Jendral TNI (Purn) Gatot Memandu Etika Berpolitik

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum

Ternate FNN - Gini lho. Saya ini bisa naik bintang satu, bintang dua. Taruhlah itu hal biasa. Tetapi kalau saya naik bintang tiga, itu presiden pasti tahu. Kemudian ketika jabatan Penglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), pasti presiden tahu. Apalagi presidennya waktu itu tentara, Pak SBY. Tidak sembarangan. Bahkan, saya dipanggil, dan bilang “kamu akan saya jadikan KSAD”.

Laksanakan tugas dengan profesional. Beliau berpesan, “laksanakan tugas dengan profesional, cintai prajuritmu dan keluarga dengan segenap hati dan pikiranmu”. Apakah iya, saya dibesarkan oleh dua presiden. Satu Pak Susilo Bambang Yudhoyono, satu lagi Pak Jokowi. “Terus saya membalasnya dengan mencongkel anaknya”? kata Gatot (Lihat Eramuslim, 9/3/2021).

Alhamdulillah wasyukrillah. Hemat saya, menjadi dua kata tepat untuk diucapkan menyambut sikap timbangan etika Pak Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantiyo itu. Tepat, karena sikap itu terlampau langka di tengah kehidupan politik hari-hari ini. Sikap itu, untuk alasan apapun, harus dianggap “mutiara yang jatuh di tengah lumpur. Diangkat lagi dari lumpur, tetap saja terlihat mutiara”.

Tak Mudah Menjaga Etika

Saya tidak tahu berapa lama setiap habis Sholat Subuh, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo habiskan waktu hanya untuk lantunkan, tentu tanpa kata-kata lafadz “qul huwallahu ahad”. Saya juga tidak tahu berapa lama waktu yang dihabiskan Pak Gatot sehabis Sholat Magrib hanya untuk lantunkan “Ya Azizu” dan “Ya Haiyu ya Qaiyum”. Sekali lagi, saya tak tahu itu.

Penjara dunia dalam “genggam kekuasaan” dengan cara kotor dan jijik rebut-merebut di lintasan yang kotor. Begitu kata para bijak, selalu indah seindah-indahnya untuk orang-orang berpakasitas rendah. Rendah dalam cita rasa etik, ahlak, harkat dan martabat.

Tidak untuk orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahaya tersembunyi dibalik indahnya dunia itu. Pengetahuan itu memang bukan pengetahuan puncak, tetapi tidak mungkin tak berada di sudut kehidupan yang tinggi. Tak mungkin tidak memerlukan usaha mendaki, sekedar untuk meraihnya dengan serba sedikit.

Bukan kelelahan, tetapi nikmatnya, boleh jadi membuat pendaki tertawan merebahkan tubuh kasar dan halusnya setotal yang bisa. Apakah sikap Pak Gatot itu menandai dirinya sedang dipuncak itu? Aapakah sedang merebahkan tubuh kasar dan halusnya dalam nikmat itu? Jelas saya tak tahu.

Pembaca FNN yang budiman. Sungguh tak mudah sikap yang diambil Pak Gatot. Tidak mudah untuk meremehkan hal-hal yang, oleh banyak orang-orang berkapasitas moral dan etik rendah, mati-matian memburunya. Sikap Pak Gatot itu, bukan hanya khas orang pintar. Tetapi juga khas orang-orang yang kepintarannya terbalut kalam pencipta alam semesta ini.

Sekongkol menyakiti orang yang merendahkan mereka. Itu pekerjaan orang-orang yang kecil kapasitas moral dan etikanya. Pak Gatot, bagusnya tertuntun. Saya yakin, nikmat-nikmat kalam-Nya Pencipta alam semesta telah menarik jarak sejauh yang bisa dari tipuan dunia untuk memperoleh kekuasaan kecil nan rapuh itu. Subhanallah, Alhamdulillah.

Budi luhur, itu hanya milik orang-orang yang berbudi. Titik, tidak lebih. Budi tidak mendekat, apalagi menjadi milik orang yang tak mengunakan sepertiga malamnya bercengkrama dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala. Budi bukan punya mereka yang terlalu enggan mengasah nafasnya dengan kalam Allah Subhaanahu Wata’ala, suka atau tidak.

Sikap dan tindak-tanduk itu cermin diri orang. Tampilan politik adalah cermin diri dan jiwa politisi. Semakin dalam politisi tenggelam dalam politik, semakin jelaslah politik praktis memburuk dalam semua seginya. Semakin suka politisi pada politik, semakin tebal sekat mereka dengan moral yang agung.

Politik jenis itu akan buruk seburuk-buruknya di setiap detik hidup berbangsa dan bernegara. Sakitnya atau sialnya, politisi jenis ini tidak lagi memiliki kemampuan mengenalnya sebagai hal busuk. Semuanya ditimbang dengan moral politik ular. Bahkan binatang yang bernama ular, boleh jadi masih lebih baik.

Itulah yang tak mampu untuk diti oleh Pak Gatot. Beralsan menajdikannya sebagian dari alasan apresiasi kepada Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo atas sikapnya menolak ajakan, yang saya sebut “iblis” untuk mencongkel Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Terima kasih Pak Gatot. Sikapmu bagai segelas air di tengah padang tandus, untuk seorang pengembara yang tertawan kehausan.

Saya tak bilang ini satu teladan kecil di tengah mengeringnya teladan dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini. Tetapi untuk beberapa hal, saya ingin melihat ini sebagai cahaya rembulan di tengah kegelapan gulita malam. Memberi arah ke mana harus melangkah agar tak terjatuh di lubang kecil yang mematahkan jemari. Itulah faedah kecil dari tampilan etika Pak Gatot.

Tak menjadi apa-apa, justru telah menjadi apa-apa itu sendiri. Itu yang mesti dimengerti orang. Orang itu dikenang bukan karena posisi posisi politiknya, tetapi karena sikap politiknya. Sikap politik tidak selalu harus bertimbal-balik dengan jabatan formil dalam politik.

Wahai politisi, sukailah hal-hal bagus. Ingatlah sebisa mungkin. Alam tak diciptakan secara serampangan. Alam dibuat indah, karena keindahan itu cermin hakikat. Cintailah keindahan, karena keindahan itu sahabatnya keihlasan. Dan keihlasan menjadi jalan terdekat menghindar dari kegundahan.

Bawalah sejauh mungkin sikap-sikap politik dari cinta mati kepada kekuasaan. Selalulah berada jauh dari tabiat membebek, menghamba, dan menjadi budak kekuasaan. Tak usah mendekat pada kemunafikan. Tetapi teruslah untuk membimbing tingkah laku politik dengan timbangan-timbangan yang disabdakan oleh Pencipta alam semesta.

Hebat Pak Syaf & Leimena

Kejarlah daku, kau kudekap dengan seluruh pesonaku yang menipu. Begitulah tabit kekuasaan, yang dalam wajah empirisnya selalu menipu. Kenalilah itu, karena dia menuntunmu kesemua keindahan sepanjang masa. Itulah yang ditunjukan Pak Sjafrudin Prawiranegara. Itu pulalah yang disajikan oleh Pak Johanes Leimena, nyong Ambon manise ini.

Boleh saja ilmuan hukum tata negara datang dengan argumentasi hukum melemahkan kehebatan Pak Sjaf yang, dengan sukarela mengembalikan kekuasaan kepresidenan kepada Bung Karno. Toh Pak Sjaf memperoleh kekuasaan itu atas kuasa Bung Karno. Tetapi tidak untuk Pak Sjaf, yang Pak J. Riberu sematkan padanya sebagai manusia “etis” ini.

Manusia etis, tahu kebesaran etika. Itulah Pak Sjaf. Kekuasaan yang ada padanya diperoleh melalui kuasa lisan Bung Karno,Presiden tampan dan energik ini. Pak Syaf segera serahkan kembali kekuasaan kepada Bung Karno setibanya di Yogya. Tak ada semenitpun Pak Sjaf mencari alasan politik untuk mempertahankan kekuasaan itu. Subhanallaah, Pak Syaf, semoga Allaah Subhaanahu Wata’ala menempatkanmu di syurga-Nya.

Boleh saja orang tata negara menyatakan sikap itu harus diambil Pak Sjaf, oleh karena kekuasaan itu ada padanya atas kuasa Bung karno. Tetapi sejujurnya saya suka dengan penegasan Pak J. Riberu. Manusia “etis” itulah sebutan Pak Riberu untuk Pak Sjaf. Dalam esainya tentang Pak Sjaf, Pak Riberu mengutip “hebat sekali” salah satu ayat Al-qur’an.

Ayat Al-Qur’an yang dikutip dalam esai Pak Riberu adalah ayat 104 Surat Al-Imran. Hendaknya diantara kamu ada satu golongan yuan mengajak berbuat benar, serta mencegah berbuat salah”. Tulis Pak Riberu selanjutnya “ia merasa berkewajiban mengajak orang lain berbuat benar, dan mencegah berbuat salah”. Hormat saya yang tak terbatas untuk Pak Riberu.

Argumentasi hukum dan gurihnya kekuasaan, cukup jelas tak mampu menipu Pak Sjaf. Benteng etiknya terlalu tangguh dan tebal untuk dapat dijebol oleh gurihnya kekuasaan. Hormat untuk Pak Sjaf atas pelajaran etika ini. Semoga almarhum bahagia di alam sana dengan Rahim Allah Subhanahu Wata’ala.

Terima kasih Pak Sjaf untuk teladan yang telah diwariskan. Apalagi hari-hari ini terlihat terlalu berat untuk dicontohi politisi-politisi kacangan dan picisan yang terkenal jorok, licik dan primitif di panggung kekuasaan. Tak berusaha memperpanjang, apalagi berusaha mempertaankan kekuasaannya. Pak Syaf terlalu top untuk ukuran demokrasi dimanapun.

Terbimbing dengan balutan etika, kekuasaan ditangannya diserahkan kepada Bung karno, ayahanda tercinta Ibu Mega dan Ibu Rahma, untuk menyebut dua saja di antara beberapa anak-anaknya. Apakah teladan yang diwariskan oleh Pak Syaf ini bisa diikuti oleh Pak Jokowi? Entahlah.

Mungkin Pak SBY harus lebih kencang lagi menyerukan Pak Jokowi menggunakan etika dalam merespon kemelut kecil Partai Demokrat. Untuk alasan apapun, Pak Jokowi memang harus menyegarkan akal, fikiran dan rasa etiknya bahwa Pak Moeldoko itu berkantor di lingkungan kantor kepresidenan, sekaligus anak buah Presiden Jokowi.

Derajat dengan etika, yang kearifan berinduk padanya, yang mengalir deras dari Pak Sjaf, jelas merupakan nutrisi tak tertandingi dalam membuat demokrasi memiliki makna untuk diagungkan. Itu juga yang ditunjukan Om Jo, begitu orang-orang Maluku memanggil Pak Johanes Leimena, untuk teladannya yang hebat pada sisi waktu yang berbeda.

Johanes Leimone memegang kekuasaan pemerintahan setiap kali Bung Karno keluar negeri, dan segera mengembalikannya kepada Bung Karno setibanya di tanah air, itulah etika moral yang tinggi dari Om Jo. Hebat sekali Om Jo. Terbimbing begitu kuat oleh rasa etik, dan budi nan mulia. Begitu beretika politik Om Jo. Itu nutrisi sebenarnya yang menyehatkan demokrasi.

Demokrasi, yang Aristoteles kenali sebagai barang busuk. Tetapi telah dikenali keunggulannya oleh kapitalis tua dan oligarki kecil maupun besar, juga korporasi. Sehingga membentuk korporatokrasi ini, selalu bisa dan produktif menciptakan etika khasnya. Etika khasnya selalu bisa membuat demokrasi menerima aksi tipu-tipu, menindas orang lemah, kecil dan miskin sebagai kegagalan kecil saja.

Alhamdulillah di tengah kelangkaan, kekeringan dan kegersangan manusia yang mau belajar etika politik, Jendral TNI (Purn.) Gatot Nurmatiyo hadir untuk membimbing, memandu, menghidupkan dan mengukir tingkah laku demokrasi yang berkalas dan mengagumkan. Terima kasih Pak Gatot, anda telahhadirkan pelajaran kecil yang terlalu mahal untuk politisi kebanyakan ini.

Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

496

Related Post