OPINI

Kudeta Demokrat, Harga Diri Keluarga SBY Dipertaruhkan

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banyak kader Partai Demokrat yang kecewa. Terutama mereka yang tak lagi diakomodir di struktur kepengurusan partai dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY bin Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah nama tokoh ada di dalam kelompok yang kecewa itu. Selain Marzuki Ali, ada Jhoni Allen Marbun dan Max Sopacua. Mereka berontak. Ingin melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) dalam rangka mendongkel dominasi keluarga SBY, bahkan mengambil alih Demokrat. Merasa tak mampu untuk menjatuhkan dominasi SBY, mereka lalu gandeng Moeldoko, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Berharap, dengan langkah ini akan dapat dukungan istana. Berharap dengan mendapat dukungan istana itu, KLB akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Ibarat "tumbu ketemu tutup". Moeldoko menyambutnya dengan sangat antusias. KLB pun diselenggarakan. Moeldoko terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal bukan kader, tetapi Moeldoko orang istana. Apapun penilaian rakyat, KLB sudah terjadi di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara pada (6/3/2021). Saatnya sekarang bertarung di Kemenkumham untuk mendapatkan legalitas. Apakah Kemenkumham akan melegalkan Demokrat versi KLB Moeldoko? Kalau langsung dilegalkan, tentu saja akan muncul stigma negatif, kasar, dan dianggap super tega. Rakyat "sebagai pemilik suara dalam pemilu" tak akan simpati model permainan kasar yang seperti ini. Tetapi, kalau tidak dilegalkan, maka Mooldoko akan dikorbankan. Moeldoko akan jadi tumbal. Tumbal siapa? Setidaknya tumbal dari mereka yang memberi ijin, juga yang punya kepentingan dan ikut mendesign kudeta Partai Demokrat. Seandainya pun Moeldoko "dimenangkan", kemungkinan akan ada proses yang sedikit memakan waktu. Diayun dulu, agar lebih menarik. Supaya tidak terlihat vulgar. Perlu ulur waktu untuk meredakan "keriuahan publik yang suah terlanjur tak simpati". Boleh jadi kalah dulu di Kemenkumham. Lalu ke pengadilan, dan menang. Ini akan terkesan lebih manis. Seolah Moeldoko berjuang sendiri, tak ada intervensi siapapun dari kekuasaan. Tak ada yang tak mungkin. Politik itu bagaimana menggerkan irama permainan. Termasuk permainan isu, dan cara bagaimana mempengaruhi persepsi publik. Siapa yang memenangkan opini publik, dia yang akan jadi juaranya. KLB Partai Demokrat berupaya untuk mendapat dukungan publik. Lalu, bagaimana dengan nasib SBY? Bagaimana pula nasib karir politik putra-putranya? Apakah SBY akan membuat partai baru? Partai Demokrat Perjuangan, misalnya. Atau justru SBY akan membuat perhitungan-perhitungan lain? Yang pasti, tidak hanya nasib, tetapi harga diri SBY dan keluarga sedang dipertaruhkan. Selama sepuluh tahun menjadi presiden, lalu "dipermalukan" dengan kudeta partai yang dirintis dan dibesarkannya. Yang pasti, ini tak mudah bagi SBY dan masa depan politik bagi kedu putranya. Yang SBY perlu ingat, politik tak selebar konstitusi dan AD/ART Partai Demokrat. Politik memiliki dinamikanya sendiri. Seringkali tak bisa dikendalikan oleh pasal-pasal di dalam konstitusi partai. Apalagi cuma AD/ART partai. Sekarang lagi musimnya melanggar konstitusi. "Konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat", kata Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Apakah Kudeta di Partai Demokrat bagian dari tafsir konstitusional Mahfud itu? Kita akan lihat nanti. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Cicilan Informasi Pembunuhan di KM 50 Tol Japek

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Rilis berita dari Badan Reserse kriminal (Bareskrim) Polri soal peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI disamping sedikit-sedikit, juga minim informasi. Peristiwa besar yang dikecil-kecilkan. Kemarin rilis baru menyebut ditemukan dua alat bukti. Sebelumnya menyebut tiga anggota Polri dari Polda Metro Jaya yang menjadi calon tersangka. Mereka tiga anggota Polda tero Jaya tersebut diumumkan sebagai terlapor. Hingga kini nama-nama ketiganya masih saja disembunyikan. Ironi dalam sebuah tragedi kemanusiaan. Seperti sedang mencari cara dan strategi untuk mengumumkan nama-nama. Khawatir kalau diumumkan nanti bisa merembet komandan yang lebih tinggi. Kemungkinan bisa jendral polisi bintang satu, dua atau lebih. Sedikit-demi sedikit disebut tentang aturan yang bakal disangkakan, yaitu Pasal 338 KUHP Jo Pasal 351 pembunuhan dan penganiayaan. Ketika ditanya oleh wartawan tentang inisial ketiga calon tersangka tersebut, Brigjen Polisi Rusdi Hartono setelah terdiam agak lama, akhirnya menjawab "nanti kita akan cek lagi". Memang nampaknya penyidikan ini agak istimewa. Mengubah skenario dari tersangka enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) yang disiksa dan dibunuh menjadi tiga anggota Polri dari Polda Mtero Jaya tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sejak awal sebenarnya dugaan bahwa ada anggota Polri yang bersalah sudah semestinya diperhitungkan. Namun kini masalahnya menjadi babaliut. Bingung dan bingung untuk mengumumkan. Yang kini menjadi pertanyaan krusial adalah, apakah pembunuhan di lapangan tersebut berdiri sendiri? Ataukah atas dasar koordinasi lebih dulu dan instruksi dari atasan pelaku? Inilah persoalan paling ruwet. Harus dicari dalil pembenaran, sebab bisa saja berantakan di pengadilan nanti. Kesulitan pengumuman nama ketiga calon tersangka bermodal "dua alat bukti" itu mungkin disebabkan pertimbangan. Pertama, apakah tiga calon tersangka tersebut adalah benar-benar pelaku penembakan di mobil yang membawa keempat anggota laskar yang masih hidup? Atau mereka bertiga hanya sebagai figur yang minim pengetahuan tentang duduk persoalan yang sebenarnya? Apa yang terjadi jika pelaku sebenarnya adalah "Harun Masiku" yang hilang itu? Kedua, bagaimana membuat konstruksi hukum untuk perbuatan yang melibatkan lebih dari tiga anggota Polda Mtero Jaya itu sebagai pelaku di lapangan? Dugaan bahwa hal ini bukan semata insiden, tetapi "by design" perlu dijawab oleh keterangan yang digali atau dicecar penggaliannya terhadap tiga tersangka di depan pengadilan nanti. Pembunuhan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) menjadi menarik. Ketiga, rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan siapa penumpang mobil Land Cruiser yang diduga menjadi "komandan" operasi lapangan harus terjawab dalam proses hukum terhadap tiga calon tersangka anggota Polri dari Polda Metro Jaya itu. Mata rantai peristiwa yang tidak boleh terputus. Keempat, unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI tidak bisa dipisahkan dari pembuktian penembakan kepada dua anggota laskar FPI lainnya. Ada dua mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang berisi sejumlah aparat menjadi eksekutor. Dari kesatuan mana dan siapa mereka? Mabes Polri tidak bisa mengabaikan hal ini. Fakta yang terbunuh adalah enam anggota laskar FPI, bukan empat. Kelima, pembunuhan ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP yang tentu saja menimbulkan pertanyaan publik, dimana dan bagaimana anggota laskar ini disiksa? Mungkinkah dilakukan di mobil selama perjalanan? Dengan melihat luka-luka yang dialami korban, wajar jika publik menduga kuat ada lokasi tertentu yang menjadi tempat penyiksaan. Soal dugaan lokasi penyiksaan ini menjadi bagian penting dari pengungkapan peristiwa yang semestinya sudah terkuak pada tahap penyidikan. Jika tidak terbuka di penyidikan, maka kemungkinan akan terbuka nanti di persidangan. Sementara persidangan bakal diikuti dan dipantau oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Termasuk tentu saja dari Komnas HAM. Mengingat dampak ikutan yang meluas, maka hal yang mudah dalam pandangan publik menjadi sulit pada proses hukum. Kasus penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang melibatkan dua anggota polisi menjadi cermin dan pelajaran yang berharga. Hal ini sekaligus menjadi ujian bagi profesionalitas kepolisian dan keadilan Majelis Hakim di ruang Pengadilan. Peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI terkait dengan "perburuan" Habib Rizieq Shihab (HRS). Sebagai pembunuhan politik, diduga proses hukum akan berjalan berbelit-belit sebagaimana rumit dan berbelitnya kasus-kasus politik lain. Meskipun demikian, kita yakin bahwa ada hakim yang punya hati nurani dan keadilan hakiki yang akan ditunjukkan oleh Ilahi Robbi. Ketika proses berjalan lambat dan miskin akan informasi, ketahuilah bahwa rakyat itu sebenarnya lebih cerdas dan berpengetahuan. Proses yang berjalan hanya tahapan pencocokan-pencocokan saja. Jika cocok, maka dinilai nurani kejujuran itu masih ada dan jika tidak, maka dipastikan akan ada hukuman berat yang menunggu di depan. Wallahu a'lam. Panulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Unjuk Rasa Thailand Dan Myanmar

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Setelah tiga bulan aksi unjuk rasa di Thailand berlangsung tanpa ada tanda-tanda mereda. Aspirasi yang dituntut adalah reformasi monarkhi dan desakan mundur Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha. Meskipun korban berjatuhan dan banyak aktivis yang ditangkap, tetapi pengunjuk rasa tetap gigih memperjuangkan tuntutannya. Unjuk rasa dipicu oleh pembubaran terhadap partai oposisi Partai Maju Masa Depan Thailand. Sementara itu, demonstrasi besar-besaran terjadi juga di Myanmar. Rakyat pro demokrasi memprotes kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan penahanan pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi beserta petinggi pemerintahan lainnya. Partai Liga Nasional pimpinan Aung Suu Kyi baru saja memenangkan Pemilu bulan Februari lalu. Tercatat sudah 149 pengunjuk rasa tewas. Terdapat tiga catatan penting terkait dengan aksi unjuk rasa di Thailand dan Myanmar tersebut. Pertama, protes rakyat ditujukan kepada penguasa yang potensial berprilaku otoriter. Misalnya, di Thailand ditandai dengan sikap sewenang-wenang membubarkan partai oposisi. Monarkhi semakin tidak disukai, Prayuth Cha O Cha berlindung dan memperalat Raja. Sementara di Myanmar, dipastikan pemerintahan junta militer Aung Hlaing bertindak otoriter untuk mengamankan kudeta. Menghadapi pengunjuk rasa dengan tindakan yang represif. Kedua, kedaulatan rakyat sebagai substansi atau prinsip utama demokrasi yang terus menerus mengalami penggerusan, senantiasa menemukan momentum penggalangan dan perlawanan. Gerakan pro demokrasi selalu menarik dukungan dunia. Sikap otoritarian domestik akan goyah oleh kekuatan mondial yang pro demokrasi. Kejatuhan hanya masalah waktu saja. Ketiga, pengunjuk rasa di Bangkok maupun Yangoon dan kota lain tidak peduli dengan pandemi Covid 19, yang biasa dipakai penguasa untuk menghalangi kerumunan massa. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan menjadi prioritas dengan menembus risiko pandemi. Faktanya, ternyata kelompok aksi itu tidak terdengar menjadi klaster penyebaran Covid 19 juga. Apa yang dilakukan rakyat di Thailand dan Myanmar mengingatkan para penguasa oligarkhis dan otoriter dimanapun untuk menyadari bahwa rakyat tidak selamanya bisa diiming-imingi. Rakyat tidak mempan untuk ditakut-takuti. Rakyat tidak takut ditekan dengan alat kekuasaan apapun. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan dengan membangun keberanian untuk mengambil risiko. Penguasa otoriter yang sering memperalat pandemi Covid 19 untuk menipu atau menindas rakyat, akan mengalami serangan balik dari rakyatnya sendiri. Tidak peduli dengan pandemi, jika aksi turun ke jalan menjadi pilihan. Mungkin rakyat memahami bahwa ada saat virus Corona pun jengkel dengan perilaku para penguasa yang korup dan zalim itu. Lalu virus corona itupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa akan ikut bersama-sama dengan rakyat berunjuk rasa menumbangkan kebodohan dan keangkuhan kekuasaan. Sehingga unjuk rasa di Thailand dan Myanmar memberi pelajaran. Meskipun lucunya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kita di Yangon, ibu kota Myanmar turut didemo oleh para pengunjuk rasa. Rakyat Myanmar mendemo KBRI di Yangon gara-gara sikap Indonesia yang seolah-olah berpihak kepada kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Pemerintah Pressiden Jokowi perlu belajar banyak dari kejadian Thailand dan Myanmar tersebut. Jika tidak berubah, sehingga masih tetap represip kepada para aktivis pro demokrasi, maka tunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengan kekuatan rakyat. Memborgol demokrasi dengan menahan dan mengadili aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Pront Pembela Inslam (FPI), membunuh enam laskar, serta memaksakan dengan segala cara untuk membungkam dan menghukum HRS, merupakan wujud dari perilaku mepertontonkan "abuse of power" yang nyata kepada rakyat. Prilaku pemerintah yang “abuse of power” dinilai rakyat sangat menjengkelkan. Remember Thailand and Myanmar ! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlu Dialog Jakarta-Papua Seperti Tawaran Jokowi Untuk Myanmar

by Marthen Goo Jayapura FNN - “…Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?...” jika merujuk pada kata-kata Yesus Kristus yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai Tuhan, dan jika bisa direfleksikan kembali dengan pernyataan Kristus tersebut, barang kali ini yang dimaksudkan. Adakah praktek hal yang sama? Dimana masalah Papua di dalam negara sendiri diabaikan. Bahkan aspek kemanusiaan tidak diperhatikan, dan dilakukan pendekatan yang sama berulang-ulang. Sementara di Myanmar, aspek kemanusiaan dianggap jauh lebih prioritas dan penting. Aneh bin ajaib. Tentu sebagai manusia yang beradab, patut kita kutuk semua kejahatan dan kekerasan yang melukai, merendahkan dan menghancurkan martabat manusia dimana saja manusia berada. Bahkan semangat deklarasi universal hak asasi manusia di dunia adalah semangat yang mengedepankan kemanusiaan sebagai hak hidup yang wajib dihormati oleh siapapun. Deklarasi universal hak asasi manusia yang lahir pada 10 Desember 1948 adalah deklarasi yang menghormati hak asasi manusia di dunia tanpa perbedaan kelas, rumpun, ataupun agama. Dalam semangat itu kemudian di Indonesia, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia (HAM) dirumuskan secara utuh dalam konstitusi negara secara tertulis. Bahkan dipertegas dengan ketat setelah dilakukan amandemen yang ke-4 UUD 1945. Setelah itu, dirumuskan juga dalam Undang-Undang baik Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Walau demikian, apakah kejahatan terhadap HAM di Papua berhenti? Tentu saja tidak. Masih tetap saja terus kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua. Bahkan kejahatan rasisme pun tetap dilakukan. Menurut Raga Kogoya, Tim Relawan Kemanusiaan Nduga,“…kalau kami bicara tentang Nduga, orang banyak yang meninggal, dan suku Nduga itu akan hilang akibat operasi militer. Anak-anak jadi korban tidak sekolah, ibu-ibu banyak meninggal saat melahirkan. Masyarakat 11 distrik sudah kosong. Terjadi pengungsian besar-besaran sampai ke Jayapura dan Wamena,Timika, Ilaga, ada juga yang sampai ke Asmat dan Merauke”. Masih kata Raga Kogoya,,, “semua itu akibat asap bom yang diturunkan. Banyak masyarakat Nduga yang meninggal. Banyak yang ditembak. Kami kemudian tidak mendata lagi karena kami diancam, terus kami dikejar. Pengungsi tidak bahwa KTP dan KK. Jadi saat mengungsi di Wamena kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan”. “,,,kami membangun sekolah untuk pengungsi dalam pengunsian, tetapi kami ditekan. Kami beribadah juga. Mobil tentara masuk ke-arah tempat ibadah dan keliling. Anak-anak ditekan. Anak-anak kemudian terlantar sampai tidak sekolah sejak 2017 hingga sekarang, sudah 4 tahun lamanya”. Keterangan Raga Kogoya sebagai tim relawan memberikan gambaran tentang situasi Nduga saat ini. Sudah berjalan mencapai 4 tahun, dimana rakyat menjadi ancaman serius. Kasus yang sama juga sedang terjadi di Intan Jaya. Bahkan ada pengungsian juga di Timika. Negara yang mestinya hadir untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat pengungsi. Sayangnya itu belum terlihat. Kenyataan yang berbeda dengan kasus Wamena, dimana ketika warga non-Papua hendak mengungsi, kekuatan negara langsung hadir dan memfasilitasi pengungsian. Bahkan untuk diberangkatkan keluar Papua pun difasilitasi negara. Perbedaan perlakuan yang dipertontonkan negara kepada publik. Tentu saja semangat kita adalah melawan kejahatan kemanusiaan dan praktek-praktek rasisme yang merendahkan martabat kamanusiaan. Agar kedamaian bisa terwujud diantara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sama tanpa perbedaan dan tampa kelas. Semangatnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semoga semangat itu bisa diwujudkan Presiden. Myanmar harus dibantu demi kemanusiaan, begitu juga dengan Papua. Presiden Dorong Dialog Myanmar Presiden menyampaikan keprihatinan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar dengan berkata, “…atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan dukacita dan simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar”. Indonesia kata Presiden Jokowi, “mendesak agar penggunaan kekersan di Myanmar segera dihentikan. Sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Indonesia juga mendesak agar dialog, agar rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, untuk memulihkan perdamaian dan untuk memulihkan stabilitas…” Atas pernyataan Presiden terhadap Myanmar tersebut, patut diberiapresiasi sebagai penghormatan kepada kamanusiaan sebagai cita-cita bangsa, dan tujuan nasional yakni “mewujudkan perdamaian dunia”. Bahkan sebagai perwujudan sila kedua walau lintas negara. Untuk Myanmar, Presiden tidak hanya menyampaikan keprihatin atas nama pribadi dan kepala negara. Presiden juga mendesak dilakukannya dialog dan rekonsiliasi sebagai jalan untuk mencapai solusi damai. Terus, bagimana dengan Papua Pak Presiden? Bukankah untuk hal yang sama, seharusnya sudah dilakukan terhadap Papua Pak Presiden? Jika ucapan dukacita bisa disampaikan kepada Myanmar, mestinya yang sama juga disampaikan kepada rakyat Papua yang selalu mendapat kekerasan berkali-kali sampai saat ini. Jika kekerasan di Myanmar dihentikan, mestinya kekerasan di Papua juga dihentikan, dengan melakukan pendekatan kemanusiaan. Hentikan pengiriman pasukan berlebihan ke Papua. Seharusnya diganti dengan pengiriman dokter dan tim medis, apalagi dalam situasi Covid. Perlu pengiriman guru untuk anak-anak yang dipengungsian. Kembali lagi soal dialog dan rekonsiliasi, bukankah bijaksana jika Papua sudah dilakukan dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai? Itu sebagai contoh pernyataan Presiden ke publik Indonesia dan dunia tersebut? Bagimana jika orang menyoroti pernyataan Presiden, bahwa Presiden Indonesia menunjukan prihatin kemanusiaan kepada Myanmar, tetapi di dalam negaranya sendiri, soal Papua bermasalah. Sejak Papua dimasukan ke Indonesia sampai saat ini terus terjadi kejahatan kemanusiaan. Negara terus melakukan pendekatan keamanan dengan berbagai operasi keamanan yang melahirkan pelanggaran HAM ? Semoga tulisan ini dibaca Pak Presiden. Jangan sampai tibah pada kesimpulan dalam bahasa pasaran yang selalu disampaikan anak milenial bahwa “Papua latihan lain, main lain”. Artinya, bicara lain, perbuatan lain. Pak Presiden jika merasa penting, lakukan dialog dan rekonsiliasi. Cobalah Pak Presiden lakukan terhadap Papua, agar pernyataan Presiden bisa dihargai. Perlu lakukan pendekatan di Papua untuk menyelesaikan masalah-masala di Papua secara menyeluruh. Hindari “latihan lain, main lain”. Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua Mendengar pernyataan Presiden terhadap kasus Myanmar, tentu ada publik yang merasa bangga. Ada juga publik yang merasa heran, apalagi orang Papua, karena Presiden menunjukan kepedulian terhadap kemanusiaan rakyat Myanmar. Tetapi mengabaikan kemanusiaan rakyat Papua. Alm. Pastor Dr. Neles Tebai Pr. yang adalah koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden dan menyampaikan konsep dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai Papua. Namun sampai saat ini, dialog Jakarta-Papua belum juga dilakukan. Dalam semangat menghormati hak asasi manusia, Komisi Tinggi HAM PBB hendak ke Papua. Namun sampai saat ini, mereka masih kesulitan untuk masuk ke Papua. Mestinya Presiden bisa menjamin kelancaran mereka mengunjungi Papua dan berjumpa dengan korban dan keluarga korban. Setidaknya pernyataan Presiden untuk Myanmar itu dibuktikan juga terhadap kehadiran Komisi Tinggi HAM PBB. Sekali lagi, ini dalam konteks kemanusiaan, karena itu juga yang disampaikan Presiden. Menurut Theo Esegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua “…Saya harap bapak Presiden dan jajarannya coba buka diri dan ruang, agar dari Komisi Tinggi HAM di PBB dapat melakukan kunjungan ke Papua. Sehingga dapat membuktikan desakan 83 negara terkait isu pelanggaran HAM di Papua. Apa artinya kepala negara tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua? Namun menunjukan sikap terkait konflik kekerasan di Nyianmar? …” Sebanyak 83 negara telah memberikan pandangan saat merespon kasus pelanggaran HAM di Papua. Negara-negara itu menyimpulkan masalah pelangaran HAM di Papua adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Untuk itu mendesak Komisi tinggi Ham PBB untuk melakukan kunjungan ke Papua Barat. Terhadap hal ini, atas nama kemanusiaan, Presiden harus membuka akses, mempraktekan dialog dan rekonsiliasi tersebut untuk Papua. Kita harus sepakat bahwa cara-cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Setiap kekerasan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihapuskan. Cara menghapusnya adalah dengan memperbanyak dialog dan rekonsiliasi sebagai perwujudan pernghormatan terhadap kemanusiaan. Tentu yang namanya damai itu indah dan damai itu impian setiap insan manusia, apalagi rakyat. Atas dasar dan semangat penghormatan terhadap kemanusiaan sila kedua Pacasila itu, dan didorong oleh keinginan yang luhur untuk mewujudkan tujuan nasional, prinsip konstitusional dan kemanusiaan, Presiden Jokowi diharapkan untuk segera menggelar Dialog Jakarta-Papua. Presiden harus menunjuk Wakil Presiden sebagai penganggungjawab Politik, dan menunjuk Special Envoy untuk mempersiapkan dialog. Kecuali kalau mau berhenti pada “latihan lain, main lain”. Pak Presiden yang terhormat, mari selesaikan masalah Papua dengan cara yang bermartabat, terhormat dengan digelarnya Dialog Jakarta-Papua. Buktikan kalau bisa bicara untuk Myanmar, bisa juga dilakukan untuk Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Dari Papua.

Diskriminasi Hukum Nyata di Peradilan HRS

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Hukum itu tak bernyawa. Hanya berisi teks tertulis yang kita sepakati menjadi rambu-rambu kehidupan sebagai warga negara. Di tangan manusialah, hukum itu menjadi hidup. Lembaga yudikatif diharapkan konsisten menjamin implementasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Manusia tidak ditakdirkan menjadi makhluk ajeg seperti iblis atau malaikat. Manusia punya kehendak bebas, bisa memilih bersifat iblis atau malaikat. Terkadang, sifat iblis manusia malah dikemas seolah kebajikan malaikat. Wajah hukum kita ikut diwarnai oleh jiwa penegak hukum dengan kehendak bebas itu. Kita berharap lembaga peradilan dapat konsisten menegakkan hukum yang berkeadilan. Namun, faktanya sejumlah kasus hukum tak sedikit terasa memunggungi keadilan. Terhadap persidangan kasus Habib Rizieq Sihab (HRS), muncul fenomena serupa. Aparat berwenang terlihat begitu sinis memandang hak-hak hukum HRS. Itu terlihat di sepanjang perjalanan kasus mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) ini, sejak penetapan sebagai tersangka, penahanan, hingga saat persidangan yang heboh sepekan belakangan. Untuk menetapkan sidang berjalan online atau offline saja, debat panjang harus terjadi. Padahal, memilih salah satu pilihan ini seharusnya mudah dan tak perlu menguras begitu banyak waktu dan energi. Majelis hakim menetapkan sidang HRS dilaksanakan online, sedangkan HRS menginginkan hadir di ruang sidang. HRS mengaku bukan bermaksud melawan hukum. HRS hanya memperjuangkan hak hukumnya saja, sebagaimana dijamin Undang-Undang (UU) untuk hadir di ruang sidang. Adapun Majelis Hakim berpijak pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 yang mengatur sidang online dalam masa pandemi covid-19. Masalahnya, keputusan Majelis Hakim melaksanakan sidang online ternyata "tidak online-online amat". Buktinya, Majelis Hakim lengkap berada di ruang sidang, begitu pula dengan para jaksa, para pengacara, juga pengunjung sidang. Yang online hanya HRS, seolah sengaja dipisahkan. Padahal, seorang terdakwa tentu sangat berkepentingan hadir di ruang sidang agar bisa membela dirinya secara maksimal. Baik itu ketika menjawab tuduhan jaksa, menjawab pertanyaan majelis, juga berkonsultasi langsung dengan pengacara yang mendampinginya di ruang sidang, dan seterusnya. Menurut MA, sepanjang 2020 sudah digelar 115.455 sidang online karena adanya Perma No. 4/2020. Meski begitu, kewenangan pelaksanaan sidang online dan offline agaknya dikembalikan kepada keputusan Majelis Hakim. Pasalnya, dalam beberapa kasus yang melibatkan nama-nama besar, kita melihat kehadiran terdakwa di ruang sidang di tengah pandemic Covid-19 pasca terbitnya Perma itu. Sebut saja persidangan kasus suap Irjen Napoleon Bonaparte. Yang relatif punya kemiripan dengan pelaksanaan sidang HRS adalah sidang kasus IDI Kacung WHO dengan terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx. Seperti HRS, Jerinx juga walkout dari ruang sidang. Sementara itu, massa pendukung Jerinx berdemo di depan Pengadilan Negeri Bali. Setelah beberapa kali sidang online, akhirnya sidang offline terdakwa Jerinx diadakan pada 13 Oktober 2020. Laman radarbali.id lalu memuat berita dengan judul "(Akhirnya) Pendemo Menang, Hakim Putuskan Sidang JRX Digelar Offline". Perma No.4/2020 sendiri ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada 25 September 2020 dan diundangkan pada 29 September 2020. Seperti Jerinx, HRS juga walkout dalam sidang. Juga masih seperti Jerinx, pengacara HRS juga telah memohonkan sidang dilakukan secara tatap muka. Bukannya dapat dispensasi sebanding, yang ada malah ancaman tambahan kasus. Walkout yang dilakukan HRS berbuah ancaman lain. Jaksa menuding HRS telah menghina dan melakukan kegaduhan di dalam persidangan dan meminta hakim menjerat Rizieq melanggar Pasal 216 KUHP. Mungkin saja niat Majelis Hakim menjauhkan HRS dari ruang sidang karena menghindari kerumunan massa pendukung. Namun, kekhawatiran ini hanya soal teknis yang mudah saja dikoordinasikan. Pertama, HRS telah menyatakan siap meminta pendukungnya agar tidak perlu mendatangi PN bila diizinkan ikut dalam ruang sidang. Kedua, mencegah kerumunan adalah tugas aparat keamanan. Majelis Hakim tentu dimungkinkan meminta dukungan Polri, kalau perlu berikut bantuan personel TNI. Sinisme lembaga peradilan terhadap hak-hak hukum HRS semakin terasa ketika pengacara HRS bahkan sempat mendapat kesulitan memasuki ruang sidang. Dengan surat kuasa di tangan, seharusnya tidak menemui kendala memasuki ruang sidang. Toh para pengacar itu telah mengikuti sidang sebelumnya. Meski lembaga yudikatif terlihat menyudutkan posisi hukum HRS, namun para penghuni lembaga eksekutif dan legislatif hening komentar. Trias politika ini mungkin sepaham, perlakuan itu adalah sesuatu yang "pas" untuk HRS. Tidak satu pun dari pihak eksekutif yang membela hak-hak hukum HRS. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang tadinya dinilai punya kedekatan dengan HRS, membeku dalam diamnya. Padahal, saking dekatnya, Prabowo pernah berjanji hendak menjemput langsung HRS dan memulangkannya ke Tanah Air dengan jet pribadi. Luar biasa janji itu. Sementara itu, respon dari lembaga legislatif hanya dibunyikan satu dua orang. Sebagai oposisi, sejumlah kader Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera telah memberi pernyataan membela dengan porsi yang semestinya. Dari partai pendukung pemerintah, yang terlihat gregetnya adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadly Zon. Fadly bahkan menjaminkan dirinya demi pembebasan HRS. Kita bersuara bukan semata tentang HRS. Ini tentang perlakuan lembaga peradilan terhadap seorang warga negara yang kebetulan bernama Habib Rizieq Shihab. Yang menjadi fokus kita adalah proses pemenuhan hak-hak hukumnya. Seorang warga negara dengan warga negara lainnya seharusnya sama dan sederajat di hadapan hukum. Tetapi entah kenapa di hadapan HRS, hukum terasa begitu antagonis. Beberapa pihak menengarai, kasus HRS menjadi diskriminatif karena intervensi politik. Salah satunya Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Abdullah Hehamahua. Saat menanggapi kematian enam laskar FPI tempo hari, dia mengaitkan penembakan 6 laskar FPI bermula dari Pilkada DKI. Secara teoritik, Ahok harus menang. Tetapi nyatanya kalah. Salah satu sebabnya, menurut Hehamahua karena HRS dan 212 ikut bergerilya. Dari sanalah dia melihat persoalan bermula, yang kemudian menyebabkan HRS harus ke Saudi Arabia, hingga kembali ke Tanah Air dan menjalani proses demi proses sampai akhirnya terjadi pembunuhan di luar hukum terhadap 6 laskar FPI. Apakah relasi politik itu juga punya kaitan dengan diskrimanasi hukum HRS saat ini? Wallahu a'lam. Penulis adalah Senator DPD RI.

Cak Jancuk Mengaku Tidak Minat Tiga Periode, Temen Tah?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Cak Jancuk mengaku tidak berminat menjabat Presiden Republik Indonesia selama tiga periode. Alasannya Indonesia banget. Dia tetap mematuhi Undang Undang Dasar 1945 yang mengatur masa jabatan presiden selama dua periode. "Cak Jancuk" adalah gelar beradab Suroboyoan untuk Jokowi yang disematkan oleh para pendukungnya. Gelar itu diterima Jokowi saat dia menyapa para pendukungnya dalam kampanye Pilpres di kawasan Tugu Pahlawan Surabaya dua tahun silam. Seperti tertulis di banyak media, serempak kompak publik pun berteriak keras, "Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk, Jokowi Jancuk.....!!!". Dari atas panggung, Jokowi yang mendengar langsung melebarkan bibirnya, yang dalam bahasa jawa disebut mringis (tersenyum) sambil me_nyungir_kan hidungnya. Namun tidak ada yang tahu, apa arti mringisnya Jokowi. Yang jelas, Ernawan selaku pimpinan deklarasi dukungan menjelaskan, gelar tersebut bukan umpatan. Melainkan singkatan tertentu yang mengandung arti positif. Penghormatan kepada Jokowi. Mengenai ramainya rumor kalau Jokowi akan berupaya menjabat presiden tiga periode, telah dibantah Jokowi sendiri. "Saya tegaskan, Saya tidak ada niat. Tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama sama," kata Jokowi dikutip CNN Indonesia, Senin (15/03). Tetapi harap diingat. Itu kata Jokowi saat ini. Bukan untuk dua atau tiga tahun mendatang. Memang bisa saja lidah tak bertulang. Tak terbatas kata kata semata. “Tinggi gunung, seribu janji. Lain di bibir, lain di hati”, urai Bob Tutupoly dalam syair lagu lawas "Tinggi Gunung Seribu Janji". Nah, kemudian manakala Arek Suroboyo bertanya kepada Cak Jancuk dengan dialek Suroboyoan, boleh ya? Misalnya begini tanyanya, “Temen tah, Cak Jancuk omonganmu gak gelem njabat maneh? Lek sampek mbujuk, koen tak gantung nang Tugu Pahlawan yak opo? Curiga atau tidak percaya kepada manusia itu boleh-boleh saja. Lebih-lebih bila sang manusia tersebut sudah terbukti bolak-balik bohong. Itulah juga karena sifat manusianya. Pastinya dia bukanlah malaikat yang selalu dan tetap konsisten. Lupakah ucapan Anas Urbaningrum, mantan Ketum Partai Demokrat (PD) waktu itu dalam menepis dugaan korupsi atas dirinya? Dia mengaku, serupiah pun tidak dikorupsi. Jika terbukti korupsi, maka Anas sanggup untuk digantung di pucuk Tugu Monas. Berulang-ulang sosoknya tayang di layar televisi, menampilkan propaganda anti korupsi. "Katakan Tidak Pada Korupsi". Begitu bunyi iklannya di berbagai televisi nasional. Bagaimana kenyataannya? Tidak lama setelah iklan itu, Anas dibui terkait kasus korupsi. Itu bukti bahwa kata hati tak sama dengan kata mulut. Satu lagi bukti inkonsisten seseorang, yang dalam bahasa jawa disebut mbujuki. Bahkan masih gres. Moeldoko mengaku cuma ngobrol sambil ngopi biasa dengan beberapa kader dan pecatan Partai Demokrat. Bukan rembugan mengenai politik. Itu ditegaskan Moeldoko untuk menolak tudingan rencana kudeta Moledoko atas Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kenyataannya, Moeldoko dimungkinkan bersekongkol dengan beberapa orang pecatan Partai Demokrat. Lalu menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara. Moeldoko pun keluar sebagai pemenang. Sebagai Ketum PD Palsu. Jika Moeldoko berat dibilang berbohong. Tetapi mengapa harus membuat pernyataan berbeda dari kenyataan yang dia lakukan. Mestinya, kalau mau KLB ya bilang saja akan menggelar KLB. Bukan ngobrol sambil ngopi. Kan mbulet namanya. Dalam logika main bola, Moeldoko adalah orang yang tercatat sebagai pemain saja tidak. Apalagi duduk di bangku cadangan, lebih tidak lagi. La kok mbedudug dinobatkan sebagai juara pertama. Sikembar gundul Upin-Ipin pun lantas tertawa kekeh-kekeh. Lepas dari misalnya, Kemenkumham nantinya mensahkan kepengurusan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat. Namun pengakuan Moeldoko hanya ngobrol dan ngopi, tanpa embel-embel politik pada pertemuan sebelumnya, bisa disebut bohong. Beberapa hari usai acara KLB Deli Serdang, Jhoni Allen, dokter hewan pecatan Partai Demokrat yang juga bekas pegawai Kebun Binatang Ragunan, mengaku telah mendaftarkan hasil KLB nya ke Kemenkumham. Dia yakin berkas laporan hasil KLB akan diterima dan disahkankan. Mengapa harus pakai kata “yakin” bahwa hasil KLB akan diterima dan disahkan Kemenkumham, setelah didaftarkan beberapa waktu lalu. Jika memang merasa benar dan tidak bersalah, tidak perlu harus yakin atau tidak yakin. Mau mendaftar, ya mendaftar gitu saja. Misalnya jika dalam keadaan normal, A pergi ke rumah B untuk mengambil mobil miliknya yang dipinjam B. Dalam perjalanan ke rumah B, si A tidak perlu punya pikiran “yakin” bisa mengambil mobilnya. Wong mau mengambil mobilnya sendiri kok pakai “yakin”? Tentu saja perasaan atau psikologis A dalam kondisi safe. Karena A adalah pihak pemilik mobil. Sehingga situasi kejiwaannya dirasakan seakan akan masuk ke domain “pasti” bisa mengambil mobilnya. Kata “pasti” disini bukan dimaksudkan sebagai bentuk melawan kehendak Allah Subhanahu Wa ta'ala, melainkan sekedar sebagai penegas batas psikologis antara jujur dan bohong. Pada jaman dulu. Katakanlah periode kepemimpinan Pak Harto. Sifat pembohong, kurang ajar, tidak punya malu, amoral dan perilaku buruk lainnya itu cuma dimiliki kelompok tidak terdidik. Atau preman, yang dalam bahasa kasarnya katakanlah maaf “bajingan”. Sehingga waktu itu, pengenalan sosialnya di tengah bermasyarakat antara mana yang bajingan dengan yang terpelajar, itu menjadi jelas dan nyata. Sekarang telah terjadi kekaburan. Hal itu bukan saja akibat dari terjadinya dekadensi moral. Melainkan akibat dari terjadinya multi kemerosotan sosial. Semua luntur, sehingga sulit membedakan antara manusia dan hewan. Wujudnya saja mungkin yang tidak sama. Namun, moral, akhlak, budi pekerti, tindak tanduk, perilaku, adat, adab serta berbagai norma dan nilai nilai cerminan Indonesia telah tiada. Nyaris semua lini kehidupan rancu. Terlebih bagi pihak yang bernalar pas-pasan. Mereka pasti kebingungan menilai dan membedakan. Misalnya, Amien Rais itu lurus atau bengkok? Habieb Rizieq Shihab (HRS)itu bajingan atau justru sosok yang mati-matian mempertahankan NKRI? Mayjend TNI (Purn) Kivlan Zein itu tokoh PKI atau penumpas PKI? Sebaliknya ,dua orang saja lagi seperti Harun Masiku dan Djoko Tjandra itu bajingan ataukah sosok pahlawan yang selalu menyerahkan jiwa raganya demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia? Bagi para gobloger akan merasa kesulitan membedakan hal tersebut. Bila dimisalkan ke dunia medis, mereka dalam kondisi disleksia, gangguan intelegensia. Gagal paham. Salah satu penampakan gangguan kesehatan tersebut, adalah sulit membedakan sisi kiri dan kanan. Orang macam ini biasanya keliru mengenakan sepatu sisi kiri di kaki kanannya. Namun bagi para cerdaser yang otaknya waras-wiris gangguan itu tidak berlaku. Mereka selalu jernih melihat. Mana yang kiri, mana kanan? Mana yang bajingan, mana pahlawan? Laksana memandang awan putih di langit biru. Jelas dilihatnya sebagai gumpalan awan putih yang mengambang diantara langit biru. Kebingungan dan kejenuhan publik akibat munculnya bermacam persoalan yang nyaris tak berkesudahan, mengakibatkan sikap apatis dan apriori. Disaat seperti itulah publik mulai berada pada kondisi post truth, kesulitan membedakan antara baik dengan buruk, benar dengan salah. Malah bisa-bisa bertukar tempat. Yang salah dibilang benar. Yang buruk dikatakan baik. Itu akibat tumpukan demi tumpukan kebohongan yang diolah sebegitu rupa, sehingga menghasilkan wujud yang seolah olah sebuah kebenaran. Jika dilakukan secara kontinyu, muncullah logical fallacies di tengah masyarakat. Akhirnya rakyat diajak berpikir, kesalahan itu logis. Misalnya kelak Cak Jancuk jebulnya mencalonkan kembali di periode ke tiga, tentu dengan perubahan UUD 1945, yang tidak sesuai dengan janjinya saat ini, maka itu menjadi logis. Pembaca FNN.co.id budiman. Dimana pun saudara tinggal, kita berharap bukan saja segera mendapat vaksin Covid-19 yang benar benar mujarab. Melainkan, tak kalah penting, juga selekasnya menemukan vaksin untuk mengobati kedunguan. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Peradilan Sesat Kasus Habib Rizieq

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Proses peradilan Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi menarik akibat dijalankan dalam situasi yang tidak normal. Persidangan yaitu dilaksanakan secara online. Terdakwa tidak hadir di ruang persidangan. Cara ini meski bukan hanya berlaku untuk HRS tetapi "kena batunya" di saat peradilan untuk HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Baru dalam sejarah pelaksanaan peradilan online berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 ini mendapat perlawanan sengit dari terdakwa HRS. Istilah peradilan sesat bukannya diksi baru. Tetapi menjadi populer di kancah hukum yang intinya adalah terjadi kesalahan dalam vonis maupun proses peradilan. Kesalahan yang membahayakan atau merugikan seorang terdakwa. Peradilan sesat atau rechterlijke dwaling atau miscarriage of justice harusnya dicegah atau ditiadakan. Karena peradilan sesat akan menggagalkan maksud dan tujuan peradilan tersebut, yang menurut Gustav Radburg disamping untuk kepastian juga keadilan dan manfaat hukum. Kasus yang menimpa HRS yang diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini dipastikan akan menjadi peradilan sesat. Fenomenanya sudah mulai terasa sejak awal-awal proses penyidikan di Polda Metro Jaya. Begitu juga dengan perilaku pemaksaan oleh pihak Penuntut Umum. Kejadian ini mengingatkan kembali bahwa dahulu ada pandangan Komite KUHAP. Komite yang yang menyatakan bahwa tindakan aparat penegak hukum, khususnya penyidik dan penuntut umum itu sangat minim pengawasan. Itu karena diskresi yang dipunyai penyidik dan penuntut umum memang terlalu besar. Beberapa faktor yang mengindikasikan bahwa kasus HRS ini menjadi indikasi peradilan nyata sesat. Pertama, meski tuduhan pelanggaran adalah pidana biasa berkaitan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan maupun aturan KUHP, akan tetapi masyarakat sangat memahami bahwa HRS ini diseret ke ruang pengadilan atas peristiwa politik. Sangat kental dengan nuansa bertarget penghukuman politik. Domein kekuasaan yang masuk di dalam ruang pengadilan, sangat potensial untuk menjadikan ruang itu sebagai peradilan sesat. Kedua, kasus HRS merupakan kasus yang dipaksakan. Perkara atas peristiwa kecil yang digelembungkan untuk menjadi besar. Soal pernikahan, pengajian, dan test SWAB bukan hal yang istimewa. Namun faktanya dapat menjadi jalan bagi pemaksaan kehendak. Jaksa maupun Hakim berat untuk mampu menegakkan hukum secara independen. Ada potensi pemaksaan, penyanderaan, pengancaman jabatan, mungkin juga iming-iming. Ketiga, peradilan online yang sangat tidak adil dengan dalih pandemi. Untuk kasus dan terdakwa lain dapat dilakukan peradilan offline. Namun tidak untuk HRS. Sekedar dapat hadir saja di depan sidang pengadilan sebagai hak seorang terdakwa membutuhkan perjuangan keras. Itupun tidak bisa. Ditambah dengan para Pengacara yang tidak dapat memasuki ruang sidang. Menurut pakar hukum, Jaksa dan Hakim yang seperti ini sebenarnya dapat diadukan ke Mahkamah Agung. Dalam peradilan sesat yang tidak sehat seperti ini, sudah dipastikan tujuan hukum melalui proses peradilan tak akan tercapai. Mencegah masyarakat menjadi korban, apa yang mesti dicegah? Masyarakat yang puas atas tegaknya keadilan, faktanya masyarakat kecewa atas ketidakadilan. Lalu agar pelaku tidak mengulangi kejahatan, nah apa yang jahat dari walimahan, pengajian, serta test SWAB? Masyarakat disuguhi pertunjukan hukum di panggung suka-suka dan penindasan. Pengadilan yang bukan untuk mengadili, tetapi sarana untuk melegalisasi hukuman politik yang jauh sebelumnya telah ditetapkan. Peradilan sesat yang akan menjadi sorotan dan cemohan masyarakat dunia. Menjadi bahan tertawaan sejarah hukum. Di negeri yang tidak merdeka, negeri yang dijajah oleh bangsanya sendiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Hakim Itu Kuncinya Keadilan

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum. Ternate FNN - Ketika hakim bermurah hati, berkordinasi atau menanti salam manis dari kaki tangan penguasa, maka kemanusiaan pasti melayang. Kala kemanusiaan melayang, keadilan menjadi urusan suka dan tidak suka, senang dan benci. Tidak lebih dari itu. Manakala suka dan tidak suka, benci dan rindu, berpadu memandu hakim, maka peradilan menjadi proses penyesatan hukumm paling ampuh. Begitu hukum tersesatkan di pengadilan, maka keadilan tidak lebih dari sekadar alat pemuas nafsu penguasa ekonomi dan politik, siapapun mereka. Pengadilan tidak lagi bisa menjadi benteng keadilan untuk pencari keadilan. Pengadilan berubah jadi legitimator penguasa atas kebijakan-kebijakan yang hanya menyengsarakan rakyat. Pahami & Jiwai Keadilan Mengapa semua peradaban memuliakan keadilan dan pengadilan? Bagaimana peradaban-peradaban itu menemukan “inspirasi” keadilan? Akal budi manusiakah yang menginspirasi keadilan? Dari mana akal budi manusia memperoleh rangsangan tentang keadilan itu? Keadilan tidak terpaku pada hal yang statis. Keadilan juga tidak selalu terhubung dengan hal yang berubah-ubah, dinamis. Panas matahari yang terus-terusan, mengakibatkan air sungai surut, bahkan bisa mengering. Tumbuhan juga sama, bisa mengering. Hujan terus-terusan juga tidak selalu baik. Keseimbangan menjadi hal yang darinya inspirasi tentang keadilan memiliki pijakan. Tidak diluar itu. Bagaimana ceritanya orang menyerahkan urusan yang diperselisihkan kepada hakim untuk ditetapkan atau dinyatakan hukumnya? Untuk waktu yang lama, Raja identik dengan negara, dan negara identik dengan raja. Raja juga identik dengan hukum dan pengadilan.Konsekuensinya peradilan-peradilan yang diselenggarakan oleh raja dan atas namanya sendiri. Menghianati raja sama dengan menghianati kerajaan, negara. Inilah akar konsep “penghianatan terhadap negara” sebagai salah satu alasan impeachment. Tetapi impeachment ala Inggris ironi hanya ditujukan pada pembantu raja, termasuk hakim yang menyelenggarakan persidangan atas nama raja. Praktis keadaan kehidupan direkayasa. Tadinya melalui titah raja, beralih menjadi direkayasa melalui hukum. Postur keadaan masyarakat menjadi postur kebijakan pemerintah. Postur masyarakat sepenuhnya menjadi cermin kebijakan pemerintah yang dilegalisasi dengan hukum. John Rawls, hakim top pada Mahkamah Agung Amerika, terilhami oleh keadaan itu. Baginya keadaan itu merupakan cerminan matinya fairness. Disisi lain fairnes, diyakini Rawls sebagai inti keadilan. Keadilan baginya merupakan nilai fundamental yang menggerakan masyarakat. Kebijakan-kebiakan politiklah menjadi sebagian besar sebab terjadinya ketidakadilan. Ini digambarkan sebagai tidak fair. Rawls, seperti Cicero dan Lon. L Fuller, mengerti fungsi dasar hukum. Bagi Cicero, juga Fuller, hukum itu cerminan derajat akal budi dan kemanusiaan. lmuan-ilmuan ini tahu keadilan selalu mengalir dari hasrat pemuliaan terhadap kemanusiaan. Keadilan tak bisa ditimbang dan dibaca secara terbalik dari konsep. Keadilan tidak bisa juga ditimbang dan dibaca semata-mata berdasarkan teks hukum. Tidak begitu. Bagi mereka, teks harus dipertalikan dengan keharusan memuliakan manusia. Teks tak abadi. Yang abadi dan melekat pada setiap diri manusia adalah kemanusiaannya. Konsekuensinya keadilan bagi setiap orang yang berselisih tidak bisa ditangguhkan, sekalipun hanya sementara, apapun alasannya, terutama politik. Menangguhkan keadilan, sama dengan menangguhkan “kemualiaan” manusia. Padahal dalam sifatnya, kemuliaan itu abadi pada setiap diri manusia. Alam semesta menertawakan setiap pikiran anak zaman, yang mengagungkan tujuan menghalalkan semua cara. Semesta tidak dibentuk dengan cara kotor. Tidak sama sekali. Seimbang dalam semua apek, itulah alam semesta. Itulah keadilan. Hakim Yang Dirindukan Hakim tipe John Rawls, tidak bakal menjadi mata, telinga dan mulut UU. Hakim tipe ini eksis sebagai mata, telinga dan mulut keadilan. Dia tahu teks hukum menjadi basis interpretasi. Tetapi dia akan pergi sejauh mungkin memeriksa pesan yang tak terlihat. Yang dilegalisasi oleh teks itu. Sebab tidak ada keadilan yang tak mengalir dari dan terikat pada hak. Betul hak didefenisikan hanya dalam hukum. Itu cara pandang positivis dalam lautan ilmu hukum. Cara pandang ini digunakan semua kaum oligarki. Hakim berotak bening, berhati mulia, yang tahu malu, karena mengenal dirinya sendiri sesempurna yang bisa sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala, tidak bakal menelan begitu saja konsep positivistik itu. Bagaimana hukum dibuat pasti menjadi arena pemeriksaannya. Menjadi hakim sungguh tak mudah. Pekerjaan ini terlihat sulit. Hanya orang pintar dan terdidik jiwanya, yang dapat memasuki arena berbahaya ini. Hakim bertolak encer, dengan hati bening, memaksa dirinya melihat atasannya sebagai hal kecil. Menyepelekan kemauan politisi besar, akan terasa ringan baginya. Personal hakimlah penentu ada tidaknya keadilan. Kepintaran dan hikmahnya terlihat pada argumentasi yang disajikan dalam pertimbangan putusan. Pertimbangan itulah mahkota hakim. Tidak diluar itu. Hakim pintar dan berotak bening tidak berlindung dibalik contemp of court. Hakim pintar, dengan hati terbimbing sabda-sabda alam, tahu pengadilan itu tempat adu penjelasan, dan argumentasi. Contempt of Court, yang dikenal sebagai benteng pelindung independensi pengadilan, khususnya hakim, hanya punya satu tujuan. Tujuannya memberi jaminan kepada hakim untuk bebas menggunakan semua kemampuan intelektualnya yang terbimbing. Menemukan keadilan dalam perkara yang diperiksanya. Senjata itu, contempt of court dan independensi sebagai temuan hebat demokrasi, dalam praktek acap terlihat berwajah ganda. Terlihat sebagai singa lapar yang penyendiri pada satu waktu, dan di lain waktu terlihat ompong seompong-ompongnya. Pemerintah demokratis, selalu memilki sumberdaya melumpuhkan mereka. Gaji, fasilitas dan lainnya, adalah cara pemerintahan demokrasi menertawakan, membuat independensi pengadilan menjadi singa ompong seompong-ompongnya. Bukan pengadilan yang dikenang orang. Bukan, sekali lagi bukan. Yang dikenang orang dari pengadilan adalah hakim-hakimnya. Yang dikenang dari hakim adalah jalan pikiran yang tertuang dalam putusan dan sikap-sikapnya dalam sidang. Pembaca FNN yang budiman. Earl Warren, yang disingkirkan oleh Dwigh H. Eishenhower pada konvensi capres partai Republik, tetapi Warren diangkat oleh Eishenhower jadi Ketua Mahkamah Agung. Dia akhirnya ditulis dan dikenang sejarah sebagai hakim top karena putusan-putusannya. Putusannya dalam perkara Brown v. Board of Education (1954), Earl Warren menyatakan segregasi rasial di sekolah umum inconstitutional. Putusan the Warren Court itu juga dipakai menghentikan segreasi rasial yang dilembagakan dalam Jim Crow Laws, diseluruh negara bagian Selatan Amerika. Waren keluar dari sikap dan tindakan ketika masih menjadi kepala Depertamen Kehakiman California. Pada jabatan ini dia memimpin pemindahan orang Jepang-Amerika di California ke kamp penampungan. Ketika menjadi Chief of Justice di Supreme Court, Warren menjadi figur besar. Dengan kedudukannya sebagai Chief Justice, menghimpun seluruh koleganya menyudahi diskriminasi rasial yang jorok itu. Hebat. Amerika beruntung ada Earl Warren (Ketua Mahkamah Agung) dan Dwigh H. Eishenhower, Presiden. Ketika Orval Faubus, Gubernur Arkansas, menolak mematuhi putusan itu, Eishenhower mengirim National Guard ke Arkansas. Dia memaksa Gubernur Faubus mematuhi putusan itu. Hebat Eishenhower. Keduanya berhak atas penghormatan. Penghormatan yang samakah yang akan mendatangi Ketua Mahkamah Agung Kita, Yang Mulia Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH? Untuk sementara simpan saja dulu soal itu. Satu hal pasti dunia peradilan Indonesia mutakhir sedang diperbincangkan dalam konteks persidangan perkara Habib Rizieq. Pada satu sidang terlihat terjadi debat menarik antara habib dengan hakim. Habib Rizieq kukuh ingin menggunakan “haknya” yang diberikan oleh UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Hak itu adalah hadir dalam ruang sidang pengadilan. Betrdasarkan hak itu, Habib keberatan terhadap sidang atas perkaranya dilakukan secara online. Andai persidangan Habib terus dilakukan tanpa dirinya hadir dalam persidangan, maka soalnya logiskah keadaan itu diletakan semata dibatas putaran untung dan rugi menurut timbangan sistem hukum? Menariknya, kini gema contemp of court atas sikap habib membahana dengan citarasa menggelikan. Hak terdakwa yang diperoleh melalui UU ditangguhkan dengan Perma tidak bergema. Apa kata dunia? Kalau saja hak tak lagi penting, dikalahkan oleh keadaan, termasuk keadaan pandemic covid-19, alam semesta tak bakal menuntut semua mahluk patuh pada kaidahnya. Kala kaidah tentang hak tak lagi penting, maka kehidupan akan didatangi doktrin Thomas Hobes, ilmuan Inggris ini. Doktrinya adalah “bellum omnium contra omnes”. Ini anarchi condition. Yang kuat menerkam, menelan, memakan dan mengunyah yang lemah. Ini barbarian society. Tidak ada kemanusiaan, dan keadilan. Tragis dan memalukan. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Jangankan Tiga Periode, Dua Saja Rakyat Sudah Jenuh

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Belum ada alasan logis dan ilmiah wacana presiden tiga periode. Jalan periode kedua saja, rakyat sudah tidak kuat menanggung tekanan hidup sehar-hari. Beban untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyat sehari-hari sudah semakin memberatkan. Kondisi ini sebagai akibat dari tata kelola negara yang amburadul, suka-suka hati dan tidak paham apa yang dikerjakan. Negara diurus tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan benar. Adakah yang bisa menjelaskan keberhasilan rezim ini selama Jokowi menjadi presdiden secara ilmiah? Misalnya, ekonomi mengalami lompatan pertumbuhan yang spektarkuler. Dari 5% yang ditinggaalkan Soesilo Bambang Yudhoyono di Oktober 2014, naik menjadi 6% atau 7%? Faktanya pertumbuhan ekonomi bukannya bertambah baik, namun malah terjun bebas, dengan angla pertumbuhan ekonomi minus. Selama tahun 2020 saja, Indonesia telah mengalami pertumbuhan minus -2,07%, demikian ditulis (Binis Indonesia.com 07/02/2021). Dengan demikian, selama Jokowi menjabat telah mengalami pertumbuhan eknomi minus -7,07% dari sebelumnya pertumbuhan ekonomi 5,6% ketika ditinggal SBY pada 20 Oktober 2014 lalu. Ketergantungan negara terhadap utang luar negeri bukannya semakin berkurang. Malah semakin ugal-ugalan di eranya Jokowi menjadi presiden. Utang pemerintah sejak Presiden Soekarno sampai SBY akhir 2014 hanya sebesar Rp. 2.982 triliun. Jumlah itu, terdiri dari utang luar negeri pemerintah Rp 1.881 triliun, dan utang dalam negeri yang berbentuk Surat Utang Negara (SUN) Rp. 1.101 trliun. Sekarang total hutang pemerintah sampai akhir Februari 2021 adalah Rp. 6.390 triliun. Jumlah tersebut, terdiri dari utang luar negeri pemerintah Rp. 3.034 triliun, dan utang dalam negeri yang berbentuk SUN Rp. 3.356 triliun Dengan demikian, hanya dalam enam setengah tahun pemerintahan, Jokowi telah sukses dan berhasil membuat hutang pemerintah Rp. 3.408 trliun. Pemerintahan Jokowi telah berhasil menyapu bersih prestasi seluruh utang pemerintah yang dibuat sejak Republik Indonesia berdiri 17 agustus 1945 lalu, yang hanya Rp 2.982 triliun. Hebat sekali Jokowi. Prestasinya yang sangat luar biasa dan spektakuler adalah menciptakan utang pemerintah yang melampaui enam presiden sebelumnya. Patut mendapatkan rekor dari Mesium Muri dari Jaya Suprana. Sekarang Parlemen lemah. DPR berhasil dikangkangi dengan UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Corona yang namanya sangat panjang itu. Akibatnya, penegakan pukum parah. Tajam ke oposisi, dan tumpul ke koalisi. Diskriminasi dan kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) ditangkap. FPI juga dibubarkan. Laskarnya enam orang dibunuh. Sidang pengadilan dengan online. Kenapa takut dengan sidang offline? Kedzaliman yang bagaimana lagi yang hendak kalian sembunyikan? Menguatkan asumsi bahwa hukum hanya ditegakan berdasarkan pesanan cukong dan penista agama. Korupsi juga semakin menggurita. BUMN berguguran dan collapse, terjerat oleh utang, dan core business terancam diambil alih swasta. Sistem ekonomi kapitalistik dan liberalistik merajalela. Sistem multi partai mengarah ke eksisnya partai tunggal. Partai dan ketua umum telah terkooptasi oleh oligarki politik bercitarasa RRC komunis. Politik penuh dengan rasa dendam, kebencian dan permusuhan terhadap pemeluk agama mayoritas. Petugas partai hanya melaksanakan skenario sesuai agenda pemodal dan operator. Komandan operator lapangan adalah geng jenderal merah. Kalau ada rakyat yang mau agar Jokowi tiga periode. Pertanyaanya adalah, itu rakyat yang mana ya? Jangan tiga periode, dua saja rakyat sudah jenuh dan sumpek. Jangan-jangan yang punya gagasan tiga periode, hanya mempolitisasi “keluguan rakyat” dengan janji-janji palsu, dan penggiringan opini melalui lembaga survei, politisi dan pengamat partisan. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 saja rakyat meragukan kalau dilaksanakan dengan jujur dan adil. Bagaimana mungkin minta tiga periode ketika Pilpres ditengarai penuh kecurangan dan banyak pemilih siluman? Ketiadaan prestasi dan reputasi kecuali hanya menjalankan agenda politik mafia taipan cukong dan jenderal merah. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

Hati-Hatilah Kalian, Habib Rizieq Itu Bukan Penjahat

by Asyari Usman Medan, FNN - Tuan-tuan yang terhormat, para penguasa Indonesia. Tuan-tuan yang mulia, yang bisa melakukan apa saja sesuka hati. Kemarin, banyak orang yang meneteskan air mata. Mereka sedih. Terhenyak. Mereka juga marah. Perasaan mereka tertusuk. Karena kalian perlakukan Habib Rizieq Syihab (HRS) dengan semena-mena. Dengan hina. Dengan angkuh. Dengan sombong. Ingatlah, wahai para penguasa! HRS bukan meminta perlakuan istimewa. Dia tidak meminta apa-apa dari kalian. Dia hanya meminta agar dihadirkan langsung di ruang sidang PN Jakarta Timur untuk mengikuti persidangan atas dirinya. Dia meminta itu bukan karena gagah-gagahan. Bukan karena ingin menghambat. Beliau meminta hadir langsung disebabkan rasa tak nyaman mengikuti sidang online (daring). Mengenai peraturan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan sidang daring, Habib menyebutkan beberapa contoh terdakwa bisa hadir di ruang sidang langsung. Termasuk Joko Tjandra, Pinangki, dan Irjen Napoleon Bonaparte. HRS tegas menolak sidang daring. Beliau mempersilakan majelis hakim melanjutkan sidang tanpa kehadiran dirinya lewat kamera. Mempersilakan hakim menjatuhkan vonis apa saja. Beliau rela. Belian akan terima. Asalkan dia tidak dipaksa sidang daring. Beliau digiring dengan paksa untuk duduk di depan kamera yang tersambung ke ruang sidang. Proses pemaksaan inilah yang membuat Habib Rizieq merasa dihinakan. Beliau tidak merasa tinggi dari siapa pun. Tapi, cara dia dipaksa ke depan kamera telah menyinggung perasaan beliau. Tuan-tuan yang terhormat. Hati-hatilah kalian. HRS itu bukan penjahat seperti yang kalian persepsikan lewat penangkapan, penahanan, pendakwaan dan penyidangan. Dia hanya berusaha memperjuangkan keadilan. Dia berjuang agar bangsa dan negara ini bebas dari berbagai kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Lihatlah, tuan-tuan yang mulia. HRS tidak melakukan perbuatan yang merugikan rakyat dan negara. Kalian semua tahu itu. Dia hanya didakwa melakukan tindak pidana kerumunan. Tentu kalian masih ingat ketika Presiden Joko Widodo memicu kerumunan di Maumere, NTT, sewaktu dia melakukan kunjungan pencitraan di sana pada 23 Februari 2021. Dia tidak disentuh hukum. Ada saja alasan yang kalian kemukakan. Padahal, jelas-jelas Jokowi dikerumuni ratusan atau mungkin ribuan orang tanpa protokol kesehatan. Ingat, tuan-tuan yang terhormat! Habib Rizieq tidak melakukan kejahatan yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Yang melakukan kejahatan di Indonesia ini adalah mereka yang rakus, sadis, bengis. Bukan HRS. Mereka yang menggarong kekayaan rakyat di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dlsb. Bukan HRS. Mereka yang menilap dana Covid-19 sampai triliunan rupiah. Bukan HRS. Mereka pula yang melakukan korupsi lobster, Jiwasraya, Asabri, Bumiputra, Pertamina, BLBI, Century, dll. Bukan HRS. Mereka yang membangkrutkan maskapai Garuda Indonesia. Bukan HRS. Mereka yang membuat PLN tumpur-lebur. Bukan HRS. Mereka yang mencuri uang e-KTP. Bukan HRS. Mereka yang melindungi Tuan Joko Tjandra (JK). Bukan HRS. Mereka yang membuatkan surat jalan untuk JT ketika dia menyeludup masuk dari pelarian di luar negeri. Bukan HRS. Mereka yang mengusahakan penghapusan “red notice” Interpol Joko Tjandra dengan cara menyogok. Bukan HRS. Mereka yang mau membuatkan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk JT dengan proposal 150 miliar. Bukan HRS. Mereka yang menerima sogok Buku Merah. Bukan HRS. Mereka yang sedang menumpuk kakayaan ilegal. Bukan HRS. Mereka yang mejerumuskan negara ini ke jurang utang besar. Bukan HRS. Mereka juga yang menggerogoti uang pinjaman ribuan triliun itu. Bukan HRS. Mereka pula yang merusak lingkungan dan hutan di mana-mana. Bukan HRS. Tapi, mengapa HRS yang dizalimi? Yang dikejar-kejar sampai ke lubang cacing? Yang, konon, diskenariokan akan mendekam di penjara sampai usai Pilpres 2024? Hati-hatilah kawan. Jangan kalian hinakan Habib Rizieq. Dunia ini berputar. Semua orang memperhatikan kezaliman kalian. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.