Perlu Dialog Jakarta-Papua Seperti Tawaran Jokowi Untuk Myanmar
by Marthen Goo
Jayapura FNN - “…Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?...” jika merujuk pada kata-kata Yesus Kristus yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai Tuhan, dan jika bisa direfleksikan kembali dengan pernyataan Kristus tersebut, barang kali ini yang dimaksudkan.
Adakah praktek hal yang sama? Dimana masalah Papua di dalam negara sendiri diabaikan. Bahkan aspek kemanusiaan tidak diperhatikan, dan dilakukan pendekatan yang sama berulang-ulang. Sementara di Myanmar, aspek kemanusiaan dianggap jauh lebih prioritas dan penting. Aneh bin ajaib.
Tentu sebagai manusia yang beradab, patut kita kutuk semua kejahatan dan kekerasan yang melukai, merendahkan dan menghancurkan martabat manusia dimana saja manusia berada. Bahkan semangat deklarasi universal hak asasi manusia di dunia adalah semangat yang mengedepankan kemanusiaan sebagai hak hidup yang wajib dihormati oleh siapapun.
Deklarasi universal hak asasi manusia yang lahir pada 10 Desember 1948 adalah deklarasi yang menghormati hak asasi manusia di dunia tanpa perbedaan kelas, rumpun, ataupun agama. Dalam semangat itu kemudian di Indonesia, penghormatan kepada Hak Asasi Manusia (HAM) dirumuskan secara utuh dalam konstitusi negara secara tertulis. Bahkan dipertegas dengan ketat setelah dilakukan amandemen yang ke-4 UUD 1945.
Setelah itu, dirumuskan juga dalam Undang-Undang baik Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Walau demikian, apakah kejahatan terhadap HAM di Papua berhenti? Tentu saja tidak. Masih tetap saja terus kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua. Bahkan kejahatan rasisme pun tetap dilakukan.
Menurut Raga Kogoya, Tim Relawan Kemanusiaan Nduga,“…kalau kami bicara tentang Nduga, orang banyak yang meninggal, dan suku Nduga itu akan hilang akibat operasi militer. Anak-anak jadi korban tidak sekolah, ibu-ibu banyak meninggal saat melahirkan. Masyarakat 11 distrik sudah kosong. Terjadi pengungsian besar-besaran sampai ke Jayapura dan Wamena,Timika, Ilaga, ada juga yang sampai ke Asmat dan Merauke”.
Masih kata Raga Kogoya,,, “semua itu akibat asap bom yang diturunkan. Banyak masyarakat Nduga yang meninggal. Banyak yang ditembak. Kami kemudian tidak mendata lagi karena kami diancam, terus kami dikejar. Pengungsi tidak bahwa KTP dan KK. Jadi saat mengungsi di Wamena kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan. Ada yang meninggal karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan”.
“,,,kami membangun sekolah untuk pengungsi dalam pengunsian, tetapi kami ditekan. Kami beribadah juga. Mobil tentara masuk ke-arah tempat ibadah dan keliling. Anak-anak ditekan. Anak-anak kemudian terlantar sampai tidak sekolah sejak 2017 hingga sekarang, sudah 4 tahun lamanya”.
Keterangan Raga Kogoya sebagai tim relawan memberikan gambaran tentang situasi Nduga saat ini. Sudah berjalan mencapai 4 tahun, dimana rakyat menjadi ancaman serius. Kasus yang sama juga sedang terjadi di Intan Jaya. Bahkan ada pengungsian juga di Timika. Negara yang mestinya hadir untuk melindungi dan menyelamatkan rakyat pengungsi. Sayangnya itu belum terlihat.
Kenyataan yang berbeda dengan kasus Wamena, dimana ketika warga non-Papua hendak mengungsi, kekuatan negara langsung hadir dan memfasilitasi pengungsian. Bahkan untuk diberangkatkan keluar Papua pun difasilitasi negara. Perbedaan perlakuan yang dipertontonkan negara kepada publik.
Tentu saja semangat kita adalah melawan kejahatan kemanusiaan dan praktek-praktek rasisme yang merendahkan martabat kamanusiaan. Agar kedamaian bisa terwujud diantara sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sama tanpa perbedaan dan tampa kelas. Semangatnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Semoga semangat itu bisa diwujudkan Presiden. Myanmar harus dibantu demi kemanusiaan, begitu juga dengan Papua.
Presiden Dorong Dialog Myanmar
Presiden menyampaikan keprihatinan kemanusiaan yang terjadi di Myanmar dengan berkata, “…atas nama pribadi dan seluruh rakyat Indonesia, saya menyampaikan dukacita dan simpati yang dalam kepada korban dan keluarga korban akibat penggunaan kekerasan di Myanmar”.
Indonesia kata Presiden Jokowi, “mendesak agar penggunaan kekersan di Myanmar segera dihentikan. Sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama. Indonesia juga mendesak agar dialog, agar rekonsiliasi segera dilakukan untuk memulihkan demokrasi, untuk memulihkan perdamaian dan untuk memulihkan stabilitas…”
Atas pernyataan Presiden terhadap Myanmar tersebut, patut diberiapresiasi sebagai penghormatan kepada kamanusiaan sebagai cita-cita bangsa, dan tujuan nasional yakni “mewujudkan perdamaian dunia”. Bahkan sebagai perwujudan sila kedua walau lintas negara.
Untuk Myanmar, Presiden tidak hanya menyampaikan keprihatin atas nama pribadi dan kepala negara. Presiden juga mendesak dilakukannya dialog dan rekonsiliasi sebagai jalan untuk mencapai solusi damai. Terus, bagimana dengan Papua Pak Presiden? Bukankah untuk hal yang sama, seharusnya sudah dilakukan terhadap Papua Pak Presiden?
Jika ucapan dukacita bisa disampaikan kepada Myanmar, mestinya yang sama juga disampaikan kepada rakyat Papua yang selalu mendapat kekerasan berkali-kali sampai saat ini. Jika kekerasan di Myanmar dihentikan, mestinya kekerasan di Papua juga dihentikan, dengan melakukan pendekatan kemanusiaan. Hentikan pengiriman pasukan berlebihan ke Papua. Seharusnya diganti dengan pengiriman dokter dan tim medis, apalagi dalam situasi Covid. Perlu pengiriman guru untuk anak-anak yang dipengungsian.
Kembali lagi soal dialog dan rekonsiliasi, bukankah bijaksana jika Papua sudah dilakukan dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai? Itu sebagai contoh pernyataan Presiden ke publik Indonesia dan dunia tersebut?
Bagimana jika orang menyoroti pernyataan Presiden, bahwa Presiden Indonesia menunjukan prihatin kemanusiaan kepada Myanmar, tetapi di dalam negaranya sendiri, soal Papua bermasalah. Sejak Papua dimasukan ke Indonesia sampai saat ini terus terjadi kejahatan kemanusiaan. Negara terus melakukan pendekatan keamanan dengan berbagai operasi keamanan yang melahirkan pelanggaran HAM ?
Semoga tulisan ini dibaca Pak Presiden. Jangan sampai tibah pada kesimpulan dalam bahasa pasaran yang selalu disampaikan anak milenial bahwa “Papua latihan lain, main lain”. Artinya, bicara lain, perbuatan lain. Pak Presiden jika merasa penting, lakukan dialog dan rekonsiliasi. Cobalah Pak Presiden lakukan terhadap Papua, agar pernyataan Presiden bisa dihargai. Perlu lakukan pendekatan di Papua untuk menyelesaikan masalah-masala di Papua secara menyeluruh. Hindari “latihan lain, main lain”.
Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua
Mendengar pernyataan Presiden terhadap kasus Myanmar, tentu ada publik yang merasa bangga. Ada juga publik yang merasa heran, apalagi orang Papua, karena Presiden menunjukan kepedulian terhadap kemanusiaan rakyat Myanmar. Tetapi mengabaikan kemanusiaan rakyat Papua.
Alm. Pastor Dr. Neles Tebai Pr. yang adalah koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) pernah berjumpa Presiden dan menyampaikan konsep dialog Jakarta-Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai Papua. Namun sampai saat ini, dialog Jakarta-Papua belum juga dilakukan.
Dalam semangat menghormati hak asasi manusia, Komisi Tinggi HAM PBB hendak ke Papua. Namun sampai saat ini, mereka masih kesulitan untuk masuk ke Papua. Mestinya Presiden bisa menjamin kelancaran mereka mengunjungi Papua dan berjumpa dengan korban dan keluarga korban. Setidaknya pernyataan Presiden untuk Myanmar itu dibuktikan juga terhadap kehadiran Komisi Tinggi HAM PBB. Sekali lagi, ini dalam konteks kemanusiaan, karena itu juga yang disampaikan Presiden.
Menurut Theo Esegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua “…Saya harap bapak Presiden dan jajarannya coba buka diri dan ruang, agar dari Komisi Tinggi HAM di PBB dapat melakukan kunjungan ke Papua. Sehingga dapat membuktikan desakan 83 negara terkait isu pelanggaran HAM di Papua. Apa artinya kepala negara tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB masuk ke Papua? Namun menunjukan sikap terkait konflik kekerasan di Nyianmar? …”
Sebanyak 83 negara telah memberikan pandangan saat merespon kasus pelanggaran HAM di Papua. Negara-negara itu menyimpulkan masalah pelangaran HAM di Papua adalah masalah serius yang harus diselesaikan. Untuk itu mendesak Komisi tinggi Ham PBB untuk melakukan kunjungan ke Papua Barat. Terhadap hal ini, atas nama kemanusiaan, Presiden harus membuka akses, mempraktekan dialog dan rekonsiliasi tersebut untuk Papua.
Kita harus sepakat bahwa cara-cara kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Setiap kekerasan adalah kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihapuskan. Cara menghapusnya adalah dengan memperbanyak dialog dan rekonsiliasi sebagai perwujudan pernghormatan terhadap kemanusiaan. Tentu yang namanya damai itu indah dan damai itu impian setiap insan manusia, apalagi rakyat.
Atas dasar dan semangat penghormatan terhadap kemanusiaan sila kedua Pacasila itu, dan didorong oleh keinginan yang luhur untuk mewujudkan tujuan nasional, prinsip konstitusional dan kemanusiaan, Presiden Jokowi diharapkan untuk segera menggelar Dialog Jakarta-Papua. Presiden harus menunjuk Wakil Presiden sebagai penganggungjawab Politik, dan menunjuk Special Envoy untuk mempersiapkan dialog. Kecuali kalau mau berhenti pada “latihan lain, main lain”.
Pak Presiden yang terhormat, mari selesaikan masalah Papua dengan cara yang bermartabat, terhormat dengan digelarnya Dialog Jakarta-Papua. Buktikan kalau bisa bicara untuk Myanmar, bisa juga dilakukan untuk Papua.
Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Dari Papua.