisasi? Meski Pemerintah sudah mengeluarkan “Surat Perintah” vaksinasi Covid-19? Berhak Menolak Seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Hak dan Kewajiban Pasien Pasal (52), pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran dan kesehatan mempunyai hak. Pertama, mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (3). Kedua, meminta pendapat dokter atau dokter yang lain. Ketiga, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. Keempat, menolak tindakan medis. Kelima, mendapatkan isi rekam medis. Pasien bisa menyatakan menolak dilakukannya tindakan Vaksinasi atau Imunisasi padanya dengan enam belas alasan. Pertama, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini terkait status kehalalan vaksin yang sudah diberitahukan MUI bahwa vaksin pada anak belum bersertifikasi halal. Menjalani hidup dan kehidupan adalah pilihan, halal dan haram adalah ketentuan. “La iqraha fiddin”. Tidak ada pemaksaan dalam agama. Apalagi untuk perkara duniawi. Kedua, UUD 1945 pasal 28G ayat 1, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Jadi, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman. Ketiga, UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2. (1).“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. (2). ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Keempat, Pasal 28b ayat 2, “setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, pasien atau rakyat berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya. Kelima, Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/informed consent. Keenam, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1, “negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak”. Ketujuh, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1, “orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan”. Ini bentuk perlindungan rakyat atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya. Kedelapan, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kesembilan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal. Kesepuluh, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Kesebelas, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup, hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, hak atas praduga tak bersalah, hak kebebasan berpikir, hak berkeyakinan dan beragama, hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain, hak perlindungan anak, hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Keduabelas, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah. Ketigabelas, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1: “bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain agama. Status halal haram itu dalam agama Islam adalah hal yang essensial. Sedangkan Pasal 6, “bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan”. Keempatbelas, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Sedangkan Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan. Kelimabelas, Permenkes Nomor 12 Tahun 2017, pasal 26 ayat 2 poin b, pengecualian penyelenggaraan imunisasi program bagi orang tua/wali yang menolak menggunakan vaksin yang disediakan pemerintah. Keenambelas, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016, ketentuan hukum, bahwa hukum imunisasi adalah mubah, kewajiban menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sedangkan alasan darurat yang disyaratkan harus dengan fatwa ulama atau ahli terkait. Bukan fatwa dokter. Kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan melakukan sertifikasi halal kepada produsen vaksin sesuai dengan peraturaan perundang-undangan. Orang tua wajib memberikan dukungan pada program pemerintah, tapi pelaksanaan imunisasi itu tidak wajib, karena penceghan terhadap penyakit akibat virus atau bakteri bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan meningkatkan antibodi. Terkait program vaksinasi untuk masyarakat yang mau menerimanya itu, maka kewajiban pemerintah untuk menjamin penyediaan vaksin yang Halal adalah “Mutlak”. Mereka wajib menyertakan alasan dan landasan hukum atas tindakan yang dipilih. Karena menolak, rakyat berhak menolak bentuk “intimidasi” dan “diskriminasi” serta menolak pemberian vaksin pada anaknya di luar sepengetahuannya. Bila tetap dilakukan, maka rakyat bisa mengajukan tuntutan hukum, baik terjadi pada Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dalam jangka pendek ataupun panjang, ataupun tidak. Jika terjadi KIPI pada anak mereka, maka semua pihak yang terkait harus membiayai seluruh terapi dan pengobatan saat dan pasca KIPI Seumur Hidup anaknya. Bahwasannya anak-anak dan keluarga yang tidak divaksin maupun yang divaksin itu juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Karena itu rakyat menolak diskriminasi dan intimidasi atas keputusannya tersebut. Yang pasti, hingga kini WHO juga belum menyatakan ketersediaan Vaksin Covid-19 hingga 2021. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
China Semakin Dekat Mendominasi Dunia
by Asyari Usman Medan FNN – Ahad (01/11). Beberapa hari lalu, koran-koran internasional heboh dengan pernyataan mantan kepala badan intelijen Jerman, BND (Bundesnachrichtendienst), Gerhard Schidler bahwa China (RRC) semakin dekat ke posisi untuk mendominasi dunia. Menurut Gerhard Schindler, yang mengepalai BND dari 2011 sampai 2016, para penguasa China sangat pintar untuk meluaskan pengaruhnya sampai ke Eropa, Asia dan Afrika. Dia mengatakan kepada surat kabar The Times (terbitan London), Eropa harus segera bertindak. Menurut Schindler, teknologi China sangat canggih. Jerman tidak mampu untuk melihat apakah teknologi canggih itu digunakan China untuk tujuan jahat. Mantan bos badan intelijen luar negeri Jerman itu menyarankan agar Huawei dikeluarkan dari jaringan selular 5G. Pemerintah Amerika Serikat (AS) sudah lebih dulu menyatakan kekhawatiran bahwa Huawei bisa digunakan sebagai mata-mata oleh Partai Komunis China (PKC). Menurut Schindler, Huawei bisa saja membuat semacam “pintu belakang” pada sistem jaringan 5G-nya. Tidak akan ada yang bisa mengetahui apa sebenarnya yang mereka buat, kata dia. Sementara sektor telekomunikasi selular Jerman banyak bargentung pada perusahaan China ini. Semua operator 3G Jerman adalah klien Huawei. Dominasi China di pentas dunia kelihatannya memang lebih mungkin menjadi kenyataan. Negara komunis yang mempraktikkan sistem kapitalis itu kini menjadi mitra perdagangan utama banyak negara. Termasuk Indonesia. Sejak enam tahun belakangan ini, Indonesia memberikan preferensi khusus kepada China untuk berinvestasi. Untuk Jerman, menyingkirkan China nyaris tak mungkin. Sebagai contoh, setiap tahun perusahaan mobil mewah Jerman menjual 250 ribu unit kepada pembeli di China. Total perdagangan Jerman mencapai lebih U$ 210 miliar. Angka yang terbilang pantastis. Menurut perkiraan, dominasi AS akan semakin tergerus di masa-masa mendatang. Hingga saat ini, AS masih berstatus sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Tetapi, posisi itu sedang dikejar oleh China. Lihat contoh lain. Seperti dilaporkan Asia Times, China bisa memproduksi baja yang diperlukan oleh seluruh dunia. Kalau mereka mau. Begitu juga dengan produk-produk lain. Kehebatan China adalah mereka tidak membuat barang-barang yang tak dibeli orang. Kekuatan ekonomi China itu menghasilkan devisa yang sangat besar. China memiliki cadangan devisa asing (CDA) hampir U$ 4 triliun beberapa tahun lalu. Uang yang banyak ini membuat mereka leluasa pula membangun perangkat keras militer, termausk kapal induk. Sekarang ini, China telah memiliki tiga kapal induk. RRC telah melakukan ekspansi militer terbesar dan tercepat sejak Perang Dunia Kedua –kalau tidak dalam sejarah dunia. Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) bisa mengimbangi pasukan AS di sejumlah kawasan tertentu. Bahkan melebihi kekuatan negara adidaya itu di kawasan-kawasan lain. Tujuan akhir PKC ialah memiliki kekuatan militer yang sama seperti yang dimiliki Amerika. Beroperasi di seluruh dunia. Dan hal ini bukan sesuatu yang tak mungkin. Belakangan ini, Amerika melancarkan diplomasi gencar ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Baru saja Menteri Luar Negeri (Menlu) Michael Pompeo menekan kerja sama dengan Sri Lanka dan India. Amerika akan menjual senjata dalam jumlah besar kepada Delhi. Amerika merasa India akan menjadi teman untuk menghadapi ambisi dominasi China. Bagaimana dengan Indonesia? Ada beberapa catatan yang memprihatinkan. Pemerintah yang berkuasa saat ini menyanderakan diri kepada China sampai ke posisi yang menunjukkan kepariaan bangsa ini. Itu yang pertama. Yang kedua, terlihat para penguasa tidak menaruh curiga sedikit pun terhadap para TKA China yang masuk ke Indonesia. Schindler saja sangat curiga kepada Huawei. Penguasa di sini kok bisa bersangka baik kepada para TKA China yang kelihatan tak asing dengan dunia kemiliteran dan intelijen itu? Kita seharusnyalah percaya pada sistem keamanan negara ini. Kita mungkin tidak mampu berkontribusi untuk membendung dominasi China. Namun, sangatlah ironis jika kita sekarang ini mengambil posisi yang malah membantu percepatan wujud dominasi itu. Yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai korban. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pompeo Sukses, Jadi Teringat Camdessus IMF
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (31/10). Akhirnya memang Pemerintah kita kelasnya ayam sayur. Kedatangan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat Mike Pompeo sukses besar. Utamanya adalah implikasi penandatanganan bersama Menlu Retno Marsudi mengenai Kepulauan Natuna yang bakal "diserahkan" menjadi lahan investasi Amerika Serikat. Tentu saja target besar Amerika Serikat adalah membuat pangkalan militer di Natuna. Penguatan strategis dalam perseteruan dengan China. Menlu Pompeo berhasil meraih sukses besar. Sebab konflik di Laut China Selatan kini memasuki babak baru. Babak dimana bagian Indonesia akan menjadi pangkalan militer untuk tentara Amerika. Padahal China yang telah mengklaim Laut China Selatan sebagai milik warisan kesejarahan, akan sedikit terganggu dengan sikap Indonesia tersebut. Jika serius kerjasama dengan Amerika, dapat dibayangkan marahnya China kepada komprador Indonesianya. Entah langkah catur apa yang akan dimainkan. Melihat Michael Pompeo yang sedang menandatangani "kesepakatan" di meja, dan Menlu Indonesia Retno Marsudi berdiri tertunduk agak prihatin juga. Akhirnya menyerah dan Luhut pun "nyumput". Jadi teringat dahulu menjelang runtuhnya Orde Baru. Soeharto pada Januari 1998 menandatangani pinjaman dan kerjsama dengan International Monetery Fund (IMF). Sementara Michael Camdessus Direktur Palaksana IMF berdiri sambil bersedekap tangan. Terlihat gagah dan sukses. Pompeo sukses besar. Investasi Amewrika di bagian terluar kepulauan Natuna menjadi fase awal masuknya kepentingan Amerika ke kawasan. Dengan dalih pengamanan teritorial Indonesia, Amerika akan bebas hilir mudik di kepulauan Natuna. Faktualnya adalah optimalisasi fungsi pangkalan militer Amerika di area tersebut. Jokowi yang awal ketar-ketir, kini justru berposisi dan semakin terjepit antara dua tekanan Amerika dan China. Ikatan kuat dan matang dengan China harus terbentur ultimatum Amerika. Jika dari awal mengambil jalan konsisten "bebas aktif", mungkin saja konflik Amerika-China menjadi keuntungan besar bagi Indonesia. Namun kondisi itu kini sudah berbeda. Pilihan sulit di tengah pandemi dan krisis ekonomi. Kedatangan Menlu Pompeo bukan membawa berkah buat Pak Jokowi. Tetapi seperti buah simalakama. China tentu saja tidak akan tinggal diam. Daleman Istana sudah diketahui. Jika Istana belok-belok dalam bermain, mesti ada bayaran. Mungkin juga mahal. Jokowi bukan semakin kuat, tetapi malah bisa semakin goyah. Sikap ambivalensi selalu kalah di ujungnya. Sementara loyalitas yang diragukan akan dieliminasi pada akhirnya. Amerika yang menekan dapat memberi pil pahit bagi rezim. Dulu Michael IMF datang Januari 1998 dan Mei 1998 Soeharto jatuh. Kini Oktober 2020 Michael Pompeo datang, entah jatuh atau bertahankah Jokowi? Yang jelas rakyat sudah mulai mendesak. Pompeo sukses memainkan panggung diplomasi Amerika di Indonesia dan kawasan. Memang langkah diplomat kelas dunia. Sekali datang Natuna sudah di tangan. Indonesia dibuat kebingungan menghadapi jasa-jasa investasi dan "debt-trap" China. Jokowi bukan figur idealnya kelas Amerika. Jokowi juga mulai diragukan sebagai figur kuat pengaman kepentingan China. Jokowi mulai tidak aman. Apalagi nyaman. Sebab Jokowi tidak lagi mengakar. Kasus Rancangan Undang-Unang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan UU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka) menempatkan Jokowi berhadapan dengan rakyat dan umat. TNI yang tergerus oleh Polri juga rentan untuk tetap menjadi pilar yang mengawal dan menyelamatkan Jokowi. Menlu Pompeo belum banyak bergerak, tetapi sudah membuat belingsatan Jokowi dan China. Menusuk pertahanan yang memang dari dulu juga sangat lemah. Pompeo sukses. Moga saja pak Jokowi tidak lari ke gorong gorong. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Dr. Syahganda Dkk Tidak Ada Delik Pidana
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN – Sabtu (31/10). Dr. Sahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Kongkin Anida dikenal sebagai eksponen Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Mereka dikenal cukup lama terbiasa berada di rute penuh tantangan menuju demokrasi. Intelek dan punya gairah besar untuk Indonesia yang lebih baik dari hari ke hari. Itulah jiwa dan ruh mereka sebagai aktivis sejak masih menjadi mahasiswa baru. Mudah tersentuh, sangat sensitive terhadap persoalan kemanusiaan, menjadi sisi terhebat lain, yang menandai mereka. Mungkin itulah yang membawa mereka berlabuh, mengikatkan haluan impiannya ke KAMI. Tetapi takdir politik punya cara sendiri menyapa mereka. Mereka kini ditahan oleh penyidik dari Kepolisian. Tidak mungkin penyidik tidak punya bukti untuk mengkualifikasi tindakan mereka sebagai tindak pidana. Demokrasi pun memugkinkannya, dan untuk itu demokrasi membimbing eksistensinya dengan hukum dan akal sehat. Bukan hukum abal-abal. Apakah Dr. Sahganda, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan lainnya menyebarkan kabar bohong melalui media elektronik? Apakah mereka menyebarkan fitnah melalui media elektronik? Siapa yang difitnah? Kabar bohong mana menjadi sebab terdekat dan nyata terjadinya keonaran itu? Lalu apa itu onar? Andai mereka menyatakan pendapat terhadap suatu keadaan hukum. Misalnya demonstrasi atau boikot, yang telah diberitakan secara luas, dan telah diketahui umum, dimana letak melawan hukumnya? Kalau mereka menyatakan pendapat di media elektronik sosial (medsos) akan ikut demonstrasi yang telah diberitakan media, dimana letak bohongnya? Dimana juga hasut, fitnah, dan onarnya? Bila mereka merespon pernyataan pejabat, yang dalam alam pikir mereka, pernyataan itu tidak tepat, dimana juga letak melawan hukumnya? Bila menyiarkan atau menyebarkan pernyataan resmi, sebut saja KAMI, tetapi pernyataan itu telah lebih dahulu tersebar luas di media massa, dimana mengkualifikasinya sebagai melawan hukumnya? Logiskah penyebaran pernyataan itu melalui medsos milik mereka, dikageorikan sebagai menghasut? KUHP, UU Nomor 1 Tahun 1946, dan UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dapat diduga dipakai untuk menjerat mereka. Tidak diluar itu. Kabar bohong? Apapun kabar itu, absolut harus berisi sebagian atau seluruhnya tidak sesuai fakta yang obyektif. Tidak sesuai itu bisa disebabkan oleh penyebar kabar bohong tersebut dengan menambah-nambahkan keterangan di dalam kabar yang disebarkannya. Atau juga menghilangkan sebagian keadaan obyektif atau keadaan semula dari kabar yang disebarkannya. Sekali lagi, tidak bisa di luar itu. Bisa kacau balau hukum di negeri ini. Hanya dengan cara itu barulah kabar yang disebarkan itu dapat dikualifikasi mengandung unsur bohong. Mengapa begitu? Kabar adalah satu hal dan bohong juga satu hal. Tetapi keduanya terangkai menjadi satu dalam rumusan pasal sebagai unsur delik. Konsekuensinya, dua keadaan itu benar-benar harus diperiksa dan nyata-nyata ada. Bukan berdasarkan prediksi dan perkiraan yang bakal terjadi. Kabar itu harus bohong. Kabar bohong itu menjadi sebab terdekat dan nyata terjadinya keonaran. Keonaran juga merupakan unsur delik. Dalam hal semua unsur-unsur delik ini terpenuhi ada pada peristiwa penyebar kabar bohong. Kabar bohong itu menjadi sebab terjadinya keonaran. Dan keonaran itu benar-benar ada, barulah tindakan itu sah sebagai tindak pidana. Bagaimana bila satu saja dari keadaan-keadaan (unsur) delik itu tak terpenuhi? Misalnya kabarnya sendiri tidak bohong? Atau kabarnya benar-benar bohong, tetapi tidak terjadi keonaran? Ilmu hukum pidana tidak membenarkan untuk mengkualifikasinya sebagai tindak pidana. Tidak ada alasan lain selain itu. Titik. Lebih dari itu hanya tindakan mengada-ada dan sejenisnya. Orang-orang politik suka untuk menyebutnya penyalahgunaan kekuasaan. Apakah demonstrasi atau unjuk rasa merupakan perbuatan keonaran? Bila ya, masalahnya bagaimana menjelaskan unjuk rasa itu sebagai peristiwa hukum yang dimungkinkan oleh hukum positif di negeri ini? Mengapa hukum positif mengkualifikasi perilaku merintangi unjuk rasa sebagai tindak pidana? Dengan argumen apapun, unjuk rasa atau demonstrasi tidak dapat dikualifikasi sebagai satu peristiwa yang mengandung atau memiliki kapasitas sebagai peristiwa melawan hukum pidana. Konsekuensinya unjuk rasa atau demonstrasi tidak dapat dikualifikasi sebagai keadaan keonaran. Disebabkan unjuk rasa atau demonstrasi itu secara hukum bukan peristiwa pidana. Maka, siapapun yang menyatakan pendapatnya akan ikut atau ikut unjuk rasa itu, dengan alasan apapun, tidak dapat untuk dikualifikasi sebagai pidana. Andai pernyataan itu ditulis di media sosial elektronik jenis apapun, dan disebarkan, tetap saja tidak berkualifikasi sebagai pidana. Dapatkah pernyataan-pernyataan itu dikualifikasi secara hukum sebagai menghasut? Hal pertama yang harus diperiksa secara detail adalah, apakah pernyataan itu memiliki kapasitas melawan hukum? Sifat melawan hukum ada apabila pernyataan itu bersifat seruan. Walaupun seruannya tak sungguh-sungguh, agar orang yang diserukan atau dihasut itu melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum menjadi inti, penentu, agar seruan itu dapat dikualifikasi secara hukum pidana sebagai hasutan. Tanpa itu, tidak bisa, dengan apapun alasannya. Tidak ada ilmu interpretasi di dunia ilmu hukum yang dapat dipakai untuk menginterpretasi perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai perbuan sah. Lalu diinterpretasi menjadi perbuatan yang tidak sah. Beralasankah untuk menyatakan pernyataan akan ikut demonstrasi, yang disampaikan atau disebarkan melalui media sosial elektronik, tidak dapat diberi kapasitas sebagai perbuatan menyebarkan kebencian? Terhadap soal ini harus diperiksa terlebih dahulu, apakah hal atau keadaan atau obyek yang diunjukrasa itu adalah hal atau keadaan atau obyek yang dilarang dalam hukum positif? Bila hal yang diunjukrasa itu dilarang dalam hukum positif, lalu orang menyatakan akan ikut unjuk rasa itu, dan pernyataan itu dimuat di media sosial elektronik dan disebarkan, maka perbuatan itu berkualifikasi menyebarkan kebencian. Jelas menyatakan ikut unjuk rasa memiliki kualifikasi melawan hukum. Sebaliknya bila hal, keadaan atau obyek yang diunjuk rasa tidak berkualifikasi melawan hukum. Karena tidak ditujukan pada individu, suku atau ras, atau golongan, maka pernyataan ikut demonstrasi itu, tidak dapat, dengan alasan apapun dikualifikasi melawan hukum. Pernyataan itu tak mengandung kebencian. Berunjuk rasa mendesak pemerintah mencabut satu UU, misalnya UU Omnibus Cipta Kerja, yang baru disahkan tanggal 5 Oktober 2020, bukan perbuatan melawan hukum. Pembuat UU tidak dapat, dengan alasan apapun, dikategeorikan sebagai individu, golongan, suku, ras atau apapun yang lainnya. Apakah oligarki, sebagai sebuah konsep dalam ilmu politik dan sosial, dapat dikageorikan secara hukum sebagai individu, golongan, suku, atau ras? Bila ya, soalnya adalah siapa mereka? Ini krusial. Mengapa? Bila oligarki diakui sebagai satu entitas hukum yang sah sebagaimana hukum mengakui setiap orang sebagai individu, kelompok, suku, agama, dan ras, maka soalnya seluruh ketentuan dalam UUD 1945, setidaknya seluruh ketentuan dalam Bab X UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia runtuh. Mengapa? Mengkualifikasi penalaran yang dinyatakan secara tertulis bahwa oligarki berdaulat atau memegang kedaulatan, sama hukumnya dengan menyatakan oligarki sebagai satu entitas hukum yang sah. Bila demikian halnya, maka oligarki diterima secara hukum sebagai natural person atau difiksikan atau diberi sifat persona sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban hukum. Apa begitu? Tidak mungkin. Bung Hatta dan Soepomo Apapun alasannya? Sekali lagi, tindakan itu sama hukumnya dengan membatalkan semua teks hukum pada UUD 1945. Diperlukan kecermatan sungguh-sungguh. Sebab siapapun diantara Dr. Sahganda, Jumhur, dan Anton Permana hendak dipredikatkan melakukan kejahatan karena pernyataan itu. Apakah menteri memiliki predikat sebagai individu? Tidak bisa. Terminologi menteri menunjuk lingkungan hak dan kewajiban, sebagai kapasitas hukum sebuah jabatan. Menteri itu nama jabatan. Bukan nama individu. Individu adalah pemangku jabatan itu. Tetapi jabatan tidak sama dengan individu. Jabatan tidak dapat dipersonifikasi sebagai individu. Dalam hal pejabat itu mengeluarkan pernyataan, yang sejauh itu unsur-unsur obyektif dari keadaan yang ditunjuk menteri dalam pernyataan itu tak terverifikasi, sejak itu atau sesudahnya, dan itu menjadi sebab pejabat tersebut dikritik dengan sangat kasar. Bagaimana dan dengan cara apa memberi sifat melawan hukum pada kritik itu? Kata-kata kasar mau dijadikan penentu adanya sifat melawan hukum? Pada titik ini, terasa betul kebutuhan memeriksa secara utuh pikiran Profesor Soepomo dan Bung Hatta tentang Menteri sebagai Statesmanship. Pernyataan Prof Soepomo dan Bung Hatta itu disampaikan pada rapat BPUPKI membahas draf pertama UUD 1945 tanggal 13 Juli 1945. Bung Hatta menyatakan, “jadi ada baik disini kalau diadakan kemungkinan yang minister atau menteri bertanggung jawab, sebab kedua-duanya membuat undang-undang. Tambahan lagi tanggug jawab itu ada penting dalam gerakan kita dalam sususnan negara kita supaya yang memegang departemen itu betul-betul pemimpin-pemimpin rakyat”. Jangan nanti, begitu Bung Hatta melanjutkan, “semangat pegawai saja dengan tidak mempunyai tanggung jawab yang kuat menjalar dalam pemerintahan negara. Pandangan inilah yang dijawab oleh Profesor Soepomo, Ketua Tim Kecil penyusun UUD 1945. Kata profesor dalam menjawab pandangan Bung Hatta, “...akan tetapi kita harus percaya kepada kebijaksanaan dari kepala negara dan juga kepada pembantu-pembantunya, yang bukan pembantu biasa, akan tetapi tentu juga orang-orang yang sangat terkemuka, ahli negara yang bukan saja memperingati public opini, perasaan-perasaan umum dalam Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi mengerti perasaan umum di dalam negara mereka umumnya”. Pofesor Soepomo melanjutkan, s”udah tentu orang-orang menjadi Statsman, menjadi pegawai negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja kepada diri sendiri, akan tetapi kepada umum” (Lihat A.B. Kusuma, 2016). Apa yang dapat diambil sebagai esensi pernyataan kedua pembentuk UUD 1945 itu? Apa yang mau dikenali dari pernyataan menteri bertanggung jawab umum dan diri sendiri, dan tidak menjadi pegawai biasa saja? Pada bagian mana dalam seluruh aspek tanggung jawab dapat dipakai untuk membenarkan kata-kata kasar yang ditujukan padanya sebagai hal yang menghina? Bukan rasa bahasa, tetapi mustahil mengkualifikasi kata-kata kasar, siapapun diantara tiga orang itu, yang ditujukan langsung pada isi pernyataan menteri. Apalagi menjadikan itu sebagai sebab adanya penghinaan terhadap menteri. Pembaca FNN yang budiman, seluruh predicate crime pada kasus hipotetik di atas, mustahil diberi lebel pidana. Mustahil menemukan unsur deliknya. Tindakan yang dihipotetikan di atas semuanya sesuai hukum. Tidak ada ilmu hukum yang dapat dipakai menyatakan tindakan yang dibenarkan hukum dapat diberi predikat delik, tindak pidana. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.