Cicilan Informasi Pembunuhan di KM 50 Tol Japek
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN - Rilis berita dari Badan Reserse kriminal (Bareskrim) Polri soal peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI disamping sedikit-sedikit, juga minim informasi. Peristiwa besar yang dikecil-kecilkan. Kemarin rilis baru menyebut ditemukan dua alat bukti. Sebelumnya menyebut tiga anggota Polri dari Polda Metro Jaya yang menjadi calon tersangka.
Mereka tiga anggota Polda tero Jaya tersebut diumumkan sebagai terlapor. Hingga kini nama-nama ketiganya masih saja disembunyikan. Ironi dalam sebuah tragedi kemanusiaan. Seperti sedang mencari cara dan strategi untuk mengumumkan nama-nama. Khawatir kalau diumumkan nanti bisa merembet komandan yang lebih tinggi. Kemungkinan bisa jendral polisi bintang satu, dua atau lebih.
Sedikit-demi sedikit disebut tentang aturan yang bakal disangkakan, yaitu Pasal 338 KUHP Jo Pasal 351 pembunuhan dan penganiayaan. Ketika ditanya oleh wartawan tentang inisial ketiga calon tersangka tersebut, Brigjen Polisi Rusdi Hartono setelah terdiam agak lama, akhirnya menjawab "nanti kita akan cek lagi". Memang nampaknya penyidikan ini agak istimewa.
Mengubah skenario dari tersangka enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) yang disiksa dan dibunuh menjadi tiga anggota Polri dari Polda Mtero Jaya tentu saja bukan pekerjaan mudah. Sejak awal sebenarnya dugaan bahwa ada anggota Polri yang bersalah sudah semestinya diperhitungkan. Namun kini masalahnya menjadi babaliut. Bingung dan bingung untuk mengumumkan.
Yang kini menjadi pertanyaan krusial adalah, apakah pembunuhan di lapangan tersebut berdiri sendiri? Ataukah atas dasar koordinasi lebih dulu dan instruksi dari atasan pelaku? Inilah persoalan paling ruwet. Harus dicari dalil pembenaran, sebab bisa saja berantakan di pengadilan nanti. Kesulitan pengumuman nama ketiga calon tersangka bermodal "dua alat bukti" itu mungkin disebabkan pertimbangan.
Pertama, apakah tiga calon tersangka tersebut adalah benar-benar pelaku penembakan di mobil yang membawa keempat anggota laskar yang masih hidup? Atau mereka bertiga hanya sebagai figur yang minim pengetahuan tentang duduk persoalan yang sebenarnya? Apa yang terjadi jika pelaku sebenarnya adalah "Harun Masiku" yang hilang itu?
Kedua, bagaimana membuat konstruksi hukum untuk perbuatan yang melibatkan lebih dari tiga anggota Polda Mtero Jaya itu sebagai pelaku di lapangan? Dugaan bahwa hal ini bukan semata insiden, tetapi "by design" perlu dijawab oleh keterangan yang digali atau dicecar penggaliannya terhadap tiga tersangka di depan pengadilan nanti. Pembunuhan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) menjadi menarik.
Ketiga, rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan siapa penumpang mobil Land Cruiser yang diduga menjadi "komandan" operasi lapangan harus terjawab dalam proses hukum terhadap tiga calon tersangka anggota Polri dari Polda Metro Jaya itu. Mata rantai peristiwa yang tidak boleh terputus.
Keempat, unlawful killing terhadap empat anggota laskar FPI tidak bisa dipisahkan dari pembuktian penembakan kepada dua anggota laskar FPI lainnya. Ada dua mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang berisi sejumlah aparat menjadi eksekutor. Dari kesatuan mana dan siapa mereka? Mabes Polri tidak bisa mengabaikan hal ini. Fakta yang terbunuh adalah enam anggota laskar FPI, bukan empat.
Kelima, pembunuhan ini dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP yang tentu saja menimbulkan pertanyaan publik, dimana dan bagaimana anggota laskar ini disiksa? Mungkinkah dilakukan di mobil selama perjalanan? Dengan melihat luka-luka yang dialami korban, wajar jika publik menduga kuat ada lokasi tertentu yang menjadi tempat penyiksaan.
Soal dugaan lokasi penyiksaan ini menjadi bagian penting dari pengungkapan peristiwa yang semestinya sudah terkuak pada tahap penyidikan. Jika tidak terbuka di penyidikan, maka kemungkinan akan terbuka nanti di persidangan. Sementara persidangan bakal diikuti dan dipantau oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Termasuk tentu saja dari Komnas HAM.
Mengingat dampak ikutan yang meluas, maka hal yang mudah dalam pandangan publik menjadi sulit pada proses hukum. Kasus penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang melibatkan dua anggota polisi menjadi cermin dan pelajaran yang berharga. Hal ini sekaligus menjadi ujian bagi profesionalitas kepolisian dan keadilan Majelis Hakim di ruang Pengadilan.
Peristiwa pembunuhan enam anggota laskar FPI terkait dengan "perburuan" Habib Rizieq Shihab (HRS). Sebagai pembunuhan politik, diduga proses hukum akan berjalan berbelit-belit sebagaimana rumit dan berbelitnya kasus-kasus politik lain. Meskipun demikian, kita yakin bahwa ada hakim yang punya hati nurani dan keadilan hakiki yang akan ditunjukkan oleh Ilahi Robbi.
Ketika proses berjalan lambat dan miskin akan informasi, ketahuilah bahwa rakyat itu sebenarnya lebih cerdas dan berpengetahuan. Proses yang berjalan hanya tahapan pencocokan-pencocokan saja. Jika cocok, maka dinilai nurani kejujuran itu masih ada dan jika tidak, maka dipastikan akan ada hukuman berat yang menunggu di depan. Wallahu a'lam.
Panulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.