KAMMI Mendesak Pemerintah Cabut Perpres Investasi Miras
by Abdul Salam
Jakarta FNN - Pemerintah telah membuka keran investasi industri minuman keras (miras) di Indonesia. Hal itu dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja (Cilaka). Investasi industri miras bisa di empat provinsi, yaitu Papua, Bali, Sulawesi Utara (Sulut) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kebijakan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin yang mengizinkan invetasi industri miras di empat provinsi tersebut lebih banyak dampak negatifnya daripada positif. Hampir dipastikan tidak ada dampak positif. Meskupun hanya diproduksi di empat provinsi, namun penyerabarannya dipastikan di seluruh wilayah Indonesia. Kerusakan moral bakal terjadi dimana-mana.
Kita sama-sama tahu, banyak sekali dampak negatif dari miras. Yang paling terakhir ketika publik nasional dihebohkan oleh oknum anggota polisi yang membunuh tiga orang usai minum miras di sebuah kafe di Cingkareng Jakarta Barat. Satu diantara korban yang meninggal dunia adalah anggota TNI dari satuan Komando Strategis Angkatan Darad (Kostrad).
Sekalipun inestasi miras hanya di empat provinsi, namun tidak mengurangi dampak negatifnya ke seluruh wilayah Indonesia. Dampak negatif dari industri miras ini yang patut untuk dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Sebab orang mabuk, jangan pernah diharapkan bisa berpikir waras. Apakah ketidakwarasan itu yang diinginkan oleh pemerintah?
Masuknya investasi ke Indonesia tidak hanya diukur dengan dibangunnya industri miras di Papua, Bali NTT dan Sulut. Namun dengan kebijakan investasi industri miras itu, maka pemerintah telah membuka aibnya kepada publik. Baik kepada publik dalam negeri maupun luar negeri tentang tidak mampunya pemerintah menarik investasi asing ke Indonesia.
Kondisi pemerintah ini ibarat kapal yang mau tenggelam di tengah laut. Apa saja yang ada di sekitarnya, dicoba diraih para penumpang kapal untuk menyelamatkan diri. Apakah keuangan pemerintah sekarang sudah sedemikian parah? Sehingga diperlukan investasi industri miras untuk menarik dana dari luar negeri? Apalagi setelah gagal untuk menarik dana umat Islam melalui gerakan wakaf?
Jika demikian kondisinya, maka wajar kalau publik bertanya-tanya, apa saja kerjanya Menteri Kordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia selama ini? Apakah telah gagal menarik investor luar negeri? Pemerintah terlihat seperti panik menghadapi minimnya pemerimaan kas negara, sehingga perlu menerapkan jurus mabok.
Mana dan berapa banyak investasi yang telah dibawa masuk ke Indonesia ,sejak Luhut Binsar Panjaitan dan Bahlil Lahadalia menjabat Oktober 2020 lalu? Kalau tidak mampu mengemban amanat dan tugas manarik investor, mendingan mundur secara terhormat. Mundur lebih terhormat, daripada membangun industri miras di tanah air. Dampaknya sangat berbahaya bagi masa depan anak-anak bangsa.
Kebijakan membangun industri miras di empat provinsi tersebut adalah wujud dari kepanikan keuangan pemerintah. Bisa saja dibaca sebagai upaya pemerintah menutupi devisit penerimaan dari pajak yang hampir mencapai Rp 1.000 triliun tahun 2020 lalu. Mungkin juga karena pemerintah sudah sulit untuk mencari pinjaman luar negeri, terutama dari negara sahabat.
Kalau susah dapat pinjaman luar negeri, bisa jadi itu bentuk lain dari berkurangnya tingkat kepercayaan negara-negara sahabat kepada pemerintah Indonesia sekarang. Itu terjadi akibat dari maraknya korupsi yang hampir merata di semua lina kekuasaan negara. Korupsi itu terjadi, baik kementerian maupun lembaga pemerintah non kementerian.
Wajar kalau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengelu dan curhat ke Intenational Monetery Fund (IMF) tenatng maraknya korupsi di Indonesia. Uangnya dicari dengan susah payah dari luar negeri. Harus meyakinkan pihak luar negeri dengan berbagai cara dan alasan. Namun begitu sampai di Indonesia, dan dialokasikan ke kementerian dan lembaga, eh malah dikorupsi.
Bagaimana mau dipercara oleh investor luar negeri? Yang mau investasi, perlu untuk mikir-mikir lagi. Jangan-jangan setelah investasinya sampai Indonesia, malah dikorupsi. Terutama untuk urusan yang berkaitan dengan perizinan. Ada saja biaya itu, dan biaya ini. Pungutan itu, pengutan ini. Ujung-ujungnya malah bisa ditangkap KPK melalui OTT. Makanya lebih baik tidak usah investasi di Indonesia.
Untuk itu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslimin Indonesia (KAMMI) mendesak Presiden Jokowi sebaiknya mencabut kembali Perpres tenteag perizinan investasi minuman keras yang diteken awal Februari 2021 lalu itu. Itu cara yang paling terhormat untuk menyelamatkan wajah pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin di mata komunitas keuangan internasional. Terhormat juga di dalam negeri, terutama di mata umat Islam.
Berdasarkan Perpres itu, industri minuman keras dapat memperoleh investasi dari berbagai sumber. Baik dari investor asing maupun domestik. Selain itu, koperasi hingga Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) juga dapat menyuntikkan investasi kepada industri minuman keras. Padahal dengan konsumsi minuman keras, dapat menyebabkan tingginya tindak kejahatan.
Sebelum mendatangkan bahaya yang lebih besar, sebaiknya pemerintah segera mencabut saja Perpres tersebut. Apalagi sebelumnya Gubernur Papua Lukas Enembe telah mengancam akan membakar toko-toko penjual miras di Papua. Gubernur Lukas juga mengancam distributor-distributor miras agar menghentikan aktifitas mereka di seluruh wilayah Papua.
Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr. KH Said Agil Siraj juga telah menyatakan sikap menolak pebangunan industri miras di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan PP Muhammadiyah dan Ormas Islam akan menyatakan sikap penolakan yang sama dalam waktu dekat.
Penulis adalah Ketua Bidang Kebijakan Publik Pengurus Pusat KAMMI.