OPINI

Impor Beras, Ironi Negeri Penghasil Padi

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Inilah ironi negeri penghasil padi. Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, sabang waktu dihadapkan pada persoalan impor beras. Problem klasik ini tak pernah surut mengiringi tahun demi tahun perjalanan bangsa. Masalahnya semakin kompleks, beranak-pinak melahirkan masalah baru dalam dinamika sosial politik tanah air. Ditambah lagi, potensi para pemburu rente ikut bermain. Kontroversi impor beras berulang setelah Menteri Perdagangan M. Lutfi mengumumkan rencana impor satu juta ton beras beberapa saat lalu. Rencana ini sungguh kering empati karena dikumandangkan saat petani jelang panen raya dan stok beras diyakini mencukupi. Sementara itu, ekonomi negara sedang sulit, hutang super besar mencapai 6.361 triliun, dan rakyat yang masih tercabik pandemi Covid-19. Sontak rencana Mendag mengagetkan banyak pihak. Petani galau, pelaku industri sektor pertanian gelisah, dan pengamat kembali adu narasi. Setelah beberapa pekan menjadi wacana kontroversial, Presiden Joko Widodo akhirnya mengambil langkah. Presiden menegaskan, rencana impor dibatalkan hingga Juni 2021 demi menjaga stabilitas harga gabah. Kita menyambut baik keputusan Presiden Jokowi. Jika boleh memberi catatan, ada beberapa hal yang harus dilakukan menindaklanjuti komitmen itu. Pertama, pengumuman rencana impor beras satu juta ton oleh Mendag terlanjur disikapi negatif oleh pasar. Menurut koordinator koalisi rakyat untuk kedaulatan pangan Said Abdullah, setelah Mendag mengumumkan rencana impor beras satu juta ton, sesaat kemudian terjadi penurunan harga di lapangan. Kisaran penurunan tersebut antara Rp. 500 sampai dengan Rp 1.000 per kilogram. Presiden tidak cukup hanya memutuskan penghentian rencana impor beras, tetapi juga menugaskan tim untuk menstabilisasi harga gabah di tingkat petani. Untuk urusan kenaikan harga, mekanisme pasar biasanya terjadi dengan sendirinya. Tapi tidak selalu begitu dalam hal penurunan harga. Kedua, untuk kesekian kalinya pemerintah terlihat tidak solid dalam urusan impor beras. Mendag M. Lutfi dan Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto nampak begitu bersemangat merencanakan impor beras satu juta ton. Sementara Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Dirut Bulog Budi Waseso terlihat menolak, meski dalam Raker dengan DPR RI, Mentan mengatakan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing menolak rencana impor tersebut. Bukan Pertama Kali Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kisruh itu bukan pertama kali. Lintas kementerian dan lembaga non departemen juga terlihat tidak kompak pada peristiwa impor beras 2018 lalu. Lekat diingatan, perdebatan antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dengan Direktur Utama Bulog Budi Waseso yang berhari-hari menjadi headline news pada persoalan impor beras. Semestinya, Presiden Jokowi belajar dari pengalaman itu. Bahwa sebelum mengumumkan rencana impor beras, semua kementerian terkait sebaiknya satu suara terlebih dahulu. Untuk kepentingan ini, setidaknya ada dua hal yang harus dirapikan terlebih dahulu. Pertama adalah soal koordinasi. Koordinasi itu vital. Cacat koordinasi dapat membuat wajah Pemerintahan Presiden Jokowi tercoreng. Seolah-olah presiden tidak punya kemampuan mengatur menteri-menteri yang dipilihnya. Yang satu mengatakan perlu impor, yang lain malah membantah. Sayangnya, adu narasi dipertontonkan di hadapan publik. Meski data antara kementerian dan lembaga berbeda, keputusan impor atau tidak impor sesungguhnya dapat disepakati dengan mudah jika koordinasi berjalan dengan baik. Bila kesepakatan tercapai, barulah dirilis ke publik. Jika belum, berdebatlah hingga tuntas secara internal. Bukan melalui media massa. Kedua, yang harus dirapikan adalah sinkronisasi data. Karena data berbeda melahirkan sikap berbeda. Kementerian dan lembaga terkait akan selamanya berada dalam sikap berbeda bila data yang dimiliki juga berbeda. Kementerian yang satu menekankan harus impor, sementara yang lain menilai sebaliknya. Data Mendag menyebut perlu segera mengisi stok beras nasional. Namun setidaknya ada tiga sumber data yang membantah dengan tegas. Pertama, data Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS, potensi produksi beras Januari sampai April 2021 sekitar 14 juta ton. Angka ini naik 26 persen ketimbang 2020. Dengan potensi tersebut, surplus atau kelebihan beras Januari-April 2021 diperkirakan sekitar 4,8 juta ton. Jadi, tidak beralasan bagi Mendag merencanakan, apalagi memaksakan impor beras. Kedua, data dari Kementerian Pertanian. Dalam Rapat Kerja antara Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) dengan Komisi IV DPR RI, diperoleh gambaran bahwa produksi beras periode Januari hingga Mei 2021 mengalamai surplus. Produksi beras disebut bakal mencapai 24,91 juta, sedangkan prediksi konsumsi beras selama rentang waktu tersebut hanya separuhnya. Jadi ada surplus sebesar 12,565 juta ton. Data ini lagi-lagi mementahkan semangat impor beras Mendag. Ketiga, data dari Bulog . Dalam sebuah diskusi virtual pada Kamis 25 Maret 2021, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengatakan Bulog masih menyimpan 923.471 ton beras CBP. Jumlah ini belum termasuk tambahan pembelian 800.000 ton beras petani dan pembelian-pembelian lainnya sejumlah 145.000 ton hingga awal Maret 2021. Presiden Keliru Besar Soal data, bahkan Presiden Jokowi pun keliru besar. Melalui akun resmi twitternya, Presiden Jokowi kembali menegaskan tidak akan ada impor hingga Juni 2021. Penegasan ini diiringi satu kalimat tambahan. Presiden mengecuit, selama hampir tiga tahun ini, Indonesia tidak lagi mengimpor beras". Faktanya, data BPS menunjukkan, impor beras besar-besaran malah terjadi pada 2018 lalu, yakni sebanyak 2.253.824 ton. Jumlah tersebut setara dengan 1,037 miliar dollar AS. Pada 2019, Indonesia kembali mengimpor beras sebanyak 444.508 ton atau setara 184,2 juta dollar AS. Anehnya, beberapa saat lalu, Dirut Buwas mengatakan sisa stok beras 2018 hingga saat ini masih terdapat digudang bulog sebesar 300 ribu ton dan terancam rusak. Logikanya, saat impor dilakukan pada 2019, sisa stok impor 2018 tentu jauh lebih banyak lagi. Lalu, kenapa saat itu harus impor? Pada 2020 memang tidak terjadi impor beras. Namun di bulan Januari, masyarakat dihebohkan oleh banjirnya beras impor khusus asal Vietnam. Kementan membenarkan adanya beras impor asal Vietnam yang masuk ke pasar Indonesia. Beras itu terdeteksi di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Jakarta. Anehnya, Kementan merasa tidak pernah mengeluarkan ijin impor beras. Fakta-fakta di atas memperlihatkan betapa carut-marutnya cara pemerintah mengelola sektor bahan pokok 260 juta rakyat ini. Dan menjadi kian rentan ketika kegiatan impor berpotensi ditumpangi para pemburu rente dalam memburu fulus. Ekonom Indef Faisal Basri menduga keuntungan para pemburu rente mencapai Rp2 triliun untuk impor satu juta ton beras saja. Pada tahun 2005 ketika memimpin Tim Investigasi Import Beras Fraksi PKS DPR RI, temuan Tim PKS juga membenarkan apa yang menjadi temuan Ekonom Indef tersebut. Temuan kami akhirnya ditindaklanjuti KPK dibawah pimpinan Komisioner Amien Soenaryadi, yang kemudian berujung pada pemenjaraan para pelaku pemburu rente tersebut. Masalah impor beras memang pada akhirnya tidak lagi berdiri sendiri sebagai persoalan ekonomi atau pangan semata. Ketika pemburu rente dimungkinkan berada di balik kebijakan yang memaksakan impor beras, persoalan menggurita lebih kompleks. Padahal, beras hanyalah salah satu dari banyak jenis kebutuhan pokok yang kita impor. Jangankan swasembada pangan, swasembada beras saja rasanya masih terlalu jauh, meski semua rezim kerap menjadikannya jualan politik. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat Kayu dan batu jadi tanaman. Koes Plus tentu tak berniat menyindir rezim yang berkuasa melalui lirik lagu ini. Itulah sejatinya Indonesia. Namun, cara mengelola membuat negara agraris ini harus menggantungkan kebutuhan pokoknya pada lahan negara lain. Suatu ironi...! Penulis adalah Senator DPD RI.

Wouw....Munarman Keren Abis, "Amien Rais Banget”

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Itulah sosok Munarman, yang saat ini tengah berjibaku mati-matian menghadapi instrumen hukum pemerintah, demi membela kepentingan yuridis kliennya, Muhammad Habib Rizieq bin Hussein Shihab Lc., MA., DPMSS, yang dikenal dunia dengan nama Habib Rizieq Shihab (HRS). Sejak persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (16/03) Munarman langsung tancap gas. Pria tiga anak kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 56 tahun silam ini tak menampakkan model dialog permisif dan kompromistis atas berbagai delik hukum yang dipandang tidak tepat. Bicaranya lepas dan tak terhalangi. Laksana rajawali yang terbang kesana-kemari memburu mangsa yang sedang lengah hati. Pantang turun, sebelum para musuh terkapar di diantara gurun. Hingga peristiwa heroik Munarwan itu disaksikan di sidang berikutnya, Selasa (23/03). Suasana ruang sidang menjadi crowded. Di ruang serba berjubah hitam itu terjadi insiden panas namun logis. Dengan air mukanya yang dingin, namun terkombinasi dengan sorot mata yang tajam seperti burung elang, Munarman terpaksa "menggurui" Khadwanto selaku Ketua Majelis Hakim. Ketika Munarman bicara, tampak seperti guru yang menerangkan pelajaran kepada murid. Semua terdiam dan menyimak. Menjawab Hakim Ketua yang tetap ngotot akan menyidangkan HRS via video streaming dengan dalih sesuai Perma (Peraturan Mahkamah Agung), Munarman nampak tak sabar. Seakan ingin segera "menguliahi" Hakim Ketua. Menurunkan masker penyumpal hidung sebatas dagu. Lalu bicara sambil mendelik tanpa kedip ke arah Hakim Ketua. Bicaranya tegas. Tidak ragu ragu. Pertanda dia menguasai persoalan yang sedang dia kerjakan. "Nggak bisa, nggak bisa, tidak bisa Undang Undang dirubah rubah dengan peraturan di bawahnya. Kami paham, kami mengerti hukum, kami bukan orang bodoh. Merubah Undang Undang ya harus dengan Undang Undang," sergap Munarman menggeleng gelengkan kepalanya, seolah menaruh heran atas ketidak pahaman Hakim Ketua. Ini terkesan seperti perhukuman. Wouw.....advokasi Munarman terasa dingin dingin empuk. Makin ditelan kian terasa mrinding _mrinding sedapppp.... Dan bikin kangennnn.... Malah, secara insinuatif, Munarman seakan menganggap Majelis Hakim bertindak konyol. Milsanya, majelis hakim meminta pengacara untuk melakukan uji materi Perma ke Mahkamah Agung. "Mana mungkin. Perma itu yang bikin Mahkamah Agung. Kok kita disarankan melakukan uji materi ke MA? Itu kan konyol," wejangan Munarman, sembari menjatuh jatuhkan penampang lima jari tangan kanannya ke meja tempat duduk, tidak habis pikir. Untuk itu, berdasar perundang undangan dan contoh contoh persidangan lain (yurisprudensi), Munarman bersikukuh meminta agar persidangan digelar dalam keadaan tatap muka, terutama terhadap HRS selaku terdakwa. Pada sesi persidangan yang lain, Munarman membentak-bentak dan menunjuk-nunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang duduk di bangku seberangnya. Hal itu disebabkan jaksa turut menyela-nyela ketika Munarman tengah memberikan penjelasan kepada Hakim Ketua. Hardiknya keras. "Ini giliran saya, ini giliran saya, ini giliran saya. Saudara diam, saudara diam". Sejurus setelah debat hukum, Munarman dan timnya keluar ruang sidang. Tanda berani membangkang. Menunjukkan idealisme kebenaran yang kuat erat. Munarman tidak berani mengambil resiko dengan terus mengikuti sidang, dalam kondisi prosedur persidangan yang dianggapnya tidak sesuai aturan. Maka, walk outnya Munarman seperti pilot jet tempur yang melakukan bail out. Terjun dengan kursi pelontar, dalam kondisi yang tidak mungkin lagi melakukan penerbangan. Disini terlihat Munarman seakan-akan melakukan impunity terhadap kesewenang-wenangan hakim dan jaksa. Berdebat di persidangan dan secara logis menang, adalah mahkotanya lawyer. Diplomasi hukum Munarman memang top, berkalas dan menang. Karena arguemntasinya masuk akal. Hal itu ditegaskan Hakim Ketua, Suparman Nyompa, di persidangan sesi berikutnya. Maelis hakim mengabulkan permohonan HRS untuk bersidang langsung dalam satu ruang sidang. Meski sebelumnya, dalam keadaan sudah tak direken Munarman dan kawan-kawan, hakim Khadwanto tetap menolak permintaan Munarman. Dia ngotot online, merujuk pada Perma (Peraturan Mahkamah Agung) yang membolehkan sidang secara maya. Dimengerti atau tidak, sebenarnya Munarman tengah bertarung sendirian di kalangan para musuh. Yah, single fighter dia. Apakah itu jaksa, hakim maupun polisi yang berjaga jaga, hampir semuanya adalah instrumen pemerintah. Representasi dari pemerintah yang dipimpin Jokowi. Sebab, pada dasarnya Jaksa Penuntut Umum tidak lain adalah pengacara pemerintah. Mengikuti cara dan gaya Munarman bersidang penuh nyali dan kompetensi. Menjadi mirip dengan keberanian tokoh reformasi, Amien Rais, yang berani berteriak dalam iklim politik yang tidak semua orang bisa melakukannya. Siapa yang berani melawan the smiling generald Pak Harto? Sebagaimana Munarman, Amien Rais juga praktis sendirian ketika melawan pemerintah Orde Baru waktu itu. Hingga akhirnya meletus malapetaka reformasi 98. Pak Harto jatuh. Para pemberani seperti Munarman dan Amin Rais itu bukan tidak sadar akan resiko. Mereka sadar. Namun karena terlanjur tenggelam dalam kebenaran akidah Islam, semua yang dilakoni menjadi tidak menakutkan. Jika semakin terjadi benturan-benturan, mereka kian terbenam di titik nadir prinsip memperjuangkan kebenaran. Hingga akhirnya terbentuk. Bagi oportunis, menjadi pejuang itu sesuatu yang tidak enak. Sengsara dan tidak banyak kawan. Namun dalam pandangan pejuang, sendiri sanggup mengangkat langit. Bersama sama bisa menenggelamkan bumi. Para pejuang seperti Munarman dan Amin Rais ini, umumnya baru diterima publik yang tadinya tidur, manakala hasil perjuangannya ternyata benar. Bermanfaat untuk umum. Seperti tulisan Dahlan Iskan disebuah platform suatu ketika. Kata Dahlan Iskan, orang yang sebelumnya acuh tak acuh baru akan mengelu-elukan seorang pejuang, manakala hasil perjuangannya terbukti benar dan faedah. Sebab itu, saran Dahlan Iskan, bila meyakini apa yang dilakukan itu adalah sesuatu benar, jangan ragu. Lakukanlah sekalipun orang lain tidak peduli. Perjalanan Munarman belum berujung. Masih akan ada "perkelahian perkelahian" lanjutan. Tidak ada orang ragu. Karena Munarman seakan ditakdir sebagai "simbol dan lambang kebenaran". Berani berkelahi di rumah sendiri, itu anak kecil yang baru mulai belajar merangkak. Tetapi, duel tangan kosong ala cowboy di areal musuh adalah pria mboys. Dia tidak sekedar memiliki nyali. Namun dia juga menguasai ilmu "pencak silat" sekelas Barda Mandrawata alias Si Buta dari Goa Hantu. Jenis laki-laki macam ini, jika dalam dunia peradu jotosan di atas ring, tidak lain adalah si leher beton berkepala baja, Mike Tyson. Belum pernah tersaksikan dia dihadapkan musuh imbang, apalagi di bawahnya. Semua lawan dengan fitur dan postur tubuh yang lebih tinggi di darinya, selalu diciumkan Tyson ke kanvas di ronde ronde awal. Cerita ayam jago kesayangan Cidelaras. Meski berpostur tidak begitu besar dan tinggi, namun gaprakannya mengakibatkan sang lawan kejeng-kejeng bak ayam yang baru disembelih. Para begundal pemilik ayam jago seisi hutan pun dibikin keok. Penikmat FNN yang budiman. Munarman adalah rajawali yang berani terbang tinggi walaupun sendirian. Jejak hidupnya terkumpul menjadi satu dengan para jurnalis, berupa lembaran berita yang enak ditulis dan dibaca. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

Pilkada Boleh Ngumpul, Mudik Dilarang

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pemerintah secara resmi melarang warga untuk melaksanakan mudik lebaran. Alasan pemerintah karena penularan Covid 19 yang masih tinggi. Bahkan untuk mencegah masyarakat melakukan mudik lebaran tahun ini, akan dikakukan pengawasan yang ketat. Aparat akan dikerahkan untuk mencegah dan menghalau masyarakat pulang kampung. Kebijakan pemerintah ini bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya dari Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi. Sebab ketika melakukan rapat kerja dengan Komisi VI DPR beberapa waktu lalu, Menhub Budi Karya telah menyatakan bahwa mudik tahun ini tidak akan dilarang. Sudah menjadi kebiasaan pemerintah Presiden Jokowi kalau “pagi tempe, sore dele”. Mudik tidak harus dilarang. Kalau sampai dilarang, masalahnya dianggap sangat diskriminatif. Wisata dan kerumunan lain tampak dimana-mana. Toh, itu boleh-boleh saja. Apalagi mudik lebaran itu budaya yang telah melembaga pada masyarakat Indonesia. Ada nilai silaturahmi dan spiritualitas. Bahwa ada aturan prokes yang mesti dijaga tetap dijalankan sebagaimana mestinya. Orientasi negara ini selalu saja pada aspek ekonomi. Padahal pandemi pun dapat diterobos dengan alasan menggerakkan roda ekonomi. Sementara pada aspek keagamaan tidak menjadi prioritas. Bahkan nyata-nyata dipinggirkan. Budaya keagamaan ikut terdampak oleh kebijakan materialistis dan pragmatis seperti ini. Padahal nilai ekonomis mudik sebenarnya cukup besar. Dahulu pernah ada seorang Menteri yang mengancam pidana bagi yang mudik. Alasannya menentang kebijakan Pemerintah atas pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan. Penafsiran ini sempit, picik, kerdil dan tendensius. Kepentingan non agama yang berkonsekuensi kerumunan dibolehkan. Mau minta bukti? Lihat itu kampanye saat Pilkada 2020 yang lalu. Pelanggaran terberat yang dilakukan Pemerintah Presiden Jokowi saat ini dalam konteks pandemi Covid 19 adalah tidak dijalankannya prinsip "equality before the law". Pemerintah melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum. Atau mungkin juga karena pemerintah tidak terlalu memahami apa itu "equality before the law"? Mudik dilarang sementara pasar dan wisata boleh-boleh saja. Malah semakin marak dan ramai. Mall-mall penuh sesak dengan manusia. Cari parkir saja susah. Bisa putar-putar setengah jam beru dapat parkir. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru Sandiaga Uno diamanati untuk menggalakkan pariwisata. Kebijakan yang sesungguhnya tidak sehat. Di sisi lain Sekretaris Jendral Organda mempertanyakan larangan mudik tahun ini, sebab sebagaimana tahun lalu, prakteknya mudik tidak mudah untuk dicegah. Menurutnya yang justru menjadi sasaran adalah bus dan kendaraan umum saja. Kendaraan kecil tetap dapat mudik yang dengan berbagai cara meloloskan diri dari cegatan. Artinya lagi-lagi masalahnya ada pada inkonsistensi dan keadilan. Selama kebijakan Pemerintah masih ambigu, tebang pilih, dan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi dan politik, maka daya dukung publik terhadap kebijakan apapun akan rendah. Artinya selalu saja menjadi kontra produktif. Kredibilitas terus merosot dan aurat kekuasaan semakin terbuka terang benderang. Auratnya memalukan. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Nama Tersangka Tak Diumumkan, Bagaimana Rakyat Percaya?

by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Satu dari tiga terlapor pelaku penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dikabarkan meninggal karena kecelakaan. Rakyat boleh bertanya dong, tersangka yang mana? Siapa namanya? Apa perannya dalam pembunuhan enam laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu? Ini sih masih pertanyaan yang wajar-wajar saja. Sampai saat ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri belum mengumumkan, siapa nama ketiga terlapor calon tersangka tersebut. Bagaimana mungkin rakyat bisa mempercayai? Dugaan muncul bahwa ini menjadi bagian dari rekayasa untuk menghindari penetapan pelaku yang sebenarnya. Rakayasa yang terlalu fulgar dan telanjang untuk dipahami dan dipercara rakyat. Sejak penetapan keenam anggota laskar sebagai tersangka, rakyat juga mulai bingung. Bagaimana opini hendak dibalik dari korban menjadi pelaku? Sebaliknya pelaku kejahatan pembunuhan kemungkinan berubah menjadi pahlawan ? Namun akhirnya walaupun berat, rekomendasi Kimisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak bisa diabaikan begitu saja. Suka atau tidak suka, tersangka harus ditetapkan dari anggota Polda Metro Jaya. Maka, munculah tiga nama terlapor calon tersangka, yang anehnya hingga kini masih dirahasiakan oleh pihak Kepolisian identitasnya. Sipa nama mereka? Masa sih ada tersangka pembunuhan, namaun tidak punya nama? Apa mungkin ada tersangka anggota polisi yang tidak nama? Mengejutkan tetapi lucu juga, sebab tiba-tiba saja Kepala Bareskrim Polri Komjen Polisi Agus Andrianto menyampaikan kepada publik, bahwa satu dari tiga terlapor tlah meninggal dunia karena kecelakaan. Pengumuman ini membuat fikiran publik melayang bebas kemana-mana. Tentu saja dengan seribu asumsi dan opini. Ada rekaysa apa lagi ini? Beberapa asumsi dan opini yang mungkin muncul. Pertama, yang meninggal kecelakaan bukanlah terlapor tetapi anggota Polisi lain. Mungkin saja yang tidak ada hubungan dengan kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI. Klaim sebagai terlapor lumayan dapat mengurangi beban. Tinggal otak-atik dua terlapor tersangka lain. Teman sambil berseloroh mengatakan jangan-jangan kodok mati tertabrak juga disebut sebagai terlapor meninggal. Kedua, memang benar terlapor calon tersangka itu yang menjadi pelaku utama, akan tetapi kecelakaannya adalah sengaja dan bagian dari operasi. Untuk menghilangkan jejak dan jaringan. Karenanya perlu kejelasan dan penyelidikan serius soal "kecelakaan" ini. Siapa? Dimana? Kapan? Mengapa terjadi kecelakaan tersebut? Hingga kini kejadiannya masih kabur. Ketiga, seluruh terlapor hanya "bawahan" yang menjalankan perintah atasan. Perlu ada "cut off" agar semua terlokalisasi kepada jumlah orang yang sedikit. Dengan info meninggal satu, yang dua bisa saja nantinya satu kabur, satu lagi di covidkan. Jika benar terjadi kecelakaan, maka itu adalah suatu kelalaian fatal. Ketiga calon tersangka seharusnya ditahan. Mengapa mereka tidak ditahan. Padahal ini bukan kasus ecek-ecek seperti pencurian sendal jepit, melainkan kasus kejahatan kemanusiaan yang menjadi perhatian semua manusia yang menghormati dan menghargai kemanusiaan. Karena Allah Subhaanahi Wata’ala sangat memuliakan manusia. Membunuh satu menusia sama dengan membunuh semua manusia. Layaknya calon tersangka itu lebih dari tiga orang. Saat melaporkan enam anggota laskar FPI, tiga orang anggota Polri menjadi Pelapor dan Saksi, yaitu Briptu FR, Bripka AI dan Bripka F. Mereka mengetahui pembunuhan empat anggota laskar FPI. Sementara di mobil yang mengawal keempat anggota laskar adalah Briptu FR, Ipda EZ, dan Ipda YMO. Jadi disini sudah lima orang. Ketika Polisi menerapkan Pasal 351 ayat (3), maka diakui terjadi penganiayaan. Artinya, keempat anggota laskar dianiaya hingga mati? Tidak mungkin dianiaya didalam mobil. Diduga terjadi di suatu tempat. Kaitan kendaraan yang ada di km 50 terdapat fakta ada 4 unit mobil, yang personal keseluruhan di samping 5 orang di atas, ditambah dengan Aipda T, Bripka D, AKP WI, dan Petugas R. Sehingga total menjadi 9 orang. Apakah kesembilan orang ini yang terlibat dalam penganiayaan dan pembunuhan? Menurut Komnas HAM pengintaian dan pembuntutan dilakukan juga oleh instansi di luar Kepolisian. Rekomendasi Komnas HAM adalah perlunya penegakkan hukum kepada orang yang berada di mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Dengan demikian, maka calon tersangka dapat dipastikan melebihi jumlah 9 orang. Banyak personal yang terlibat di kilometer 50 tol Japek. Sehingga jika proses peradilan dapat berjalan transparan, maka bukan saja para petugas di tingkat bawah yang layak diproses, tetapi juga atasan mereka. Bukankah penguntitan dan pembuntutan itu didasarkan adanya surat perintah? Jangan hanya mengorbankan bawahan atas konspirasi sistematik yang berujung pada pelanggaran HAM. HAM berat. Mengorbankan bahwan itu bisa menambah pelanggaran hukum baru lagi. Pikir baik-baik. Dunia sudah semakin terbuka. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Pertunjukan Slaughter House?

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Ketua Tim Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Munarman mempertanyakan keganjilan dakwaan dari Jaksa Penutut Umum (JPU) yang meminta penghapusan atau pencabutan hak politik atas diri HRS. Meski belum sampai pada tahap penuntutan. akan tetapi dakwaan ini berlebihan. Dakwan yang penuh kebencian kepada terdakwa. Dakwaan bukan untuk mau menegakkan keadilan. Jaksa memerkan dan mempetontonkan keangkuhan pada peradilan sesat. Peradilan suka-suka, bahkan peradilan yang penuh dengan dagelan menjadi pantas disematkan untuk proses pengadilan HRS di PN Jakarta Timur. Soal persidangan "online" dan "offline" saja telah membuat gaduh dunia peradilan Indonesia.. Kasus kerumunan walimahan pernikahan, pengajian dan test Swab yang didakwakan sebenarnya pidana samar dan tergolong sederhana. Akan tetapi diolah menjadi pidana yang terkesan raksasa dan sangat menggemparkan. Maklum saja, karena ini kasus politik. JPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah di bidang penuntutan telah menggap kalau HRS sebagai orang yang sangat berbahaya. Diposisikan sebagai musuh negara. Kalau bisa tank, pesawat tempur, bahkan kapal induk dikerahkan untuk menyerang sorban seorang ulama. Semua kekuatan negara hraus dikerahkan untuk melumpuhkan HRS. Suara dakwah kebenaran, keadilan dan melawan kezoliman terdengar bising di telinga pendosa. Bagai dengung nyamuk, lalat, atau lebah yang membuat panik, marah, jengkel, dan takut. Sambil berlari menepis dengan satu pilihan "pites, libas" atau matikan. Hal ini menjadi wujud dari radikalisme negara dan intoleransi terhadap keragaman dan sikap keagamaan. Nampaknya benar pandangan bahwa ini bukan ruang pengadilan. Bukan juga keadilan yang ingin digapai dari sebuah proses persidangan. Tetapi hanya persidangan untuk bisa mendapatkan pembenaran hukum untuk penghukum anak bangsa yang bernama HRS. Berusaha untuk menggorok dengan pisau hukum dan kekuasaan negara atas pesakitan yang selama ini menjadi lawan politik. Pengadilan yang berubah menjadi slaughter house (rumah jagal). Ada target atau harapan yang ingin dicapai bahwa HRS bukan saja dihukum pidana penjara. Tetapi juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak politik. Targetnya, HRS jangan melakukan kegiatan politik apapun, karena terlalu berbahaya untuk keselamatan dan kenyamanan penguasa. Pencabutan hak politik, baik hak untuk dipilih atau hak untuk menjadi pejabat publik sebagai hukuman tambahan jauh lebih layak bagi para koruptor penggarong uang rakyat di tengah bencana pandemi covid-19. Sebab mereka adalah para penghianat negara yang menjual kedaulatan negara. Bukan untuk mereka yang mengadakan acara walimahan, pengajian, atau sekedar test Swab. Pembantaian pendahuluan telah dilakukan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal keluarga HRS di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) sebagai "road map to the slaughter house". Sebelumnya adalah penurunan baliho HRS oleh pasukan TNI. Setelah itu, "penyerangan" oleh gabungan pasukan khusus dari AL, AU, dan AD (Koopssus) ke markas FPI di Petamburan. Paska pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI, dilanjutkan dengan pembubaran dan pelarangan FPI serta pemblokiran 92 rekening, termasuk rekening keluarga HRS yang kemudian dinilai "unlawful". Setelah dipersoalkan oleh anggota Komisi II DPR, Asrul Sani dan Habuburrahman, sekarang saling lempar tanggung jawa terjadi antara Pusat Pelaporan Analisa dan Transksi Keuangan (PPATK) dengan Polisi. Kini proses hukum di "slaughter house" sedang berlangsung dengan sangat rapih. Sayangnya, upaya buruk terhadap warga negara ini, mudah untuk dibaca oleh masyarakat sipil (civil society). Perlawanan keras dari HRS mampu mengubah sidang "online" menjadi "offline". Mampukah HRS dengan para pengacaranya lolos dari upaya "slaughtering" ketukan palu di meja hijau atau akhirnya semua berjalan sesuai skenario? Rakyat sedang menonton dengan serius pertunjukan panggung lelucon yang tidak lucu. Panggung arogansi melawan ketidak adilan dan kezoliman. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Anies, Idola Baru Bagi Kaum Milenial

by R. Kholis Majdi Jakarta FNN - Anak muda butuh sosok idola. Mulai dari artis, hingga pemain sepakbola. Bagi kaum milenial, ini bisa jadi motivasi. Ketika seseorang punya idola, ia ingin hidup dan sukses seperti sosok yang diidolakan itu. Tentu, ini dibutuhkan sebagai daya ungkit dan pembangkit semangat. Di era digital, para politisi memiliki panggung media yang semakin luas. Mereka nggak kalah populer dengan para artis dan publik pigur lain pada umumnya. Anak-anak muda mulai melirik. Sebagian politisi mulai digandrungi dan jadi idolanya. Kalau dulu ada Budi Utomo, Bung Karno, Bung Hatta dan Tan Malaka yang pernah menghipnotis pikiran anak-anak muda, kini ada Anies Baswedan. Mantan rektor Paramadina, mantan Mneteri Pendidikan, dan penggagas Indonesia Mengajar yang sekarang menjadi Gubernur Ibu Kota Jakarta. Anies menjadi salah satu tokoh dan kepala daerah terpopuler hari ini. Anies adalah Gubernur DKI Jakarta. Malah banyak yang menyebut Gubernur Indonesia. Nama dan sosoknya hari-hari menghiasi media massa. Publik, termasuk kelompok milenial, melihat, mambaca dan menilai. Lalu, tertarik dan terpengaruh oleh pikirannya, kemudian mengidolakannya. Ada pergeseran positif. Dari cara kaum milenial yang hanya mengidolakan fisik dan penampilan, kini bergeser ke idola berbasis gagasan dan kecerdasan. Ini tugas orang tua, agamawan dan akademisi untuk terus menyuburkannya. Dengan pergeseran ini kita berharap Indonesia akan diisi oleh anak-anak muda yang punya masa depan cemerlang. Hasil Survei Indikator, Anies menempati posisi elektabilitas tertinggi di kalangan milenial. Kalau hari ini ada Pemilihan Presidsen (Pilpres), maka Anies menempati urutan pertama yang banyak dipilih oleh para pemilih dari kalangan milenial. Kenapa Anies digandrungi kelompok milenial? Pertama, karena Anies masih muda, dengan berpenampilan yang juga muda. Anak muda lebih sreg dan cocok jika dipimpin oleh tokoh muda dan berpenampilan muda. Usianya sekitar 50 tahun. Berpakaian rapi, dan selalu tampil bersahaja. Apalagi tampilannnya tidak dibuat-buat. Apa adanya. Kedua, Anies merangkul, bukan memukul. Cara komunikasi Anies menyejukkan. Nggak baperan juga. Nggak mudah tersinggung. Segala bentuk kritik, bahkan caci maki, dihadapi dengan senyum. Kaum milenial nggak suka dengan pemimpin yang pemarah, apalagi senang gebrak meja segala. Anak milenial ngga suka dengan semua aksi yang bikin suasana nggak nyaman. Ketiga, Anies satu kata dan perbuatan. Punya komitmen. Kalau bicara ada data, kalau janji ditepati. Anak-anak muda gak demen sama pemimpin yang mencla mencle, suka bohong dan ingkar janji. Keempat, banyak program Anies yang langsung menyentuh kebutuhan anak-anak muda. Mulai perluasan trotoar, jalur sepeda, taman terbuka, food court untuk semua strata, kenyamanan transportasi, hingga Stadion Bestandar internasional (JIS). Program-program ramah lingkungan macam ini secara natural digandrungi anak-anak muda. Kelima, udara yang semakin segar di wilayah Jakarta. Polusi udara semakin berkurang. Dan Jakarta menjadi kota urutan ke 20 terbersih udaranya di dunia. Aspek lingkungan ini menjanjikan masa depan yang sehat bagi anak-anak muda Jakarta. Fakta, bahwa langit Jakarta semakin membiru. Udara yang juga semakin bersih dan terang membuka perbukitan dan pegunungan di wilayah Bogor dan sekitarnya mulai jadi panorama yang indah dan sejuk di mata masyarakat Jakarta. Dari daerah Senin anda bisa melihat indahnya gunung Pangrango. Sedangkan dari Celilitan, Gunung Salak tampak semakin terang, dan dari Jalan Antasari, Gunung Gede kelihatan begitu dekat. Jakarta tak lagi pekat dengan asap, tetapi mulai dikelilingi pemandangan hijau dari pegunungan. Keenam, Anies pemimpin yang menjaga dedikasi dan integrity. Meski banyak fitnah dan tuduhan macam-macam, segala upaya menjatuhkan nama baik Anies justru menaikkan gelombang empati dan simpati publik. Terutama kaum milenial. Di tengah para pejabat yang mayoritas korup dan rakus, cucu pahlawan Abdurrahman Baswedan ini hadir dengan mengikuti jejak integritas dan kepahlawanan kakeknya. Inilah jiwa dan spirit anak muda yang sesungguhnya. Tidak mudah terkontaminasi. Sebuah trend anak muda masa kini. Punya kemandirian dan kedaulatan diri. Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik.

Mahfud MD "The Wrong Man On The Wrong Place"

by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Terdengar seperti fantasi. Tiba-tiba saja mencuat wacana pemerintah boleh melanggar konstitusi. Katanya, sah-sah saja bila dilakukan untuk keselamatan rakyat. Banyak yang terkaget-kaget dengan argumentasi Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD ini. Tetapi, oleh Mahfud, yang kaget dianggap tidak belajar hukum tata negara. Sekali lagi, Menkopolhukam menyulut kontroversi. Sebagian pihak menganggap narasinya rawan bagi demokrasi. Sebagian lainnya menganggap cara sepihak pemerintah menafsirkan hukum. Memang tujuan utama sebuah negara adalah menjamin keselamatan rakyatnya. Hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat, sebagaimana ucapan filsuf Romawi Kuno Cicero, Salus Populi Suprema Lex Esto. Asas hukum Cicero ini lalu banyak diadopsi negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Konstitusi alinea keempat menyebut, Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jadi, menjaga dan melindungi keselamatan rakyat pada urutan pertama tujuan bernegara. Sepanjang menyangkut keselamatan rakyat, Menkopolhukam berpendapat pemerintah bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang sifatnya bertentangan dengan konstitusi. Persoalannya, sejauh mana "jualan" keselamatan rakyat dapat melegalisasi pemerintah menabrak konstitusi? Sulit menakarnya, karena kita tidak lagi berbicara teori, tetapi praktik pengelolaan negara dan politik. Celakanya, politik punya banyak aroma, warna, dan tipe. Dalam sebuah wawancara di Kompas TV, Mahfud menjelaskan panjang lebar tentang teori Salus Populi Suprema Lex Esto. Menkopolhukam sampai memberi contoh hingga dekrit presiden 5 Juli 1959, Surat Perintah 11 Maret, hingga penggulingan rezim Soeharto. Menurutnya, semua itu adalah pelanggaran konstitusi yang tidak perlu mendapat persetujuan hukum. Teks Versus Konteks Narasi Menkopolhukam Mahfud MD banyak direspon secara terpisah menjadi perdebatan hukum. Fahri Hamzah misalnya, mengatakan "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi", tidak berarti "pemerintah boleh melanggar konstitusi bila dilakukan untuk keselamatan rakyat". Mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang kini Anggota DPD RI Prof. Jimly Asshiddiqie, mengatakan negara dilarang keras melanggar UUD 1945. Jika pun ada situasi bahaya yang berkembang, pemerintah bisa memberlakukan situasi darurat atau menetapkan keadaan bahaya. Di luar perdebatan hukum tersebut, kita yang bukan pakar hukum tata negara pun merasa memang ada yang aneh pada argumen Menkopolhukam. Karena yang disampaikan dalam konteks penanganan Covid, maka tidaklah salah bila pikiran yang meresponnya juga berangkat dari perspektif penanggulangan Covid-19. Faktanya, penanganan Covid-19 mengundang pertanyaan di sana-sini. Menteri Sosial Juliari Batubara sendiri dijerat dalam kasus Korupsi Dana Bantuan Sosial Covid-19. Belum lagi kebijakan penanganan pandemi yang seringkali memantik polemik. Di tengah situasi itu, tiba-tiba disebutkan pemerintah bisa melanggar konstitusi demi menyelematkan rakyat dari bahaya pandemi. Teks melekat pada konteks, lalu melahirkan wacana. Tetapi soal di atas, agak sulit kita menemukan relasi antara kesesuaian teks dan konteks, sehingga timpang dalam menumbuhkan wacana. Yang terjadi kemudian, pemaksaan wacana tersebut berpotensi memicu pikiran liar berkembang lebih jauh lagi. Tempo hari, Arief Poyuono mengatakan Presiden Joko Widodo harus legowo menjadi presiden tiga periode demi menyelamatkan rakyat dari bencana dampak pandemi. Lalu, bagaimana jika atas nama menyelematkan rakyat dari pandemi, lantas usulan yang menabrak konstitusi itu diamini Pemerintah? Atau sebaliknya, bagaimana jika nalar rakyat menghubungkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Supersemar, penggulingan rezim Soeharto, dengan potensi jatuhnya rezim Jokowi di tengah jalan? Tentu kita tidak menginginkan keduanya. Kita mendukung pemerintahan berjalan hingga akhir, tetapi juga mendorong agar pengelolaan negara menjadi semakin baik, bukan sebaliknya. Maka narasi pejabat seharusnya relevan dengan situasi. Bukan sekadar teori yang memunggungi realitas. Sebuah tulisan singkat Tony Rosyid beredar secara berantai di WhatsApp. Tulisan ini merespon kudeta Partai Demokrat (PD) dengan sejumlah varian skenario. Di akhir tulisan, Tony bertanya-tanya, apakah kudeta PD adalah bagian dari tafsir "konstitusi boleh dilanggar untuk keselamatan rakyat"? Lagi-lagi, narasi Menkopolhukam disematkan dalam konteks yang lain. Sebuah bukti tambahan, bahwa teori yang tidak memijak kokoh pada konteks atau situasi yang digambarkan, selain gagal memunculkan wacana tertentu, juga berpotensi memunculkan wacana lain oleh pihak lain. Tidak Membumi Bukan kali ini saja Menkopolhukam menelurkan argumen beraroma positif, tetapi berakhir kontroversial karena dianggap tidak menapak pada realitas. Jejak digitalnya mudah ditemukan. Pada 18 Maret 2021 misalnya, Mahfud MD meminta agar masyarakat yang berbeda keyakinan tak saling membenci dan memusuhi karena perbedaan agama. Padahal, kita tahu bahwa sentimen keagamaan semakin menguat, seiring dengan menguatnya labelisasi radikal, intoleran, yang tak jarang justru berasal dari pejabat pemerintahan. Belum lagi dengungan para buzzer politik yang menambah runyam situasi politik nasional. Mahfud MD menyerukan rakyat agar memerangi ketidakadilan. Padahal ketidakadilan dipertontonkan aparat penegak hukum melalui penangkapan sejumlah aktivis oposisi. Sementara laporan terhadap sejumlah aktivis media sosial pendukung pemerintah jarang yang diproses lebih lanjut. Jadi, ada kesan pemerintah punya dan mementingkan pendapatnya sendiri. Tanpa mau tahu apa yang dirasakan masyarakat. Mungkin ada benarnya juga pendapat Pendiri Partai Umat Amien Rais. Dalam sebuah kesempatan, politisi senior ini menilai Mahfud telah berubah dan saat ini lebih sebagai representasi ungkapan the wrong man on the wrong place. Dulu, kita mengenal Mahfud dengan pikirannya yang kritis, tajam, dan dalam. Sekarang pun sebenarnya begitu. Pak Mahfud masih tetap dengan keilmuannya. Yang berbeda adalah situasinya. Saat ini beliau menjadi bagian dari pemerintahaan yang punya banyak problem dalam pengelolaan negara, sehingga komentar-komentar idealisnya terkesan tidak bermutu, tidak membumi atau tidak memijak kenyataan. Tentu tidak sedang mengadili sosok beliau secara pribadi. Kita sedang membicarakan cara pemerintah membangun argumentasi atas kebijakan-kebijakannya. Kebetulan yang sering merespon situasi dan gejolak sosial politik adalah Mahfud MD selaku Menkopolhukam di Kabinet Indonesia Maju. Tidaklah keliru cuitan lawas Mahfud MD saat merespon politik uang dalam Pemilihan Kepala daerah. "Malaikat saja kalau masuk ke dalam sistem Indonesia, akan berubah menjadi Iblis". Penulis adalah Senator DPD RI.

TP3 Menjawab Menko Polhukam Mahfud MD

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Audiensi Presiden Jokowi dengan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) enam anggora Laskar Fron Pembela Islam (FPI) telah berlangsung Selasa, 9 Maret 2021 di Istana Negara. Presiden Jokowi didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Mensekneg Pratikno. TP3 yang dipimpin oleh M. Amien Rais datang bersama Abdullah Hehamahua, Muhyiddin Junaidi, Marwan Batubara, Firdaus Syam, Wirawan Adnan dan Ansufri Sambo. Setelah audiensi, pada hari yang sama, Mahfud MD menggelar konferensi pers, menyebar link YouTube dan wawancara eksklusif (TVOne) secara sepihak. Selain itu, ada kalangan yang coba menggiring opini ke arah isu bernuansa politik pencitraan. Hasil pemilu 2019 yang diduga banyak masalah dan memakan korban ratusan orang tewas, perlu di-endorse semua pihak. Karena itu, perlu ada yang bersuara. Pesannya, karena Amien datang ke istana, telah terjadi rekonsiliasi antara Jokowi dengan Amien Rais. Kedatangan Amien Rais bersama anggota TP3 tidak ada urusan dengan rekonsiliasi. Pemilu 2019 yang diduga sarat kecurangan dan pengorbanan petugas KPPS biarlah jadi catatan sejarah kelam. Kelak harus dipertanggungjawab pelakunya di hari kemudian. Bagi TP3 kejahatan kemanusiaan yang menewaskan enam anak bangsa secara brutal dan sarat penyiksaan oleh aparat negara adalah masalah yang sangat besar untuk ditumpangi isu rekonsiliasi. TP3 paham, siapa saja sebetulnya pihak yang mendambakan pengakuan dan endorsement! Pemerintah berhak melakukan konprensi pers secara sepihak. Namun sesuai kebiasaan dan etika moral, pihak-pihak yang terlibat di satu pertemuan wajar mengadakan konprensi pers bersama. Terutama untuk menunjukkan kebersamaan, mencegah misinformasi, menghilangkan disinformasi, menghidari penggiringan opini sesuai kepentingan sepihak. Konprensi pers bersama juga layak dilakukan untuk mencegah agar tidak ada pihak yang merasa lebih unggul atau mendominasi kebenaran. Terkait konpres Mahfud itu, TP3 perlu memberi catatan. Bagi TP3, sepanjang yang diungkap itu objektif, faktual dan fair, tentu tidak ada masalah. Namun faktanya ada hal-hal yang TP3 anggap tidak lengkap, distortif, tidak objektif, tendensius atau spekulatif, untuk tidak mengatakan manipulatif. Karenanya perlu diklarifikasi atau dijawab. Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut ini. Kata Mahfud, “TP3 datang tanpa bukti, karena pada dasarnya memang tidak punya bukti. Sejak awal kami tahu mereka tidak punya data gitu. Dan betul tadi tidak ada data yang disampaikan, bukti yang disampaikan tidak ada. Cuma pernyataan”. Padahal, sebagaimana dimuat dalam Surat TP3 4 Februari 2021, tujuan TP3 beraudiensi adalah guna membuka jalan bagi penyampaian masukan dan temuan-temuan sejujur-jujurnya. TP3 menyatakan ingin ikut berperan mengawal penuntasan kasus pembunuhan enam laskar FPI, setelah melihat adanya beberapa versi temuan yang tidak objektif. TP3 menuntut agar kasus tersebut diselesaikan melalui proses pengadilan objektif, transparan dan adil. Dengan terwujudnya audiensi 9 Maret 2021, TP3 berhasil mendapatkan dua komitmen penting dari Presdien Jokowi yang perlu dicatat. Pertama, pemerintah siap menerima masukan dan bukti-bukti yang akan diserahkan TP3. Kedua, pemerintah akan terlibat aktif, sesuai wewenang, menuntaskan kasus pembunuhan enam laskar secara transparan dan berkeadilan. Karena itu, mari kita catat dua janji Presiden Jokowi tersebut. Mari kita tunggu realisasi janji tersebut dalam proses hukum yang kelak berlangsung. Bahwa itu tersebut bukan cuma omong-kosong atau basa-basi. Selain itu, publik diharap tidak tergiring dengan penjelasan Mahfud yang distortif dan misleading. Kata Mahfud, "namun jika ada yang mengungkapkan hal tersebut mengalami kejadian HAM berat, maka mana buktinya. Mana bukti pelanggaran HAM berat, mana bukti ya, bukan kenyakinan. Jika ada, Pemerintah menunggu, secuil apapun buktinya. Terkait bukti, TP3 menyatakan akan menyampaikan pada waktunya. Bukti-bukti milik TP3 kelak berupa data dan informasi yang telah beredar di publik. Sudah dipublikasi Komnas HAM, maupun sama sekali baru (karena selama ini tersembunyi, disembunyikan atau dimanipulasi). Bukti-bukti TP3 bisa sama dengan Komnas HAM. Namun diyakini sebagian bukti telah direkayasa atau tak dimanfaatkan seutuhnya oleh Komnas HAM, sehingga diperoleh laporan dan rekomendasi yang tidak kredibel dan manipulatif. TP3 paham yang berfungsi mencari alat-alat bukti adalah negara. Bukan perorangan, keluarga korban atau kelompok masyarakat seperti TP3. Tapi karena sudah committed mengawal kasus pembunuhan, dan berjanji akan menyampaikan, TP3 akan menyerahkan bukti-bukti dan hasil analisisnya segera. Esensi jawaban TP3 atas komentar Mahfud, Tujuan TP3 beraudiensi adalah untuk menyatakan sikap dan meminta komitmen Presiden Jokowi. TP3 datang beraudiensi sesuai surat 4 Februari 2021, bukan untuk menyerahkan dan membahas bukti-bukti, karena sadar itu bukan forum yang tepat. Namun bukan berarti TP3 tidak punya bukti seperti diklaim Mahfud. Pada waktunya bukti-bukti itu diserahkan. Karena itu sepanjang bukti-bukti yang akan diserahkan objektif, faktual dan valid, TP3 meminta agar tak dicarikan alasan-alasan untuk mengabaikan atau menolak. Kita minta Mahfud dan pemerintah bersikap konsisten, fair dan ksatria. Kata Mahfud, “kalau bicara pengadilan HAM itu, satu tidak bisa Presiden. Pak Amien Rais dulu yang buat undang-undang itu tahun 2000 ketika beliau ketua MPR. Yang menentukan pengadilan HAM atau bukan, itu Komnas HAM. Disitu disebutkan Komnas HAM yang menyelidiki, Komnas HAM yang menentukan sesuatu itu melewati pengadilan HAM atau tidak”. Persepsi TP3, intinya Mahfud membangun opini dan menggiring pemahaman masyarakat ke arah yang sesat dan meyesatkan. Penjelasannya sebagai berikut. Komnas HAM dibentuk sesuai UU. UU tersebut dibuat tahun 2000 di eranya oleh Amien Rais dan kawan-kawan. Era Amien jadi anggota DPR. Lalu Presiden memerintahkan Komnas HAM mengusut kasus sesuai UU tersebut. Kalau TP3 permasalahkan sikap pemerintah yang percaya hasil Komnas HAM, dan menjalankan pula rekomendasinya, maka salahkanlah siapa pembuat UU, dan itu salah satunya Amien Rais. Jawaban TP3 sebagai berikut. Pertama, ada dua UU terkait HAM yang dibentuk periode Amien Rais jadi Anggota DPR/MPR, yaitu UU HAM No.39/1999 dan UU Pengadilan HAM No.26/2000. Untuk kasus pembunuhan enam laskar berkategori kejahatan kemanusiaan itu, Komnas HAM yang menerima “Perintah” Presiden, mestinya menggunakan UU No.26/2000. Tapi justru Komnas HAM dengan sengaja memilih menggunakan UU No.39/1999. Maka jelas kesimpulan dan rekomendasi tidak valid, bermasalah dan tidak berlaku untuk penuntasan kasus sesuai proses hukum selanjutnya. Kedua, penyimpangan atas penerapan berbagai ketentuan UU sudah kerap terjadi. Meskipun ketentuan dalam UU itu sudah sesuai UUD 1945, kepentingan publik dan berbagai azas pembentukan UU. Hal itu terjadi pula dalam pengusutan kasus pembunuhan enam laskar FPI. UU yang disebutkankan Mahfud sudah berisi berbagai ketentuan yang sesuai konstitusi dan azas-azas yang dipersyaratkan. Masalahnya, pengguna UU, terutama pemerintah dan Komnas HAM menyimpangkan implementasinya. Lalu penyimpangan ini ditutupi dengan menyalahkan para pembuat UU. Maka sesuai keinginan dan rekayasa Mahfud, terjerat dan terseretlah Amien Rais yang saat itu menjadi Angota DPR/MPR. Ketiga, kegiatan yang telah dilakukan Komnas HAM dalam mengusut kasus, dan membuat rekomendasi adalah pemantauan, bukan penyelidikan. Bagaimana bisa proses hukum lanjutan berstatus penyidikan atau penuntututan? Selain itu, sudahlah menggunakan UU yang salah, Komnas HAM pun membuat rekomendasi yang melampaui kewenangan. Bagaimana bisa rakyat mempercayai penyelenggara negara dan Komnas HAM, jika proses hukum yang dijalankan bermasalah sejak awal, in the first place? Keempat, ada hal-hal mengapa TP3 menganggap Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM bermasalah dan tidak kredibel. Salah satunya persetujuan pengadilan sebelum Komnas HAM lakukan pemantauan, seperti diatur dalam Pasal 89 Ayat 3 UU No.39/2009. Kalau belum memperoleh persetujuan Pengadilan, maka Komnas HAM sangat nyata telah melanggar ketentuan UU. Jika proses “pemantauan” Komnas HAM saja sudah bermasalah, bagaimana publik percaya dengan hasil dan rekomendasinya? Karena itu, agar konsisten dengan Pembukaan UUD 1945, dimana negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dituntut konsisten menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pancasila, konstitusi dan UU yang berlaku. Rakyat harus diberi informasi dan penjelasan yang objektif, transparan dan mencerdaskan. Jauh dari konten yang distortif, spekulatif, tendesius dan sarat rekayasa. UU yang digunakan harus sesuai dengan konteks dan azas penegakan hukum terhadap kasus yang sedang diusut. Jauh dari direkayasa guna memenuhi kepentingan sempit oknum-oknum penguasa! TP3 menuntut agar rekayasa dan manipulasi proses hukum, termasuk “memanfaatkan” Komnas HAM secara melanggar hukum dalam penuntasan kasus pembunuhan ini harus dicegah. Sebaliknya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang dibentuk sesuai perintah UU dan amanat konstitusi, mestinya berfungsi melindungi dan menjalankan kepentingan rakyat. Komnas HAM bukan justru terlibat atau tunduk pada kepentingan oknum-oknum kekuasaan. Kepada Mahfud, TP3 berharap bisa membuat pernyataan yang akurat, objektif, fair, serta tidak distortif dan tendensius. Langkah ini minimal bisa dimulai dengan konprensi yang tidak sepihak. Penulis adalah Badan Pekerja TP3 Enam Laskar FPI

Rakyat Boleh, Eh Bisa Dong Melanggar Konstitusi

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Meski dijelaskan Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Kemannan (Menko Polhukam) Mahfud MD bahwa dalam beberapa kasus ketatanegaraan ada perbuatan yang di luar, bahkan melanggar konstitusi. Namun narasi ini menimbulkan banyak interpretasi di masyarakat. Ada yang pro. Tetapi lebih banyak yang mengecam. Masalah utamanya adalah Mahfud MD itu sekarang menjabat sebagai Menko Polhukam. Bukan sebagai Profesor Doktor atau seorang dosen yang sedang mengajar Ilmu Hukum Tata Negara di kampus. Apa jadinya kalau semua pejabat negara bicara tentang kebolehan melanggar konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya. Bisa semakin ruwet dan awut-awutan tata kelola negara. Presiden ketika dilantik oleh Majelis Permusyawataran Rakyat (MPR) menyampaikan sumpah yang disaksikan Ketua Mahkamah Agung dan seluruh rakyat Indonesia. Salah poin sumpah Presiden adalah taat kepada suluruh peraturan perundang-undang yang berlaku. Nah, di atas perundang-undangan itu ada yang konstitusi negara. Ngerti nggak ya Mahfud MD? Sebagai "embah" nya politik di pemerintahan Jokowi, maka bahasa demi menyelamatkan rakyat boleh melanggar Konstitusi ini bisa sangat berbahaya. Apalagi dicontohkan kebolehan melanggar Konstitusi yang dihubungkan dengan pandemi Covid 19. Masyarakat mulai berfikir pantas saja jika Presiden mengeluarkan Perppu No 1 tahun 2020 yang membebaskan penggunaan dana APBN untuk penanggulangan pandemi Covid 19 tanpa sanksi hukum. Ini melabrak konstitusi. Fungsi konstitusi, baik dalam sejarah maupun aktualnya, tiada lain dan tida bukan adalah untuk membatasi kekuasaan penyelenggara negara. Penguasa maupun rakyat diatur hak dan kewajiban serta pembatasannya oleh Konstitusi. Konstitusi dibuat bukan untuk dilanggar. Penguasa yang melanggar Konstitusi bisa di-impeachment. Demikian Hukum Tata Negara atau Constitutional Law mengaturnya. Ketika Mahfud MD dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa dibenarkan melanggar Konstitusi demi rakyat, tentu menjadi kontroversial. Apalagi dengan mengecilkan pihak yang melakukan penolakan atas pandangan ini sebagai "tidak belajar Hukum Tata Negara". Padahal yang mempertanyakan pernyataan Mahfud MD mungkin juga pakar Hukum Tata Negara. Bila beralasan "demi rakyat" bisa melanggar Konstitusi, maka pertanyaannya siapa yang berhak untuk menyatakan demi menyelamatkan rakyat? Penguasa, wakil rakyat, atau rakyat itu sendiri ? Lalu jika ia mencontohkan turunnya Soekarno, Soeharto, Gus Dur itu melanggar Konstitusi, apakah yang dibilah oleh Mahfud MD itu benar? Faktanya Soekarno diturunkan berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967. Sementara Suharto dengan mengundurkan diri (menyatakan berhenti sebagai presiden sejak dibacakan). Begitu juga dengan Gus Dur, yang dilengserkan melalui Tap MPR No. II/MPR/2001. Jadi jelas bahwa seluruhnya berdasarkan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Ngaco dan ngawur saja Mahfudz. Ungkapan Mahfud di depan Silaturahmi Forkominda dan Tokoh masyarakat di Markas Kodam Brawijaya dinilai lebih pada mencari pembenaran atas kebijakan Pemerintah. Padahal kebijakan tersebut jelas-jelas melanggar Konstitusi. Alibi melanggar konstitusi untuk menyelamatkan rakyat adalah dalil subyektif dalam pengambilan kebijakan karena panik. Jika pengambil kebijakan boleh melanggar konstitusi dengan alasan menyelamatkan rakyat, maka bolehkah rakyat berjuang untuk menyelamatkan dirinya dengan melanggar Konstitusi? Jika ya tentu menjadi semangatlah rakyat untuk segera menumbangkan rezim dengan berbagai cara termasuk revolusi. Toh menurut Mahfud MD itu bisa saja. Sebenarnya pidato Mahfud MD yang kontroversial itu justru telah mencemarkan mereka yang belajar Hukum Tata Negara. Pelajaran dasar mahasiswa hukum adalah segala langkah dan kebijakan harus berdasar hukum. Perubahan politik mesti disandarkan pada konstitusi. Melanggar konstitusi adalah melanggar hukum. Ini pelajaran paling dasar yang diajarkan dosen. Tidak harus seorang Professor. Akhirnya, kita harus maklum pada pendapat apapun yang keluar dari Bapak Mahfud MD, sang punggawa politik Istana. Tidak perlu pusing membahasnya, sebab baginya melanggar HAM itu bukan melanggar HAM. Yang penting tidak menyesarakan, eh menyesengrakyat, eh menyesengrasan rakyat. Menjatuhkan pemerintah bisa menyesengra rakyat ya pak Mahfud,,, he he he. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Hakim PN Jakarta Timur Buang Heurestika Hukum di Tumpukan Sampah Mana?

“Suatu perkara akan berakhir setelah dijatuhkan putusan. Namun tanggung jawab seorang hakim atas putusan itu sesungguhnya barulah dimulai. Oleh sebab itu, berhati-hatilah sebelum menjatuhkan putusan, karena hakim tidak akan bisa mencegah malapetaka yang ditimbulkan oleh putusannya, ketika apa yang diputuskan mengandung kekeliruan”. (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.) by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Ternate FNN - Adillah kepada lawan sekalipun. Begitu alam semesta berbisik indah ke setiap telinga yang terdidik. Bisikan nan indah itu, bagi yang berilmu dengan telinga terdidiknya, akan membuat mata hatinya terbimbing oleh mozaik keadilan. Tetapkanlah hukum dengan seadilan-adilnya pada perkara apapun, itulah sabda alam. Alam meminta hakim berseru dengan seruan kebijaksanaan. Jangan bawa benci masuk kedalam pengetahuanmu kala kamu menetapkan hukum atas perkara apapun. Begitu para bijak bicara kepada murid-muridnya. Hakim, siapapun dia, termasuk dan tak terbatas pada Ketua Majelis Perkara Habib Rizieq Sihab Yang Mulia Suparman Nyompa, diminta alam untuk tak boleh mendekorasi pengetahuannya dengan teks hukum semata. Hakim harus tahu tingkatan hukum dan rahasia dibalik teks hukum itu apa? Hakikat Hak Alam memuliakan para hakim. Allah Suhaanahu Wata’ala yang Maha Pencipta, yang menciptakan semua mahluk, dengan Kemahatahuan-Nya tahu siapa anda, detik demi detik. Kemahatahuan-Nya tahu kadar keadilan dan ketidakadilan dalam hukum yang ditetapkan setiap hakim pada setiap perkara. Pengetahuan itu absolut. Tidakkah tuan-tuan hakim yang mulia tahu kemahatahuan Allah ajja wa zallah bekerja pada putusan Nabi Daud Alaihissalam? Hukum yang ditetapkan oleh Nabi Daud Alaihissalam dalam perselisihan antara pemilik hewan dengan pemilik kebun, yang tanamannya dimakan hewan piaraan pemilik hewan itu, dikoreksi oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dia yang Maha Tahu menghadirkan Nabi Soleman Alaihissalam, putranya Nabi Daud Alaihissalam, untuk mengoreksi putusan ayahanda tercinta. Itulah yang diabadikan dalam Al-Quranul Karim. Kisah itu diabadikan, tepatnya pada surat Al-Anbiya. Hakim harus pintar, itu pinta Allah untuk mereka yang menjadi hakim. Bersidang dan memutuskan atau menetapkan hukum atas perkara yang disidangkan, harus oleh hakim yang berilmu. Harus berilmu, itu tidak lain dari hakim yang arif. Kearifan menjadi napas pengetahuannya. Kearifan yang membawanya kekeadilan. Kearifan menjauhkannya dari culas, sombong, benci, ketakutan pada bos, istri, anak dan sahabat karib. Semua tertelah, sirna seketika oleh keasrifan. Hakim berilmu disambut semesta dengan pelukan kasih. Hakim akan selalu dipeluk rindu penuh cinta oleh Pencipta alam semesta ini. Sebaliknya hakim berilmu, tetapi memutus perkara tidak dengan ilmunya, justru dibenci, direndahkan dan dihinakan sehina-hinya oleh alam semesta. Begitu juga dengan Hakim bodoh. Yang dengan kebodohannya menetapkan hukum pada perkara disidangkannya, disambut semesta dengan cibiran merendahkan. Semesta membawa dan melemparkannya kekubangan sampah yang busuk. Orang busuk memang adanya di tempat busuk. Orang baik adanya ditaman nan indah dengan harum kembang semerbak. Hanya hakim berilmu tahu apa itu hak dan hakikatnya. Hakim berilmu tahu bagaimana hak berawal dan berakhir. Tahu semua yang memiliki awal, pasti memiliki akhir. Semua yang terlihat, pasti sirna, dimakan akhir yang pasti. Hak bukan padanan kewajiban. Hak kebalikan dari kewajiban. Tetapi keduanya saling berkait. Bukan karena ditetapkan hukum bentukan politisi konyol, tetapi karena begitulah fitrahnya. Tidak ada artinya hak, tanpa ada kewajiban di seberangnya. Tidak ada artinya kewajiban, bila tak ada hak di seberangnya. Dalam hakikat, keduanya sama. Sama-sama didedikasikan kepada pemegang hak itu. Tetapi tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebaikan bersama.Tidak ada hak dan kewajiban yang mengalir dari semesta. Itulah hakikat hak. Itulah hakikat dari pernyataan semesta bahwa di dalam hakmu, terdapat hak mahluk lainnya. Dari situ lahirlah aksioma “gunakanlah hak” sejauh tepat menurut kaidah kehidupan bersama. Pada level praktis, hak memberi kepada pemegang kekuasaan melakukan atau tiak melakukan sesuatu yang terkait dengan hak itu. Hak menjadi dasar sahnya tidakan. Semesta menghormatinya dengan cara menyerahkan sipemegang hak itu untuk digunakan atau tidak digunakan haknya itu. Semesta tahu batas hak dan awal dimulai kewajiban. Tak mencampurkan keduanya. Itu karena semesta tidak punya bakat berupa sombong, bodoh, menindas, dan menyesatkan. Hanya penguasa otoriter yang menjadikan bodoh dan angkuh sebagai nafasnya. Penguasa otoriter mengandalkan penindasan, pembodohan dan penyesatan membuat orang tunduk dan membuat dirinya terlihat hebat. Itulah cara Fir’aun, dengan semua penguasa bajingan sesudahnya. Semesta tak menghadiahi hakim dengan sikap “bijaksana” sejauh hakimnya tidak memberatkan nafas mencahayai dirinya dengan ilmu menit ke menit, disepanjang nafasnya berdetak. Semesta menggariskan pada dirinya, keadilan bekerja melalui ilmu sang pengadil. Ilmu yang membawa dan mendekatkan kebijaksanaan kepada Nabi Daud Alaihissalam. Ilmu menghidupkan kebijaksanaan Nabi Daud, sehingga tak sudi bertengkar dengan Nabi Soleman, anaknya yang masih kecil, yang mengoreksi putusannya. Pembaca FNN yang budiman. Ilmu yang mencayahayai Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu membuat setiap kebijaksanaan, sehingga mulutnya terkunci, tatkala seorang wanita biasa-biasa saja menyanggah pernyataannya tentang mahalnya mahar kawin. Ilmu membawa Sayidina Umar untuk adil pada Yahudi sekalipun, yang tanahnya diambil Gubernur Mesir Amru Bin Ash untuk dibangun masjid. Sayidina Umar Bin Khattab Radiallaahu Anhu tahu hak si Yahudi atas tanahnya. Tahu hak ya hak. Bukan tak bisa dilepaskan, tetapi cara melepaskan hak itu harus sama kadarnya. Harus dengan cara yang hak pula. Itu pula yang dilakukan Sayidina Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Amirulmukminin gagal menemukan cara yang hak untuk mengambil haknya (baju perang). Padahal cara yang hak itulah yang dinyatakan oleh Yang Mulia Hakim Syuraih. Sekalipun yang dihadapi adalah Sayidina Ali, Amirulmukminin, Syuraih mengalahkan Sayidina Ali Radiallaahu Anhu. Jernihkan Dengan Keadilan Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH.MH, Ketua Mahkamah, apa pendapat Yang Mulia terhadap hilangnya hak terdakwa untuk hadir di persidangan? Tidak hadir di ruangan sidang pengadilan sebagai akibat dari lahirnya Perma Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik? Apa kabar dengan gagasan besar dan sangat mengagumkan dari Yang Mulia tentang “Heurestika Hukum”? Dibaca dan difahami tidak para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu? Tulisan itu bagus dan bermutu tinggi dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern, Pendekatan Heurestika Hukum”? Tulisan “Heurestika Hukum” yang sangat bermutu tinggi itu mau ditaruh atau dibuang di tumpukan sampah yang mana oleh para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur? Meski awalnya terkesan dilecehkan, semoga saja tulisan berkelas dan mengagungkan tentang “Heurestika Hukum” itu tetap menjadi panduan ilmu hukum untuk para hakim. Karena gagasan tentang “Heurestika Hukum” itu muncul dari pengalaman dan pendalaman Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. selama 32 tahun menjadi hakim. Bagaimana jadinya kalau permintaan jaksa ditolak oleh terdakwa? Bagimana kalau permintaan terdakwa untuk disidangkan secara elektronik ditolak oleh JPU? Hakim, karena jabatannya, harus memutuskan sendiri permintaan Jaksa? Kepada Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, hukum apa yang harus dijadikan dasar oleh hakim dalam memutuskan perselisihan itu? Perma Nomor 4 Tahun 2020 atau UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman? Kebodohan merupakan hal yang ditakuti, lebih dari pada perang oleh Sayidina Ali Abi Thalib, sang Amirulmukminin ini. Itu karena kebodohan selalu ditemani keangkuhan, suka ngeyel, mengada-ada, cari-cari alasan kepanpun sibodoh itu pergi dan berada. Benar-benar bahaya orang ini. Yang Mulia Profesor. Dr. Muhammad Syarifuddin, SH. MH , Ketua Mahkamah Agung, tolong alirkan mozaik “Heuristika Hukum” yang bermutu tinggi kepada para hakim-hakimmu. Ketuklah mata hati anak buahmu dengan cara sesekali mengelus-elus mereka untuk memasuki dunia hebat “Heuristika Hukum”. Hidupkanlah mata hati hakim-hakimmu dengan konsepmu yang sangat hebat, top dan mengagungkan tersebut. Dunia peradilan dan keadilan tidak pernah bisa, dengan alasan apapun, menjadi dunia mekanistik. Menjadi dunia teks dan teks semata. Tidak ada teks yang tak memiliki jiwa, dan tidak diabdikan pada impian memperbesar keindahan semesta. Keindahan yang tertangkap dalam impian besar “Heuristika Hukum”, yang menggema mengantar Yang Mulia ke dunia keprofesoran. Dunia keprofesoran tidak pernah jauh dari dunia nilai-nilai filsafati, untuk tak menyebut epistemologis. Ini dunia yang indah, mengasyikan, sekaligus melelahkan. Kehancuran fatal yang melanda sidang kedua Habib Rizieq Shihab (HRS). Sungguh tak enak untuk ditulis, apalagi dikenang. Karena sangat memalukan dan menjijikan peradilan kita. Tak ada lagi cat alam yang tersedia untuk menghapusnya dari setiap memori. Koreksi Ketua majelis Hakim, dengan penetapannya memerintahkan Jaksa Penuntut Umum menghadirkan terdakwa HRS di sidang pengadilan, itu bagus. Sebagus itu sekalipun, kehancuran fatal yang terjadi sebelumnya, telah meninggalkan pilu di sana-sini. Keadilan terluka sudah, dan itu fatal. Dari kejauhan seolah tak ada lagi cara menghilangkannya dari benak ummat Muhammad, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, dia yang Rahmat dan Rahim Allah Subhanahu berawal dan berakhir. Samar-samar terlihat peristiwa pilu itu, memahat benak anak manusia yang penuh hafalan huruf demi huruf Al Quran dan hadist, sebagai ketidakdilan sudah terpahat untuk Habib Rizieq Shihab. Itu soalnya. Semoga saja salah, dan tidak benar. Sekali lagi semoga begitu. Tetapi memang semesta terlalu kaya dengan kerifan. Semesta pasti menyukai orang yang merenung, mengenal diri, menimbang nafas sekadar menggapai tobat seasli-asli-aslinya. Tapakilah jalan “Heuristika Hukum” dari Yang Mulia Profesor Dr. Muhammad Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung. Tenang dan fokuslah, agar anda terperangkap dalam substansinya. Biarkan substansi membimbing, menuntun dan membawamu pada cinta keadilan, yang Allah Maha Tahu merestuinya. Pembaca FNN yang budiman. “Heurestikan Hukum” dari Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH. telah membangkitkan kembali ingatan kita pada hakim-hakim top kelas dunia seperti John Marshal, Ketua Mahkamah Agung Amerika, William P. Chase, Louise Brandies, Oliver W. Holmes, Earl Warren, O. Connors, dan Antonio Scalia. Yang Mulia Prof. Dr. Muahmmad Syarifuddin dan para hakim top kelas dunia itu tak bisa menyediakan obat untuk hati terdakwa yang terlanjur terluka. Tidak, dengan teori keadilan dan hukum apapun. Tidak ada hakim di dunia ini yang memilik obat untuk luka hati terdakwa, yang tergilas oleh ketidakadilan proses sidang. Entah kemanapun kau mengadu, aduanmu tetap saja menggantung sejauh luka hati terdakwa menganga menanti perhitunghan akhir yang otentik oleh Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Adil, kelak disuatu hari nanti. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.