OPINI
Politik Identitas, Mengapa Dipersoalkan?
by Tony Rosyid Jakarta FNN - "Jangan pilih calon yang nggak qunut". Ini politik identitas bukan? "Jangan pilih calon yang nggak ziarah kubur?". Ini jelas-jelas narasi politik identitas. Hal yang seperti ini lumrah terjadi di kampung saya Jawa Tengah, dan tempat saya pernah kos di Jawa Timur. Lucunya, para politisi yang teriak seperti inilah yang sering mempersoalkan politik identitas. Satu sisi mereka mempraktekkan politik identitas. Sementara disisi lain mereka mengutuknya. Semacam ada kemunafikan ganda dalam diri para politisi ini. Preferenai sosiologis adalah fakta yang ada dalam masyarakat. Dan seringkali gaungnya membesar ketika musim pemilihan umum. Ini natural, dan berlaku di sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia. Orang Nahdlatul Ulama (NU) pilih calon dari NU. Disini Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) selalu dapat limpahan suara terbanyak dari warga NU. Orang Muhammadiyah pilih calon dari Muhammadiyah. Partai Amanat Nasional (PAN) yang paling banyak menikmatinya. Orang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pilih kader HMI. Orang Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) pilih kader GMNI. Begitu juga dengan Ansor dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). "Al-ijtima' dharuriyun linauil insan", kata Ibnu Khaldun. Solidaritas adalah keniscayaan sosial. Apakah berbentuk mekanik atau organik. Solidaritas sosial akan selalu ada di sepanjang sejarah, kata Emile Durkheim. Lalu apa masalahnya? Itu baru bicara ormas. Belum lagi bicara etnis. Terutama saat pilkada, "putra daerah" seringkali menjadi isu utama dalam ritual demokrasi lima tahunan. Setiap daerah merasa nyaman dengan dipilih oleh putra daerahnya. Satu etnis, satu budaya dan satu bahasa. Nggak usah heran jika Umat Islam pilih calon muslim seperti yang terjadi di wilayah Jawa. Umat Kristiani pilih calon Kristen, seperti yang terjadi di Papua dan Menado, Umat Hindu pilih calon dari Hindu sebagaimana yang terjadi di Bali. Selama ini, pilihan politik semacam ini dianggap wajar dan diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari kewajaran sosiologis. Solidaritas sosial akan selalu ada, dan terbentuk secara natural sesuai ikatan dan kekuatan hubungan yang terjadi di kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Tanpa disuruh sekalipun, sudah terjadi secara alami. Sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan lagi. Solidaritas sosial itu bisa agama, bisa etnis, bisa daerah, bisa organisasi atau profesi. Mereka yang menyoal politik identitas umumnya karena tak memiliki identitas yang kuat. Atau berada dalam kelompok minoritas yang tak bisa memberi dukungan suara signifikan untuk menang dalam pemilihan. Cara efektif untuk meruntuhkan kekuatan lawan adalah dengan mengutuk politik identitas, agar solidaritas kelompok pendukung lawan bisa beralih suaranya. Disini, isu politik identitas dimainkan. Dan yang paling sensitif dari isu identitas itu adalah agama, kemudian etnis. Politik identitas bukan harga mati, kemutlakan politik, dan satu-satunya penjamin kemenangan. Banyak kasus dimana calon dari kubu mayoritas dikalahkan dalam pemilihan oleh calon dari kelompok yang minoritas. Faktor kekuatannya ada pada prestasi. Idealnya, calon terpilih adalah yang paling berprestasi. Jika prestasinya bagus, dan sudah mendapat pengakuan masyarakat, maka politik identitas tidak terlalu efektif lagi pengaruhnya. Politik identitas hanya berpengaruh jika para calon yang beekompetisi tidak mampu menunjukkan prestasi yang kuat dan menonjol. Secara teoritis, politik identitas hanya bisa dinetralisir pengaruhnya dengan kekuatan prestasi. Jika anda punya prestasi yang diterima publik, maka akan banyak kelompok yang memberikan simpati. Tanpa menyoal identitas, anda akan mendapatkan dukungan dari banyak kelompok tersebut. Lintas agama, lintas etnis, lintas profesi dan lintas golongan. Sekat-sekat identitas itu hanya akan terbuka pintunya dengan prestasi. Kasus kekalahan Ahok di pilgub DKI, jangan kambinghitamkan politik identitas. Sebab, dua gubernur sebelumnya yaitu Fauzi Bowo dan Jokowi terpilih menjadi Gubernur di DKI tak bisa lepas dari faktor identitas. Seandainya Fauzi Bowo bukan Betawi dan Jokowi bukan Jawa, mungkinkah terpilih jadi gubernur? Berat juga! Di Pilgub DKI 2009, Fauzi Bowo menang. Saat itu basis analisis saya tertumpu pada preferensi sosiologis, dimana Fauzi Bowo Betawi-Jawa dan NU. Selain faktor incumbent (Wagub) dengan dana dan jejaring yang lebih kuat. Begitu juga dengan Jokowi. Jawa dan didukung PDIP (partai terbesar di DKI), selain ada heroisme Mobil Esemka dan punya profil antitesa incumbent. Jadi, bukan karena prestasi spektakuler yang membuat mereka menang. Jadi, tak perlu menyoal dan mempermasalahkan politik identitas. Soal ini justru memicu kegaduhan. Menciptakan keterbelahan dan konflik di masyarakat. Kasihan rakyat yang sudah menderita akibat pandemi covid-19. Selalu menjadi obyek adu-domba para perebut kekuasaan. Kalau anda selalu sibuk menyoal politik identitas, boleh jadi, selain identitas anda tidak kuat, mungkin karena prestasi anda juga tidak bisa diandalkan. Minimnya prestasi mendorong para calon bertumpu dan mengandalkan politik identitas, atau mengutuk politik identitas bagi-bagi reziki yang tidak memiliki kekuatan identitas. Cukup tunjukkan prestasi diri, kerja yang bagus, program yang menyentuh dan bisa dirasakan langsung. Setidaknya dianggap mampu menjadi solusi oleh rakyat, maka secara alamiah, rakyat (lintas sektoral) akan memberi dukungan. Jika anda punya prestasi cemerlang, bersikap tidak sektarian, nggak terikat dengan fanatisme kelompok, maka batas-batas identitas akan dengan sendirinya terbuka untuk anda. Cukup dengan prestasi begitu saja, rakyat tidak lagi melihat anda dari kelompok mana? Dari agama dan etnis apa? Yang rakyat lihat hanya prestasi anda. Bukan yang lainnya. Makanya bekerja yang baik-baik. Perlihatkan keberpihakan kepada rakyat. Hilangkan pemikiran mengadu-domba rakyat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Sebab bisa kualat lho. Emha Ainun Najib, Arif Budiman, Anies Baswedan adalah beberapa nama yang tidak memerlukan identitas kelompok. Tetapi mereka adalah orang-orang yang punya dedikasi, sibuk dengan berkontribusi dan memberikan prestasinya untuk bangsa ini. Tidak terus bermimpi menjadi orang besar dengan memperkosa identitas kelompok, atau sebaliknya. Tidak juga sibuk dengan mengutuk sana kutuk sini politik identitas. Karena itu yang biasa-biasa saja hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
PKI Itu Bencinya Kepada Wahabi dan Salafi
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Pluralisme pemahaman keagamaan adalah hal yang wajar sepanjang berbasis pada sumber nilai Al-Qur'an dan Al-Hadits. Bila sudah keluar dari kedua nilai tersebut, maka berlaku interelasi antar agama. Dalam beragama, yang sama tetapi meyakini dan mendakwahkan bahwa Al Qur'an tidak orisinil seperti faham Syi'ah atau ada nabi setelah Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam seperti Ahmadiyah, maka itu dikategorikan menyimpang atau sesat. Syi’ah dan Ahmadiyah bisa juga disebut menodai agama. Wahabi adalah pengikut Syekh Abdul Wahab yang menjadi dasar pemahaman keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia. Bersumber dari madzhab Hambali. Salah satu pijakan madzhab utama selain Syafi'i, Hanafi, dan Maliki. Sementara Salafi itu adalah pengikut ulama-ulama terdahulu, para ulama Salaf. Seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An Nasa-i. Mereka para Imam ini adalah sebagian dari ulama salaf. Tentu Salafi memiliki cabang pemahaman yang tidak satu pula. Benci pada Wahabi dan Salafi sama saja dengan benci pada yang berbau Arab. Itu juga artinya benci kepada daerah dimana Islam lahir dan tumbuh. Tempat Nabi Muhammad Sallaahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat mengembangkan agama Islam. Dimulai di masa awal hingga agama yang hanif ini diterima dan dijalankan di Indonesia. Benci kepada Arab atas nama nasionalisme, kulturisme, atau etnosentrisme sesungguh adalah kebencian yang bukan saja tidak berdasar. Tetapi juga sebagai wujud dari kejahilan yang radikal. Adalah partai Komunis Indonesia (PKI) yang anti Arab dan pro Cina atau Rusia. Anti terhadap agama. Namun pro kepada komunisme-materialisme. PKI yang menyebut hal-hal berbau Arab dan Islami sebagai Kadrun. Sebutan sinis untuk Kadal Gurun. Bahkan PKI itu lebih dalamnya dipastikan sangat anti kepada Wahabi dan Salafi. PKI yang menuduh dan memfitnah agama sebagai candu, sehingga agaman harus dijauhi. Inilah perjuangan revolusi mental PKI yang hakekatnya mengindikasi adanya gangguan mental. Jika ada sebagian kaum Wahabi atau Salafi yang menyimpang, maka itu adalah prilaku oknum. Demikian juga dengan yang mengklaim Ahlus Sunnah wal Jama'ah, namun juga menyimpang. Kalau ada, maka itu juga oknum. Kalau ada yang menyimpang, maka harus diluruskan. Bukannya dibenci. Apalagi sampai mau dibasmi segala. Dimusuhi dan dituduh ini dan itu. Berlebihan jika menyebut Wahabi atau Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Sebab terorisme bisa masuk dari tradisionalisme, konservativisme, modernisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung, ketidakadilan dan kezoliman juga menjadi faktor tumbuh dan suburnya terorisme. Banyak faktor penyebab tumbuh dan suburnya terorisme. Baik itu yang bekaitan dengan masalah ekonomi, doktrin keagamaan, hingga permainan politik jahat yang merekayasa dalam rangka adu domba antar masyarakat. Stigmatisasi yang dibangun untuk meracuni fikiran jernih dan kohesivitas. PKI dahulu dan kelompok "PKI" kini memainkan siasat memecah belah umat Islam dengan memojokkan faham keagamaan tertentu. Serangan pada Wahabi dan Salafi menjadi arus utama propaganda tersebut. Isu ini menjadi bola mainan PKI yang sangat digemari dan dinikmati demi menciptakan hantu bernama radikalisme, ekstrimisme, maupun fundamentalisme. Wahabi dan Salafi bukan pintu masuk terorisme. Pengikutnya yakin seperti pengikut faham keagamaan lain dalam Islam , bahwa memahami agama seperti ini menjadi jalan untuk masuk Surga. Keyakinan itu karena menjalankan Al Qur'an dan Sunnah Rosul. Pintu masuk terorisme dapat juga dari dogmatisme, aroganisme, sinisme dan fulusisme. Yang terakhir ini adalah makna bahwa teror yang dilakukan itu sangat berhubungan dengan bantuan keuangan untuk diri dan keluarga. Atau paket proposal untuk proyek strategis. Termasuk biaya-biaya untuk mengarang cerita. Fulusisme dapat berskala nasional atau internasional. PKI yang berprinsip menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai, akan menjadikan aspek keagamaan sebagai permainan. PKI telah membuktikan dalam sejarahnya sebagai partai teroris. Baginya Wahabi dan Salafi ringan saja dapat dijadikan bahan semburan fitnah. Demi sukses mencapai tujuan. Sukses klaim kebenaran. Sukses membuat hantu. Sukses untuk memperoleh dana operasional dan fee kesuksesan. Fulusisme adalah terorisme yang paling berbahaya dan berdaya ledak tinggi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ketika Media Mainstream Menjadi Terorisme Masyarakat
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Terorisme menjadi isu paling hangat saat ini. Terutama setelah tanda kutip saya, terjadinya bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, serangan teroris di Markas Besar Polri, dan temuan bom buku di Melawai. Entah besok atau kapsan saja kemungkinan ada lagi temuan terhadap aksi-aksi teror yang dikutuk oleh manusia berakal sekat dan semua anak bangsa. Persoalan yang muncul adalah ketidakjelasan atas kasus yang sebenarnya terjadi. Ketidakjelasan ini bisa terjadi akibat ulah dari pemberitaan media yang tidak obyektif. Tidak melakukan investigatif atas fakta dari berbagai aspek di lapangan. Namun ikut-ikutan menghakimi dengan framing yang subyektif. Benarkah itu adalah bom bunuh diri? Atau mungkin karena ketidaktahuan terhadap barang bawaan yang sedang dibawa. Kemudian barang bawaan tersebut diledakkan melalui remote control oleh orang yang memegang kontrol dari jarak jauh? Benarkah itu wanita yang berbusana muslimah itu beraksi untuk membunuh para polisi di Mabes Polri? Jangan-jangan wanita tersebut sedang linglung, terhipnotis, dan terjebak dalam permainan airsoft gun? Benarkah pula buku teror intelijen bertuliskan “Majalah Sabili” yang ditemukan di kawasan Melawai tersebut diletakkan oleh teroris atau oleh intel, bahkan mungkin saja intel jadi-jadian ? Semua butuh investigasi yang obyektif dalam pemberitaan, investigative news. Tulisan lama dari saudara Usep Asroel tahun 2018 berjudul "Framing Media" sangat menarik untuk dibaca, ditelaah, dan diviralkan ulang kembali. Usep Asroel menulis tentang seorang laki-laki di Amerika melihat seekor harimau hendak menyerang wanita. Lak-laki tersebut bergerak menolong dan membunuh harimau itu. Esoknya media ramai-marai menulis dan memberitakan "Pahlawan Amerika menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Laki-laki itu meralat pemberitaan media, "saya bukan orang Amerika". Hari berikut media menulis, "pahlawan asing menyelamatkan seorang gadis dari serangan harimau". Besok lagi, laki-laki yang terlanjur dibilang pahlawan itu berkata, "sebenarnya saya seorang muslim". Hari betikutnya, Breaking News di media ramai. Isianya "seorang teroris menyerang harimau yang tak bersalah, karena sedang bermain dengan seorang wanita". Begitulah framing media yang bukan saja terjadi di Amerika, namun di Indonesia pun sama. Umat Islam yang dicitrakan radikalis, intoleran dan teroris. Pada dua kasus belakangan ini juga serupa. Bagaimana diedarkan seorang lelaki bersorban dan wanita berhijab berboncengan menuju Gereja dan meledakkan diri. Sebutan media adalah teroris bom bunuh diri. Dikait-kaitkan dengan organisasi teroris Jamaah Ansarul Daulah (JAD) yang tak jelas juntrung organisasinya seperti apa. Demikian pula dengan kasus wanita berjilbab yang menerobos Mabes Polri lalu mengacungkan pistol, lalu diembak mati. Media arus utama dengan cepat menyebut dan memberitakan kalau teroris menyerang Mabes Polri. Telah terjadi baku tembak antara polisi dengan teroris di Mabes Polri. Teroris berhasil ditembak mati oleh polisi. Kalau hanya membaca berita arus utama media, maka terkesan hebat sekali. Padahal dengan melihat tayangan CCTV yang sengaja dipublikasi di media sosial (medsos), wanita berjilbab tersebut seperti bingung. Bolak-balik tak jelas tujuannya. Media pada hari berikut menulis tentang teroris lonewolf. Bahaya teroris perorangan. Seram sekali framing media. Secara tidak langsung sebenarnya media telah ikut melakukan teror kepada publik tentang "pesan palsu" yang dikandung dari misi aksi-aksi tersebut. Media yang diduga telah terkooptasi oleh kekuasaan, pastinya sangat sulit untuk bersikap independen. Menjadi corong kepentingan yang bisa jadi jauh dari obyektivitas pemberitaan. Cantoh media yang objektif terjadi pada “Skandal Watergate”. Meskpun Gedung Putih dan Presiden Richard Nixon telah berkali-kali membantah dugaan keterlibatannya dengan penyadapan terhadap “Gedung Watergate”. Namun dua wartawan The Washinton Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein tetap gigih melakukan investigasi fakta lapangan. Sampai akhirnya menemukan keterlibatan Gedung Putih dan Presiden Nixon. Pucaknya Presiden Nixon mengundurkan diri sebelum voting pemakzulan oleh Senat Amerika. Begitulah tugas dan kewajiban media arus utama. Bukan hanya menerima dan menelan mentah-mentah informasi yang diterima dari satu pihak. Apa jadinya kalau Bob Woodward dan Carl Bernstein hanya menalan penjelasan dari pihak Gedung Putih dan Presiden Nixon? Karikatur bagus tiga anggota keluarga yang beredar di medsos. Sang Ayah bertopi haji bebaju ghamis membawa payung dan tasbih. Sementara istrinya berpakaian muslimah membawa bungkus berisi roti-roti. Anaknya membawa bola dan permen. Karikatur ini menimbulkan masalah atau salah paham bila tidak dilakukan infestigasi secara mendalam. Sebab bila dilihat dari layar kamera media, sang ayah payungnya bisa menjadi senjata laras panjang. Tasbihnya bisa menjadi peluru. Bungkus roti istrinya bisa menjadi bom dinamit yang melekat di tubuh. Adapun pada si anak yang membawa bola, bisa berubah menjadi bom bersumbu siap diledakkan, dengan pemantik yang asalnya dari permen. Wajah ceria dibalik kamera media berubah menjadi marah. Begitulah media mainstream membaca muslim selalu dalam wajah radikalis, intoleran dan teroris. Medianya kaum penjahat. Media yang seperti itu tak sadar bahwa telah menjadi bagian dari terorisme kepada masyarakat. Mungkin ada benarnya, “modern terrorism is media terrorism”? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Moeldoko Knock Out?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Upaya Moeldoko untuk sukses mengkudeta Ketua Umum Partai Demokrat Agus harimurti Yudhoyono (AHY) telah membentur tembok. Tiga tembok yang membuat Moeldoko sulit menembus . Pertama, perlawanan politik Soesila Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY. Kedua, rakyat yang tak suka dengan gaya kudeta. Ketiga, Menkumham yang menolak. Moeldoko akhirnya terkapar. Bukankah Moeldoko itu mendapat proteksi sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan Presiden Jokowi? Bukankah Menkumham itu adalah kader partai penguasa yang tugasnya memback-up Presiden Jokowi? Mengapa tidak mampu merealisasikan skenario sukses kudeta dengan memperoleh legalitas dari Kemenkumham? Disamping modal politik KLB yang rendah dengan sedikitnya DPC asli yang ikut. Banyak DPC gadungan yang ilit KLB, sehingga tidak sah sebagai peserta Kongres, juga kelemahan terberat Moeldoko adalah bukan kader Partai Demokrat. Sehingga Moeldoko sangat minim akses kepada para kader dan institusi partai di daerah-daerah. Semua kenyataan tentu saja berkonsekuensi pada ketidakmampuan Moeldoko dan timnya. Moeldoko tidak secara cepat melakukan pembelahan partai. Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab ditolaknya permohonan keabsahan KLB Deli Serdang, disamping masalah tidak terpenuhinya ketentuan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Pertama, Menkumham Yasonna adalah kader PDIP, yang dalam prakteknya Ketua Umum PDIP Megawati beradu pengaruh dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini dibaca sebagai bagian dari peningkatan posisi tawar PDIP atas Jokowi. Orang Jokowi saja bisa digagalkan. Kedua, tidak tertutup kemungkinan AHY atau SBY memiliki "deal" tertentu dengan Jokowi. Apakah itu soal Pilpres atau Pilkada ke depan, atau kebijakan perundang-undangan tertentu yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Moeldoko bisa diabaikan untuk kepentingan Jokowi yang lebih besar. Termasuk kepentingan nasib masa depan Gibran nanti. Ketiga, baik PDIP maupun Jokowi keduanya "cuci tangan". Terkesan bersih pada tahap penentuan oleh Pemerintah. Moeldoko didorong maju ke proses hukum melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bisa saja secara diam-diam PDIP dan Jokowi membantu dan mendorong Moeldoko untuk "sukses di proses hukum" tersebut. Moeldoko ternyata belum KO. Kemungkinan hanya grogi sedikit saja. Lagi disiapkan untuk pulih kembali, baru kemudian bergerak terus untuk memenangkan pertarungan di ujung. Moeldoko tetap masih bisa tetap berperan strategis dalam posisi sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Itupun kalau ngga diganti dari jabatan KSP Sebenarnya Jokowi menghadapi pilihan sulit. Di satu sisi harus menggolkan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat, dalam upaya menyempurnakan koalisi partai. Namun di sisi lain terlalu lemah basis dukungan Moeldoko di internal Partai Demokrat. Demikian juga dengan publik yang tak suka pada cara kudeta vulgar melalui KLB yang terkesan dipaksakakan. Ketika kudeta gagal, belajar pada kegagalan PKI dahulu. Maka bukan mustahil akan berimbas pada guncangan kekuasaan Jokowi seperti jatuhnya Soekarno saat itu. Seluruh elemen rakyat menjadi musuh bersama dari kekuasaan otoriter. Koalisi pun akan ikut berbalik dukungan. Para pembisik Jokowi faham akan situasi ini. Oleh karenanya permainan layak diperpanjang melalui gugatan di PTUN. Moeldoko harus bersiap berlari maraton. Lari sprint telah gagal. Sebab di usia Moeldoko yang sudah 63 tahun masih kuatlah untuk berlari maraton? Jika berat, maka dipastikan Moeldoko akan terkapar lagi. Ada sindiran sebaiknya Moeldoko menyerah saja. Sebaiknya Moeldoko berjuanglah untuk menjadi Ketua DPC Partai Demokrat Deli Serdang saja dulu, di bawah kepemimpinan Ketum AHY. Itu akan lebih baik dan mudah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Membaca Fenomena Teroris, Dari Manifesto Sampai Surat Wasiat
by Ubedilah Badrun Jakarta FNN - Bom Bunuh diri di Gereja Katedral Makasar (28/03) dan serangan teror di Markas Besar Kepolisian (31/03) menggugah penulis untuk membaca ulang fenomena teroris ini. Tidak mudah memang membaca fenomena teroris. Apalagi untuk memastikan kapan terorisme mulai ada. Tetapi secara historis, awal mula terorisme itu bisa ditelusuri dari wilayah Eropa. Dalam catatan sejarah, bisa dicermati dari abad ke-5 Masehi. Pada tahun 476 Masehi, dunia mencatat serangan teroris terhebat yang mampu meruntuhkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat waktu itu. Teroris yang meruntuhkan kekaisaran Romawi Barat ini berasal dari salah satu suku di Eropa. Pada saat itu orang Romawi Barat menyebut suku tersebut sebagai Barbar. Peristiwa ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa. Peristiwa runtuhnya Romawi Barat ini menandai mulainya abad kegelapan (dark ages) di Eropa selama 1000 tahun. Pada masa terorisme awal ini, latar belakangnya bukan karena hal-hal yang bersifat sakral atau keagamaan, tetapi lebih karena persoalan keinginan untuk berkuasa dan semacam ada idiologi anarkisme di kaum barbar. Secara etimologis, istilah teror dan terorisme sesungguhnya baru mulai populer pada abad ke-18. Namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah fenomena baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982) mengemukakan bahwa manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Prancis. Tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Prancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror, yang menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Sementara menurut David C Rapoport(1989), pendiri jurnal ilmiah Terrorism and Political Violence, dalam The Morality of Terrorism, membagi teror dalam tiga kategori, yakni (1) Religious Terror, (2) State Terror, dan (3) Rebel Terror. Jika dilihat dari segi pelakunya, bisa dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu personal terrorism, collective terrorism, dan state terrorism. Contoh paling mudah untuk memahami religious terror adalah keadaan yang terjadi saat perang salib(1096-1271). Contoh state teror atau state terrorism adalah serangan besar-besaran Amerika Serikat terhadap warga sipil Afghanistan (2001) dan Iraq (2003). Contoh rebel terror dan atau collective terrorism adalah pemberontakan kelompok radikal dalam suatu negara. Sedangkan contoh personal terrorism adalah Gavrilo Princip yang menembak mati Archduke Franz Ferdinand pewaris tahta kerajaan Asutria Hungaria pada 28 Juni 1914 di Sarajevo. Diksi terorisme makin populer pada awal abad ke 21 ketika gedung World Trade Centre (WTC) New York yang merupakan simbol kapitalisme dan liberalisme dunia runtuh pada 11 september 2001 lalu. Peristiwa ini bagi bangsa Amerika disebut sebagai the day of infamy yang kedua setelah pengeboman Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 silam. Kalau peristiwa Pearl Harbour mendorong Amerika untuk menyerang Jepang dan menghancurkan Jepang pada Perang Dunia II, peristiwa WTC mendorong Amerika memerangi apa yang disebutnya sebagai Terorisme. Celakanya peristiwa tersebut sering dikait-kaitkan dengan agama. Satu kesimpulan yang patut dipertanyakan. Benarkah peristiwa WTC itu karena motif Agama? Logika Teroris Jika kita bongkar seluruh literatur agama sampai kitab sucinya, maka kita akan menemukan bahwa logika teroris itu bukan berasal dari logika agama. Sebab tidak ada satu dogma agama satu pun yang mengajarkan terorisme pada penganutnya. Pada titik ini, yang justru harus banyak didiskusikan yaitu mencari akar persoalan penyebab munculnya terorisme di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks itu sejumlah pertanyaan patut diajukan. Bagaimana cara ilmuwan menemukan akar persoalan penyebab munculnya terorisme? Menggali argumen pelaku teror adalah salah satu solusinya. Cara terbaik menemukan data primer atau data yang bersumber dari pelaku utama teror adalah melalui salah satu teknik dalam metode penelitian kualitatif, yaitu melakukan wawancara mendalam (deept interview) terhadap pelaku teror. Sayangnya sampai saat ini belum ditemukan satupun hasil wawancara mendalam dan utuh terhadap para pelaku teror. Seringkali semua pelaku teror sudah mati sebelum digali logikanya melalui wawancara mendalam oleh para ilmuwan. Namun demikian, ada satu ilmuwan yang penulis baca dan realtif berhasil menemui mantan teroris berjumlah 60 orang. Meskipun wawancaranya tidak dijelaskan seberapa mendalam, tetapi mampu mengungkap secara psikologis. Tori DeAngelis mengutip temuan satu ilmuwan tersebut John Horgan, seorang Psikolog dan Direktur pada Center for Terrorism and Security Studies Amerika Serikat, setelah mewawancarai 60 teroris mengemukakan bahwa seseorang memilih jalan melakukan tindakan teror disebabkan karena tujuh hal penting. Pertama,) merasa marah, terasing, dan kehilangan hak. Kedua, meyakini bahwa keterlibatan politiknya tidak memungkinkan mengubah keadaan. Ketiga, merasakan ketidakadilan, Keempat, merasa perlu bertindak segera daripada mendiskusikan masalah. Kelima, mempercayai bahwa terlibat dalam kekerasan melawan negara merupakan hal yang dimaklumi. Keenam, ada yang mendukung dan bersimpati terhadap gerakan terorisme. Ketujuh, mempercayai akan mendapatkan penghargaan sosial dan psikologis (Tori DeAngelis, Understanding Terrorism, American Psychological Association, 2009:60). Alasan-alasan teroris yang ditemukan John Horgan d iatas, tidak satupun menyebutkan bahwa seseorang melakukan teror karena perintah agama. Manifesto & Surat Wasiat Sebagai akademisi, penulis meyakini bahwa masih terus dibutuhkan upaya untuk mengungkap dan mengurai apa yang sesungguhnya terjadi dibalik prilaku para teroris. Setiap peristiwa teror yang terjadi di sejumlah negara ternyata memiliki alasan-alasan yang berbeda, dan latar belakang yang berbeda. Dalam kesempatan ini penulis coba mencermati dua peristiwa penting dari pelaku teror di dua negara yaitu di Selandia Baru (2019) dan di Indonesia (2021). Pelaku dari dua peristiwa itu sama-sama meninggalkan dokumen. Dari dua peristiwa itu ada data dokumen yang bisa dicermati, yaitu dari teroris di Selandia Baru meninggalkan manifesto dan dari teroris di Indonesia meninggalkan surat wasiat. Pada 15 maret 2019 terjadi serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch, Selandia Baru. Peristiwa teror ini menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya. Peristiwa ini dinilai sangat kejam, diantaranya karena ada satu peristiwa menurut pengakuan terorisnya ia melakukan dua tembakan langsung ke bayi berusia tiga tahun yang sedang memegangi kaki ayahnya yang sudah meninggal. Pelaku teror ini bernama Brenton Tarrant, pria berusia 28 tahun asal Australia.Sebelum melakukan teror ia membuat manifesto setebal 73 halaman yang diberi judul “The Great Repalcement”. Dari manifesto yang ia buat inilah publik dunia mengetahui motifnya. Setidaknya ada tiga alasan Brenton Terrant melakukan kejahatan kemanusiaan paling kejam di dunia ini. Pertama, mengurangi imigran. Kedua, supremasi kulit putih. Ketiga, balas dendam. Alasan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan global. Di dokumen manifesto tersebut tidak ada alasan perintah agama yang mendasarinya melakukan tindakan teror. Bagaimana dengan alasan teroris di Indonesia melakukan aksi terornya? Ternyata di Indonesia beberapa kali teroris melakukan aksi teror selalu meninggalkan surat wasiat. Teroris terbaru yang meninggalkan surat wasiat adalah pelaku teror bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28/3) berinisial MLA ,dan teroris yang melakukan serangan ke Mabes polri (31/3) berinisial ZA. Uniknya, surat wasiat yang ditinggalkan terduga teroris tersebut memiliki kemiripan.Diantaranya diawal surat dibuka dengan permintaan maaf ke ibu. Lalu berpesan kepada orang tua agar tidak meninggalkan sholat. Kemudian bagian paling mirip adalah saat menyatakan bahwa dirinya menyayangi ibunya, tetapi Allah lebih menyayangi hambanya. Makanya saya tempuh jalanku sebagai mana jalan Nabi/Rasul Allah. Kedua pelaku juga sama-sama berpesan agar keluarganya berhenti meminjam uang di bank karena riba. Sulit menemukan motif dari surat wasiat yang ditinggalkan para teroris di Indonesia, kecuali seolah ia merasa jalan yang ia tempuh itu disayangi Allah. Fenomena membuat surat wasiat sebelum melakukan teror di Indonesia ternyata tidak hanya dilakukan oleh dua teroris tersebut. Tetapi juga dilakuka oleh teroris-teroris lainya. Diantaranya teroris yang ditangkap pada 10 Desember 2016 di Bekasi dan yang ditembak pada 25 Desember 2016 di Waduk Jatiluhur Purwakarta. Pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, mengapa sejumlah teroris di Indonesia banyak yang buat surat wasiat? Mengapa ada yang memiliki kemiripan pada surat wasiatnya? Ada semacam satu pola perintah untuk membuat surat wasiat?. Kesamaan pola ini menunjukan kemungkinan adanya semacam satu mekanisme yang bekerja. Pada titik ini fenomena kemiripan surat wasiat teroris ini perlu diungkap sebagai salah satu celah untuk menelusuri lebih dalam. Adakah aktor-aktor kolektif terorganisisr yang memerintahkan atau semacam membuat tata cara melakukan teror dengan sebelumnya membuat surat wasiat? Atau mungkin saja telah disediakan contoh surat wasiat yang harus mereka siapkan? Untuk mengungkap semua itu perlu melibatkan para ahli yang memahami bahasa, psikologi, dan pola-pola terorisme. Untuk mengungkap terorisme dengan pola buat surat wasiat yang terjadi berkali-kali di Indonesia ini, sebaiknya pihak kepolisian segera melibatkan banyak ahli. Tujuannya agar ketemu sampai ke akar-akarnya. Apakah benar mereka aktor sendirian atau adah mekanisme kolektif yang bekerja? Lalu siapa mereka yang terlibat dalam mekanisme kolektif itu? Penulis adalah analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Wanita Jilbab Duduk di Motor Menghadap ke Kanan, Terorisme Atau Telorisme?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar terus diinterprestasi publik. Sebenarnya atau rekayasa. Negara dan aparat kecolongan atau ada yang sengaja nyolong-nyolong? Internasional, nasional, atau lokal, Islam atau Islam-islaman, teror atau teror-teroran. Terorisme atau telorisme? Semua pertanyaan itu menjadi pembicaan publik. Telor itu dihasilkan dari ayam, bebek, burung atau sejenisnya. Telor adalah produk dari kolaborasi atau konspirasi jantan dan betina. Dari hubungan intim. Telor bisa dimakan mentah, setengah matang, didadar, ceplok, atau lainnya. Ada telor asin ada telor pindang. Telornya diolah sesuai selera sipembuat. Telur busuk bisa juga untuk dilempar-lempar. Pemimpin yang pembohong dan pembuat susah rakyat pantas untuk dilempar telur busuk. Tuman. Telorisme adalah sesuatu yang dihasilkan dari konspirasi, yang diolah sesuai dengan kepentingan pemilik otoritas, baik otoritas budaya, ekonomi maupun politik. Karenanya bersifat multi purpose. Telorisme berupaya menjadikan suatu produk dapat digunakan dan diolah sesaat lalu selesai (split second) atau dapat digunakan berulang-ulang melalui penetasan (hatching). Pertanyaan besar atas kasus peledakan bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar adalah apakah itu teror atau telor, terorisme atau telorisme? Meninjau banyak kejanggalan dari kasus ini nampaknya lebih dekat pada telorisme. Di media sosial banyak netizen cerdas dan jeli dalam menganalisa dan menduga-duga. Suami istri nikah baru enam bulan, kok bunuh diri spektakuler dengan mainan bom. Memilih Gereja dinilai aneh untuk berjihad. Apalagi cuma di halaman Gereja. Mengapa tidak tempat karaoke, panti pijat, atau mungkin lokalisasi pelacuran. Jika orientasinya adalah daulah, ya istana atau gedung parlemen. Dalam agama, merusak rumah ibadah apa saja itu dilarang. Bahkan merusak apapun, bukanlah tuntunan agama. Walau dengan menggunakan atribut keagamaan bersorban atau berhijab. Jamaah Anshorud Daulah (JAD) adalah makhluk jadi-jadian yang dijadikan dan diproduksi oleh makhluk jahat berkualifikasi Iblis. Agama Islam yang dimain-mainkan. Afiliasi ISIS? ISIS itu buatan Yahudi, maka JAD adalah buatan institusi yang berafiliasi dengan Yahudi. Berjuang untuk Daulah? Mendirikan Daulah dengan berboncengan indehoy suami-istri, piknik ke Gereja? Filem kartun-kartunan saja tidak ada yang mau untuk bercerita seperti itu. Sebab pasti dijamin tidak akan laku. Netizen mengungkap kejanggalan foto viral sang teloris yang cepat dimuncukan. Kok wanita dibonceng menghadap kanan? Yang lazim, ya ke kiri. Hasil CCTV atau jepretan foto? Ranca bana. Lucu, ke Gereja berbusana muslim bersorban dan berhijab burqa, serta Gereja beraspal mulus. Tetapi foto bersepeda motor suami istri, ko bukan berjalan aspal? Ah ada-ada saja. Kurang canggih dong? Apapun itu, memunculkan sosok beridentitas muslim sebagai pelaku bom bunuh diri itu tendensius dan menghina umat Islam. Pengendali atau perekayasa memang Dajjal yang bukan saja berniat untuk mengadu-domba. Tetapi juga framing pembenaran tentang radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. Yang hebat dan mengagumkan lagi, dengan langkah yang super cepat dari Makassar, lalu berlanjut dengan penggerebegan di Condet . Hasilnya menjadikan buku fisika dan kaos FPI sebagai barang bukti. Untung saja FPI sudah dibubarkan jadi kaosnya bisa beli dari loakan he he he Walaupun demikian, kita tidak perlu terlalu serius dalam membaca peristiwa yang berbau politik. Toh sering tidak nyambung hukum kausalitasnya atau berbeda das sollen dengan das seinnya. Bangsa ini diwanti-wanti harus mewaspadai bahaya radikalisme dan terorisme. Akan tetapi yang muncul adalah telorisme. Hidup teloooor.. ! Pemerhati adalah Politik dan Kebangsaan.
Menghukum Dr. Syahganda Nainggolan=Menghina Bung Hatta dan Profesor Soepomo
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Agar sebuah masyarakat dianggap benar-benar demokratis, harus ada perlindungan dalam derajat tinggi untuk keperluan ide-ide dalam bentuk yang terpublikasikan, apakah mediumnya surat kabar, majalah, buku, pamphlet, film, televisi atau yang paling mutakhir internet. (John W. Johnson, Penulis Historic U.S Court Cases: Encyclopedia Second Edition, 2001). Jakarta FNN - Dr. Syahganda Nainggolan, dikenal luas sebagai pengeritik tangguh dan rasional terhadap pemerintahan Jokowi. Pikiran-pikirannya tersebar luas diberbagai media, terutama online. Pikiran-pikiran kritis itulah yang menjadi sebab utama dia ditangkap, ditahan lalu disidangkan. Menggelikan dan konyol, tetapi itulah kenyataannya. Dia akan menghadapi tuntutan jaksa. Seharusnya tuntutannya Jaksa Penuntut Umum telah disampaikan pada Kamis Minggu lalu. Tetapi sampai dengan jam sidang berlalu pada Kamis itu, Jaksa Penuntut Umum tak kunjung membacakan tuntutannya. Aneh Bin Ajaib Perkara ini, untuk semua alasan yang bisa digunakan, telah menempatkan jaminan konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 untuk kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat berada dalam bahaya besar. Keangkuhan terlihat berada dibalik kegagalan penggunaan akal sehatnya. Kegagalan mengenal ide dan kehendak dasar pembentuk UUD 1945 dibalik jaminan konstitusional terhadap kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat, terlihat jelas dalam perkara ini. Sama betul dengan kegagalan pemerintahan Bung Karno, dengan demokrasi terpimpinnya pada tahun 1963. Persis perkara Syahganda saat ini, Pemerintah Bung Karno juga menggunakan Polisi memperkarakan Buya Hamka. Sedikit berbeda dengan perkara Sahganda, perkara Buya Hamka sepenuhnya dikarang. Perkara yang dikarang polisi dari Departemen Kepolisian (DEPAK) kala itu adalah Buya Hamka ikut rapat gelap di Tangerang. Ini yang dijadikan materi pemeriksaan kepada Buya. Buya Hamka juga dituduh terlibat dalam Gerakan Anti Soekarno (GAS). Ini juga karangan keji dan primitif. Soedakso (Inspektur) Moeljo Koesomo (Inspektur), Soejarwo (Inpektur), Siregar (Inspektur) adalah pemeriksa-pemeriksa terhadap perkara “karangan” mereka. Menariknya mereka malah meminta Buya Hamka berkata, memberi jawaban “jujur” setiap kali diperiksa. Perkaranya dikarang, tetapi meminta Buya Hamka berkata jujur, itulah yang dilakukan polisi-polisi pemeriksa itu. Mereka malah memperlakukan Buya dengan kasar. Suara mereka meninggi kalau Buya memberi keterangan yang tidak sesuai ekspektasi mereka. Kotor dan menjijikan para polisi itu. Begitulah sejarah kecil tentang “karang-mengarang” kasus lalu dituduhkan kepada Buya Hamka. Hebatnya lagi perkara “karangan” itu dilakukan rekonstruksi. Buya Hamka dihadirkan juga ke TKP “karangan” mereka. Aneh meman. Tetapi begitulah kenyataannya. Kasus ini jelas beda dengan kasus yang didakwakankan kepada Dr. Syahganda. Kasus Syhaganda, untuk alasan apapun, nyata dan ada. Tetapi bukan disitu soalnya. Soalnya apakah peristiwa nyata itu beralasan hukum obyektif untuk dikualifikasi sebagai peristiwa pidana? Syahganda jelas mengekspresikan fikiran-fikirannya tentang beberapa isu yang sedang berkembang. Isu isi RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja, cukong-cukong pilkada, yang dinyatakan oleh Profesor Mahfud MD. Pernyataan Profesor Mahud MD, ini yang dikomentari lebih jauh oleh Syahganda dan dituliskan dalam WhatsApp-nya. Tidak itu saja, Syahganda memberi selamat kepada buruh yang akan berdemontrasi. Serta mengutip pula pernyataan Pak jendral (Purn) Gatot, tentang RUU Omnibus Cipta Lapangan Kerja.Perbuatan-perbuatan itulah yang dikualifikasi sebagai pidana. Perbuatan itu dikualifikasi secara spesifik sebagai “menyebarkan kabar bohong” yang menimbulkan “keonaran.” Aneh dan ajaib betul. Berpikir dan mengekspresikan isi pikirannya, tetapi dikualifikasi menyebarkan berita berbohong. Lucu. Menganalisis isi RUU dan mengekspresikan hasil pikiran atas isi RUU yang telah dianalisis “dikualifikasi” menyebarkan kebohogan. Ini konyol. Sebab orang-orang sekolahan tahu perbedaan sudut pandang menjadi kekuatan inti perkembangan ilmu pengetahuan. Perbedaan sudut pandang, termasuk pendekatan dalam dunia penegakan hukum juga menjadi esensi penegakan hukum. Dalam dunia hukum “teks” pasal atau ayat, harus ditafsir. Tafsir atas teks, dalam dunia ilmu hukum, karena perbedaan pendekatan, telah melahirkan begitu banyak konsep. Clasical originalism, modern originalism, isolasionism dan pragmatic enrichment, historical interpretation sekadar beberapa contoh hasil kongkrit perbedaan pendekatan tafsir. Orang Hukum benaeran, tahu tidak ada kata yang tidak memiliki makna. Kata memantulkan makna. Tidak ada teks yang tidak punya pijakan empiris, sebagai konteks teks. Konteks teks tak dapat diperiksa hanya atas dasar debat pembentukan teks itu. Tidak begitu. Sebab debat teks harus didalami hingga ke soal bagaimana, dalam suasana apa, dan peristiwa apa yang melatarbelakangi sekaligus sebagai inspirasi teks itu. Ini disebut metateks. Metateks menggambarkan kehendak asli pementuknya. Perkara ini, mau tak mau, suka atau tidak, JPU dan hakim harus memeriksa konteks sosial dan politik teks pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Terminologi “bohong dan onar” pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu berakar pada keadaan sosial politik September 1945 hingga Februari 1946. Bohong ala Tan Malaka yang kemana-mana menyebarkan berita bahwa Bung Karno, Bung Hatta sdan Bung Sjkahrir telah ditangkap Inggris misalnya, itu bohong. Ini yang disebarkan, dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian di kalangan masyarakat. Ini memicu terjadi keonaran nyata di tengah masyarakat. Onar, dalam konteks ini, adalah cerminan dari tindakan-tindakan orang masuk keluar kampung, dengan beragam tujuan. Masuk keluar tentara Gurka di kampung-kampung, dengan tujuan yang tak jelas, itu onar. Pengejaran terhadap orang Bali misalnya, yang diprovokasi Belanda sebagai pencuri, pembuat onar dan seterusnya, itulah onar. Itulah yang dimamksud dengan onar pada teks pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946. Sangat Tidak Beralasan Seriuh apapun sebuah demonstrasi, hukum tak dapat mengkualifikasinya sebagai peristiwa pidana, juga membuat onar. Sebabnya, hukum membenarkan demonstrasi. Kalau ada demonstran yang merusak dan sejenisnya, perbuatan merusak itu yang berkualifikasi pidana. Bukan demonstrasinya. Hukum juga tidak menunjuk analisis kritis yang disebarkan sebagai pidana. Bagaimana jadinya dunia ini andai tidak ada lagi orang bisa berpikir? Macam apa dunia tanpa orang yang berpikir kritis, dan mengekspresikan hasil pemikirannya? Mau ciptakan dunia khas fir’aun? Tuhan jadi-jadian itu? Fir’aun begitu pada pikiran cerdas. Itu sebabnya dia memburu Nabi Musa Alaihissalam, yang fikirannya menantang klaim konyol nan bodohnya Fir’aun sebagai Tuhan. Galileo Gelilei harus menjalani hukuman, hanya karena pikirannya bertentangan dengan kenyataan yang telah diyakini penguasa. Dia dituduh membuat pernyataan yang menyangkal kebenaran yang telah terlembaga oleh penguasa. Andai kasus ini terjadi di Indonesia saat ini, Galileo mungkin akan dituduh dan disidangkan, persis seperti Syahganda, menyebarkan berita bohong dan bikin onar. Matinya ide-ide, sama dengan matinya kehidupan di dunia. Seba dunia hanya akan dihuni oleh kambing, kerbau, babi hutan, singa dan lainnya. Tidak ada diantara hewan-hewan ini yang membutuhkan sistem hukum, sistem politik, partai politik, kebebasan berpendapat dan sejenisnya. Sebegitu pentingnya ide-ide kritis itu, sehingga Muh. Hatta, harus habis-habisan meyakinkan Profesor Soepomo, Ketua Tim Pembentuk UUD 1945 agar UUD yang sedang dirancang itu memberi jaminan kepada setiap orang berkumpul mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapatnya. Waras dan hebat. Sebagai orang terpelajar, Bung Hatta tahu bahaya nyata penguasa tanpa kontrol. Karena pentingnya kontrol itu, maka wajib diberi jaminan konstitusional dalam UUD. Hasilnyas usahanya adalah lahirnya Pasal 27 UUD 1945. Esensi ide Bung Hatta itu, kini dikukuhkan pada pasal 28E ayat (2) UUD 1945. Bung Hatta bukan tidak tahu bahwa organ-organ pengawasan, khususnya DPR, telah diberi fungsi itu. Tetapi baginya itu tak cukup. Rakyat harus diberi kepastian dapat berpikir kritis. Hasil pikirannya itu diekspresikannya secara terbuka sebagai cara mereka mengawasi jalannya pemerintahan. Hanya picik yang belajar ilmu hukum di pinggir jalan dan pasar loakan saja yang bisa diandalkan untuk mengisolasi konsep kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD 1945 sebatas hal yang dibolehkan pemerintah. Hanya politik busuk saja yang dapat dipakai mengkategorikan analisis terhadap isi RUU, apapun itu, dan mendukung demonstrasi sebagai perbuatan pidana. Politik, andal dalam mengubah sesuka-sukanya sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum menjadi bertentangan dengan hukum. Politik pulalah yang mampu menemukan pembenaran atas tindakan-tindakan sah, berubah dan dikategorikan sebagai tindak pidana. Politik kotor tidak pernah bekerja dengan akal sehat. Sama sekali tidak. Politik kotor bekerja dengan motif tunggal “mengamankan kekuasaan”, dengan semua cara yang dapat dibayangkan. Tidak lebih. Itu yang dapat dijelaskan dari tuduhan “kasus karangan” terhadap Buya Hamka. Keadilan dalam lingkungan politik kotor, persis yang dipresentasikan Nazi Hitler. Keadilan jenis Hitler tidak punya karakter lain, selain apa yang didefenisikannya. Keadilannya sangat partisan. Sangat personal. Hitler tersinggung saja, anda habis. Padahal Hitler itu berkuasa melalui proses demokrasi. Pertimbangan politik, terlihat secara hipotetikal menjadi sebab terbesar yang dominan membawa kasus Syahganda ke jalan pidana. Diluar itu tidak ada. Juga tak ada jalan rasional hukum yang bisa diandalkan membawa kasus Syahganda ke pidana, apalagi dipidana. Ini bukan keadilan khas impian Bung Hatta dan Profesor Soepomo. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Tirani Pandemi
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menulis artikel berjudul “Democracy Under Lockdown” : The Impact of Covid 19 on the Global Struggle for Freedom” pada bulan Oktober 2020 lalu. Kedua ilmuwan wanita asal Amerika itu menanggapi serius hasil penelitian Freedom House dengan menuliskan, bahwa tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Pemerintah telah menanggapi dengan terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan. Membungkam kritik mereka, dan melemahkan atau menutup lembaga-lembaga penting. Seringkali merusak sistem akuntabilitas yang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kesimpulan penelitian Freedom House baru tentang dampak Covid 19 pada demokrasi dan hak asasi manusia tersebut dihasilkan dalam kemitraan dengan perusahaan survei GQR. Sebuah perusahaan riset dan kampanye politik yang bermarkas di Washington D.C. Amerika Serikat. Berdasarkan survei terhadap 398 jurnalis, pekerja masyarakat sipil, aktivis, dan pakar lainnya serta penelitian di 192 negara oleh jaringan analis global Freedom House. Laporan ini adalah yang pertama dari jenisnya dan upaya paling mendalam hingga saat ini. Kedua ilmuwan itu menegaskan, penelitian tersebut sangat mendukung hipotesis bahwa pandemi Covid19 memperburuk penurunan kebebasan selama 14 tahun berturut-turut. Tidak hanya demokrasi melemah di 80 negara. Tetapi masalahnya sangat akut di negara-negara demokrasi yang sedang berjuang dan negara-negara yang sangat represif. Dengan kata lain, pengaturan yang telah memiliki perlindungan yang lemah terhadap penyalahgunaan kekuasaan menjadi yang paling menderita. Temuan ini menggambarkan luas dan dalamnya serangan terhadap demokrasi. Seperti yang dikatakan salah satu responden di Kamboja, “pemerintah menjadikan virus corona sebagai kesempatan untuk menghancurkan ruang demokrasi”. Gambarannya terlihat suram, kata Joshua Kurlantzick, peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations. Sejak wabah dimulai, kondisi demokrasi dan hak asasi manusia semakin memburuk di 80 negara. Dimana pemerintah telah menggunakan Covid 19 sebagai dalih untuk menutup oposisi. Meminggirkan kelompok minoritas, dan mengontrol informasi, tulisnya dalam artikel di Japan Times (Jan 13, 2021) berjudul “Covid 19 Batters Asia’s Already-Struggling Democracies”. Mengomentari hasil penelitian “Freedom House” itu, Joshua mengatakan, pandemi virus corona baru hanya memperburuk kerusakan demokrasi. Memperdalam krisis demokrasi di seluruh dunia. “Memberikan perlindungan bagi pemerintah untuk mengganggu pemilu, membungkam kritik dan menekan, dan merongrong akuntabilitas yang dibutuhkan untuk melindungi hak asasi manusia serta kesehatan masyarakat”. Menurut Joshua, selama lima belas tahun terakhir, demokrasi di seluruh Asia telah mengalami kemunduran. Meskipun kawasan ini masih memiliki demokrasi yang kuat seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, banyak negara demokrasi Asia terkemuka lainnya dan negara-negara dengan potensi demokrasi telah tergelincir ke belakang. Berubah menjadi negara yang hampir otokrasi atau negara otoriter langsung. Sarah Repucci dan Amy Slipowitz menegaskan, diantara responden survei, 27 persen melaporkan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sebagai salah satu dari tiga masalah yang paling terpengaruh oleh wabah virus corona. Pejabat dan layanan keamanan melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Menahan orang tanpa alasan, dan melanggar kewenangan hukum mereka. Pemerintah kemudian mengeksploitasi kekuatan darurat ini untuk mencampuri sistem peradilan. Memberlakukan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada lawan politik, dan merusak fungsi legislatif yang krusial. Seperti yang dikatakan salah satu responden tentang Turki, "Coronavirus digunakan sebagai alasan bagi pemerintah yang sudah menindas untuk melakukan hal-hal yang telah lama direncanakan, tetapi belum dapat”. Ekses buruk wabah pandemi Covid 19 terhadap kehidupan masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, diperparah munculnya pandemi lain yang menumpang di atasnya. Merebaknya hoaks dan fitnah yang terorganisir oleh buzzer maupun influenzer. Mereka bekerja menekan suara kritis masyarakat yang resah kurang tersentuh kebijakan mitigasi negara. Misalnya, akibat maraknya praktik korupsi pejabat pemerintah di tingkat menteri. Sasaran korupsi adalah dana-dana bantuan sosial (bansos). Pejabat keasyikan sukses berburu di kebun bintang. Dilakukan di tengah duka nestapa jutaan kelompok orang miskin baru. Korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masif akibat ambruknya ratusan perusahaan tersapu wabah pandemi. Laporan penelitian Universitas Oxford berjudul, “The Global Disinformation Order : 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” yang terbit akhir September 2019 membantu menjelaskan fenomena kelahiran buzzer dan influenzer. Penelitian yang ditangani Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard menyebutkan Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan buzzer alias pendengung untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Tugas utama buzzer dan influenzer menggerus ketahanan demokrasi yang sudah lunglai terdegradasi oleh kooptasi kekuasaan yang balik haluan ke jalur otoriter. Menurut penelitian Universitas Oxford itu, tercatat, sejumlah pihak di Indonesia pengguna buzzer adalah politisi, partai politik, dan kalangan swasta. Kebanyakan buzzer beraksi untuk tujuan menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi. Buzzer di Indonesia kebanyakan buzzer bayaran pada kisaran antara Rp. 1-50 saja. Para buzzer biasanya menggunakan Twitter, WhatsApp, Instagram, dan Facebook dalam melakukan aksinya. Modus yang sering mereka lakukan dengan menciptakan disinformasi dan memanipulasi informasi. Sama diketahui, serangan wabah pandemi Covid 19 sejak awal Maret tahun lalu, yang memukul sektor kesehatan dan ekonomi bahkan demokrasi, telah mendorong pemerintah memanfaatkan legitimasi konstitusi untuk mengambil langkah darurat. Pengendalian pandemi dikemas menjadi mobilisasi mitigasi. Pandemi menjadi dasar penglegitimasian diskresi negara. Presiden lalu mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Merujuk filsuf Yunani Cicero yang menegaskan “salus populi supreme lex esto”, yang bermakna “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”. Sejalan semangat yang tertulis dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945. Pandemi menjadi tirani baru dengan unsur baru, yaitu buzzer dan influenzer. Keduanya melengkapi potensi destruktif pandemi Covid 19 terdahulu. Mendorong demokrasi terkunci mati. Partai politik sebagai instrumen utama demokrasi tidak bicara apa-apa. Sebagai representasi suara rakyat, partai politik sama sekali tidak bunyi. Di tengah prahara penderitaan demokrasi, elite politik ramai-ramai mengunci mulut. Membutakan mata dan menutup telinga dari gemuruh longsornya marwah bangunan demokrasi. Tirani pandemi merusak tiga sistem peradaban masyarakat modern yang sudah mapan. Hancurnya secara bersamaan, yaitu sistem kesehatan, sistem ekonomi dan sistem demokrasi. Masuk akal jika, Repucci dan Slipowitz menyebutnya sebagai “Democracy Under Lock down”. Teman wartawan senior yang setia mengirim pesan WhatsApp, kembali mengingatkan kisah sejarah tragedi tentang Kaisar Nero. Dia menceritakan, “ketika kota Roma terbakar di landa kobaran api, Nero, sang kaisar malah memilih memetik gitar di sudut Istana”. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Sindroma Anak Raja & Pasangan Jokowi-Prabowo 2024
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Viral video dan foto kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono ke Solo. Ketika Menteri dan anggota rombongan lain mengambil posisi duduk di kursi. Sementara terlihat Gibran Rakabuming sang Walikota malah duduk di meja. Komentar di jagad media sosial atas video dan foto ini adalah "kurang adab". Memang terkesan Gibran Rakabuming ini adalah pejabat karbitan. Jabatan Walikota yang memang belum pantas untuk diemban Gibran. Akibatnya, pola penghormatan jabatan dan protokol diabaikan. Gibran lebih merasa anak Presiden yang tak harus hormat-menghormati. Mungkin merasa dirinyalah yang seharusnya dihormati. Ini yang namanya sindroma anak raja. Latar belakang sebagai pengusaha katering dan martabak tidak menjadi persoalan. Toh ayahnya Joko Widodo dulu juga pengusaha mebel. Masalahnya adalah miskin akan pengalaman politik, bahkan Gibran pernah menyatakan tidak akan terjun ke kancah politik. Namun di usia 33 tahun, tiba-tiba Gibran meniru jejak ayahnya maju dalam Pilkada Solo. Menjadi Walikota dengan proses instan melalui Fraksi Partai Dekorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan didukung oleh mayoritas partai politik. Dengan lawan tanding yang hanya asal-asalan, sehingga nyaris melawan "bumbung kosong". Tidak bisa dipungkiri kalau orang melihat kemenangan dan suksesnya Gibran ditentukan oleh faktor orangtua Presiden Joko Widodo. Faktor ini yang membuat mayoritas partai politik ikut-ikutan mendukung Gibran. Oligarkhi politik istana dinilai sangat mempengaruhi. Gibran pun berhasil untuk tidak tersentuh dari keterkaitan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Misalnya, soal goodie bag yang menjadi jatah anak Pak Lurah yang diramaikan. Goodie bag sebanyak sepuluh juta unit dengan harga Rp 15.000 per unit berhasil dikerjakan oleh PT Sritex melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal nilai proyek goodie bag tersebut adalah Rp 150 miliar. Sementara syarat dilakukan PL hanya untuk proyek dengan nilai Rp 200 juta ke bawah. Namun rupanya ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk anak Pak Lurah. Oligarkhi istana terus bergerak memastikan cengkramannya atas kekuasaan negara. Gibran digadang-gadang untuk menjabat Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2024 nanti. Bahkan ada juga yang sampai mewacanakan dan memainkannya Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Politik dinasti yang dibangun untuk menjadi warna budaya politik Indonesia kontemporer. Selagi kekuasaan masih berada dalam genggaman, semua bisa dilakukan. Toh semua bisa saja diatur-atur sesuai dengan selera kalau mau. Girban yang semula tidak ingin terjun ke politik, akhirnya mau juga menjadi Walikota Soloh. Wajar saja kalau ada keinginan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah itu ikut menjadi Calon Presiden (Capres) mengikuti jejak sang ayahanda. Pasangan Capres-Cawapres Presiden Joko Widodo yang berakhir masa jabatan pada Oktober 2024 memang sudah menyatakan hanya mau menjabat selama dua priode. Namun bukan berarti peluang menjabat lagi untuk tiga priode sudah hilang. Peluang tersebut masih tetap saja terbuka lebar. Apalagi amandemen UUD 45, khususnya pasal tentang pambatasan masa jabatan presiden hanya dua periode itu sedang diupayan untuk dijebol. Rencana untuk menjabat tiga lagi untuk periode ketiga sedang dikerjakan dengan sangat serius. Namun pekerjaan ini dilakukan dengan sangat senyap atau sembunyi-sembunyi. Masih malu-malu, dan khawatir kalau diketahui publik. Reaksi publik bisa sangat keras. Yang tampak ke permukaan adalah amandemen UUD 45 terkait dengan dimasukannya pasal tengang Garis-garis Besar Haluan Negara (GHBN). Yang nanti bakal diselundupkan adalah merubah pasal tentang masa jabatan presiden, yang tadinya hanya dua periode, menjadi tiga periode atau lebih. Karena pasal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dilakukan amandeman UUD 45. Bukan hanya soal masuknya pasal tentang GBHN. Bisik-bisik di kalangan intelijen gadungan, besar kemungkinan yang menjadi Capres untuk priode ketiga nanti adalah Joko Widodo, yang berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto. Begitulah kalau kekuasaan lagi mendesak atau menagih agar tetap dalam genggaman. Dengan duduk di atas meja, ini adalah pencitraan bahwa Gibran lebih tinggi dari siapapun, termasuk Menteri Basuki Hadimoeljono dan stafnya. Maklum saja ini anak raja. Menteri adalah bawahan "ayahku". Karenanya tidak masalah bahwa Walikota tidak menghormati Menteri. Apakah ini pencitraan? Mungkin juga iya. Karena persis sang ayah. Pola dan cara untuk mendapat dukungan politik dilakukan melalui pencitraan yang sebenarnya adalah kepalsuan semata. Banyak yang tidak sesuai antara omongan dengan perbuatan sebagai Kepla Negara dan Kepala Pemerintahan. Yang paling terakhir adalah “tiga tahun terakhir tidak pernah mengimpor beras”. Nyatanya omongan ini dibatah oleh data-data yang ada Badan Pusat Statistik, Kemnterian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Soal Giran duduk di atas meja ini telah dibantah oleh Sardono W. Kusumo. Konon itu bukan meja, tetapi kursi yang bertingkat dari panggung teater. Namun tetap saja orang bertanya-tanya, mengapa di depan itu ada "kursi lebar" yang lebih rendah? Mengapa kursi lebar itu tidak diduduki oleh Gibran? Selayaknya jika tujuannya untuk berdiskusi, maka Gibran akan duduk di samping menteri atau didepan di kursi panjang yang dapat langsung berhadapan dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Sindroma anak raja memang penuh dengan kontroversi, disamping proteksi dan tentu saja buzzerisasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Ketika Islam Dihina, Dimana Teroris Ngumpet Ya?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Bom panci semakin populer dan menjadi pilihan favourite tukang panci, eh maksudanya tukang bom-boman. Kalau sudah ada bom panci, umat atau kelompok Islam selalu saja menjadi tertuduh untuk kasus serupa berkali-kali. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok "teroris Islam". Seperti barang peliharaan yang telah diatur kapan munculnya. Supya mudah diarahkan tuduhannya ke kelompok Islam, maka tempat meledaknya bom panci juga diduga dipilih yang memiliki hubungan. Sehingga Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran peledakan. Artinya, yang kemungkinan sarat dengan nuansa-nuansa keagamaan. Tak ada hujan, tak juga ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen. Namun ujug-ujug Gereja yang menjadi sasaran. Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam juga tidak ada yang punya kebencian pada Gereja beserta para jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Maka pembawa bom itu yang justru dalam keadaan yang tidak normal. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai meledaknya bom panci di Gereja Katedral Makasar ini bukan soal agama. Tetapi rekayasa dan adu domba. Bukan hanya haedar Nashir, namun banyak kalangan menilai serupa. Sebab tidak percaya pada spirit terorisme berbasis agama. Jika adapun, maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya. Dari dahulu tidak pernah ketemu si dalang. Mungkin saja si dalang sedang berada di tempat terang. Mungkin di depan hidungnya yang belang-belang. Aneh aparat keamanan kita tak mampu menemukan dalangnya? Selalu saja wayang-wayang, yang itupun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang. Klasik cerita bom panci ini...duaar dengan obyek Gereja. Cepat sekali polisi mengidentifikasi pelakunya, yang beridentitas Islam. Terlihat seperti kerja polisi yang sangat huebat dan luar biasa. Namun betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. Teroris sejati semestinya melakukan penyamaran, karena berorientasi pada hasil. Teroris sejati kemungkinan mengincar korban itu jemaat gereja. Bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika teroruis harus bersorban, berpeci, atau berjilbab. Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Juga pihak ketiga yang mempunyai sumber daya, baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi, dan pastinya membohongi. Kalau lagi ruwet dan moumet..duaaar. Ruwet kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang terus ribut. Ruwet karena pembunuhan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) yang bergaung dan bersambung. Ruwet akibat pandemi yang menggerus uang hingga harus hutang dikorupsi. Ruwet karena skandal korupsi yang terus-terusan disorot oposisi. Ruwet karena memikirkan kemungkinan kerasnya perlawanan rakyat menolak keinginan dan ambisi besar menjabat selama tiga periode kekuasaan. Kemungkinan berpasangan dengan mantan rival yang sekarang menjadi anak buah. Ingin tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni, dan melindungi dinasti. Ruwet dan riubet. Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah teroris berjuang untuk Islam? Lantas ketika Islam dihina-hina, Islam dinistakan, Islam dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk, dimana saja para teroris itu sembunyi dan ngmpet ya? Padahal ketika itu seharusnya teroris yang ngakunya pejuang Islam itu hadir berbuat untuk Islam dong. Jika perlu para teroris keluar untuk menghabisi para tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk yang menghina dan menistakan Islam tersebut. Sayangnya itu tak terjadi. Tidak ada teroris yang muncul saat ini. Ah, memang dasar teroris gadungan, teroris kaleng-kelang, teroris odong-odong, dan teroris beleng-beleng. Hanya mau menjadi teroris kalau diperintah oleh pemegang remote control. Disadari betul bahwa memang teroris tersebut bukan berjuang untuk Islam. Justru sebaliknya kelakuan mereka teroris-terorisan itu menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. Teroris itu tak lain adalah species yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa, dan negara. Kini kasus bom-boman datang lagi. Aparat diharapkan profesional menangani pelakukan. Segera saja tangkap dan adili dalang. Bukan hanya wayang atau tukang gendang. Jangan cepat-cepat ditembak atau dibom. Mereka yang dianggap terlibat, tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada. Sang dalang juga segera dapat diketahui keberadaannya. Apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri? Selamat bekerja bapak-bapak aparat. Rakyat pasti sangat mendukung kerja keras, kerja tuntas, dan kerja jelas aparat. Namun bukannya kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.