Samakah Jokowi Dengan Richard Nixon Soal Partai Demokrat?
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat, sejauh ini sah secara hukum. Memang Kongres Luar Biasa (KLB) telah terselenggara di Deli Serdang. Pak Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum dan Dr. Marzuki Ali sebagai Ketua Dewan Pembina. Sayangnya KLB itu tak menggunakan AD/ART terakhir sebagai dasar. Konsekuensinya KLB itu tidak sah.
Itu sebabnya layak dipertimbangkan skema playing victim. Bagaimanapun Pak Moeldoko pernah memiliki relasi manis dengan Pak SBY. Tetapi andai bukan playing victim, maka AHY dan Pak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden dua periode sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai ini, telah didatangi masalah besar.
Hal Tak Terlihat
Pembaca FNN yang budiman. Pak SBY telah kumadangkan perang menegakan keadilan dalam kasus ini. Masalahnya siapa yang mau diperangi? Aapakah SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Pak Moeldoko atau Presiden Jokowi yang mau diperangi? Apa target terdekatnya? Bagaimana amunisi, strategi dan taktik, dan siapa saja yang sebarisan dengan AHY dan Pak SBY?
Tetapi sebelum lebih jauh menyusuri koridor itu, saya ingin mengajak Pembaca FNN yang budiman untuk mengenal penilaian negarawan-negarawan Amerika terhadap partai politik. Partai politik dalam penilaian mereka, terlihat buruk.
John Kenneth White, dalam Handbook of Party Politics, diedit oleh Richard S Katz dan William Corothy (ed) mengungkap pandangan berkelas dari tiga negarawan Amerika. Mereka adalah mantan Presiden George Wahington, John Adam dan Thomas Jefferson.
George Washington, orang pertama yang mengawali praktek pemerintahan presidensial di dunia, seperti ditulis White, menilai buruk partai politik. Washington, tulis White menyatakan “dalam satu pemerintahan monarki, patriotisme mungkin memandang dengan toleran, jika tidak dengan mendukung semangat partai. Tetapi dalam pemerintahan rakyat, pemerintah yang murni pilihan, semangat partai tidak perlu didorong”.
Lain Washington, lain pula John Adam, yang menjadi penerusnya sebagai presiden kedua Amerika Serikat. Kata Adam “tidak ada yang aku takuti selain terbelahnya republik menjadi dua partai besar. masing-masing diatur dibawah pimpinannya dan mengambil langkah-langkah yang bertentangan satu sama lain”.
Abigail Adam, istri Jhon Adam, memang bukan politikus. Tetapi penilaiannya juga menarik. Katanya “roh partai itu buta, jahat, tertutup, tidak jujur, dan tidak kenal ampun.” Mirip dalam substansinya dengan Abigail, Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat ini mengatakan pada tahun 1789 “jika saya tak bisa masuk surga kecuali dengan partai, maka saya rela untuk tak masuk surga“.
Amerika, dalam kenyataan sejauh ini, benar-benar terbelah ke dalam dua partai. Partai Republik dan Partai Demokrat. Garis politik keduanya berbeda dalam sejumlah aspek substansial dan tampilan praktisnya. Tetapi apakah kedua partai inilah, yang melukis secara independen wajah sosial, politik, ekonomi dan hukum Amerika? Tak selalu juga.
Pelukis sesungguhnya bukan mereka. Mereka tidak selalu bisa menampilkan garis dan keyakinan politiknya secara independen. Hampir tidak ada dari mereka yang mampu menggunakan energinya secara independen untuk menantang ide-ide financial oligarky.
Tetapi sudahlah, simpan dulu soal-soal itu. Mari, sejauh yang bisa meraba langkah lanjutan AHY dan SBY, anak dan ayah ini. Akankah SBY yang terlihat mengerti nilai etika dan martabat sebagai orang beradab menjadikan Pak Moeldoko sebagai target? Bila itu dilakukan, jelas Pak ABY menentukan target, sekaligus terlihat kalah level sama Pak Moeldoko.
Mengapa begitu? Pak Moeldoko tak bakal bisa berstatus Ketua Umum Partai Demokrat, kalau Presiden Jokowi melalui Menteri Hukum dan Ham, tidak mengesahkan komposisi kepenggurusan Demokrat hasil KLB itu. Sebaliknya, kalau Pak Yasona mengesahkannya, maka Pak Moeldoko resmi berstatus sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Sejauh belum ada SK Menkumham, maka untuk alasan hukum, AHY dan SBY sah dalam status saat ini. Konsekuensinya, tidak tepat menjadikan Pak Moeldoko sebagai sasaran perlawanan. Lalu siapa yang mau dilawan? Presiden Jokowi? Apa argumentasinya?
Terlihat sepadan bila Pak SBY melawan Pak Presiden Jokowi. Pak SBY menjadi Presiden dua periode (2004-2009 dan 2009-2014) dan Pak Jokowi juga Presiden dua periode (2014-2019, dan 2019-2024). Jadi, sepadan mereka. Tapi apa argumentasinya?
Andai Pak SBY mengidentifikasi Pak Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP), sehingga secara silogistik Pak SBY menyatakan terdapat hubungan hukum langsung antara Pak Moeldoko dengan Pak Presiden Jokowi, jelas itu logis. Masalahnya, apakah kenyataan itu beralasan hukum dikonstruksi sebagai hal hukum yang menjadi dasar Presiden Jokowi memikul tanggung jawab atas tindakan Pak Moeldoko?
Begitulah penalaran hukum atas kasus ini, suka atau tidak. Lain lagi kalau politik. Dalam politik, tidak ada norma yang bersifat imperatif. Pak SBY, tak mungkin tak tahu itu. Pada spekterum ini, Pak SBY harus sangat produktif dan cermat menemukan langkah.
Pak SBY meminta, dengan nada apapun kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi untuk berpegang teguh pada etika politik, bahkan etika personal, jelas sangat beralasan. Tetapi cukupkah itu? Tidak cukup sama sekali.
Pak SBY telah berkali-kali menyatakan itu secara terbuka. Kenyataannya, KLB tetap berlangsung dan berakhir dengan hasil yang sejauh ini disangkal AHY dan SBY sebagai abal-abal. Itu sebabnya Pak SBY harus menemukan cara yang mampu membawa Presiden Jokowi ke koridor yang dikehendakinya.
Untuk sampai dititk itu, terasa layak membayangkan Pak SBY memperhitungkan hal-hal yang sejauh ini tak terlihat. Bagaimanapun Pak SBY tak mungkin tidak tahu bahwa kehidupan politik nyata selalu dililit dengan ide-ide dan target tak terlihat.
Diksi salah pilih Pak Moeldoko dulu, dan meminta ampun kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas kesalahannya, itu bagus. Tetapi sebaiknya diksi itu dihentikan. Sebab orang dapat membalik nalar diksi itu menjadi “AHY dimungkinkan jadi Ketum Demokrat” boleh jadi salah juga.
Harus Cerdas
Bila KLB itu bukan formula playing cictim, maka Pak SBY, harus menggali semua hal tak terlihat pada persitiwa KLB Partai Golkar dan PPP. KLB yang mendatangi kedua partai tersebut, dengan sebab-sebab organisasi yang satu dan lainnya terlihat memiliki kemiripan dengan apa yang dialami Demokrat kini.
Demokrat, partai yang netral pada putaran kedua Pligub DKI Jakarta, dan biasa-biasa saja pada Pilres 2015 dan 2019 kemarin, memang terlihat tak pro pemerintah. Tetapi tidak juga oposan, apalagi ekstrim menyediakan ide alternative terhadap kebijakan Pak Jokowi. Kenyataan ini bisa menyulitkan Pak SBY menemukan argumen logis melebel Pak Jokowi gunakan tangan Pak Moeldoko “mencaplok” Demokrat.
Walau begitu, apakah Pak SBY dengan semua keterampilan dan koneksi politik internasionalnya tidak memetakan keuntungan politik, yang mungkin diperoleh Pak Jokowi dalam peristiwa ini? Bila iya, bagaimana Pak SBY mendemonstrasikannya?
Suka atau tidak, satu-satu kenyataan yang tak bisa disangkal oleh Pak Jokowi adalah status Pak Moeldoko dalam pemerintahan ini. Status officialnya adalah pejabat negara, berada langsung di bawah Presiden. Ini poin utama tata negara. Bukan politik.
Berstatus sejelas itu dalam hukum tata negara, memungkinkan Pak SBY mempertimbankan cara partai Demokrat Amerika membongkar keterlibatan Presiden Richard Nixon dalam kasus Watergate tahun 1973 dulu. Bukan karena kebetulan sama-sama mempunyai nama “Partai Demokrat”.
Untuk waktu yang lama, Presiden Nixon menyangkal semua tuduhan Partai Demokrat Amerika bahwa dirinya terlibat dalam skandal Watergate. Tetapi langkah-langkah tata negara Partai Demokrat di DPR Amerika berhasil membuat semua sangkalan Nixon, terbukti bohong, bohong dan bohong.
Menariknya lagi, sejauh ini argumen Demokrat terlihat begitu terbatas. Sampai dengan artikel ini ditulis minggu siang, Demokrat AHY dan SBY terlihat sangat landai. Spektrum argumennya terlihat terisolasi sebatas politik, dalam balutan prinsip etis demokrasi dan rule of law penyelenggaraan pemerintahan. Apa Pak SBY sengaja membuat landai agar lawan terlena?
Kalau KLB sekadar replica playing victim, ya tak bakal ada hal heboh. Bila tidak, maka AHY dan Pak SBY tak boleh gagal menghalau SK pengesahan Kepengurusan Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang. SK Menkumham itu, andai terbit, juga mungkin disambut orang sebagai cara rasa sakit, merendahkan, bahkan penghinaan mendatangi dan menyapa AHY dan Pak SBY.
Untuk alasan hukum, SK Menkumham, andai terbit, memiliki dua konsekuensi. Pertama, sejak SK itu terbit, maka AHY dan SBY tidak lagi sah menjadi ketua Umum Demokrat dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Semua kewenangan Ketua Umum beralih ke Pak Moeldoko. Dengan demikian, Pak Moeldoko memiliki wewenang melakukan tindakan hukum positif dan negatif terhadap seluruh anggota DPR dan DPRD dari Fraksi Partai Demokrat.
Kedua, Pak Moeldoko dan kawan-kawan berhak menggunakan Sekretariat Partai Demokrat di dekat Tugu Proklamasi, berikut seluruh property lainnya. Tak ada alasan untuk tak menyerahkan property-property ini kepada mereka. Semoga saja tak terjadi.
Memang itu dapat dihentikan sementara. Tetapi penghentian sementara hanya dapat dinyatakan oleh pengadilan melalui putusan sela. Apakah Pak SBY telah memetakan soal ini? Apakah Pak SBY cukup yakin bahwa keadilan tak bisa dikoordinasikan?
Pembaca FNN yang budiman, partai memang telah menjadi entitas penting dalam demokrasi dan rule of law. Tetapi Woodrow Wilson, Presiden Amerika ke-28, tak melihat partai sebagai hal penting. Baginya tanggung jawab partai tak lebih dari sekadar fiksi oleh kawanan gerombolan gembala yang kebingunan.
“Saya tidak percaya pada partai. Saya percaya pada orang. Saya tidak menuntut tanggung jawab partai. Saya menuntut tanggung jawab orang. Saya tidak mendapat ekspresi pendapat yang tunggal dari partai. Saya mendapatkannya dari orang”, begitu kata William Graham Summer yang dikutip White.
Pembaca FNN yang budiman, sembari waspada pada Covid-19, mari menantikan AHY dan SBY menemukan cara mencegah terbitnya SK Menkumham. Bagaimana cara Pak SBY, dan bukan AHY yang membawa Presiden Jokowi, masuk ke dalam penyelesaian kasus ini, jelas mengasyikan untuk dinantikan.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.