OPINI

Istana Menyerang Cikeas, SBY Kibarkan Perang?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Angin mengalir lembut. Bukan angin ribut. Tidak juga disertai dengan hujan berpetir, yang menimbulkan rasa ketar ketir. Namun ujug-ujug ratusan juta rakyat Indonesia terkejut. Bukan sebab Jokowi (Joko Widodo, Presiden RI) mati mendadak. Melainkan adanya pertunjukan “sulap politik” oleh orang Istana Kepresidenan. Cuma dalam tempo beberapa jam, Ketua Umum Partai Demokrat (PD) yang dijabat Agus Harimukti Yudhoyono (AHY) tersulap, dan langsung berubah menjadi sosok Moeldoko, Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Moeldoko berkantor di dalam pagar kompleks istana negara. Tontonan sulap gratis yang dimainkan anak buah Jokowi dalam frame Kongres Luar Biasa (KLB) PD itu berlangsung di salah satu hotel, di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Hajatan itu dimulai pada permulaan bulan Maret lalu. Publik pun lantas ramai saling lempar berkomentar. Macam macam pendapatnya. Ada yang berpendapat menggunakan akal seger waras. Sebaliknya, muncul juga statement sinting yang bermaksud membela perilaku cenderung stunting pula. Seperti paparan awal di atas. Tak ada hujan dan angin. Orang gila pun tahu bahwa Ketua Umum PD adalah AHY. Sedangkan Ketua Majelis Tinggi dan Kehormatan Partai PD tidak lain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Susunan pengurus itu sah sebagai data otentik pada lembaran pemerintahan. Susunan itu belum berubah hingga saat ini. Dalam konteks KLB Sibolangit Deli Serdang, SBY merasa benar. Dan memang berada di pihak yang tidak salah. Karenanya, SBY yang berpenampilan kalem dan terkesan menjaga wibawa serta kehormatannya - bak Pak Harto itu, langsung bermuka merah menyemu hitam. Tanda marah besar. Menyusul hasil KLB “sak karepe dewe” yang menobatkan Moeldoko sebagai Ketua Umum PD, SBY tak sabar menyambar mix. Bicara laksana mengurai duplik di pengadilan. Membeberkan kebenaran di hadapan para jurnalis di kediamannya, Cikeas. Seperti yang biasa kita tahu. Tingkat emosinya terukur. Gaya bicaranya khas. Mengkombinasi dengan bahasa tubuh, gerakan naik turun tangan dan anggukan kepala. Manifesto politik dihadapan pers itu SBY menjlentrehkan aturan main PD dalam menggelar KLB, yang sesuai dengan AD/ART PD. Pokok persoalan dikupas SBY dengan lugas dan tuntas. Khususnya di lembar pasal 81 ayat 4. Dalam pasal tersebut, jelas SBY, KLB bisa digelar atas usulan dan permintaan Majelis Tinggi Kehormatan Partai yang dia pimpin dan beranggotakan 16 orang. Kemudian terdapat ketentuan, sekurangnya dihadiri 2/3 dari total jumlah DPD sebanyak 34 DPD. Yang diperkuat dengan syarat lanjutan, yakni KLB harus dihadiri sedikitnya 1/2 dari jumlah total DPC sebanyak 514 DPC. Namun dalam atraksi 'main sulap' murahan di 'panggung politik gelap' Deli Serdang itu tak satu pun persyaratan yang terpenuhi. Tak satu pun DPD yang mengusulkan. Bahkan hanya 7 persen (34 DPC dari 514 DPC) dari yang seharusnya minimal 50 persen usulan DPC. Karenanya, SBY pun pelan tapi tegas mengajak seluruh kadernya untuk berperang guna mendapatkan keadilan. "Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dibenarkan. War of necessity, sebuah just war", tandas SBY manggut manggut diikuti ayunan jari telunjuknya. Pemilihan diksi perang oleh SBY, sekali pun pada statemen jumpa pers dimaksudkan sebagai just war, perang untuk memperoleh keadilan. Namun ingat. SBY bukan orang goblog. Tidak dungu. Jauh dari otak cebong. Dia adalah mantan presiden militer berpangkat Jenderal (Purn). Dia fasih taktik dan strategi. Artinya, kata “perang” sengaja disisipkan tersamar sebagai cara membaca situasi nyali musuhnya. Jika sang musuh menyerah, mengakui kalah dan salah, maka kata “perang” itu akan diakuinya cuma candaan belaka. Namun, jika musuh bertahan dalam kesalahannya. Bahkan malah terlihat pongah dan durhaka. Seakan yang dilakukan benar dan terpuji, tak menutup kemungkinan perang guyonan itu bisa bermetamorfosis menjadi perang terbuka sungguhan. Demi kehormatan. SBY bisa senekat nekatnya Jauh waktu sebelumnya. SBY dan para kader PD telah melihat simptom adanya upaya kudeta PD oleh Moeldoko dan segelintir kader PD. Pendek kata SBY sudah curiga. Waktu itu AHY selaku Ketum PD pun berkirim surat protes kepada Jokowi. Tak salah rupanya AHY bersurat ke Jokowi, mengingatkan, mau tidak mau Moeldoko adalah inner circle Istana Kepresidenan. Anak buah langsung Jokowi. Sulit untuk tidak diakui bahwa Moeldoko merupakan representasi dari Jokowi. Namun sayang. Surat itu tak terbalaskan. Kubu Moeldoko malah bilang, pertemuannya dengan kader PD bukan untuk merencanaan kudeta. Melainkan cuma ngobrol biasa. Hanya ngopi-ngopi biasa. Alasan kubu Moeldoko itu, agaknya terbantahkan oleh pengakuan mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, belakangan ini. Jenderal bernalar waras itu mengaku pernah diajak gabung seseorang, untuk mengkudeta AHY dari jabatan Ketum PD. Bila bersedia, Gatot Nurmantyo berhak memangku iming iming jabatan ini atau itu. Kecuali jabatan, nina bobok berupa uang tentu tak ketinggalan dalam dunia kekurang ajaran. Gatot Nurmantyo menolak. Alasannya simplistik. Dia pernah dibesarkan SBY, ayah AHY, sebagai KASAD sewaktu SBY menjabat presiden ke 6 RI. "Saya dibesarkan Pak SBY. Masak saya lantas tega mencongkel putranya? "ucap Gatot Nurmantyo tanpa merinci, siapa pihak yang mengajaknya berbuat kurang ajar itu. Tidak seperti Gatot. Moeldoko malah sebaliknya. Meski sama sama pernah diangkat SBY sebagai KASAD, namun Moeldoko membalasnya dengan air tuba. Tubanya dicampur Covid-19 lagi. Jadi pedihnya melebihi disayat sembilu. Sementara Menkopolhukam, Mahfud MD, turut berkomentar. Dialeknya khas Madura. Alam pikirannya normatif. Terlalu hukum. Hukum banget. Tidak menyertakan aspek sosial pendukung lain. Misalnya, mengeksplor sampai ke bab etika, sopan santun, budaya, moral, peradaban dan lain sebagainya. Sehingga pernyataannya sering membias. Distorsif. Luput dan tidak sesuai harapan. Sekalipun pernyataan Mahfud benar secara hukum. Padahal per hukuman itu mestinya memuat aspek tekstual dan kontekstual. Sehingga pas dipandang dari arah mana pun. Sebab “panggung sulap” di Deli Serdang disebut Mahfud sebagai hal biasa. Dianggap sebagai kumpul-kumpul kader PD. Pemerintah tidak perlu melarang atau menyuruh. Pasalnya, lagi-lagi terlalu hukum. Acara tersebut terlindung dalam UU No. 9 Tahun 1998, tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum. Penerapan regulasi ini pada KLB Moeldoko belum tentu tepat dan berkeadilan. Lantaran, dalam kapasitas apa Moeldoko sebagai orang Istana, ikutan kumpul dengan kader PD, yang diketahui sebagai kegiatan KLB? Ah, ada-ada saja Mahfud. Bukankah pemerintah saat ini tengah gencar melakukan pembatasan berkerumun karena Covid-19? Apakah hal itu tidak melanggar protokol kesehatan? Juga melawan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan? Sebagaimana yang diterapkan kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) saat mantu? Agaknya Mahfud MD belum tuntas menemukan delik hukum paling tepat, untuk membenarkan acara kawan se-lingkarannya di Istana Kepresidenan. Marahnya SBY yang sebenarnya manusiawi itu, malah ditanggapi dengan gaya insinuatif. Sindiran tak terang-terangan. Mengembalikan persoalan yang pernah dialami pihak yang sedang marah. Misalnya, saat SBY menjabat presiden, juga membiarkan dualisme kepemimpinan PKB. Antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar. Jadi, kalau sekarang SBY sewot itu dianggap baper. Begitu kira kira maksudnya. Sekalipun sekilas nampaknya sama, namun sebenarnya berbeda. Pihak yang terlibat konflik royokan PKB antara Gus Dur dengan Muhaimin Iskandar sama sama orang partikelir PKB. Bukan orang pemerintah. Sedangkan konflik PD Deli Serdang melibatkan orang pemerintah. Bahkan lingkar terdekat Jokowi selaku presiden. Dengan begitu, yurisprudensi berlatar pengalaman empiris yang dibilang Mahfud itu ngawur. Bila pembiaran kudeta dianggap tidak apa apa. Sah secara hukum. Jangan salah jika pemahaman itu kemudian mengembang ke arah misalnya, kudeta presiden itu lantas dianggap sah. Masyarakat sebenarnya berharap Mahfud yang secara faktual memiliki kompetensi dan kognisi di lingkup hukum, dapat memerankan kesanggupannya secara lebih, dibanding menteri-menteri sebelumnya. Kembali soal invasi Moeldoko terhadap AHY. Mengapa yang dipilih Moeldoko Partai Demokrat yang memiliki suara signifikan di DPR. Bukan partai gurem lainnya. Muncullah disini spekulasi politik. Karena suara PD cukup berarti, akankah hal itu akan digunakan Moeldoko untuk mengtiga kalikan jabatan Jokowi sebagai Presiden? Benar atau tidak benarnya kita tunggu sejarah berikutnya. Penulis adalah Pelaku UMKM.

Menguak Terus Misteri Kilometer 50 Tol Japek

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Peristiwa pembunuhan atau pembantaian atas enam syuhada anggota laskar Fron Pembela Islam di kilometer 50 jalan tol Jakarta Cikampek (Japek) tidak akan mudah dihapus jejaknya. Meskipun bangunan rest area yang ada di sana kini telah dibantai dan dihabisi. Ada peristiwa dramatis, tragis, dan sadis terjadi di area dimana peristiwa bermula, berakhir, atau dilewati. Upaya untuk menghentikan kasus ini dengan akal-akalan mentersangkakan keenam syuhada telah gagal. Reaksi publik sangat keras atas pemberian status tersangka pada jenazah tersebut. Disamping mengada- ada, juga bertentangan dengan undang-undang. Ketika status itu dicabut, maka kasus ternyata tidak bisa terhenti. Terlalu berat bermain dalam skema seperti ini. Akhirnya tersangka berbalik, yaitu tiga orang anggota Kepolisian dari Polda Metro Jaya. Meski belum diumumkan namanya secara resmi oleh Mabes Polri, tetapi publik menduga tersangka ini adalah pelapor dan saksi yang menyebabkan keenam syuhada berstatus tersangka. Mereka adalah Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Adi Ismanto, dan Bripka Faisal Khasbi. Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Polisi Andi Ryan Djajadi menyatakan, ketiga anggota Polri yang berpotensi sebagai tersangka tersebut dapat dikenakan pasal 338 KUHP junto Pasal 351 ayat (3), yakni pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian. Munculnya pasal penganiayaan ini menarik karena menjadi pengakuan Polisi bahwa memang telah terjadi penganiayaan berat terhadap korban. Sesuatu atau stigma yang selama ini selalu ditepis oleh polisi. Seakan-akan tidak adanya penganiyayan. Bahkan semula dinyatakan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran bahwa korban menyerang polisi. Ketiga personel kepolisian yang menjadi potensi tersangka ini akan menjadi pembuka dari keterlibatan banyak fihak lain. Baik itu personil pembuntut yang jumlahnya lebih dari tiga orang, sebagaimana temuan dan hasil penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM). Selain itu, terbuka peluang untuk dapat diketahui siapa "komandan" eksekusi yang diduga penumpang di mobil Land Rover yang tiba di rest area kilometer 50 malam itu? Ada selebrasi perjuangan dan kemenangan. Sampai sekarang, dua mobil lain yang bukan dari anggota Polda Metro Jaya belum juga diungkap ke publik oleh Komnas HAM siapa mereka? Moga kita berharap bahwa ketiga potensi tersangka ini benar pelaku sebenarnya. Bukan orang "yang senagaja dikorbankan" untuk menutupi pelaku lain yang justru menjadi aktor intelektual dari kejahatan kemanusiaan yang menyedihkan bangsa dan negara Indonesia ini. Sejarah kelam yang tidak boleh dimanipulasi. Harus menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Sikap keangkuhan terhadap kebenaran tidak boleh dibiarkan hanya dimonopoli oleh polisi. Korbannya adalah rakyat kecil yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Apalagi mengingat pembunuhan enam syuhada ini dikaitkan dengan "unlawful hunting" tokoh dan ulama Habib Rizieq Shihab (HRS), maka dapatlah dikategorikan sebagai pembunuhan politik. Harus memantau dan mengikuti dengan akstif persidangan ini nantinya. Suapay bisa membongkar misteri yang berdampak sistemik. Oleh karena itu semua kita tidak berharap kasus "Harun Masiku" yang hilang atau dihilangkan, tidak terjadi pada pelaku sebenarnya atau pelaku kunci dari kasus pembunuhan 6 anggota laskar yang menjadi syuhada ini. Semoga misteri akan terus terkuak. Rakyat tetap mengawal proses politik dan hukum dengan ketat. Dasar keyakinan adalah bahwa Allah Subhaanahu Wata’ala Yang Maha Kuasa itu juga Maha Melihat dan Maha Mendengar. Ada atau tanpa Mubahalah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Syaikhona Muhammad Kholil: Mengapa Harus Pahlawan? (3)

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Melalui diksi kata "Perampok dan Pencuri", Syaikhona Muhammad Kholil ingin menegaskan bahwa Pemerintah Hindia-Belanda telah benar-benar berlaku lalim dan sewenang-wenang terhadap masyarakat pribumi, sehingga wajib dilawan, dan harus diadukan kepada Tuhan. Penegasan perlawanan Syaikhona Kholil terhadap pemerintahan Hindia-Belanda menjadi benar-benar nyata ada, yang diimplementasikan dalam visi-misi gerakannya membebaskan bangsa dari cengkeraman Pemerintah Hindia-Belanda. Gerakan itu dilakukannya melalui gelora semangat mimbar-mimbar musholla dan pengajian kitab kuning. Angka Ramadlan 1316 Hijriah itu menunjukkan waktu kira-kira kapan peristiwa itu terjadi. Analisa kronika Sejarah Syaikhona Kholil menggambarkan bahwa pada 1316 H ini, ia kala itu berusia 65 tahun, mengingat Syaikhona Kholil lahir pada 1252 H. Pada usia 65 tahun ini, Syaikhona Muhammad Kholil berada di puncak usia emas; kealiman, kewibawaan, ketokohan, kemasyhuran, kesaktian linuih, jumlah pengikut, dan pengaruh tak ubahnya bagai bintang yang mencorong. Hal itu sebagaimana kesaksian Mbah Sholeh Lateng dalam kekaguman Ulama' Hijaz pada Syaikhona Kholil. Bukti otentik lebih detail, didapat dari angka yang tertulis dalam Perangko yang berisi 15-11-1899. Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Hindia-Belanda mengirim surat diplomatic ini pada Syaikhona Kholil pada 15 November 1899. Kesaksian dari Kiai Abdul Mu'thiy dan keberadaan guratan tulisan tangan tersebut semakin memperjelas posisi Syaikhona Kholil Bangkalan dalam perlawaqnannya terhadap Pemerintah Hindia-Belanda. Syaikhona Kholil sangat sadar bahwa perjuangan harus distrategikan dengan lebih matang melalui pendidikan, karya, dan pesantren. Syaikhona Kholil menegaskan bahwa cita-cita gurunya, Syaikh Nawawi al-Bantani harus dilanjutkan. Inspirasi kisah perjuangan Syaikh Nawawi Banten yang terpaksa “terusir” dari tanah Jawa harus diubah. Syaikhona Muhammad Kholil sadar bahwa paradigma strategi perjuangan materialisme-positivistik melalui ngokang bedil harus diubah. Strategi perjuangan harus dimulai dari paradigma idealisme-kontruktivistik. Paradigma idealisme-konstruktivistik dapat ditempuh melalui mimbar-mimbar musholla dan pendidikan. Paradigma idealisme-konstruktivistik ini pula telah diinspirasikan oleh Syaikh Nawawi Banten dalam periode keduanya kembali ke Makkah. Perjuangan Syaikhona Muhammad Kholil melalui jalur pendidikan dan pesantren adalah jalur sadar dan rasional. Pernyataan Profesor Abdul A'la kembali menemukan lokusnya. Tekad Syaikhinan mendidik para santrinya dapat digambarkan sebagai masterpiece sebuah karya. Hal tersebut selaras dengan pernyataan KH Afiduddin Muhajir “untuk mengetahui siapakah Syaikhona Kholil, cukup mengetahui siapa santri-santrinya beliau”. Masterpiece karya Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan adalah karya hidup para murid, karya hidup dalam diri para Pejuang Pahlawan. Jejaring Ulama Jejaring Islam di Nusantara Syaikhona Kholil menjadi muara jejaring ulama di Tanah Jawa dan Nusantara. Geneologi intelektual yang saling berhubung dan bersambung tersebut kemudian dibawa Syaikhona Kholil ke Nusantara dan melahirkan muara jejaring intelektual yang kelak menjadi kapital besar dalam pembangunan peradaban termasuk perlawanan kultural kaum santri. Banyak sejarawan mengungkapkan keberadaan Syaikhona Kholil sebagai puncak tujuan dari pengembangan ilmiah di Tanah Jawa. Catatan Snouck Hurgronje tentang temuannya mengenai ajaran ngetan dan masantren di kalangan masyarakat Sunda. Catatan yang sama disampaikan oleh seorang peneliti dari Jepang yaitu Hiroko Horikoshi saat melakukan penelitian di Garut pada 1972-1973. Dalam wawancaranya dengan sejumlah ulama di Garut selama masa penelitiannya, seorang peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, mengungkap, mereka mengingat-ingat kakek-neneknya dulu yang mengembara dan nyantri di sejumlah pesantren di Jatim dan di Madura abad 19. Hal serupa juga diungkap dalam catatan perjalanan Snouck Hurgronje di pesantren-pesantren di Priangan pada 1890-an. Disebut dalam catatan tersebut, banyak anak-anak santri Garut yang berguru ke pesantren-pesantren di Surabaya dan Madura. Simpul jejaring ulama dan santri Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan menyebar dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Beliaulah Mahaguru yang melahirkan alim ulama, cendekiawan, dan pahlawan nasional yang memberikan kontribusi yang luar biasa bagi kehiduan berbangsa dan bernegara. Bahkan jam'iyah NU itu didirikan atas rekomendasi Syaikhona Kholil untuk mengumpulkan jejaring dan membentuk organisasi sosial masyarakat terbesar di Indonesia. Manuskrip Syekh Yasin bin Isa al Fadani yang menyatakan Syaikhona Muhammad Kholil itu sebagai episentrum Ulama Nusantara bahkan dunia. Genealogi intelektual yang saling berhubung dan bersambung tersebut kemudian dibawa Syaikhona Kholil ke Nusantara dan melahirkan muara jejaring intelektual yang kelak menjadi kapital besar dalam pembangunan peradaban termasuk perlawanan kultural kaum santri. Hal ini membuktikan, visi nasionalisme Syaikhona Kholil dalam membangun komunitas berbayang dengan membentuk jejaring dan simpul Islam di Nusantara relevan dengan pemikiran Benedict Anderson. Yakni, tentang nasionalisme sebagai sebuah ikatan kolektivitas horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah entitas yang kuat dan utuh. Dalam hal membentuk jejaring dan simpul Islam Nusantara, Syaikhona Kholil memandang perlu untuk memiliki ikatan yang kuat dan berhubungan satu sama lain dalam jejaring Islam untuk menjunjung tinggi kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki. Itu ditunjukkan melalui pengikatan diri terhadap prinsip-prinsip politik, sentimen, emosi, dan perasaan. Pengikatan diri dalam hal ini adalah komitmen kepada agama dan bangsanya. Bila berbicara sentimen, emosi, dan perasaan, dalam jejaring Syaikhona Kholil, melampaui batas geografis dan teritorial yang ada, meliputi seluruh Jawa, bahkan Nusantara. Dengan ikatan komunitas yang terbentuk melampaui ruang dan waktu, tidak terpaku di mana seorang manusia berada, karena manusia tersebut akan senantiasa melekatkan dirinya dengan identitas bangsanya. Konsep imagined communities-pun akan terbentuk dengan sendirinya, tanpa batas seperti yang dikemukakan oleh Anderson: “Orang-orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup dalam suatu imajinasi tentang kesatuan bersama.” Masyarakat imajiner seperti ini akan rela mengorbankan jiwa dan raganya demi masyarakat imajiner bernama negara bangsa tersebut. Jaringan Ulama Nusantara yang diisisiasi oleh Syaikhona Kholil ini relevan dengan konsep Anderson dengan timbulnya identitas untuk membentuk kesadaran nasional yang memiliki pengaruh yang paling kuar dan bertahan lama dalam identitas kultural kolektif. Syaikhona Kholil merangkai suatu eksistensi komunitas yang diimajinasikan berdasarkan budaya yang sama dalam hal jejaring ulama dan santri dalam perjuangannya melalui jalur pendidikan Islam dan perlawanan fisik melawan kolonialisme di Indonesia. Menciptakan kembali sentimen keutuhan dan kesinambungan dengan masa lalu, dengan menstransendensi alienasi dan keretakan antara invividu dan masyarakat dalam dinamika bangsanya. (Bersambung). *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Jendral TNI (Purn) Gatot Memandu Etika Berpolitik

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Gini lho. Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua. Taruhlah itu hal biasa. Tetapi kalau saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu. Kemudian ketika jabatan Penglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), pasti presiden tahu. Apalagi presidennya waktu itu tentara, Pak SBY. Tidak sembarangan. Bahkan, saya dipanggil, dan bilang “kamu akan saya jadikan KSAD”. Laksanakan tugas dengan profesional. Beliau berpesan, “laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajuritmu dan keluarga dengan segenap hati dan pikiranmu”. Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden. Satu Pak Susilo Bambang Yudhoyono, satu lagi Pak Jokowi. “Terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya”? kata Gatot (Lihat Eramuslim, 9/3/2021). Alhamdulillah wasyukrillah. Hemat saya, menjadi dua kata tepat untuk diucapkan menyambut sikap timbangan etika Pak Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantiyo itu. Tepat, karena sikap itu terlampau langka di tengah kehidupan politik hari-hari ini. Sikap itu, untuk alasan apapun, harus dianggap “mutiara yang jatuh di tengah lumpur. Diangkat lagi dari lumpur, tetap saja terlihat mutiara”. Tak Mudah Menjaga Etika Saya tidak tahu berapa lama setiap habis Sholat Subuh, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo habiskan waktu hanya untuk lantunkan, tentu tanpa kata-kata lafadz “qul huwallahu ahad”. Saya juga tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Pak Gatot sehabis Sholat Magrib hanya untuk lantunkan “Ya Azizu” dan “Ya Haiyu ya Qaiyum”. Sekali lagi, saya tak tahu itu. Penjara dunia dalam “genggam kekuasaan” dengan cara kotor dan jijik rebut-merebut di lintasan yang kotor. Begitu kata para bijak, selalu indah seindah-indahnya untuk orang-orang berpakasitas rendah. Rendah dalam cita rasa etik, ahlak, harkat dan martabat. Tidak untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahaya tersembunyi dibalik indahnya dunia itu. Pengetahuan itu memang bukan pengetahuan puncak, tetapi tidak mungkin tak berada di sudut kehidupan yang tinggi. Tak mungkin tidak memerlukan usaha mendaki, sekedar untuk meraihnya dengan serba sedikit. Bukan kelelahan, tetapi nikmatnya, boleh jadi membuat pendaki tertawan merebahkan tubuh kasar dan halusnya setotal yang bisa. Apakah sikap Pak Gatot itu menandai dirinya sedang dipuncak itu? Aapakah sedang merebahkan tubuh kasar dan halusnya dalam nikmat itu? Jelas saya tak tahu. Pembaca FNN yang budiman. Sungguh tak mudah sikap yang diambil Pak Gatot. Tidak mudah untuk meremehkan hal-hal yang, oleh banyak orang-orang berkapasitas moral dan etik rendah, mati-matian memburunya. Sikap Pak Gatot itu, bukan hanya khas orang pintar. Tetapi juga khas orang-orang yang kepintarannya terbalut kalam pencipta alam semesta ini. Sekongkol menyakiti orang yang merendahkan mereka. Itu pekerjaan orang-orang yang kecil kapasitas moral dan etikanya. Pak Gatot, bagusnya tertuntun. Saya yakin, nikmat-nikmat kalam-Nya Pencipta alam semesta telah menarik jarak sejauh yang bisa dari tipuan dunia untuk memperoleh kekuasaan kecil nan rapuh itu. Subhanallah, Alhamdulillah. Budi luhur, itu hanya milik orang-orang yang berbudi. Titik, tidak lebih. Budi tidak mendekat, apalagi menjadi milik orang yang tak mengunakan sepertiga malamnya bercengkrama dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala. Budi bukan punya mereka yang terlalu enggan mengasah nafasnya dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala, suka atau tidak. Sikap dan tindak-tanduk itu cermin diri orang. Tampilan politik adalah cermin diri dan jiwa politisi. Semakin dalam politisi tenggelam dalam politik, semakin jelaslah politik praktis memburuk dalam semua seginya. Semakin suka politisi pada politik, semakin tebal sekat mereka dengan moral yang agung. Politik jenis itu akan buruk seburuk-buruknya di setiap detik hidup berbangsa dan bernegara. Sakitnya atau sialnya, politisi jenis ini tidak lagi memiliki kemampuan mengenalnya sebagai hal busuk. Semuanya ditimbang dengan moral politik ular. Bahkan binatang yang bernama ular, boleh jadi masih lebih baik. Itulah yang tak mampu untuk diti oleh Pak Gatot. Beralsan menajdikannya sebagian dari alasan apresiasi kepada Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo atas sikapnya menolak ajakan, yang saya sebut “iblis” untuk mencongkel Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Terima kasih Pak Gatot. Sikapmu bagai segelas air di tengah padang tandus, untuk seorang pengembara yang tertawan kehausan. Saya tak bilang ini satu teladan kecil di tengah mengeringnya teladan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini. Tetapi untuk beberapa hal, saya ingin melihat ini sebagai cahaya rembulan di tengah kegelapan gulita malam. Memberi arah ke mana harus melangkah agar tak terjatuh di lubang kecil yang mematahkan jemari. Itulah faedah kecil dari tampilan etika Pak Gatot. Tak menjadi apa-apa, justru telah menjadi apa-apa itu sendiri. Itu yang mesti dimengerti orang. Orang itu dikenang bukan karena posisi posisi politiknya, tetapi karena sikap politiknya. Sikap politik tidak selalu harus bertimbal-balik dengan jabatan formil dalam politik. Wahai politisi, sukailah hal-hal bagus. Ingatlah sebisa mungkin. Alam tak diciptakan secara serampangan. Alam dibuat indah, karena keindahan itu cermin hakikat. Cintailah keindahan, karena keindahan itu sahabatnya keihlasan. Dan keihlasan menjadi jalan terdekat menghindar dari kegundahan. Bawalah sejauh mungkin sikap-sikap politik dari cinta mati kepada kekuasaan. Selalulah berada jauh dari tabiat membebek, menghamba, dan menjadi budak kekuasaan. Tak usah mendekat pada kemunafikan. Tetapi teruslah untuk membimbing tingkah laku politik dengan timbangan-timbangan yang disabdakan oleh Pencipta alam semesta. Hebat Pak Syaf & Leimena Kejarlah daku, kau kudekap dengan seluruh pesonaku yang menipu. Begitulah tabit kekuasaan, yang dalam wajah empirisnya selalu menipu. Kenalilah itu, karena dia menuntunmu kesemua keindahan sepanjang masa. Itulah yang ditunjukan Pak Sjafrudin Prawiranegara. Itu pulalah yang disajikan oleh Pak Johanes Leimena, nyong Ambon manise ini. Boleh saja ilmuan hukum tata negara datang dengan argumentasi hukum melemahkan kehebatan Pak Sjaf yang, dengan sukarela mengembalikan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Karno. Toh Pak Sjaf memperoleh kekuasaan itu atas kuasa Bung Karno. Tetapi tidak untuk Pak Sjaf, yang Pak J. Riberu sematkan padanya sebagai manusia “etis” ini. Manusia etis, tahu kebesaran etika. Itulah Pak Sjaf. Kekuasaan yang ada padanya diperoleh melalui kuasa lisan Bung Karno,Presiden tampan dan energik ini. Pak Syaf segera serahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karno setibanya di Yogya. Tak ada semenitpun Pak Sjaf mencari alasan politik untuk mempertahankan kekuasaan itu. Subhanallaah, Pak Syaf, semoga Allaah Subhaanahu Wata’ala menempatkanmu di syurga-Nya. Boleh saja orang tata negara menyatakan sikap itu harus diambil Pak Sjaf, oleh karena kekuasaan itu ada padanya atas kuasa Bung karno. Tetapi sejujurnya saya suka dengan penegasan Pak J. Riberu. Manusia “etis” itulah sebutan Pak Riberu untuk Pak Sjaf. Dalam esainya tentang Pak Sjaf, Pak Riberu mengutip “hebat sekali” salah satu ayat Al-qur’an. Ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam esai Pak Riberu adalah ayat 104 Surat Al-Imran. Hendaknya diantara kamu ada satu golongan yuan mengajak berbuat benar, serta mencegah berbuat salah”. Tulis Pak Riberu selanjutnya “ia merasa berkewajiban mengajak orang lain berbuat benar, dan mencegah berbuat salah”. Hormat saya yang tak terbatas untuk Pak Riberu. Argumentasi hukum dan gurihnya kekuasaan, cukup jelas tak mampu menipu Pak Sjaf. Benteng etiknya terlalu tangguh dan tebal untuk dapat dijebol oleh gurihnya kekuasaan. Hormat untuk Pak Sjaf atas pelajaran etika ini. Semoga almarhum bahagia di alam sana dengan Rahim Allah Subhanahu Wata’ala. Terima kasih Pak Sjaf untuk teladan yang telah diwariskan. Apalagi hari-hari ini terlihat terlalu berat untuk dicontohi politisi-politisi kacangan dan picisan yang terkenal jorok, licik dan primitif di panggung kekuasaan. Tak berusaha memperpanjang, apalagi berusaha mempertaankan kekuasaannya. Pak Syaf terlalu top untuk ukuran demokrasi dimanapun. Terbimbing dengan balutan etika, kekuasaan ditangannya diserahkan kepada Bung karno, ayahanda tercinta Ibu Mega dan Ibu Rahma, untuk menyebut dua saja di antara beberapa anak-anaknya. Apakah teladan yang diwariskan oleh Pak Syaf ini bisa diikuti oleh Pak Jokowi? Entahlah. Mungkin Pak SBY harus lebih kencang lagi menyerukan Pak Jokowi menggunakan etika dalam merespon kemelut kecil Partai Demokrat. Untuk alasan apapun, Pak Jokowi memang harus menyegarkan akal, fikiran dan rasa etiknya bahwa Pak Moeldoko itu berkantor di lingkungan kantor kepresidenan, sekaligus anak buah Presiden Jokowi. Derajat dengan etika, yang kearifan berinduk padanya, yang mengalir deras dari Pak Sjaf, jelas merupakan nutrisi tak tertandingi dalam membuat demokrasi memiliki makna untuk diagungkan. Itu juga yang ditunjukan Om Jo, begitu orang-orang Maluku memanggil Pak Johanes Leimena, untuk teladannya yang hebat pada sisi waktu yang berbeda. Johanes Leimone memegang kekuasaan pemerintahan setiap kali Bung Karno keluar negeri, dan segera mengembalikannya kepada Bung Karno setibanya di tanah air, itulah etika moral yang tinggi dari Om Jo. Hebat sekali Om Jo. Terbimbing begitu kuat oleh rasa etik, dan budi nan mulia. Begitu beretika politik Om Jo. Itu nutrisi sebenarnya yang menyehatkan demokrasi. Demokrasi, yang Aristoteles kenali sebagai barang busuk. Tetapi telah dikenali keunggulannya oleh kapitalis tua dan oligarki kecil maupun besar, juga korporasi. Sehingga membentuk korporatokrasi ini, selalu bisa dan produktif menciptakan etika khasnya. Etika khasnya selalu bisa membuat demokrasi menerima aksi tipu-tipu, menindas orang lemah, kecil dan miskin sebagai kegagalan kecil saja. Alhamdulillah di tengah kelangkaan, kekeringan dan kegersangan manusia yang mau belajar etika politik, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmatiyo hadir untuk membimbing, memandu, menghidupkan dan mengukir tingkah laku demokrasi yang berkalas dan mengagumkan. Terima kasih Pak Gatot, anda telahhadirkan pelajaran kecil yang terlalu mahal untuk politisi kebanyakan ini. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

KLB Demokrat Dan Derita Demokrasi

by Tamsil Linrung Jakarta FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) cukup mencengankan. Terendusnya rencana mengudeta PD tak juga mampu mengoyak rasa malu penyelenggara. Banyak yang menghujat. Namun tidak sedikit juga yang mengecam. Tetapi ujung dari rencana itu tetap membuahkan Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, Sumatera Utara. Yang lebih mencengankan, tokoh utamanya adalah pejabat negara yang juga elit istana. Moeldoko, kita tahu, menjabat Kepala Staf Presiden (KSP), yang mengomandoi seluruh tenaga profesional di Kantor Staf Presiden. Kantor ini adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. Sejak awal, Presiden Joko Widodo bukannya tidak tahu perihal kudeta tersebut. Juga bukan tidak paham keterlibatan anak buahnya. Jauh sebelumnya, rencana kudeta Partai Demokrat telah disampaikan Ketua Umum PD Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melalui surat. Bukannya menanggapi, Presiden Jokowi malah membisu, dengan alasan itu urusan internal PD. Padahal, Jokowi punya beban moral mengklarifikasi. Sebab, sejumlah elit PD telah mengatakan ada kader yang mendengar lontaran kalimat KLB direstui oleh presiden. Barangkali saja nama presiden dicatut. Tetapi itu tak mengurangi beban moral tersebut. Beberapa menteri disebut-sebut ikut merestui pula KLB, termasuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD. Mahfud telah mengklarifikasi. Mengapa Presiden cuek? Menjadi sulit untuk menepis berkembangnya aneka dugaan. Termasuk dugaan sejumlah pihak bahwa Istana merestui gerakan KLB PD ini dengan cara melakukan pembiaran. Fakta yang mendukung dan tidak dapat diingkari adalah keterlibatan salah satu elit istana secara intens dalam kasus KLB PD. Tudingan miring itu kian mendapat pembenaran ketika aparat keamanan seolah kehilangan dalil untuk menindak kegiatan ilegal yang tidak berizin tersebut. Terlebih, kegiatan di Sumut itu memunculkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19, yang dalam beberapa kasus sebelumnya, ditindak dengan sangat tegas. Bahkan penahanan segala. Moral Politik Di kalangan elit politik, rencana kudeta PD agaknya telah meluas sebelum isu ini menjadi konsumsi publik. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengaku sempat diajak terlibat penggulingan itu. Tetapi Gatot menolak dengan pertimbangan moralitas, etika, dan jasa Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Terima kasih Jendral Gatot. Anda mengenal budi. Sementara Moeldoko agaknya hanya mengenal Jokowie. Tidak mengenal budi," usai seorang jurnalis mewawancarai Gatot. Cuitan menohok ini sepertinya didorong rasa kesal melihat perjalanan isu kudeta hingga KLB di Sumut. KLB Sumut memang menjadi preseden buruk yang merusak nalar sehat demokrasi kita. KLB tanpa dihadiri pemilik suara. Tidak hanya kering legalitas, tetapi juga miskin etika. Bagaimana mungkin kumpul-kumpul beberapa mantan pengurus PD lalu membuat KLB atas nama PD, lalu mengesahkan Moeldoko yang nyata-nyata tidak memiliki sejarah dengan PD? Ini bukan tentang PD saja. Ini tentang demokrasi yang susah payah kita bangun bersama. KLB Sumut bukan hanya membunuh masa depan PD. Tetapi juga menebas masa depan demokrasi kita. Kita tahu, partai politik adalah tiang utama penyangga demokrasi. Maka perlakuan di luar batas terhadap PD menjadi urusan semua akal sehat yang merasa kemerdekaan demokrasi terancam. Tentu kita tidak ingin wajah demokrasi Indonesia menjadi barbar. Demokrasi harus mengedepankan nilai-nilai moral politik, etika dan hukum. Itulah demokrasi Pancasila. Demokrasi salah satunya dibangun atas ketundukan kita bersama kepada hukum. Secara hukum, PD memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang telah disahkan oleh negara melalui Kemenkumhan. Negara tentu tidak sekadar mengakui keberadaan partai, tetapi juga mendukung dan melindunginya agar berkembang dengan sehat sebagai piranti demokrasi. Pembiaran negara berpotensi memunculkan kegelisahan dan kegoncangan. Pimpinan partai politik lain tentu saja tidak akan pernah merasa aman. Sebab hal yang sama bisa saja terjadi pada mereka suatu saat nanti. Indikasinya mulai terlihat. Tiada angin tiada hujan. Namun Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan membuat surat terbuka kepada seluruh kader PAN untuk saling rangkul, saling bimbing, dan mempererat kebersamaan. Sementara Ketua Umum Partai Nasdem juga tetiba menyuarakan hal senada. Independensi Kemenkumhan Kini, bola panas kembali lagi kepada pemerintah, menyusul pendaftaran PD versi KLB Deli Serdang Sumut ke Kemenkumhan. Kita berharap Menkumham Yasonna Laoly dapat menjaga independensi dan integritasnya untuk menilai secara jernih pelaksanaan KLB Sumut. Netralitas pemerintahan Presiden Jokoie diuji dalam kasus PD ini. Sejarah tidak akan pernah luput dalam mencatat. Kita berharap pemerintah menjauh dari kepentingan politik. Paradigma hukum yang berkeadilan adalah satu-satunya solusi mengurai persoalan. Konflik organisasi tidak begitu rumit bila diselesaikan dengan kacamata hukum. Sebab hukum dapat dengan mudah mendeteksi antara yang legal dan yang ilegal. Meski demikian, untuk organisasi politik sekelas partai politik, faktanya seringkali tidak sesederhana itu. Modal hukum acapkali tidak cukup untuk mempertegas legalitas partai. Karena itu, rencana AHY menyambangi Kemenkumhan untuk menyerahkan surat penolakan terhadap penyelenggaraan KLB, cukup taktis dan strategis. Penyerahaan berkas adalah hal biasa. Yang istimewa adalah membawa 34 DPD seluruh Indonesia saat penyerahan berkas itu. Ini sebuah penegasan tentang legitimasi. Bila melihat reaksi pengurus daerah, agaknya kepemimpinan AHY masih cukup kuat. Menjadi lebih kuat lagi bila AHY melakukan konsolidasi melalui zoom. Membuat pernyataan sikap bersama seluruh pemilik suara PD, baik DPD maupun DPC secara terbuka, dan disaksikan masyarakat luas. Itu penting, karena menurut Deputi Bappilu DPP PD Kamhar Lakumani, saat ini kelompok KLB Sumut sedang menghubungi dan menekan para Ketua DPD dan Ketua DPC agar balik badan mendukung KLB Sumut. Mereka mengklaim akan mendapatkan pengesahan dari Kemenkumhan. Pada akhirnya, semua tergantung presiden. Seperti diungkap Hendri Satrio, SK Kemenkumhan kemungkinan tidak akan turun jika Moeldoko tidak direstui Presiden. Artinya, jika direstui, kemugkinan sebaliknya tentu dapat berlaku. Maka kita tak henti bertanya-tanya tentang sikap diam presiden di sepanjang perjalananan kasus ini. Keterlibatan langsung elit istana dan diamnya Presiden Joko Widodo dapat memantik praduga awal tentang ketidaknetralan pemerintah. Bila ini betul, maka PD bisa saja dikerangkeng dalam konflik yang berkepanjangan melalui dualisme kepemimpinan. Akibatnya, PD akan kehilangan fokus, kehilangan pemilih, dan kehilangan kesempatan mengikuti pemilu yang akan datang. Siapa yang diuntungkan? Jawabannya barangkali terbayang dalam benak masing-masing. Siapa yang dirugikan? Tentu saja kita semua, anak bangsa yang mencinta demokrasi. Penulis adalah Senator DPD RI.

Politik Devide Et Impera

by Naniek S. Deyang Madiun FNN – Partai Hanura pecah. Partai Amanat Nasional (PAN) juga dipisahkan dari pendirinya Pak Amien Rais. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terbelah. Beberapa kader utamanya keluar, lalu membentuk Partai Gelora. Sementara Partai Berkarya diambil dari Mas Tomy Suharto, dan sekarang Demokrat dihostile take over dengan terang-terangan. Cerita sebelumnya Golkar juga terambang pecah. Dimana para tokoh di dalamnya membuat partai masing-masing. Prabowo Subianto membuat Partai Gerindra, Wiranto membuat Hanura, dan Surya Paloh membuat Partai Nasdem. Pecah jadi empat. Jangan lupa Partai Gerindra meski ditangan Prabowo juga sempat digoyang hebat oleh orang dekat Prabowo. Demikian juga dengan Partai Nasdem, hampir oleng saat Harry Tanoesoedibjomasih di dalam. PPP juga sama. Entah berapa kali terus terpecah. Dari partai besar, hingga mengerdil dan pengurusnya terus diguncang isu. Terakhir masih terbelah lagi kepengurusannya. Kemudian PKB juga pecah. Dari keluarga Gus Dur sebagai pendiri, terambil oleh Cak Imin Cs. Polemik rebutan PKB sejak jaman Presiden Megawati sampai Presiden SBY. Sebelumnya lagi, di jaman Pak Harto yang paling fenomenal adalah PDI. Kemudian berbelah menjadi PDI dan PDIP. PDI lama dipimpin oleh Suryadi dan PDIP dipimpin oleh Megawati. PBB, dan partai-partai lain juga terus membelah, hingga seringkali terpisah dari pendirinya. Bicara rebutan partai, atau terpecahnya partai, sebetulnya bukan sekarang saja terjadi. Dari jaman dulu juga terjadi. Mengapa? Saya pernah mendengar dulu dari para mahaguru intelejen, saat saya mulai menjadi wartawan politik, bahwa di Indonesia sejak awal merdeka, tidak pernah diikhlaskan oleh negara-negara besar termasuk eks penjajah. Untuk mengerdilkan Bangsa dan Negara Indonesia itu, hanya dengan cara devide it empera. Intinya tidak boleh ada kekuatan utuh, baik kekuatan dalam bidang agama atau partai politik. Tidak boleh ada partai politik punya kekuatan di atas 20 persen. Jadi, harus diobrak-abrik supaya banyak partai. Karena hanya agama dan partai politiklah yang bisa menggerakkan rakyat. Rakyat Indonesia yang mayoritas tidak punya karakter yang kuat, seperti mudah diadu domba. Senang hidup borju dan pamer. Suka menjilat dan gampang disogok. Tidak malu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Benar-benar menjadi "alat ampuh" untuk terus membelah rakyat Indonesia, dengan menggunakan oknum rakyat. Sebut saja para komprador (combe penjual negeri). Rakyat Indonesia tidak boleh bersatu. Kalau bersatu akan sangat kuat dan mengancam negara mana pun. Karena akan menjadi negara berpenduduk Islam terkuat, dan dengan alam yang luar biasa kaya. Kalau rakyatnya kelewat kuat, tentu sangat sulit bagi kaum kapitalis global untuk terus menjajah Indonesia. Terus mengeksploitasi SDA dan juga market (pasar Indonesia). Saat di jaman Orde baru (Orba), Pak Harto sepertinya memahami teori konspirasi global untuk terus mengangkangi negeri ini. Makanya selama 30 tahun memimpin, Pak Harto berusaha hanya ada tiga Partai Politik saja. Namun kekuatan tiga partai ini juga terus digerilya, hingga PDI misalnya, pecah menjadi dua. Demikian juga dengan PPP. Yang agak tangguh hanya Partai Golkar, karena dikendalikan langsung oleh pak Harto. Kelompok Islam juga hanya dua, NU dan Muhamadiyah. Meski terus dibentur-benturkan, misalnya lewat kesepakatan Hari Raya atau mulai puasa yang nggak pernah sama antara NU dan Muhamadihah, namun Pak Harto sangat cerdik. Tidak boleh masing-masing golongan itu membuat partai. Maka jadilah partai orang Islam itu ya hanya satu, yaitu PPP saja. Pak Harto yang dinilai mengganggu konspirasi global untuk mencekram Indonesia, akhirnya melalui orang-orang Indonesia sendiri dilengserkan. Setelah Pak Harto lengser, kekuatan global asing makin leluasa mengaduk-aduk Indonesia. Maka partai politik pun lahir bak jamur di musim hujan. Pernah ratusan partai bermunculan. Tak yanya itu organisasi Islam juga bermunculan. Dalam posisi rakyat makin banyak dalam kelompok-kelompok, maka aksi devide et impera mudah untuk dijalankan. Apalagi rakyat terus dibelah seperti saat ini, maka kapitalis global makin berpesta pora mengeduk kekayaan alam. Bukan tidak mungkin pada saatnya nama Indonesia tinggal kenangan. Siapa yang membantu konspirasi kapitalis global ini mengacak-acak politik di Indonesia? Supaya tetap bisa menjajah Indonesia sekarang? Dengan terus-menerus menyudutkan Islam?.Mereka adalah para komprador! Maaf, mereka bajingan penjual NKRI ini menyusup di semua lini. Mereka ini sekumpulan binatang berwujud manusia yang melihat dunia tanpa batas yang disebut negara. Mereka serigala berbulu domba. Mereka bisa berwujud pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka juga pengusaha, artis, tokoh, pemimpin agama, LSM, Wartawan dan lain-lain. Penulis adalah Wartawan Senior.

Baranikah SBY Geruduk Istana?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Ungkapan Ketua Bappilu dan OKK Partai Demokrat Andi Arief bahwa terhadap gerakan kudeta Moeldoko lewat Kongres Luar Biasa (KLB) abal-abal, Partai Demokrat SBY akan geruduk Istana. Meski Istana mengeles tak terlibat, namun status Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sulit untuk mempercayai bahwa gerakan Moeldoko tanpa sepengetahuan Presiden atau Istana. SBY menyerukan "lawan" atau mengumandangkan deklarasi perang atas invasi Jenderal Moeldoko ke Markas Partai Demokrat. Jika SBY atau AHY konsisten dan berani, maka pertarungan bakalan menjadi seru. Sebagaimana KLB sendiri yang merupakan aksi politik, maka selayaknya dilakukan perlawanan secara politik. Mengapa bukan hukum? Ada tiga alasan. Pertama, Moeldoko and his gang bukan tak faham bahwa KLB itu melanggar hukum dan tak sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat. Sangat tahu tentunya. Kemungkinan terjadi gugatan hukum juga sudah diperhitungkan. Tapi proses hukum diyakini akan dimenangkan oleh intervensi kekuasaan. Rekayasa bertingkat. Kedua, proses hukum adalah jalan panjang yang masuk area "buying time" yang menguntungkan Moeldoko. Di tengah proses yang bertele-tele, pengesahan cepat hasil KLB oleh Kemenkumham menyebabkan Moeldoko bebas bergerak. Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly berasal dari PDIP, lawan politik SBY dan Demokrat. Ketiga, proses hukum hanya menciptakan dualisme kepengurusan in concreto. Partai Demokrat pimpinan Moeldoko akan melakukan konsolidasi intensif ke bawah untuk memecah. Tentu dengan bantuan bapak Dana yang sejak awal sudah bersiap-siap untuk menerkam. Menghadapi gerakan turun ke bawah Moeldoko itu, tidak ada pilihan lain yang tersedia untuk SBY dan AHY. Dua tokoh penting di Partai Demokrat ini harus melakukan gerakan perlawanan politik. Perang terbuka. Disamping geruduk Istana dengan tekanan pecat Moeldoko dan keluar pernyataan Presiden bahwa KLB tidak sah. Harus juga melakukan langkah lain. Pertama, memperluas isu dari semata masalah kudeta Partai Demokrat, ke arah pidana kerumunan di masa pandemi, rezim otoritarian, serta pelanggaran Konstitusi. Presiden Jokowi yang dengan sengaja mendiamkan aksi KLB Deli Serang, dengan arsitek Moeldoko adalah perbuatan tercela Presiden yang menjadi alasan bagi pemberhentian. Kedua, melakukan konsolidasi politik besar-besaran terhadap seluruh jajaran pengurus dan kader agar bersiap bersama melakukan perlawanan terhadap upaya eksternal yang mengacak-acak Partai. Langkah itu untuk membuktikan bahwa pengaruh SBY masih kuat terhadap kader dan soliditas Partai hingga ke struktur yang paling bawah. Ketiga, munculkan sikap kritis dan panas anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat di Parlemen dengan usul penggunaan Hak Interpelasi, atau bila perlu Hak Angket berkaitan dengan dugaan keterlibatan Presiden dalam aksi politik brutal KLB Deli Serdang. Keempat, jajaran Partai Demokrat di kendali SBY dan AHY harus mulai menyadari dan peduli akan nasib elemen lain yang menjadi korban kezaliman rezim. Keluar dan turut berteriak soal penahanan aktivis KAMI, pembelaan pada HRS, serta membantu menekan agar terkuak kasus pelanggaran HAM pembunuhan enam anggota Laskar FPI dan pelanggaran HAM lainnya. Kelima, Partai Demokrat lebih vokal mengkritisi kemerosotan ekonomi negeri, termasuk hutang luar negeri dan carut- marut penanganan pandemi Covid 19. Mengadvokasi korban dan lembaga kesehatan yang terdampak akibat penanganan pandemi yang kurang baik. Partai Demokrat jangan menjadi Partai yang terkesan "cari selamat", sehingga menjadi ragu dalam memperjuangkan aspirasi rakyat yang dirasakan beban, dan kondisinya semakin berat. Buktikan bahwa terhadap gerakan ilegal KLB Moeldoko, memang Partai Demokrat benar-benar melakukan perlawanan. Rakyat akan selalu bersama partai pejuang kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Sebaliknya, ketika terjadi pembiaran atas nasib yang menimpa satu partai politik, maka mungkin sebenarnya partai politik itu memang selama ini tidak pernah bersama rakyat. Sibuk dan ramai dengan urusan dirinya sendiri saja. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Euforia Demokrasi di Tengah Distorsi Moral Bangsa

by Pramuhita Aditya Jakarta FNN - Sejak bergulirnya reformasi, harapan kita adalah mewujudkan demokrasi dengan seutuhnya secara konsisten dan konsekuen. Harapan ini termanifestasi dalam lima tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Namun hingga saat ini harapan itu masih jauh dari apa yang diperjuangkan oleh para mahasiswa kala reformasi 1998 dulu. Kita berada pada tahap dilema distorsi moral bangsa yang sangat dalam. Pasca reformasi memang kita disibukkan dengan berbagai penataan sistem ketatanegaraan, dan membangun perbaikan kembali dalam beberapa lembaga kenegaraan. Kenyataan ini sebagai bentuk konsolidasi demokrasi kembali menuju alam demokrasi seutuhnya. Namun apa yang dirasakan setelah masa-masa redemokrasi tersebut berlangsung hingga lima priodesasi presiden ini masih jauh dari cita-cita. Padahal reformasi yang digaung-gaungkan menjadi jargon demokrasi dahulu. Sungguh ironis jika hampir 23 tahun agenda pembangunan kembali Indonesia belum juga memberikan hasil yang signifikan. Konflik internal antar kelompok sosial serta masyarakat dengan negara tak kunjung selesai. Padahal konsolidasi demokrasi sudah dilakukan sejak lama. Tulisan Yudi Latif di Media Indonesia (21/01/2019), “Jalan panjang proses menjadi negara-bangsa Indonesia harus kita pahami dan hayati secara mendalam, manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda-tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang menekankan semangat gotong-royong, ada tendensi melihat perbedaan dalam kerangka pembelahan politik. Bukan dalam kerangka saling menghargai dan kerja sama”. Lihat saja pada suksesi politik, baik daerah maupun secara nasional. Masyarakat terbelah dengan sakala besar. Media sosial dipenuhi dengan bergam komentar yang saling menyudutkan, bahkan sampai ke tingkat fitanh. Ingat loh bahwa kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila, dengan sila ketiganya Persatuan Indonesia. Tulisan Ariel Heryanto pada media Kompas (06/03/2021), “Setahun terakhir sopan santun pengguna media sosial Indonesia paling terparah di dunia”. Hal ini diperoleh dari hasil riset Microsoft seminggu yang lalu. Dalam tulisan analisis budaya ini, Ariel menulis “memprihatinkan, tapi tidak mengejutkan jika ingat jumlah laporan polisi dan kasus hukum beberapa tahun belakangan”. Keadaan ini bukan mustahil memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Ibarat terpelihara, kebencian dan kemarahan akan menjadi distorsi moral kepada bangsa dan negara Indonesia. Kebiasaan ini akan terjadi regenerasi. Bagaimana kelak generasi penerus bangsa dan negara kita di kemudian hari? Jika perbedaan pandangan itu merupakan sunatullah, maka perbedaan itulah dijadikan potensi dalam membangun keragaman untuk mencapai Indonesia yang merdeka seutuhnya. Bukan malah sebaliknya, dijadikan musuh atau diberhanguskan begitu saja. Lain halnya kalau dengan ideologi yang menjadi parasit dalam tubuh NKRI. Memudarnya moral kebangsaan ini bukan tanpa sebab. Fenomena ini jika ditarik jauh ke belakang, maka kita dapati euforia demokrasi yang berlebihan. Akibatnya, terbengkalainya agenda-agenda penting regenerasi kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Selanjutnya menurut Yudi Latif, Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-spiritual (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah itu telah melenceng dari imperatif moral Pancasila. Lain halnya dengan pra kemerdekaan. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para pemimpin-pemimpin bangsa sudah mempersiapkan diri dengan konsep-konsep yang brilian menuju Indonesia merdeka. Hal ini diperhitungkan secara matang dan tersistematis. Sekalipun banyak perbedaan pandangan diantara para founding father, sehingga konflik-konflik diantara mereka tidak dapat dihindari, namun konsolidasi perjuangan tetap dilakukan untuk menggapai Indonesia merdeka. Kita dapat menyaksikan bagaimana Sarekat Dagang Islam (SDI) yang menjadi Sarekat Islam (SI), Muhammadiah, Nahdatul Ulama, Al-Irsyad, Persis dan organisasi-organisasi keagamaan lainnya berpadu, berlomba-lomba dengan organisasi nasionalis seperti Budi Utomo hingga Taman Siswo yang menjadi cikal-bakal bangsa Indonesia terlahir hingga merdeka dan membentuk negara hari ini. Pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berjiwa besar. Bahkan mereka rela berkorban tanpa imbalan. Hanya berharap ridho Tuhan Yang Maha Esa. Lain halnya dengan era demokrasi Indonesia saat ini. Gontok-gontokan merebut kekuasaan atas nama rakyat. Alhasil terbangunn kelompok masyarakat yang pro dan kontra menghiasi dunia lingkungan masyarakat dan media sisial. Kondisi sosial masyarakat saat ini harus ditangani, dan diselesaikan secara baik dan benar. Keadaan ini sudah diibaratkan api dalam sekam. Jika dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan keadaan lebih menjadi buruk dan bertambah parah. Tentu itu kondisi yang tidak kita harapkan. Gambaran fenomena saat ini memberikan isyarat, supaya pembenahan kembali serta menyusun agenda konsolidasi demokrasi. Tujuannya untuk memperkuat tatanan kebangsaan, dan kenegaran demi menciptakan persatuan dan kesatuan menuju Indonesia emas 2045. Penulis adalah Kandidat Ketum PB HMI 2021-2023.

Permainan Kasar & Primitif Moeldoko

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara (Sumut) disebut-sebut sebagai kongres yang abal-abal karena sudah dipastikan melabrak Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat. Tetapi peduli apa, karena ini bukan misi kader untuk memperbaiki citra Partai Demokrat. Melainkan ada misi lain yang lebih besar. KLB Partai Demokrat Jum’at (05/06/2021) lalu, di Kabupaten Deli Serdang tersebut, misinya hanya untuk mengacak-acak partai. Selain itu, mengambilalih kepemimpinan Partai Demokrat secara paksa. Dimulai dengan pembelahan dua kepengurusan. Ujungnya adalah keluarnya SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang mengesahkan kepengurusan KLB. Rakyat sudah dapat membaca dengan mudah kalau langkah ini adalah permainan kasar Moeldoko yang menjadi kepanjangan tangan kekuasaan. Bukan hanya kepentingan pribadi semata. Moeldoko adalah Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang bermukim di Istana. Muncul pernyataan bahwa Polisi tidak mengizinkan, tetapi tidak membubarkan. Masalah internal katanya. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sang Ketum yang diruntuhkan mengancam untuk melawan. Sementara Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) minta Menkumham agar tidak mengesahkan hasil KLB. Ketua Bidang bapilu serta Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) DPP Partai Demokrat, Andi Arief berkoar kalau bakal Istana digeruduk. Tentu semua akan melihat bukti-bukti nyata untuk membuat Istana gentar. Jika tidak, ya nasib bakalan berbicara lain. Menkumham kemungkinan saja bakal mengesahkan hasil KLB di Deli Serdang. Artinya, matilah SBY dan AHY. Demokrat abal-abal berubah menjadi Demokrat baru di bawah genggaman Istana, koalisi hasil kooptasi atau aneksasi. Persetan dengan demokrasi, katanya. Demokrasi akhirnya dipersetankan dan diplesetkan menjadi democrazy. Kekuasaan orang-orang gila. Gila kekuasaan dan gila kejumawaan. Dalam era transaksional, menjadi gila kekayaan juga. Aapakah itu memalukan? Sudah terlalu banyak kasus hingga kebal dengan peristiwa memalukan atau memilukan. Yang penting tujuan dapat tercapai, dan rakyat aman aman atau diam-diam saja. Sebenarnya sinyal gerakan kudeta sudah tercium beberapa waktu lalu. Sinyal tersebut sudah menjadi pembahasan publik. Akan tetapi AHY dan SBY tak nampu menahan gerakan hingga terlaksana KLB di Deli Serdang. Gerakan gaya Orde Baru dijalankan oleh rezim berbau Orde Lama. Membuldoser reformasi yang goyah dan hampir mati di serang pandemi. Virus politik suka-suka. Permainan kasar atau radikalisme Moeldoko untuk satu tahap telah berhasil membuat pembelahan nyata-nyata terjadi di Partai Demokrat. SBY tengah mengurut dada sambil berdendang "sakitnya tuh disini". Sementara itu, mungkin Jokowi menyanyi "kau yang mulai, kau yang mengakhiri". Lalu Moeldoko menimpali dengan lagu Queen "we are the champions" walaupun mungkin lirik pendek "we can be heroes, just for one day" David Bowie. Akhirnya permainan kasar Moeldoko tidak akan mendapat peluit pelanggaran dari wasit. Karena wasit mengatakan permainan itu adalah Aku. Aku ada di dalamnya. Aku wasit bersama dengan Moeldoko. Jangan tanggung kalau mau melawan Moeldoko. Karena yang dilawan adalah wasit yang merangkap sebagai pemain utama dan pemain cadangan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ring Tinju Moelkowi VS Beyehaye

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah penantang Moelkowi dengan cara tidak etis berhasil didaulat menjadi penantang juara betahan Beyehaye untuk kelas nggak berat-berat’s amat, maka pertarungan kini disiapkan oleh petinju kedua kubu. Kubu Moelkowi berlatih keras di “Sasana Merdeka". Sedangkan Beyehaye berlatih di “Sasana Chike AS". Saat timbang badan, kedua petinju adu mulut. Untung saja keduanya pakai masker, jadi agak aman-aman saja. Nggak bau-bau amat. Moelkowi bercelana merah sesumbar dengan suara keras akan menjatuhkan Beyehaye di ronde ketiga. Sementara Beyehaye yang bercelana biru meyakinkan bisa menjatuhkan di ronde keempat. Mengukur kekuatan diri, minimal TKO, katanya. Pertarungan akan dilaksanakan besok di Mahkamah Square Garden. Di tengah persiapan pertarungan tersebut, para cukong petaruh mulai berhitung dan menyiapkan dana taruhan. Petaruh yang ingin memenangkan Moelkowi jauh lebih siap dana, maklum mereka adalah para Taipan. Beyehaye harus kalah. Apapun caranya dan berapapun biayanya. Pikiran curang memenuhi fikiran. Juri lalu diamat-amati keadaan kehidupan pribadinya. Dicari-cari sana-sini kelemahan dan aibnya. Lalu disiapkan pendekatan-pendekatan yang pas dan jitu. Cukong petaruh Moelkowi intens dan teliti hingga yakin dua dari tiga juri telah seratus persen dipegang. Yang ketiga pun masih digarap hingga waktu pertandingan nanti. Berapapun dana yang dibutuhkan, siap untuk dibayarkan. Juri dan wasit memihak adalah jaminan kesuksesan. Beyehaye berlatih serius menajamkan jab-jab, hook kiri kanan, upper cut, dan straight untuk melakukan serangan. Target Knock Out atau minimal TKO. Sementara Moelkowi disamping menajamkan pukulan serangan, juga memperkuat pertahanan weaving, elbow block, slipping, ducking atau rope a dope. Yang penting jangan KO atau TKO, dengan bertahan hingga akhir ronde, dijamin unggul angka. Juri adalah penentu dan itu telah diamankan Moelkowi. Kemungkinan Moelkowi akan keluar menjadi pemenang. Beyehaye harus menyerahkan sabuk kejuaraan. Sangat terasa sakit hati jika dibegal oleh perampok kawakan dan pembunuh bayaran yang bertopeng wasit dan juri pertarungan. Strategi Moelkowi yang dirancang adalah memancing emosi Beyehaye agar hilang konsentrasi dan memukul tanpa kendali. Bila habis enerji, maka kelak mudah untuk didikte. Diprediksi Tim Beyehaye akan melempar handuk. Wasit pun dipastikan memihak pada Moelkowi yang didukung cukong petaruh dengan finansial tak terbatas. Wasit dan juri adalah manusia. Ada takut ada pula butuh duit. Ring tinju akan menjadi saksi dari pertarungan yang memang tidak adil dan tidak jujur. Pertaurangn yang penuh dengan intik, kelicikan dan kecurangan. Kemenangan yang sudah direncankan dengan kecurangan. Seperti pemilihan presiden yang baru berlalu. Keangkuhan melawan keterpurukan. Keputusasaan yang ditekan oleh kekuasaan. Kejahatan dari rekayasa permainan yang membuang rasa malu atau dosa. Ring politik Moelkowi yang menghalalkan segala cara. Ia adalah cold blooded killer. Penulis Pemerhati Politik dan Kebangsaan.