OPINI

Presiden Tiga Priode Bukan Ilusi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Wacana tiga periode masa jabatan Presiden terus menggelinding. Gagasan ini sejalan dengan agenda Amandemen UUD yang ingin menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Publik melihat ini sebagai agenda tersembunyi. Berbagai elemen masyarakat mewacanakan melalui berbagai spanduk dan pandangan kalangan politisi. Misaslnya, seperti yang diungkapkan oleh mantan politisi Partai Gerindra Arief Poyouno atau Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, Saan Mustofa. Arief yakin 85% rakyat mendukung gagasan tiga periode. Pandangan Amien Rais untuk mewaspadai kemungkinan amandemen UUD 1945 dipakai sebagai pintu masuk untuk penambahan periode jabatan Presiden mengingatkan dirinya bahwa saat memimpin sidang-sidang MPR. Ketika itu MPR justru mengamandemen dari tidak terbatasnya masa jabatan Presiden yang dipraktekkan rezim Orla dan Orba menjadi hanya dua periode saja. Reaksi Presiden Jokowi yang menolak atas usulan tiga periode yang dinilai menampar, mencari muka, dan menjerumuskan itu belum mampu meyakinkan publik. Masalahnya adalah kepentingan koalisi yang dapat mendaulat dengan dalih dukungan rakyat. Disamping tentunya tingkat kepercayaan publik yang rendah pada ucapan dan kebijakan Presiden Jokowi. Buku karya Ben Bland yang berjudul "Man of Contradictions : Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia" cukup menggelitik. Profil Jokowi digambarkan penuh dengan kontradiksi. Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal, tetapi prakteknya adalah proteksionisme. Presiden mencitrakan diri sebagai rakyat, namun dikelilingi oleh elite oliganki dan konglomerasi busuk, picik, licik dan culas. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tetapi dia berlindung dibalik kelompok konservatif". Jokowi memang tak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Maunya pemerintahan tanpa oposisi. Menurutnya demokrasi liberal tak cocok dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yaitu gotong royong. Arahnya adalah otoritarianisme. Partai Politik dan Parlemen yang dikuasai. Bland menyebut Jokowi sebagai "orang partai Soekarno yang berfikir layaknya Soeharto". Dari aspek Hukum Tata Negara semangat PDIP dan partai lain yang ingin mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN atau kini PPHN sebagai pedoman bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan, membawa konsekuensi pada kedudukan Presiden sebagai Mandataris. Dengan demikian, Presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN atau PPHN kepada MPR. Artinya, terbuka untuk Presiden dipilih oleh MPR kembali. Adapun arah wacana dari perpanjangan jabatan hingga tiga periode, memiliki beberapa target politik. Pertama, untuk meng-upgrade wibawa Presiden yang semakin ambruk. Predikat Presiden tanpa prestasi, tukang hutang, spesialis ingkar janji, atau tidak kapabel menunjukkan kerendahan wibawa. Dengan wacana tiga periode, beserta penolakannya, maka dicitrakan bahwa sebagai Presiden itu hebat, sehingga masih dibutuhkan lagi. Kedua, politik dialektika yang sedang dimainkan. Tesisnya dukungan tiga periode, anti tesis Jokowi menolak. Sintesisnya adalah proteksi keamanan dan kepentingan pasca turun di 2024 bersama dengan para dinastinya. Ada jaminan dari partai koalisi, termasuk Partai Demokrat yang baru dilumpuhkan atau dibajak oleh Moeldoko. Ketiga, memastikan untuk berakhir sampai 2024. Desakan untuk mundur sebelum 2024 semakin menguat sejalan dengan rontoknya ekonomi, persoalan hak asasi, gonjang ganjing ideologi. Begitu juga dengan indeks demokrasi yang anjlok serta rapat merat penegakan Hak Asasi Manusia (HAM ) dari Kominasi Nasional (Komnas HAM). Penanganan pandemi covid-19 yang juga membuat frustasi. Wacana tiga periode adalah melompat dalam optimisme untuk membungkus pesimisme. Jokowi lebih pantas mundur sebelum 2024. Langkah ini sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara dari keterpurukan. Mundur sebelum 2024 jauh lebih baik untuk upaya pemulihan ekonomi, politik dan sosial budaya. Teriakan palsu menolak atau menganggap ilusi jabatan Presiden tiga periode adalah permainan politik. Begitu masif, terstruktur, dan sistematik upaya pembodohan rakyat yang sedang terjadi. Karenanya, untuk membuktikan bahwa benar Jokowi tak berminat untuk jabatan tiga periode, berilah pelajaran berharga bagi masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia untuk lengser dengan terhormat sebelum 2025. Jika dengan sukarela Jokowi mengundurkan diri sebelum selesai jabatan tahun 2024. Dampak positif adalah, pasti Jokowi akan dikenang sebagai pemimpin yang tahu diri. Dengan besar hati mau pemberi kesempatan kepada generasi mendatang yang jauh lebih baik darinya. Jika Arief Poyouno yakin 85% rakyat dukung tiga periode untuk Jokowi, nampaknya keyakinan lain adalah 85% rakyat Indonesia dukung Pak Jokowi selesai sebelum 2024. Apakah untuk pembuktian ini perlu Referendum? Boleh juga rasanya dicoba. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

"Polisi Pikiran"

by Zainal Bintang Jakarta FNN - Kepolisian Republik Indonesia menginisiasi pembentukan polisi yang bukan polisi sebagaimana yang senyata-nyatanya atau sehari-hari. Bukan polisi seperti yang kita jumpai selama ini. Rabu, 24 Februari 2021 lalu, Polri meluncurkan program ”Virtual Police”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), virtual memiliki tiga arti atau makna. Pertama, disebut secara nyata. Kedua, adalah mirip atau sangat mirip dengan sesuatu yang dijelaskan. Sederhananya, virtual adalah mirip dengan sesuatu yang dijelaskan melalui perantara internet. Jika berpegang kepada pengertian “mirip dengan sesuatu”, maka sederhananya “Virtual Police” dapat dianalogikan dengan “Polisi Buatan atau Polisi Tiruan”. Virtual adalah segala komunikasi yang dilakukan secara maya untuk terhubung dengan lawan bicara. Disebutkan, tugas “Polisi Tiruan” itu adalah langkah preventif memotong penggunaan pasal karet UU ITE. Bertujuan menahan laju korban yang mungkin berjatuhan akibat pengaduan sepihak kepada polisi. Juru bicara Polri mengatakan, diharapkan hal itu sebagai bagian dari upaya menjaga Kamtibmas di dunia digital agar tetap bersih, sehat dan produktif. Kebijakan Polri membentuk “Polisi Tiruan” dapat dianalogikan sebagai upaya negara menata kehidupan masyarakat. Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari penyimpangan peraturan yang dapat berakibat kasus hukum. Intensitas tingginya kepedulian negara kepada warga masyarakat juga dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menginisiasi terbentuknya “Kementerian Kesepian” (Ministry of Loneliness). Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menunjuk Tetsushi Sakamoto untuk menjabat sebagai Menteri Kesepian. Penunjukan itu dilakukan pada Jumat, 12 Februari 2021. Pemerintah Jepang menunjukkan keseriusan melindungi warganya dari dampak pandemi Covid-19. Meskipun isolasi mandiri diberlakukan, angka kematian semakin meningkat. Bukan karena Covid-19. Akan tetapi akibat bunuh diri. Banyak warga Jepang diduga merasa kesepian, stres, depresi hingga berujung nekat mengakhiri hidupnya. Antara lain disebabkan isolasi yang sangat panjang. Mantan reporter surat kabar Tetsushi Sakamoto yang terpilih. Dia adalah politisi dan anggota “House of Representatives in the Diet” (Badan Legislatif Nasional), mewakili Partai Demokrat Liberal. Alumni Universitas Chuo kelahiran 1950. “Saya ingin anda mengendalikan masalah itu dan membuat strategi yang komprehensif”, kata Suga kepada Sakamoto, seperti diberitakan Nikkei Asia, Sabtu (20/02/2021). Penggunaan alat bantu yang “extraordinary” oleh Polri di Indonesia dan yang diperbuat juga pemerintah Jepang sendiri, pernah diimajinasikan sastrawan Inggris, George Orwell di novelnya yang berjudul “Nineteen Eighty-Four”, yang disingkat “1984”. Diterbitkan 1949. Orwell mencoba memprediksi kehidupan dan akibat yang ditimbulkan kemajuan teknologi 35 tahun ke depan, pada tahun 1984. Tokoh utamanya Winston Smith. Wiston menjadi anggota partai Sosing yang berkuasa di negara Oceania (Britania Raya). Winston adalah pengabdi setia yang sangat taat kepada sang pengendali partai bernama Bung Besar (Big Brother). Ia bekerja di “Kementerian Kebenaran” (Ministry of Truth). Khusus bagian berita dan propaganda yang bertujuan untuk membentuk opini dan cara berpikir masyarakat yang sesuai dengan visi partai. Winston dengan suka cita melakukan tugas-tugasnya setiap hari. Kemudian ia menyadari, akibat kerajinannya itu, masyarakat tidak mengetahui lagi bagaimana kehidupan mereka sebenarnya berjalan. Hidup berputar begitu saja dari masa lalu menuju masa sekarang. Sejarah tidak mereka ketahui lagi dengan jelas. Itu memang target utama partai untuk membolak-balik realitas dengan mengubah dan membentuk kebenaran sesuai dengan kehendak partai. Dunia dalam novel “1984” sangat kejam, penuh pertentangan, konflik akibat peperangan yang telah menjadi kebiasaan-tanpa henti, membuat dunia dalam kegelapan panjang. Pada saat yang sama kebebasan Winston yang ditemukannya dalam kenikmatan menulis dan mendiskusikannya dengan sang pacar Julia, namun tidak berlangsung lama. Harapan Winston tentang dunia yang damai, bebas, tenang tanpa intervensi sistem atau struktur kekuasaan lainnya nampaknya tidak pernah terwujud. Kebahagiaan Winston dengan Julia dan kebebasan berpikirnya terendus oleh “Polisi-Pikiran” (Thought-Police) yang dibentuk khusus, sebagai penindak lanjut segala bentuk isi kebijakan dan garis pikiran yang telah ditetapkan oleh Bung Besar. Celakanya, partai menuduh Winston dan sang pacar telah melakukan kejahatan seks dan kejahatan pikiran. Mereka diciduk saat sedang bercinta.Winston dan Julia dikriminalisasi. Dipidana melakukan kejahatan seksual. Dunia Winston berputar-putar tak menentu. Realitas menjadi kabur. Masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar mana yang salah. Mana yang nyata mana yang bohong. Poster “Bung Besar Sedang Mengawasi Saudara” ada di mana-mana. Seolah-olah mengawasi gerak-gerik setiap orang. Tersebar alat teleskrin yang sengaja dipasang di banyak tempat. Tugasnya selalu memberitakan tentang kemenangan pasukan militer partai. Juga tentang kestabilan ekonomi, dan tentang taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Namun pada kenyataannya, sekedar untuk menemukan barang seperti pisau cukur saja, Winston harus membohongi beberapa orang untuk menyimpan stok pisau cukur. itu pertanda langkanya barang tersebut. Alur cerita novel satiris yang ditulis Owell pada 1949 terasa ada pantulan pada kondisi sosial politik Indonesia hari ini. Ada getaran keresahan masyarakat secara nasional. Apatisme menyebar ke mana-mana. Kecemasan menjalar dan melebar. Lembaga survei Indikator Politik, 25 Oktober 2020 merilis hasil penelitian terkait demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Salah satu hasil survei menyebutkan, mayoritas responden saat ini ada ketakutan untuk mengeluarkan pendapat. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan, survei ini diawali dengan pertanyaan ”setuju atau tidak warga makin takut menyatakan pendapat”?. Burhanuddin mengatakan, masyarakat cenderung takut mengeluarkan pendapat saat ini. Hasil survey menunjukkan, ”sangat setuju 21,9 persen”. Yang menyatakan agak “cenderung setuju dengan pernyataan ini 47,7 persen”. Yang “kurang setuju 22,0 persen”. Dan yang “tidak setuju sama sekali 3,6 persen”, katanya dalam rilis survei terbaru bertajuk ”Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi” secara daring. Menurut Muhtadi, hasil survei ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan suara masyarakat yang tidak pro, apa pun pendapatnya. Ini alarm, kata Muhtadi, lagi-lagi kami ingatkan, ada situasi di bawah alam sadar masyarakat mulai takut ngomong. Padahal dalam konteks demokrasi partisipatoris, warga justru harus didorong berbicara apa pun isinya, terlepas berkualitas atau tidak berkualitas. “Apa pun pendapat mereka, pro atau kontra dalam demokrasi harus mendapat tempat yang sama,” tegas Muhtadi. Sampai hari ini, residu pemilu 2019 di Indonesia masih menyisakan keterbelahan. Perang konten kasar di medsos masih berlanjut. Debat kusir yang kasar di televisi tetap marak. Tidak ada kesembuhan. Hasil Pemilu tidak mampu mengubah apa-apa. Meskipun kabinet sudah diisi menteri representasi tokoh oposisi. Namun kompromi politik yang instan itu nampaknya seperti tidak mampu memadamkan api dalam sekam. Sikap kritis masyarakat terus bergejolak di bawah permukaan oleh berbagai kebijakan yang kontroversial. Pada saat yang sama korban berjatuhan dalam jeratan perangkap UU ITE,yang diakui presiden Jokowi mengandung banyak pasal karet. Pasal karetnya itulah yang memberi wewenang kepada siapa saja dengan mudahnya menjadi pelapor. Ramai diberitakan, Kwik Kian Gie dan mantan menteri Susi Pujiastuti pun mendadak takut berpendapat. Banyak yang cemas dan berdoa semoga “Virtual Police” bukanlah semacam “Polisi Pikiran” yang berganti casing, yang tetap bertugas secara senyap mengekang kebebasan berpendapat, memiliki kekebalan hukum dan kebebasan mengintervensi rongga alat komunikasi yang paling pribadi seseorang, semacam telepon genggam sekalipun. Sasarannya, sekedar pikiran senyap belaka. Lalu, bagaimana caranya memastikan kalau percakapan virtual seseorang tidak ditafsir sesuai kepentingan kekuasaan oleh sang “Polisi Tiruan” tersebut? Diwilayah manakah posisi “Virtual Police” alias “Polisi Tiruan” akan menempatkan diri? Rekan wartawan senior kembali mengirim pesan WhatsApp yang sendu pada dinihari yang dingin karena hujan semalaman, “mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Mengutip bait lagu “Berita Kepada Kawan” karya Ebit.G.Ade yang ditulis setelah bencana gas beracun di Dataran Tinggi Dieng, Juni 1978. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

Konstitusi Yang Disiapkan Oligarkis

by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Hukum untuk bangsa (law of the nation), begitu sakralisasi politik terhadap UUD atau konstitusi. Untuk tujuan itu, konstitusi dengan sendirinya menyandang sifat “supreme” dalam jajaran hukum pada bangsa itu. Itulah akar konsep konstitusionalisme. Darinya mengalir hukum-hukum lain yang bersifat organik. Berlevel rendah dari konstitusi dalam lingkungan negara bangsa itu. Darinya pula sistem hukum untuk bangsa dan negara tercipta. Bukan sistem, kalau unsur-unsur di dalamnya saling menyangkal. Terbentuklah apa yang disebut tertib hukum. Konstitusionalisme liberal, untuk semua alasan yang sejauh ini telah teridentifikasi, tidak benar-benar terisolasi dari citarasa oligarkis. Sifat itu disandang konstitusi. Bukan karena huruf-huruf konstitusi menulisnya. Sama sekali tidak. Unggul Dalam Deteil Sifat itu tersandang padanya karena konstitusi tidak pernah biacara hal detail. Oligarki mengenal ini. Mereka unggul dengan kecermatannya mengidentifikasi deteil huruf, kata dan kalimat konstitusi. Selain UU tidak menulis jangkauan wewenang pemerintah secara detail, terdapat tiga hal hebat yang mengantarkan oligarki ke puncak kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Ketiga hal itu adalah “equality before the law” dan “liberty” serta “freedom”. Ketiga konsep itu tidak dapat diisolasi, sehingga jangkauannya meliputi semua orang. Tetapi konsep hebat itu, untuk semua alasan inetelektual apapun, mengandung konsekuensi tak terlihat. Tentu tak dikehendaki, uninteded consequences. Hebatnya kalangan oligarki melihatnya dengan mudah. Berbekal pengetahuan teknis itu, oligarki merancang jalan menuju puncak kehidupan ekonomi, sosial, politik dan hukum. Jalan ini, karena lika-liku di dalamnya tak mampu didaki orang-orang miskin. Orang miskin justru menggunakan konsep itu sebagai barometer penilaian atas tindakan-tindakan pemerintah. Pembaca FNN yang budiman, kaum oligarkis tahu detail konsekuensi konsep supremacy of law. Mereka berbeda sudut pandan dan jalan dengan Ilmuan konvensional di dunia hukum. Kalau ilmuan konvensional menyambut konsep “supremacy of law” sebagai benteng atas kesewenang-wenangan, oligarki lain lagi melihatnya. Kalangan oligarkis tahu UUD tidak pernah rigid, deteil mengatur batas jangkauan wewenang presiden atau perdana menteri. Di kepala kaum oligarkis, UUD itu dokumen telajang, setelanjang kehidupan rakyat yang tak terdefenisikan, dinamis dan harus diurus. Tindakan mengurus, suka atau tidak haru berdasar hukum, karena diwajibkan oleh konsep “supremacy of law”. Ini hebatnya oligarki. Karena harus berdasarkan hukum, dan hukum harus dibuat. Oligarki tahu itu, dan tahu apa yang harus dilakukan. Cara termudah adalah kuasai pembentukan UU, sehingga huruf-huruf dalam UU itu mengakomodasi kepentingan mereka. Mengapa harus menulisnya? Oligarki tahu, tidak ada aktifitas ekonomi, apapun itu yang tidak berawal dari dan berkait dengan hak. Hak, suka atau tidak, tidak bersumber dari apapun, selain hukum. Pembentukan UU, tidak pernah lain selain sebagai penegasan hak, kewajiban dan prosedur. Begitulah sebagian dari cara berpikir oligarki. Salahkah ini? Oligarki dapat dengan mudah mengatakan tidak. Anda juga dipersilahkan menempuh cara yang sama. Oligarki bisa dapat meyakinkan pembentuk UU untuk membentuk UU tentang lobby agar tersedia rule of the game yang sama bagi semua orang. Pembaca FNN yang budiman. Tahukah anda bahwa UUD Amerika Serikat tidak menulis tentang Bank Sentral yang sekarang terkenal dengan nama “The Federal Reserve”? Tidakkah pembaca FNN yang budiman juga tahu bahwa UUD Amerika tidak mengatur corporasi sebagai subyek hukum? Kenyataannya Amerika memiliki The Federal Reserve. Amerika juga memiliki “corporation” sebagai subyek hukum. Pemerintah yang memiliki sikap anti trust sekalipun, dalam kenyataannya tidak dapat berkelit dari, kalau bukan tekanan dari panduan oligarki keuangan dan korporasi. Thedore Rosevelt, Presiden Amerika 1901-1908, dikenal dengan kebijakan Trust Busting-nya, sempat kelimpungan menghadapi korporasi. JP Morgan misalnya, menghadap Tedy begitu Theodore Rosevelt sang Presiden disapa. Kepada Teddy, JP Morgan mengatakan “bila ada yang salah dari kami, kirimkan orang anda ketemu orang kami, dan kita bicara”. Indonesia disepanjang paruh kedua tahun 1980-an dan sepajang tahun 1990-an sebelum reformasi, ramai dengan kritikan kaum intelektual soal politik dan ekonomi soal dominasi dan sepak terjang konglomerat. Begitu nadanya sangat negatif. Kelompok ini besar dan dibesarkan dengan fasilitas pemerintah. Begitulah nadanya. Konglomerat, dalam nada negative disamakan dengan predator dan monster politik ekonomi. Mereka tumbuh menjulang di tenghn kemiskinan yang terus menggunung. Akhirnya UUD 1945 yang sebelum diubah, untuk sebagian, ditunjuk sebagai penyebabnya. Pilihannya UUD 1945 harus diubah. Saatnya pun tiba dan UUD 1945 benar-benar diubah. Menariknya, perubahan itu dilakukan dengan cara yang satu dan lainnya sama sekali tidak direncanakan. Tak pernah diproyeksikan dalam kerangka pemikiran hukum “unintended consequenses”. Masa jabatan presiden memang dibatasi. Presiden tidak lagi dipilih MPR. Rakyat diberi hak memilih langsung presiden dan wakil presiden. Kepala daerah juga begitu. Bank Indonesia dan Hak Asasi Manusia diatur dalam dalam UUD reformasi ini. Prinsip ekonomi digariskan dalam pasal 33. Terlihat top untuk sejenak bagi orang miskin. Apakah begitu kebnyataannya? Itu soalnya. UUD reformasi ini tidak dapat menjinakan korporasi. Mereka tidak terjauhkan dari dunia politik pilpres, pileg, ekonomi dan hukum. Tidak sama sekali. Mereka masih tetap bercokol, bahkan semakin kuat dan menguasai. Tak Terhalang Oligarki tidak pernah surut, atau mengambil posisi belakang. Bagai buih, oligarki selalu berada di depan dan di permukaan gelombang semua lautan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Untuk yang di permukaan, mengarahkan dan memberi bobot terhadap kehidupan politik dan ekonomi pada tatanan politik dua partai, itulah mereka. Di politik bersistem multi partai juga sama. Malah semakin banyak partai, semakin menyenangkan oligarki bercokol dan mengatur. Oligarki tahu dunia tidak berubah. Dunia dan hidup diciptakan untuk diubah. Perubahan tidak pernah datang dengan sendirinya. Perubahan harus direncakanakan. Perubahan yang direncanakan sama dengan perubahan yang dikendalikan. Postur politik dan hukum, suka atau tidak, harus direncanakan dan dikendalikan. Ini pekerjaan besar dalam semua aspeknya. Pekerjaan ini, suka atau tidak, terlalu jauh jaraknya dari jangkauan tangan para kaum reformasi. Sepanjang sejarah yang naik turun, gelap dan terang, pekerjaan besar itu selalu menjadi pekerjaan para oligarkis. Kaum yang kokoh dengan harapan, dan tangguh menyusuri lika-liku ekonomi, politik dan hukum, dengan cara yang begitu kaya, selalu menjadi pengarah perubahan. Memang terdapat sekelompok presiden yang teridentifikasi mengambil jalan berseberangan dengan kaum ini. Tetapi waktu berlalu bersama kesuksesan demi kesuksesan kaum oligarki. Teddy Rosevelt yang kukuh membatasi korporasi berkarakter trust, tak dapat benar-benar mengentikan mereka. William Howard Taft, Presiden yang profesor tata negara ini, juga sama. Berkelahi dengan korporasi, tetapi ketika ujung jabatannya tiba, dia menemukan diri, oligarki keuangan telah menentukan peluit untuk dia harus minggir dari kursi Presiden Amerika. Turky Usmaniah, harus tenggelam untuk selamanya segera setelah Woodrow Wilson, presiden yang dibiayai pencalonannya oleh oligarki keuangan ini, mencanangkan “Internationalization of Freedom”. Dengan konsep itu, bergemalah di seluruh dunia “kemerdekaan”. Teritori-teritori Turki Usmaniah menyambutnya. Pecahlah integrasi bangsa itu. Turky Usmaniah pun tamat. Hanya presiden pintar, dan punya hati yang pada batas tertentu, dapat menjinakan kelompok yang hanya tahu untung pada semua tampilannya itu. Profesor Soepomo, arsitek UUD 1945 menyatakan “hal terpenting dalam penyeleggaraan negara adalah semangat penyelenggara negara”. Woodrow Wilson juga mengakui itu. Presiden ini diketahui pernah berkata dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan UUD yang terpenting, tetapi “who behind the bussinis”. Puluhan tahun kemudian, Dwig H. Eisenhower, Presiden Amerika sesudah Truman bilahg, “konstitusi boleh saja menulis begitu banyak kewenangan presiden, tetapi dalam kenyataan tergantung siapa presiden dibalik konstitusi itu. Hanya oligarki bodoh yang memimpikan seseorang menjadi presiden berkali-kali. Sejarah telah jelas dalam soal ini. Berapapun lamanya masa jabatan presiden, oligarki selalu berada di hulu dan hilir semua aspek kehidupan. Suka atau tidak, konstitusionalisme selalu didekorasi oleh kaum oligarkis. Apakah Indonesia mirip-mirip itu, kalau tidak dibilang sama persis? Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Komite III DPD RI Mendukung Guru Honorer Menjadi PNS Tanpa Tes

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Konon, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi teramat sulit melihat relasi yang menjembatani dua ungkapan itu pada persoalan guru honorer. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Problem guru honorer justru terasa lekat dengan pribahasa yang sangat ini. Mereka punya kewajiban besar dengan hak yang super minimalis. Mereka diharapkan profesional, namun tidak diberikan kepastian kerja. Dan mereka telah mengabdi puluhan tahun, namun tak kunjung menerima apresiasi layak dari negara. Sebagian guru honorer, bahkan telah menghabiskan separuh hidupnya mencetak generasi penerus bangsa. Mereka, yang seluruhnya telah berumur di atas 35 tahun ini, membentuk wadah Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Melalui wadah itu, para pahlawan tanpa tanda jasa ini memperjuangkan dirinya. Meraka bukan sedang melawan penjajah Asing, tetapi mereka melawan arogansi pengelola negerinya sendiri. Saya sebut arogan karena negara seperti menutup mata pada jasa panjang pengabdian mereka sebagai guru honorer non kategori 35 tahun ke atas. Untuk guru, pemerintah sepertinya sangat kekurangan anggaran. Tetapi tidak untuk yang lain. Lekat diingatan, pemerintah pernah begitu bersemangat "menggaji" pengangguran melalui kartu pra kerja. Program yang sempat menyebarkan bau anyir kerugian negara itu. Ini sebuah kebijakan yang anomali. Dalam kacamata pemerintah, perekrutan guru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dipoles sedemikian rupa, seolah menjadi jalan keluar terbaik. Padahal, bagi guru honorer, konsep ini secara sederhana tak lebih dari perpindahan satu area ketidakpastian kerja menuju wilayah ketidakpastian kerja yang lain. Substansinya, sama-sama tenaga kontrak. Kebijakan PPPK tidak menunjukkan keberpihakan negara kepada guru honorer, khususnya GTKHNK 35+. Rekrutmen PPPK didesain mempertemukan persaingan antara GTKHNK 35+ dengan guru baru Non PNS lulusan sekolah guru. Padahal, sebagian dari mereka adalah mantan murid GTKHNK 35+. Maklum, tidak sedikit GTKHNK 35+ telah berusia 40 hingga 50 tahun dan telah mengabdi selama 20 tahun. Cara itu sungguh terlihat tidak adil dan zalim. Pertama, karena kegiatan pelatihan peningkatan kualitas guru cenderung tidak memprioritaskan, bahkan bisa disebut mengabaikan GTKHNK 35+. Kedua, pengabdian puluhan tahun mengajar seolah tidak dipandang dan diapresiasi oleh pemerintah. Usia produktif GTKHNK 35+ selama ini telah dikuras habis oleh negara melalui pengabdian panjang. Mereka berhasil mencetak generasi bangsa, anak cucu kita. Ketiadaan perlindungan negara adalah cara tak langsung pemerintah mencampakkan guru honorer senior GTKHNK 35+. Sementara itu, guru honorer GTKHNK 35+ tak punya banyak pilihan. Mereka pada dasarnya cinta pada profesi yang mulia ini. Tidak ada yang ingin lepas darinya. Lagi pula, kalau pun ingin lompat pagar ke lain profesi, kita tahu ketersediaan lapangan kerja semakin sulit, terlebih dalam usia 35 tahun ke atas. Kemanakah empati pemerintah? Kebutuhan Guru Saat ini, kebutuhan guru di Indonesia sebesar 2,2 juta PNS. Namun, yang baru terisi baru 1,1 juta guru PNS. Inilah alasan pemerintah mengadakan perekrutan guru. Semakin mendesak karena tahun ini saja sebanyak 69.000 guru PNS akan memasuki masa pensiun. Perekrutan guru adalah langkah baik. Namun, terlebih dahulu membenahi problem akut guru honorer semestinya menjadi prioritas pula. Jangan mengambil solusi baru sebelum menyelesaikan problem yang telah mengakar lama. Toh keduanya bisa berjalan paralel. Sementara PPPK yang dianggap solusi, faktanya tidak menyelesaikan masalah. Jumlah guru honorer 742.000. Sebanyak 59 persen atau 437 ribu di antaranya berusia 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Mereka inilah yang sedang berpacu dengan waktu, berjuang di antara dilema usia non produktif dengan kepastian kerja dan jaminan masa depan. Bila ke-437 ribu GTKHNK 35+ tersebut diharuskan mengikuti seleksi, bisa dipastikan beberapa diantaranya tidak akan lulus. Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah dibiarkan menunggu tes tahun berikutnya? Sampai kapan? Kita tentu saja sangat mengapresiasi solidaritas GTKHNK 35+ yang telah dibangun diantara mereka. Mereka tidak ingin saling meninggalkan, sehingga bertekad bersama-sama tidak mengikuti jalur PPPK yang diadakan pemerintah. Semestinya sikap itu telah cukup memberi sinyal kuat kepada pemerintah untuk menyadari bahwa ada problem besar yang tidak dapat dijangkau oleh PPPK. Tetapi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap memaksakan program ini sebagai solusi bagi keseluruhan tenaga pengajar honorer. Apa boleh buat. demi memperjuangkan haknya, pengurus dan anggota GTKHNK 35+ terpaksa mengonsolidasi perjuangnnya dari bawah, meminta dukungan kesana-kemari. Mereka menyambangi pemerintah daerah masing-masing, mengunjungi Kantor DPRD setempat, dan juga bergerilya di Pusat dengan mendatangi gedung DPD RI dan DPR RI. Kepada institusi-institusi itu, mereka memohon dukungan ketika kemendikbud yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan kepentingan GTKHNK 35+ justru memalingkan muka. Dukungan Komite III DPD GTKHNK 35+ beberapa saat lalu (Rabu sore 17 Maret) juga telah melakukan audiensi dengan kami, Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI. Banyak cerita haru terdengar. Dari mereka, kami menjadi lebih paham betapa sulitnya memperjuangkan hak di negeri ini. Dari Audiensi tersebut, Komite III DPD RI sepakat mendukung sepenuhnya pengangkatan GTKHNK 35+ menjadi PNS tanpa harus melalui tes. Mereka, bagaimana pun juga, telah berkontribusi membangun sektor pendidikan karena kecintaannya pada profesi ini. Kini saatnya negara membalas pengabdian itu dengan status PNS. Ini bukanlah permintaan yang berlebihan. Dalam konteks itu, kami meminta salah satu dari dua hal berikut: pertama, agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Presiden (Peppres) tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS, khususnya guru honorer usia 35 tahun ke atas. Dengan Peppres ini, percepatan penyelesaian problem guru honorer Secara menyeluruh dapat disegerakan. Tuntutan penerbitan Peppres juga telah disuarakan oleh GTKHNK 35+ saat menggelar rapat koordinasi nasional di ICC Kemayoran, beberapa saat lalu. Kedua, agar pengangkatan guru honorer usia 35 tahun ke atas dapat dimasukkan dalam RUU perubahan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini tengah digodok di DPR. Insya Allah, dalam kapasitas dan kewenangannya yang serba terbatas, Komite III DPD RI ikut bergerak untuk tujuan ini. Negara harus memahami, usia guru honorer GTKHNK 35+ tidak lagi produktif menjajal profesi baru. Pemerintah harus memahami itu, tidak justru abai mengelola SDM-nya, terlebih SDM yang tugas pokoknya melahirkan SDM baru. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, semua guru harus masuk dalam kategori dihargai itu, tanpa kecuali. Penulis adalah Senator DPD RI.

Jokowi Dihadapkan Pada Pilihan Sulit

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Cara kudeta kasar dan melabrak hukum yang dilakukan Kepala Kantor Staf Presiden (KPS) Moeldoko menempatkan Presiden Jokowi serba salah. Kelakuan Moeldoko sekarang berdampak pada pilihan sulit bagi Jokowi. Sebagai Presiden, Jokowi harus berpura-pura netral. Terpaksa berujar bahwa soal Konres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara adalah masalah intern Demokrat. Tuntutan agar menegur, bahkan memecat Moeldoko bukan hal mudah. Sebab sukses Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat dipastikan menguntungkan kepentingan politik Jokowi. Moeldoko bisa dipakai Jokowi untuk merealisaskan kepentingan politik jangka pendek, maupun jangka. Itu pun dengan catatan kalau Mooldoko diberikan SK Menkumham sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Memecat dan mengganti dengan pejabat lain sama saja dengan mengorbankan salah satu benteng Istana. Moeldoko adalah jagoan yang berani atau nekat dalam melangkah. Mantan Panglima TNI ini meski berambisi, tetapi tetap loyal kepada Jokowi. Trium Virat benteng kekuasaan bersama Hendro Priyono dan Luhut Binsar Panjaitan menjadi andalan Jokowi. Pada sisi lain, bila Jokowi mendukung langkah brutal Moeldoko melalui KLB, itu sama saja dengan melegalisasi pelanggaran hukum. Sama dengan membenarkan politik menghalalkan segala cara pada demokrasi kita yang berwajah buram di masa komunitas internasional. Menkumham Yasona Laoly ditempatkan di garda tedepan penguatan status kepemimpinan Moeldoko hasil KLB Deli Serdang, Sumatera Utara. Terhitung sejak Moeldoko mendaftarkan hasil KLB ke Kemenkumham, maka telah terjadi dualisme kepemimpinan Partai Demokrat. Moeldoko dapat bebas mengacak-acak Partai demokrat dengan bantuan penyandang dana dari oligarki dan konglomerat hitam, licik, culas dan picik. Gerombolan konglomeret yang tidak pernah puas menghisap darah. Berbeda dengan pola devide et impera pada partai-partai politik lainnya, Moeldoko yang menjadi pengurus sah di Partai Hanura mampu menjadi Ketum di Partai Demokrat. Padahal Moledoko adalah kepala KSP. Moeldoko orang dekat Presiden Jokowi. Bagi Jokowi, sorotan keras ini membuat posisinya menjadi sulit. Bagai harus makan buah simalakama. Simalakama nama latinnya adalah phaleria macrocarpa yang mengandung zat anti oksidan seperti alkaloid, flavonoid, polifenol, saponin, dan terpenoid yang berguna untuk menurunkan kadar gula darah, anti kanker, anti radang, juga anti alergi. Tetapi racun simalakama ini juga bisa menyebabkan sariawan, mabuk, dan kejang-kejang, berbahaya bagi ibu hamil. Memakan buah simalakama adalah pilihan sulit. Racun yang dapat menjadi obat, dan racun yang menimbulkan penyakit. Jadi, kaitan dengan politik kini apa yang dilakukan oleh Moeldoko dalam kudeta Partai Demokrat via KLB menjadi bagai makan buah simalakama bagi Jokowi. Pilihan yang tidak mudah. Pilihan yang serba salah. Di tengah kesulitan Jokwi itu, prinsip "bukan urusan saya" atau "sudah ditugaskan kepada Menteri" menyebabkan Jokowi sebenarnya melempar kesulitan itu justru kepada rakyat. Menciptakan kegaduhan untuk rakyat. Sikap itu yang sekaligus mengukuhkan predikat sebagai rezim sarat kegaduhan. Suka dan hobby memproduksi kegaduhan politik. Banyak yang merenung, apakah Presiden memang sedang memikirkan rakyat? Atau rakyat ini yang selalu dan selalu dibuat pusing untuk memikirkan prilaku Presiden? Pilihan Jokowi untuk menentukan kebijakan melegalisasi hasil KLB, yang berarti membunuh SBY atau menolak pengesahan KLB yang bermakna membunuh Moeldoko adalah kondisi berat sebagai ujian bagi masa depan dirinya. Ataukah seperti biasa, biarkan diambangkan saja lalu mengikuti instink untuk melompat ke tempat lain lagi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ini Baru Halaman Pertama, Bagaimana Lembar Berikutnya?

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Ada yang mengait ngaitkan ucapan Anas Urbaningrum mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan napi kasus korupsi proyek Hambalang (Pembangunan Pusat Pendidikan, Latihan dan Olah Raga Nasional) waktu itu. Tentu dikaitkan dengan malapetaka aktual masa kini, kudeta Partai Demokrat oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko. Publik memberi arti kudeta itu sebagai “halaman pertama” dari sejumlah lembaran sebuah buku politik. Buku yang akan dibuka di waktu-waktu setelah tuntas membaca “halaman pertama”. Lebih asyik dan mboys membacanya sambil duduk mengangkat kaki, ngobrol-ngobrol dan ngopi-ngopi biasa. "Saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah besar. Baru halaman pertama. Masih banyak halaman halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama. Tentu untuk kebaikan bersama", ucap Anas Urbaningrum seperti dikutip oleh merdeka.com (23/02/2013). Menyambung itu, sementara pihak berspekulasi kalau Moeldoko yang “disuruh” menjadi Ketum Partai Demokrat hasil Konres Luar Biasa Deli Serdang kemarin, untuk segera bergerak ke Senayan. Wakil rakyat asal Partai Demokrat disana signifikan jumlahnya. Bisa menggalang kekuatan dan pengaruh dengan target-taget tertentu. Diilustrasikan, orientasi politik Moeldoko, bila merasa dirinya telah sah secara defacto, akan segera menggalang pengaruh anggota DPR di. Konsentrasi jangka pendek adalah mengupayakan adanya Bab, atau Pasal atau Ayat dalam UUD 1945 yang membolehkan tiga kali jabatan Jokowi sebagai Presiden. Dalam jangka menengah atau pun panjang, dimungkinkan Moeldoko akan mengaku “dipaksa rakyat, bila tidak malu dibilang mencalonkan diri, untuk ambil bagian di Pilpres mendatang. Menjadi calon presiden tahun 2024. Otak-atik politik tersebut merujuk pada pandangan tokoh sentral reformasi '98, Amien Rais, yang mencurigai pihak-pihak selain oposan tengah berjuang untuk tiga kali Jokowi sebagai presiden. Sekali pun kalkulasi Amien Rais tersebut dibantah mentah Wakil Ketua MPR (Fraksi PDIP), Ahmad Basarah, namun rasa was-was dan tidak percaya tak mudah hilang dari mata hati dan pikiran. Sudah kadung tidak bisa dipercaya. Mungkin juga itu sebab-musababnya. "Sejauh ini kami belum pernah memikirkan. Apalagi mengambil langkah langkah politik untuk merubah konstitusi hanya untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Demikian juga di MPR, kami belum pernah membahas isu masa jabatan presiden tersebut, dan mengubahnya menjadi tiga periode," kata Ahmad Basarah. Ungkapan Ahmad Basarah sebagai upaya meyakinkan itu, boleh jadi dibaca kaum oposan sebagai lembutnya lidah tanpa tulang-belulang. Ibarat lagi "kau yang berjanji, kau yang mengingkari," kata Raja dangdut Rhoma Irama dalam syair lagunya. Masih ragu juga? Atau belum mau percaya? Bolehlah kita putar ulang alasan Moeldoko yang baru kemarin sore diucapkannya. Moeldoko membantah kalau bertemu dengan beberapa kader dan bekas orang Partai Demokrat, sebagai rencana kudeta atas Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagaimana kecurigaan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi Kehormatan Partai Demokrat yang sah. Moeldoko, seperti ditirukan SBY, mengaku "hanya ngopi-ngopi biasa. Hanya ngobrol-ngobrol biasa". Ngobrol sambil ngopi antara Moeldoko dengan beberapa orang kader dan pecatan Partai Demokrat itu, diakui Moeldoko tidak membahas rencana jahat politik. Namun apa lacur. Beberapa waktu sesudah itu, yang dilakukan Moeldoko dari hasil ngobrol dan ngopi itu membuahkan hasil? Meletuslah malpraktek politik di Deli Serdang Sumatera Utara. Moeldoko diangkat menjadi Ketum PD dengan cara bermain sulap. Malahan, menurut gelora.co (15/03), Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, secara pribadi mendukung wacana penambahan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Itulah sebabnya anak bangsa yang menaruh peduli atas keselamatan NKRI, bahu-membahu berteriak keras. Mereka berdiri atas nama kebenaran dan keselamatan demokrasi. Deretan nama yang berani mengambil posisi di zona oposan diantaranya Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas, Din Syamsudin, Rocky Gerung, Rizal Ramli, Fadli Zon serta kaum melek bernegara lainnya. Kecuali para tokoh tersebut, terdapat jurnalis yang tergabung di media massa kritis. Diantaranya TEMPO.co, FNN.co.id, Gelora.co, indonesialeaks dan TV One. Memang sedikit jumlahnya dibanding cacah media massa yang beredar. Para pengkritik maunya diminta diam oleh para buzzeRp. Inginnya mereka para buzzerRp, bernegara seperti yang kini kita rasa dan alami bersama saat ini. Jadi teringat filosofi, "kalau sekedar hidup, babi di belantara itu juga hidup. Kalau sekedar kerja, kerja, kerja, kera yang joget ikut pengamen jalanan itu juga kerja". (Buya Hamka, Tokoh Muhammadiyah). Sulit dibayangkan, seandainya perjalanan negeri ini tanpa diimbangi campur tangan pengkritik. Ibarat penanganan suatu penyakit oleh tenaga medis. Negara ini dalam kondisi illness akibat sepsis yang telah menyeluruh menjangkit organ tubuh. Yang prognosisnya adalah kematian. Nah, keberadaan Amien Rais dan sejumlah pihak yang memiliki selera politik sama, berperan sebagai obat yang bekerja secara paliatif. Mengulur ulur umur. Sambil menunggu mukjizat Allah Subhaanahu Wata’ala untuk sembuh dari penyakit. Akhirnya, seperti apa rupa dan warna dalam gambar serta bacaan di halaman-halaman berikutnya. Kita tunggu saja bersama. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Teriak Benci Asing Tapi Ketagihan Impor

by Jusman Dalle Jakarta FNN - Malam teriak benci produk asing. Namun pagin atau siang sudah sarapan beras impor. Itulah ilustrasi yang paling tepat untuk menggambarkan ambivalensi sikap pemerintah. Terutama dalam isu-isu ekonomi dan perdagangan. Baru kemarin Presiden Joko Widodo melantunkan kumandang “cintai produk lokal dan benci produk asing”. Masih hangat-hangat tahi ayam kampanye itu. Eh, tiba-tiba mencuat rencana impor beras satu juta ton. Wajau saja kalau republik ini terperanjat. Rencana impor satu juta ton beras datang dari meja kerja Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menteri Perdagangan M. Luthfi. Pihak yang sama, juga menyuplai informasi kepada Presiden sehingga terlontar kampanye untuk “membenci produk asing”. Rencana impor beras kontan menjawab keraguan publik. Ketika Presiden Jokowi mengajak “benci produk asing” masyarakat memang merespons dengan nada skeptis. Menduga jika ajakan yang tampak heroik itu cuma sebatas gimik saja. Kecurigaan tersebut akhirnya terbukti juga. Alih-alih benci, menahan diri dan memprioritaskan produk lokal milik petani lokal saja bahkan tidak mampu. Maka wajar bila kampanye benci produk asing dinilai cuma basa-basi. Hanya lips service. Sebab Rencana impor beras, menyeret kembali ingatan publik ke titik kemarahan pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) terhadap aksi pedagang asing yang mendominasi ecommerce di pasar lokal. Kemarahan UMKM itu kini meluas. Kemarahan yang merambah kepada para petani di kampung. Impor beras itu, jelas menghianati kerja keras petani di desa-desa. Implikasi lainnya, para pelaku ekonomi dalam rantai ekosistem perberasan bakal terkena pukulan telak dengan banjirnya beras impor. Persoalan impor beras ini akan terus bergulir. Isu ini kabal terus membesar, dan menjadi atensi di seantero negeri agraris. Apalagi panen raya petani lokal sudah di depan mata. Maka wajar bila ekonom senior Faisal Basri menyebut aroma tajam perburuan rente menyengat kuat dari balik agenda impor beras. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menyatakan Bulog belum tentu mengamini rencana yang dirancang oleh Menkoperekonomian dan Mendag tersebut. Impor beras bukan cuma merefleksikan inkonsistensi terhadap seruan benci produk asing. Namun juga membuktikan bila banjir produk asing adalah kontribusi pemerintah. Frasa ekonomi gotong royong, ekonomi berdikari dan kedaulatan ekonomi yang selama ini seolah menghipnotis kesadaran publik, cuma isapan jempol belaka. Salah Arah Arah yang melenceng juga terjadi dalam agenda pembangunan ekonomi digital. Sektor ekonomi yang menjadi trend, bahkan diadopsi sebagai mainstream ekonomi masyarakat global. OECD menyebut digitalisasi adalah satu dari 10 megatrend yang dipicu oleh Covid-19. Indikasi salah arah pembangunan ekonomi digital terlihat dari banjir produk asing. Persis seperti impor beras dan aneka jenis pangan yang saban tahun dilakukan oleh pemerintah. Keresahan soal dominasi asing tidak mengada-ada. Produk asing kadung menguasai pasar daring ecommerce. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menyebut, cuma 7% produk lokal yang listing di ecommerce. Jika digali lebih dalam, muncul pertanyaannya, mengapa terjadi dominasi produk asing? Mengapa situasi ini menjadi sulit dikendalikan? Pertama, ini adalah kontribusi pemerintah. Kegenitan membuka kran impor jadi gerbang utama. Kebijakan impor bukan diteken oleh pedagang di Glodok atau pengecer di Pasar Senen. Tetapi oleh menteri terkait. Maka sejak awal, ajakan “benci produk asing” dari pemerintah diduga sebagai bentuk cuci tangan semata. Kedua, di luar persoalan kebijakan importasi, banjir produk asing juga dipicu oleh dinamika ekonomi internal. Indonesia memasuki momentum konsumsi. Terdongkrak oleh pendapatan perkapita. Tahun 2020 yang lalu, Indonesia bahkan dinobatkan oleh Bank Dunia sebagai upper middle income country. Negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan perkapita Rp58 juta pertahun. Predikat itu adalah lampu hijau. Magnet bagi para investor. Di luar isu pemerataan yang masih jauh panggang dari api, kenaikan pendapatan perkapita adalah indikator jika ekonomi Indonesia tumbuh. Bertabur potensi untuk digali. Terutama di sektor konsumsi. Sayangnya, kenaikan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia tidak diimbangi dengan kemampuan produksi dalam negeri. Industri manufaktur bahkan memasuki masa-masa suram. Kontribusi manufaktur terhadap PDB melorot. Dari 28,83% pada tahun 2003, kini tersisa sekitar 19%. Konsekuensinya, ledakan permintaan harus disuplai impor. Aneka jenis produk, dari pangan, mainan anak, busana harian hingga printilan perkantoran dipasok dari China. Baik itu di pasar daring maupun di pasar tradisional. Ketiga, transmisi digitalisasi mengakselerasi penetrasi asing di pasar dalam negeri. Sudah sejak lama Indonesia diincar. Pendekatan diplomasi atar negara (diplomacy approach) yang ditempuh untuk menikmati pasar terbesar di ASEAN ini. Termasuk melalui jalur investasi. Lusinan perusahaan berbasis teknologi informasi mengguyurkan modal jumbo. Menancapkan eksistensi. Berselancar di pasar digital yang tumbuh secara akseleratif yang . Ekonomi digital Indonesia tahun 2020 tercatat Rp 630 triliun. Tetapi kue jumbo itu, cuma numpang lewat di dompet pelaku ekonomi lokal. Dominasi produk asing di ecommerce menimbulkan impikasi berantai. Ekosistem UMKM dan sektor ril paling kena getahnya. Tidak hanya merugikan mereka yang mencoba peruntungan di platform-platform digital. UMKM yang tak memahami bagaimana cara kerja ekonomi berbasis aplikasi itu, ikut terpapar. Terancam tereliminasi dari rumah sendiri. Ini sangat tragis. Makanya sorotan terhadap impor beras, mestinya menjadi momentum menata kembali tata niaga Indonesia. Bukan cuma di sektor perberasan, dan pangan. Tetapi di seluruh sektor perdagangan yang terindikasi kuat disetir oleh kepentingan pepmburu rente. Persis seperti perburuan rente yang juga terjadi di ecommerce. Bila ditelusuri, ternyata ada keluarga dekat pejabat penting di republik ini yang jadi komisaris di platform digital asing. Platform yang jadi surga bagi arus impor, yang mengancam UMKM lokal. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Fondation dan Praktisi Ekonomi Digital.

Haruskah Sumpah Mubahalah Dengan Komnas HAM?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memiliki kewenangan penuh untuk menggali fakta dan menyelidiki kasus pembunuhan enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 Jalan tol Jakarta-Cikampek (Japek). Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM berujung pada kesimpulan bahwa telah terjadinya "unlawful killing" oleh aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya Komnas HAM juga menyatakan sebagai pelanggaran HAM, maka selanjutnya mesti diproses secara hukum. Bukan kategori pelanggaran HAM berat. Akibatnya, publik menilai kerja Komnas HAM belum optimal karena ada hal yang tidak terungkap, janggal, bahkan mungkin juga disembunyikan. Atas dasar banyak faktor. Namun paling kurang ada tiga hal yang menjadi pertanyaan mendasar, yang justru tidak diungkap oleh Komnas HAM. Pertama, Komnas sama sekali tidak melihat adanya indikasi penganiayaan oleh aparat terhadap keenam anggota Laskar FPI. Padahal foto-foto dan hasil otopsi dimiliki justru sangat mencurigakan. Saat ini dugaan tersangka aparat kepolisian justru dituduh atas pelanggaran terhadap Pasal 338 Jo 351 KUHP. Nah, Pasal 338 KUHP menyangkut pembunuhan dan Pasal 351 adalah penganiayaan. Kedua, keberadaan mobil Land Cruiser yang datang ke Tempat Kajadian Perkara (TKP ) di Rest Area kilometer 50 tidak terkuak siapa personalnya? Padahal saksi yang ada yang ada TKP melihat bahwa terjadi selebrasi seperti sebuah tim bola voli. Selebrasi yang dipimpin oleh "pejabat" yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut. Pemeriksaan kepada polisi yang bertugas di kilometere 50 tol Japek telah dilakukan oleh Komnas HAM. Apakah seluruh saksi bungkam, termasuk yang berselebrasi atas siapa "komandan" yang memimpin itu? Benarkah Komnas HAM tidak tahu juga siapa yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut? Ketiga, yang menjadi pertanyaan Komnas HAM mengenai mobil yang membuntuti dan menembak saat berkejar-kejaran di jalan menuju gerbang tol Karawang Barat. Ada mobil Avanza hitam nomor polisi B 1739 PWQ dan Avanza silver nomor polisi B 1278 KJD. Aneh bin ajaib jika Komnas HAM tidak dapat menemukan siapa penumpang dua mobil pembuntut dan pengejar tersebut. Semestinya terlalu mudah bagu Komnas HAM untuk mengetahui penumpak di movil Avanza hitam B 1739 PWQ dan avanza silver B 1278 KJD. Mudah karena bisa didapat dari keterangan anggota polisi sendiri. Apalagi dalihnya adalah "tembak-menembak" dengan aparat kepolisian. Atau memang mereka bukan Polisi? Kalau bukan polisi, mereka dari instansi mana? Mungkinkah mereka yang terlibat tembak-menembak, sehingga mengakibatkan dua anggota Laskar FPI meninggal itu di TKP adalah anggota polisi yang Bawah Kendali Operasi (BKO) ke instansi negara lain? Misalnya, di-BKO-kan ke Badan Intelijen Negara (BIN)? Mengapa Komnas HAM begitu berat untuk mengungkapkan pelaku penembakan terhadap dua anggota Laskar FPI tersebut. Tiga hal di atas menjadi sangat penting ,atau bagian dari kunci operasi pembunuhan dan penganiayaan terhadap enam anggota laskar FPI. Tiga hal yang semestinya diketahui Komnas HAM saat melakukan penyelidikannya. Jika ternyata memang mengetahui tetapi tidak mengungkapkan, berarti Komnas HAM telah menyembunyikan fakta atau temuan. Keyakinan Komnas HAM bahwa telah terjadinya tembak-menembak yang menewaskan dua anggota laskar FPI. Sementara Komnas HAM tidak mengetahui siapa pelaku atau aparat penguntit dan pembuntut yang terlibat "tembak menembak". Ini juga sangat aneh dan janggal. Bisa berkesimpulam terjadi tembak-menembak. Tetapi tidak tau siapa pelaku yang terlibat tembak-menembak. Komnas HAM juga menyimpulkan tidak terjadi unlawful killing pada pembunuhan dua anggota Laskar FPI tersebut. Padahal keterangan itu hanya didapat dari pengejar, pembuntut, serta penembak sendiri. Mereka adalah penumpang mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Pihak keluarga meyakini keenam laskar tidak memiliki senjata api. Sementara pihak Kepolisian dan Komnas HAM yakin terjadi tembak-menembak. Artinya, anggota laskar itu memiliki senjata api. Beberapa waktu lalu pihak keluarga korban menantang kepolisian untuk melakukan sumpah mubahalah terkait dengan tuduhan kepemilikan sejata api, namun pihak kepolisian tidak ada yang hadir. Mengingat layak diduga terjadi penyembunyian fakta dan temuan oleh Komnas HAM, apalgi Komnas HAM telah meyakini anggota laskar memiliki senjata api, maka muncul pertanyaan haruskah dilakukan pula sumpah mubahalah dengan Komnas HAM? Ketika tuntutan masyarakat agar dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen tidak dipenuhi, maka Komnas HAM akhirnya diberi kepercayaan untuk melakukan penyelidikan. Dengan demikian, tanggungjawab hukum telah diambil oleh Komnas HAM. Mengingat hal ini menyangkut urusan nyawa manusia, maka Komnas HAM tentu juga bertanggung jawab untuk urusan dunia dan akhirat. Karenanya sumpah mubahalah adalah sarana lain yang bisa digunakan untuk menguak misteri pembunuhan sadis atas enam anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian atau instansi lain yang terlibat. Beranikah Komnas HAM sumpah mubahalah? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Tiga Periode? PKI Yang Jingkrak-Jingrak

by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Baru-baru ini seperti dilansir detik.com (14/4), Bapak Reformasi Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Amien Rais melontarkan dugaan bahwa Jokowi akan mengusulkan pasal presiden boleh menjabat selama tiga periode. Keinginan ini jelas nenabrak amanat reformasi 1998, yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua priode. Penulis pernah menulis dengan judul “Waspada Agenda Besar Parlemen Indonesia Periode 2019 – 2024”. Tulisan tersebut viral. Dimuat dibeberapa situs berita online. Tulisan tersebut dirilis pada 15 Juli 2019 atau 12 Dzulqa'dah 1440 di FB. Sekarang akun FB dibanned oleh pihak FB. Dalam tulisan tersebut, penulis menjelaskan tentang adanya skenario dan target yang hendak dicapai dibalik isu amandemen UUD 1945. Sebab UUD 1945 Pasal 7 hasil amandemen tahun 1999 berbunyi, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Isu amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden, yang semula hanya dua periode menjadi kemungkinan tiga periode atau lebih. Tulisan tentang jabatan presiden tiga priode atau lebih itu ditulis dua tahun lalu, ternyata bukan hanya isu belaka. Sekadar mewanti-wanti untuk mewaspadai permainan Pertai Komunis Indonesia (PKI) dan paham China komunis melalui antek-anteknya dalam negeri. Bila lengah, maka amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 kemungkinan berhasil. PKI dan antek-antek komunis pun tepuk tengan dan berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan agenda mereka. Isu tentang rencana amandemen UUD 1945, khususnya Pasal 7 tampaknya akan menjadi perbincangan hangat dan panas. Diprediksi akan timbul gejolak sosial yang meluas di masyarakat. Bagaimana mungkin saat ekonomi anjlok, angka kemiskinan bertambah, pengangguran bertambah, rakyat hidup susah, eh malah minta tiga periode? Yang benar aja. Isu Jokowi tiga periode ini menguat lagi pasca kisruh Partai Demokrat yang melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera. Ditengarai KLB Partai Demokrat tersebut didukung oleh lingkaran istana. Banyak juga pihak menuding kisruh mnimpa Partai Demokrat diduga sekarang “diotaki” para jenderal merah. Disanyalir Moeldoko dan faksi yang tersingkir di Partai Demokrat beberapa tahun silam, hanyalah “pemain figuran” saja. Pengendalinya gank politik jenderal merah yang sangat berpengaruh. Selain kisruh di Partai Demokrat, publik juga mensinyalir “safari politik” Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto ke beberapa ketua umum partai membawa misi khusus. Tahun kemarin, Airlangga Hartarto juga melakukan hal yang sama. Misinya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka). Adakah safari Airlangga Hartarto tahun ini punya misi tertenti? Khususnya yang terkait dengan isu Jokowi tiga periode? Rumornya Airlangga Hartarto dikenal dekat dengan link jenderal merah. Rakyat sekarang dalam posisi yang sulit. Sementara DPR dan institusi negara lainnya nyaris lumpuh. Mereka dikendalikan oleh segelintir orang dalam genk politik jenderal merah. Wajar saja bila ada kekhawatiran skenario tiga periode, dan pelan-pelan mengarah partai tunggal. Mirip-mirip sistem politik China komunis. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.

KM 50 Tol Japek Memburu Pemilik Ide Kejahatan

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Bangsa ini sering dipuja sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Juga dielu-elukan sebagai negara hukum. Namun sejarah membuktikan, pertarungan ideologi dan kepentingan politik tak jarang mengangkangi hukum dan demokrasi. Kini, sejarah itu kembali menampakkan kepongahannya. Kasus hukum yang bertubi-tubi menimpa Front Pembela Islam (FPI), ditengarai cacat hukum, intimidatif dan diskriminatif. Konon, itu terjadi sejak kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS), penutupan organisasi FPI, dan seterusnya. Puncaknya adalah unlawful killing, pembunuhan di luar hukum terhadap enam pemuda laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek), beberapa waktu lalu. Terhadap pembunuhan di luar hukum ini, hasil penyelidikan Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta aparat berwenang untuk menyelidiki lebih lanjut. Permintaan Komnas HAM merujuk secara khusus kepada wafatnya empat laskar FPI. Soalnya, empat pemuda ini harus menemui ajal dalam penguasaan polisi. Versi polisi, mereka merebut pistol aparat sehingga bentrok tak terelakkan di dalam mobil. Namun argumen polisi itu terasa janggal. Keempat laskar harusnya diborgol, sebagaimana jamaknya Standard Operation Procedure (SOP) penangkapan yang dilakukan polisi. Apalagi, mereka dituding terlibat adu tembak sebelum akhirnya dibekuk. Meski polisi beralasan aparat tidak dilengkapi borgol karena mereka bukan tim penangkapan, namun tetap saja kita mencium aroma kelalaian. Borgol bukanlah barang "mewah". Bukan pula barang yang memerlukan kualifikasi tertentu untuk ditenteng aparat, sebagaimana senjata berpeluru tajam. Dua anggota laskar FPI lainnya wafat lebih dulu di lokasi kejadian. Baik kepolisian maupun Komnas HAM, keduanya berpendapat terjadi baku tembak. Namun, sejumlah pihak menemukan keterangan berbeda. Salah satunya temuan wartawan Forum News Network (FNN) Edy Mulyadi. Saat menginvestigasi ke Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, di akun youtubenya, Edy mengaku telah mewawancara tiga orang sumber yang saat itu berada lokasi kejadian, yang polisi menyebutnya dengan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Para saksi itu menerangkan tidak melihat ada baku tembak, melainkan hanya mendengar dua kali tembakan. Dua tembakan itulah yang diduga menewaskan dua laskar FPI. Belakangan, Rest Area KM 50 dibongkar habis. Diratakan dengan tanah. Tidak ada lagi yang tersisa di TKP Rest Area KM 50 Tol Japek. Ketua Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI Abdullah Hehamahua mempertanyakan tindakan ini. Menurutnya, di lokasi bukan tak mungkin terdapat barang bukti yang masih dapat ditelisik. Kekhawatiran Hehamahua tentu bisa dipahami. Yang menyedihkan, dalam perjalanan perkara selanjutnya, keenam pemuda FPI itu dijadikan tersangka, meski telah wafat. Alasan versi Menkopolhukam Mahfud MD, konstruksi hukum mengharuskan penersangkaan. Tetapi sejumlah ahli hukum membantah dan menyebut langkah hukum ini justru melawan Pasal 77 KUHP. Artinya, melawan hukum. Sarat Kontroversi Begitu banyak kontroversi dalam kasus ini, hingga sulit diramu satu per satu. Namun satu hal yang pasti, konstitusi memerintahkan “negara melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia”. Melindungi setiap nyawa warga negara adalah kewajiban pemerintah. Sebaliknya, penghilangan nyawa satu rakyat saja tanpa alasan kuat adalah tindakan melawan konstitusi yang juga melanggar HAM. HAM adalah anugerah yang wajib dihormati. Dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan kita semua. HAM seharusnya menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Diskriminasi dan intimidasi yang berujung pada hilangnya hak hidup, tentu harus direspon oleh hukum secara adil. Bila tidak, wajah bangsa ini akan semakin kusam dalam pandangan dunia internasional. Karena kejahatan HAM selalu menjadi perhatian masyarakat global. Bangsa ini telah cukup banyak menyimpan problem HAM masa lalu yang belum terselesaikan. Jangan ditambah lagi. Hari ini ,16 Maret 2021, tepat 100 hari kematian 6 pemuda Laskar Front Pembela Islam. Hingga 100 hari pasca kepergian almarhum, pihak keluarga masih mengejar keadilan. Kita bersimpati kepada keluarga yang ditinggal dan memanjatkan doa terbaik untuk para almarhum. Semestinya, belasungkawa juga datang dari pemerintah. Entah itu dari Presiden Jokowi atau setidaknya salah seorang menteri Kabinet Indonesia Maju. Tetapi kita tidak mendengar ucapan itu. Sangat kering dan gersang negara berbelasungkawa kepada rakyatnya. Apalagi karangan bunga dukacita segala. Konteksnya bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini tentang soal kemanusiaan. Ikut bersimpati pada duka keluarga korban rasanya tidak akan terlalu memberatkan. Tidak juga mengurangi kehormatan dan waktu para pejabat. Sebaliknya, ucapan dukacita barangkali saja bisa mendinginkan suasana dan menjadi pintu masuk dialog antara keluarga korban dengan pemerintah. Di jegad media sosial, viral orang tua para almarhum laskar FPI yang wafat itu melakukan sumpah mubahalah. Sumpah mubahalah memang dikenal pada mekanisme hukum pembuktian Islam di zaman Rasulullah Shallaahu Alaihi Wasallam. Sumpah ini bahkan pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallaahu Alaihi Wasallam sendiri. Hukum Indonesia tidak mengenal sumpah mubahalah. Kalau toh dilakukan, agaknya tidak akan meringankan atau memberatkan dalam konteks hukum positif Indonesia. Tetapi sumpah itu toh tetap saja menjadi pilihan. Boleh jadi karena orang tua korban merasa kepentingan hukumnya tidak bakalan sepenuhnya diayomi penegak hukum. Memasuki Babak Baru Kini, insiden wafatnya enam laskar FPI memasuki babak baru. Tiga anggota Polda Metro Jaya yang terlibat dalam bentrok dengan enam laskar FPI, tengah diperiksa. Sinyal yang diberikan Kabareskrim Polri, tidak menutup kemungkinan ketiganya menjadi tersangka. Bila benar tiga Anggota Polda Metro Jaya melakukan pembunuhan itu, harus dipastikan apakah tindakan itu dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasan? Yang kita tahu, garis komando itu begitu mendarah daging dalam diri aparat kepolisian dan personel TNI. Seorang petugas lapangan umumnya tidak akan berani mengambil keputusan berdampak besar bila tidak ada perintah atasan. Jika benar didasari atas perintah atasan, maka kasus ini tidak boleh berhenti hanya pada petugas di lapangan. Pemilik ide kejahatan dan pemberi komando harus dikejar. Meski begitu, harus diakui pula bahwa kemungkinan inisiatif sendiri tetap ada, meski potensinya sangat kecil. Itu bisa terjadi jika situasi lapangan mengharuskan. Pada sisi lain, lagi-lagi muncul kontroversi baru. Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 anggota Laskar FPI menduga ada eksekutor lain dalam peristiwa di Km 50 Tol Japek, 7 Desember 2020. Dugaan ini disinyalir Ketua TP3 Abdullah Hehamahua berdasarkan penuturan saksi mata di sekitar lokasi. Dugaan Hehamahua sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Terlebih, dugaan ini punya kecocokan dengan temuan investigasi Komnas HAM. Komnas menyebut ada sejumlah pria yang membawa senjata laras panjang di sekitar KM 50, yakni aparat penjaga jalur pengiriman vaksin Covid-19. Meski begitu, selalu terbuka alternatif lain yang dapat terjadi. Belajar dari kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Nusantara Nasrudin Zulkarnain, misalnya. Faktanya, di persidangan terungkap bahwa eksekutor yang disewa Mantan Ketua KPK Antasari Azhar ternyata gagal menunaikan tugas. Pistol sang eksekutor macet. Tetapi Nasrudin Zulkarnain toh tetap tewas dengan peluru bersarang di kepala. Peristiwa sejenis itu pula yang dikhawatirkan oleh Hehamahua. Menurut dia, peluru yang menyasar di kepala Nasrudin Zulkarnain berasal dari senapan sniper, penembak jarak jauh. Baik Komnas HAM maupun penyidik di Kepolisian seharusnya memikirkan alternatif semacam ini, agar penanganan dan pengembangan perkara tepat sasaran dan berkeadilan. Jangan sampai yang salah dibuat menjadi soelah-olah benar, dan yang benar jangan sampai disalahkan. TP3 bersama Amien Rais telah menemui presiden. Segala harapan, unek-unek, dan bahkan ancaman siksa api neraka telah disampaikan. Kita menunggu sejauh mana langkah bijak Presiden Joko Widodo. Penulis Adalah Senator DPD RI