Presiden Tiga Priode Bukan Ilusi

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Wacana tiga periode masa jabatan Presiden terus menggelinding. Gagasan ini sejalan dengan agenda Amandemen UUD yang ingin menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Publik melihat ini sebagai agenda tersembunyi.

Berbagai elemen masyarakat mewacanakan melalui berbagai spanduk dan pandangan kalangan politisi. Misaslnya, seperti yang diungkapkan oleh mantan politisi Partai Gerindra Arief Poyouno atau Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR, Saan Mustofa. Arief yakin 85% rakyat mendukung gagasan tiga periode.

Pandangan Amien Rais untuk mewaspadai kemungkinan amandemen UUD 1945 dipakai sebagai pintu masuk untuk penambahan periode jabatan Presiden mengingatkan dirinya bahwa saat memimpin sidang-sidang MPR. Ketika itu MPR justru mengamandemen dari tidak terbatasnya masa jabatan Presiden yang dipraktekkan rezim Orla dan Orba menjadi hanya dua periode saja.

Reaksi Presiden Jokowi yang menolak atas usulan tiga periode yang dinilai menampar, mencari muka, dan menjerumuskan itu belum mampu meyakinkan publik. Masalahnya adalah kepentingan koalisi yang dapat mendaulat dengan dalih dukungan rakyat. Disamping tentunya tingkat kepercayaan publik yang rendah pada ucapan dan kebijakan Presiden Jokowi.

Buku karya Ben Bland yang berjudul "Man of Contradictions : Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia" cukup menggelitik. Profil Jokowi digambarkan penuh dengan kontradiksi. Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme.

Orientasi ekonominya liberal, tetapi prakteknya adalah proteksionisme. Presiden mencitrakan diri sebagai rakyat, namun dikelilingi oleh elite oliganki dan konglomerasi busuk, picik, licik dan culas. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tetapi dia berlindung dibalik kelompok konservatif".

Jokowi memang tak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Maunya pemerintahan tanpa oposisi. Menurutnya demokrasi liberal tak cocok dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia yaitu gotong royong. Arahnya adalah otoritarianisme. Partai Politik dan Parlemen yang dikuasai. Bland menyebut Jokowi sebagai "orang partai Soekarno yang berfikir layaknya Soeharto".

Dari aspek Hukum Tata Negara semangat PDIP dan partai lain yang ingin mengembalikan kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN atau kini PPHN sebagai pedoman bagi Presiden untuk menjalankan pemerintahan, membawa konsekuensi pada kedudukan Presiden sebagai Mandataris.

Dengan demikian, Presiden harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN atau PPHN kepada MPR. Artinya, terbuka untuk Presiden dipilih oleh MPR kembali. Adapun arah wacana dari perpanjangan jabatan hingga tiga periode, memiliki beberapa target politik.

Pertama, untuk meng-upgrade wibawa Presiden yang semakin ambruk. Predikat Presiden tanpa prestasi, tukang hutang, spesialis ingkar janji, atau tidak kapabel menunjukkan kerendahan wibawa. Dengan wacana tiga periode, beserta penolakannya, maka dicitrakan bahwa sebagai Presiden itu hebat, sehingga masih dibutuhkan lagi.

Kedua, politik dialektika yang sedang dimainkan. Tesisnya dukungan tiga periode, anti tesis Jokowi menolak. Sintesisnya adalah proteksi keamanan dan kepentingan pasca turun di 2024 bersama dengan para dinastinya. Ada jaminan dari partai koalisi, termasuk Partai Demokrat yang baru dilumpuhkan atau dibajak oleh Moeldoko.

Ketiga, memastikan untuk berakhir sampai 2024. Desakan untuk mundur sebelum 2024 semakin menguat sejalan dengan rontoknya ekonomi, persoalan hak asasi, gonjang ganjing ideologi. Begitu juga dengan indeks demokrasi yang anjlok serta rapat merat penegakan Hak Asasi Manusia (HAM ) dari Kominasi Nasional (Komnas HAM).

Penanganan pandemi covid-19 yang juga membuat frustasi. Wacana tiga periode adalah melompat dalam optimisme untuk membungkus pesimisme. Jokowi lebih pantas mundur sebelum 2024. Langkah ini sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara dari keterpurukan. Mundur sebelum 2024 jauh lebih baik untuk upaya pemulihan ekonomi, politik dan sosial budaya.

Teriakan palsu menolak atau menganggap ilusi jabatan Presiden tiga periode adalah permainan politik. Begitu masif, terstruktur, dan sistematik upaya pembodohan rakyat yang sedang terjadi. Karenanya, untuk membuktikan bahwa benar Jokowi tak berminat untuk jabatan tiga periode, berilah pelajaran berharga bagi masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia untuk lengser dengan terhormat sebelum 2025.

Jika dengan sukarela Jokowi mengundurkan diri sebelum selesai jabatan tahun 2024. Dampak positif adalah, pasti Jokowi akan dikenang sebagai pemimpin yang tahu diri. Dengan besar hati mau pemberi kesempatan kepada generasi mendatang yang jauh lebih baik darinya.

Jika Arief Poyouno yakin 85% rakyat dukung tiga periode untuk Jokowi, nampaknya keyakinan lain adalah 85% rakyat Indonesia dukung Pak Jokowi selesai sebelum 2024. Apakah untuk pembuktian ini perlu Referendum? Boleh juga rasanya dicoba.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

579

Related Post