Konstitusi Yang Disiapkan Oligarkis
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Ternate FNN - Hukum untuk bangsa (law of the nation), begitu sakralisasi politik terhadap UUD atau konstitusi. Untuk tujuan itu, konstitusi dengan sendirinya menyandang sifat “supreme” dalam jajaran hukum pada bangsa itu. Itulah akar konsep konstitusionalisme.
Darinya mengalir hukum-hukum lain yang bersifat organik. Berlevel rendah dari konstitusi dalam lingkungan negara bangsa itu. Darinya pula sistem hukum untuk bangsa dan negara tercipta. Bukan sistem, kalau unsur-unsur di dalamnya saling menyangkal. Terbentuklah apa yang disebut tertib hukum.
Konstitusionalisme liberal, untuk semua alasan yang sejauh ini telah teridentifikasi, tidak benar-benar terisolasi dari citarasa oligarkis. Sifat itu disandang konstitusi. Bukan karena huruf-huruf konstitusi menulisnya. Sama sekali tidak.
Unggul Dalam Deteil
Sifat itu tersandang padanya karena konstitusi tidak pernah biacara hal detail. Oligarki mengenal ini. Mereka unggul dengan kecermatannya mengidentifikasi deteil huruf, kata dan kalimat konstitusi.
Selain UU tidak menulis jangkauan wewenang pemerintah secara detail, terdapat tiga hal hebat yang mengantarkan oligarki ke puncak kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Ketiga hal itu adalah “equality before the law” dan “liberty” serta “freedom”.
Ketiga konsep itu tidak dapat diisolasi, sehingga jangkauannya meliputi semua orang. Tetapi konsep hebat itu, untuk semua alasan inetelektual apapun, mengandung konsekuensi tak terlihat. Tentu tak dikehendaki, uninteded consequences. Hebatnya kalangan oligarki melihatnya dengan mudah.
Berbekal pengetahuan teknis itu, oligarki merancang jalan menuju puncak kehidupan ekonomi, sosial, politik dan hukum. Jalan ini, karena lika-liku di dalamnya tak mampu didaki orang-orang miskin. Orang miskin justru menggunakan konsep itu sebagai barometer penilaian atas tindakan-tindakan pemerintah.
Pembaca FNN yang budiman, kaum oligarkis tahu detail konsekuensi konsep supremacy of law. Mereka berbeda sudut pandan dan jalan dengan Ilmuan konvensional di dunia hukum. Kalau ilmuan konvensional menyambut konsep “supremacy of law” sebagai benteng atas kesewenang-wenangan, oligarki lain lagi melihatnya.
Kalangan oligarkis tahu UUD tidak pernah rigid, deteil mengatur batas jangkauan wewenang presiden atau perdana menteri. Di kepala kaum oligarkis, UUD itu dokumen telajang, setelanjang kehidupan rakyat yang tak terdefenisikan, dinamis dan harus diurus.
Tindakan mengurus, suka atau tidak haru berdasar hukum, karena diwajibkan oleh konsep “supremacy of law”. Ini hebatnya oligarki. Karena harus berdasarkan hukum, dan hukum harus dibuat. Oligarki tahu itu, dan tahu apa yang harus dilakukan. Cara termudah adalah kuasai pembentukan UU, sehingga huruf-huruf dalam UU itu mengakomodasi kepentingan mereka.
Mengapa harus menulisnya? Oligarki tahu, tidak ada aktifitas ekonomi, apapun itu yang tidak berawal dari dan berkait dengan hak. Hak, suka atau tidak, tidak bersumber dari apapun, selain hukum. Pembentukan UU, tidak pernah lain selain sebagai penegasan hak, kewajiban dan prosedur.
Begitulah sebagian dari cara berpikir oligarki. Salahkah ini? Oligarki dapat dengan mudah mengatakan tidak. Anda juga dipersilahkan menempuh cara yang sama. Oligarki bisa dapat meyakinkan pembentuk UU untuk membentuk UU tentang lobby agar tersedia rule of the game yang sama bagi semua orang.
Pembaca FNN yang budiman. Tahukah anda bahwa UUD Amerika Serikat tidak menulis tentang Bank Sentral yang sekarang terkenal dengan nama “The Federal Reserve”? Tidakkah pembaca FNN yang budiman juga tahu bahwa UUD Amerika tidak mengatur corporasi sebagai subyek hukum?
Kenyataannya Amerika memiliki The Federal Reserve. Amerika juga memiliki “corporation” sebagai subyek hukum. Pemerintah yang memiliki sikap anti trust sekalipun, dalam kenyataannya tidak dapat berkelit dari, kalau bukan tekanan dari panduan oligarki keuangan dan korporasi.
Thedore Rosevelt, Presiden Amerika 1901-1908, dikenal dengan kebijakan Trust Busting-nya, sempat kelimpungan menghadapi korporasi. JP Morgan misalnya, menghadap Tedy begitu Theodore Rosevelt sang Presiden disapa. Kepada Teddy, JP Morgan mengatakan “bila ada yang salah dari kami, kirimkan orang anda ketemu orang kami, dan kita bicara”.
Indonesia disepanjang paruh kedua tahun 1980-an dan sepajang tahun 1990-an sebelum reformasi, ramai dengan kritikan kaum intelektual soal politik dan ekonomi soal dominasi dan sepak terjang konglomerat. Begitu nadanya sangat negatif. Kelompok ini besar dan dibesarkan dengan fasilitas pemerintah. Begitulah nadanya.
Konglomerat, dalam nada negative disamakan dengan predator dan monster politik ekonomi. Mereka tumbuh menjulang di tenghn kemiskinan yang terus menggunung. Akhirnya UUD 1945 yang sebelum diubah, untuk sebagian, ditunjuk sebagai penyebabnya.
Pilihannya UUD 1945 harus diubah. Saatnya pun tiba dan UUD 1945 benar-benar diubah. Menariknya, perubahan itu dilakukan dengan cara yang satu dan lainnya sama sekali tidak direncanakan. Tak pernah diproyeksikan dalam kerangka pemikiran hukum “unintended consequenses”.
Masa jabatan presiden memang dibatasi. Presiden tidak lagi dipilih MPR. Rakyat diberi hak memilih langsung presiden dan wakil presiden. Kepala daerah juga begitu. Bank Indonesia dan Hak Asasi Manusia diatur dalam dalam UUD reformasi ini. Prinsip ekonomi digariskan dalam pasal 33.
Terlihat top untuk sejenak bagi orang miskin. Apakah begitu kebnyataannya? Itu soalnya. UUD reformasi ini tidak dapat menjinakan korporasi. Mereka tidak terjauhkan dari dunia politik pilpres, pileg, ekonomi dan hukum. Tidak sama sekali. Mereka masih tetap bercokol, bahkan semakin kuat dan menguasai.
Tak Terhalang
Oligarki tidak pernah surut, atau mengambil posisi belakang. Bagai buih, oligarki selalu berada di depan dan di permukaan gelombang semua lautan politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya. Untuk yang di permukaan, mengarahkan dan memberi bobot terhadap kehidupan politik dan ekonomi pada tatanan politik dua partai, itulah mereka. Di politik bersistem multi partai juga sama. Malah semakin banyak partai, semakin menyenangkan oligarki bercokol dan mengatur.
Oligarki tahu dunia tidak berubah. Dunia dan hidup diciptakan untuk diubah. Perubahan tidak pernah datang dengan sendirinya. Perubahan harus direncakanakan. Perubahan yang direncanakan sama dengan perubahan yang dikendalikan. Postur politik dan hukum, suka atau tidak, harus direncanakan dan dikendalikan. Ini pekerjaan besar dalam semua aspeknya. Pekerjaan ini, suka atau tidak, terlalu jauh jaraknya dari jangkauan tangan para kaum reformasi.
Sepanjang sejarah yang naik turun, gelap dan terang, pekerjaan besar itu selalu menjadi pekerjaan para oligarkis. Kaum yang kokoh dengan harapan, dan tangguh menyusuri lika-liku ekonomi, politik dan hukum, dengan cara yang begitu kaya, selalu menjadi pengarah perubahan.
Memang terdapat sekelompok presiden yang teridentifikasi mengambil jalan berseberangan dengan kaum ini. Tetapi waktu berlalu bersama kesuksesan demi kesuksesan kaum oligarki. Teddy Rosevelt yang kukuh membatasi korporasi berkarakter trust, tak dapat benar-benar mengentikan mereka.
William Howard Taft, Presiden yang profesor tata negara ini, juga sama. Berkelahi dengan korporasi, tetapi ketika ujung jabatannya tiba, dia menemukan diri, oligarki keuangan telah menentukan peluit untuk dia harus minggir dari kursi Presiden Amerika.
Turky Usmaniah, harus tenggelam untuk selamanya segera setelah Woodrow Wilson, presiden yang dibiayai pencalonannya oleh oligarki keuangan ini, mencanangkan “Internationalization of Freedom”. Dengan konsep itu, bergemalah di seluruh dunia “kemerdekaan”. Teritori-teritori Turki Usmaniah menyambutnya. Pecahlah integrasi bangsa itu. Turky Usmaniah pun tamat.
Hanya presiden pintar, dan punya hati yang pada batas tertentu, dapat menjinakan kelompok yang hanya tahu untung pada semua tampilannya itu. Profesor Soepomo, arsitek UUD 1945 menyatakan “hal terpenting dalam penyeleggaraan negara adalah semangat penyelenggara negara”.
Woodrow Wilson juga mengakui itu. Presiden ini diketahui pernah berkata dalam menyelenggarakan pemerintahan, bukan UUD yang terpenting, tetapi “who behind the bussinis”. Puluhan tahun kemudian, Dwig H. Eisenhower, Presiden Amerika sesudah Truman bilahg, “konstitusi boleh saja menulis begitu banyak kewenangan presiden, tetapi dalam kenyataan tergantung siapa presiden dibalik konstitusi itu.
Hanya oligarki bodoh yang memimpikan seseorang menjadi presiden berkali-kali. Sejarah telah jelas dalam soal ini. Berapapun lamanya masa jabatan presiden, oligarki selalu berada di hulu dan hilir semua aspek kehidupan. Suka atau tidak, konstitusionalisme selalu didekorasi oleh kaum oligarkis. Apakah Indonesia mirip-mirip itu, kalau tidak dibilang sama persis?
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.