Komite III DPD RI Mendukung Guru Honorer Menjadi PNS Tanpa Tes
by Tamsil Linrung
Jakarta FNN - Konon, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Konon, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi teramat sulit melihat relasi yang menjembatani dua ungkapan itu pada persoalan guru honorer.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Problem guru honorer justru terasa lekat dengan pribahasa yang sangat ini. Mereka punya kewajiban besar dengan hak yang super minimalis. Mereka diharapkan profesional, namun tidak diberikan kepastian kerja. Dan mereka telah mengabdi puluhan tahun, namun tak kunjung menerima apresiasi layak dari negara.
Sebagian guru honorer, bahkan telah menghabiskan separuh hidupnya mencetak generasi penerus bangsa. Mereka, yang seluruhnya telah berumur di atas 35 tahun ini, membentuk wadah Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Non Kategori 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+).
Melalui wadah itu, para pahlawan tanpa tanda jasa ini memperjuangkan dirinya. Meraka bukan sedang melawan penjajah Asing, tetapi mereka melawan arogansi pengelola negerinya sendiri. Saya sebut arogan karena negara seperti menutup mata pada jasa panjang pengabdian mereka sebagai guru honorer non kategori 35 tahun ke atas.
Untuk guru, pemerintah sepertinya sangat kekurangan anggaran. Tetapi tidak untuk yang lain. Lekat diingatan, pemerintah pernah begitu bersemangat "menggaji" pengangguran melalui kartu pra kerja. Program yang sempat menyebarkan bau anyir kerugian negara itu. Ini sebuah kebijakan yang anomali.
Dalam kacamata pemerintah, perekrutan guru melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dipoles sedemikian rupa, seolah menjadi jalan keluar terbaik. Padahal, bagi guru honorer, konsep ini secara sederhana tak lebih dari perpindahan satu area ketidakpastian kerja menuju wilayah ketidakpastian kerja yang lain. Substansinya, sama-sama tenaga kontrak.
Kebijakan PPPK tidak menunjukkan keberpihakan negara kepada guru honorer, khususnya GTKHNK 35+. Rekrutmen PPPK didesain mempertemukan persaingan antara GTKHNK 35+ dengan guru baru Non PNS lulusan sekolah guru. Padahal, sebagian dari mereka adalah mantan murid GTKHNK 35+. Maklum, tidak sedikit GTKHNK 35+ telah berusia 40 hingga 50 tahun dan telah mengabdi selama 20 tahun.
Cara itu sungguh terlihat tidak adil dan zalim. Pertama, karena kegiatan pelatihan peningkatan kualitas guru cenderung tidak memprioritaskan, bahkan bisa disebut mengabaikan GTKHNK 35+. Kedua, pengabdian puluhan tahun mengajar seolah tidak dipandang dan diapresiasi oleh pemerintah.
Usia produktif GTKHNK 35+ selama ini telah dikuras habis oleh negara melalui pengabdian panjang. Mereka berhasil mencetak generasi bangsa, anak cucu kita. Ketiadaan perlindungan negara adalah cara tak langsung pemerintah mencampakkan guru honorer senior GTKHNK 35+.
Sementara itu, guru honorer GTKHNK 35+ tak punya banyak pilihan. Mereka pada dasarnya cinta pada profesi yang mulia ini. Tidak ada yang ingin lepas darinya. Lagi pula, kalau pun ingin lompat pagar ke lain profesi, kita tahu ketersediaan lapangan kerja semakin sulit, terlebih dalam usia 35 tahun ke atas. Kemanakah empati pemerintah?
Kebutuhan Guru
Saat ini, kebutuhan guru di Indonesia sebesar 2,2 juta PNS. Namun, yang baru terisi baru 1,1 juta guru PNS. Inilah alasan pemerintah mengadakan perekrutan guru. Semakin mendesak karena tahun ini saja sebanyak 69.000 guru PNS akan memasuki masa pensiun.
Perekrutan guru adalah langkah baik. Namun, terlebih dahulu membenahi problem akut guru honorer semestinya menjadi prioritas pula. Jangan mengambil solusi baru sebelum menyelesaikan problem yang telah mengakar lama. Toh keduanya bisa berjalan paralel. Sementara PPPK yang dianggap solusi, faktanya tidak menyelesaikan masalah.
Jumlah guru honorer 742.000. Sebanyak 59 persen atau 437 ribu di antaranya berusia 35 tahun ke atas (GTKHNK 35+). Mereka inilah yang sedang berpacu dengan waktu, berjuang di antara dilema usia non produktif dengan kepastian kerja dan jaminan masa depan.
Bila ke-437 ribu GTKHNK 35+ tersebut diharuskan mengikuti seleksi, bisa dipastikan beberapa diantaranya tidak akan lulus. Lalu, bagaimana nasib mereka selanjutnya? Apakah dibiarkan menunggu tes tahun berikutnya? Sampai kapan?
Kita tentu saja sangat mengapresiasi solidaritas GTKHNK 35+ yang telah dibangun diantara mereka. Mereka tidak ingin saling meninggalkan, sehingga bertekad bersama-sama tidak mengikuti jalur PPPK yang diadakan pemerintah.
Semestinya sikap itu telah cukup memberi sinyal kuat kepada pemerintah untuk menyadari bahwa ada problem besar yang tidak dapat dijangkau oleh PPPK. Tetapi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap memaksakan program ini sebagai solusi bagi keseluruhan tenaga pengajar honorer.
Apa boleh buat. demi memperjuangkan haknya, pengurus dan anggota GTKHNK 35+ terpaksa mengonsolidasi perjuangnnya dari bawah, meminta dukungan kesana-kemari. Mereka menyambangi pemerintah daerah masing-masing, mengunjungi Kantor DPRD setempat, dan juga bergerilya di Pusat dengan mendatangi gedung DPD RI dan DPR RI.
Kepada institusi-institusi itu, mereka memohon dukungan ketika kemendikbud yang seharusnya mengayomi dan memperjuangkan kepentingan GTKHNK 35+ justru memalingkan muka.
Dukungan Komite III DPD
GTKHNK 35+ beberapa saat lalu (Rabu sore 17 Maret) juga telah melakukan audiensi dengan kami, Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI. Banyak cerita haru terdengar. Dari mereka, kami menjadi lebih paham betapa sulitnya memperjuangkan hak di negeri ini.
Dari Audiensi tersebut, Komite III DPD RI sepakat mendukung sepenuhnya pengangkatan GTKHNK 35+ menjadi PNS tanpa harus melalui tes. Mereka, bagaimana pun juga, telah berkontribusi membangun sektor pendidikan karena kecintaannya pada profesi ini. Kini saatnya negara membalas pengabdian itu dengan status PNS. Ini bukanlah permintaan yang berlebihan.
Dalam konteks itu, kami meminta salah satu dari dua hal berikut: pertama, agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Presiden (Peppres) tentang pengangkatan guru honorer menjadi PNS, khususnya guru honorer usia 35 tahun ke atas. Dengan Peppres ini, percepatan penyelesaian problem guru honorer Secara menyeluruh dapat disegerakan.
Tuntutan penerbitan Peppres juga telah disuarakan oleh GTKHNK 35+ saat menggelar rapat koordinasi nasional di ICC Kemayoran, beberapa saat lalu.
Kedua, agar pengangkatan guru honorer usia 35 tahun ke atas dapat dimasukkan dalam RUU perubahan Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang saat ini tengah digodok di DPR. Insya Allah, dalam kapasitas dan kewenangannya yang serba terbatas, Komite III DPD RI ikut bergerak untuk tujuan ini.
Negara harus memahami, usia guru honorer GTKHNK 35+ tidak lagi produktif menjajal profesi baru. Pemerintah harus memahami itu, tidak justru abai mengelola SDM-nya, terlebih SDM yang tugas pokoknya melahirkan SDM baru.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, semua guru harus masuk dalam kategori dihargai itu, tanpa kecuali.
Penulis adalah Senator DPD RI.