Sindroma Anak Raja & Pasangan Jokowi-Prabowo 2024
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN - Viral video dan foto kunjungan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono ke Solo. Ketika Menteri dan anggota rombongan lain mengambil posisi duduk di kursi. Sementara terlihat Gibran Rakabuming sang Walikota malah duduk di meja. Komentar di jagad media sosial atas video dan foto ini adalah "kurang adab".
Memang terkesan Gibran Rakabuming ini adalah pejabat karbitan. Jabatan Walikota yang memang belum pantas untuk diemban Gibran. Akibatnya, pola penghormatan jabatan dan protokol diabaikan. Gibran lebih merasa anak Presiden yang tak harus hormat-menghormati. Mungkin merasa dirinyalah yang seharusnya dihormati. Ini yang namanya sindroma anak raja.
Latar belakang sebagai pengusaha katering dan martabak tidak menjadi persoalan. Toh ayahnya Joko Widodo dulu juga pengusaha mebel. Masalahnya adalah miskin akan pengalaman politik, bahkan Gibran pernah menyatakan tidak akan terjun ke kancah politik. Namun di usia 33 tahun, tiba-tiba Gibran meniru jejak ayahnya maju dalam Pilkada Solo.
Menjadi Walikota dengan proses instan melalui Fraksi Partai Dekorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan didukung oleh mayoritas partai politik. Dengan lawan tanding yang hanya asal-asalan, sehingga nyaris melawan "bumbung kosong". Tidak bisa dipungkiri kalau orang melihat kemenangan dan suksesnya Gibran ditentukan oleh faktor orangtua Presiden Joko Widodo.
Faktor ini yang membuat mayoritas partai politik ikut-ikutan mendukung Gibran. Oligarkhi politik istana dinilai sangat mempengaruhi. Gibran pun berhasil untuk tidak tersentuh dari keterkaitan korupsi yang menyeret mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Misalnya, soal goodie bag yang menjadi jatah anak Pak Lurah yang diramaikan.
Goodie bag sebanyak sepuluh juta unit dengan harga Rp 15.000 per unit berhasil dikerjakan oleh PT Sritex melalui Penunjukan Langsung (PL). Padahal nilai proyek goodie bag tersebut adalah Rp 150 miliar. Sementara syarat dilakukan PL hanya untuk proyek dengan nilai Rp 200 juta ke bawah. Namun rupanya ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untuk anak Pak Lurah.
Oligarkhi istana terus bergerak memastikan cengkramannya atas kekuasaan negara. Gibran digadang-gadang untuk menjabat Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2024 nanti. Bahkan ada juga yang sampai mewacanakan dan memainkannya Gibran untuk ikut Pilpres 2024. Politik dinasti yang dibangun untuk menjadi warna budaya politik Indonesia kontemporer.
Selagi kekuasaan masih berada dalam genggaman, semua bisa dilakukan. Toh semua bisa saja diatur-atur sesuai dengan selera kalau mau. Girban yang semula tidak ingin terjun ke politik, akhirnya mau juga menjadi Walikota Soloh. Wajar saja kalau ada keinginan untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Setelah itu ikut menjadi Calon Presiden (Capres) mengikuti jejak sang ayahanda.
Pasangan Capres-Cawapres
Presiden Joko Widodo yang berakhir masa jabatan pada Oktober 2024 memang sudah menyatakan hanya mau menjabat selama dua priode. Namun bukan berarti peluang menjabat lagi untuk tiga priode sudah hilang. Peluang tersebut masih tetap saja terbuka lebar. Apalagi amandemen UUD 45, khususnya pasal tentang pambatasan masa jabatan presiden hanya dua periode itu sedang diupayan untuk dijebol.
Rencana untuk menjabat tiga lagi untuk periode ketiga sedang dikerjakan dengan sangat serius. Namun pekerjaan ini dilakukan dengan sangat senyap atau sembunyi-sembunyi. Masih malu-malu, dan khawatir kalau diketahui publik. Reaksi publik bisa sangat keras. Yang tampak ke permukaan adalah amandemen UUD 45 terkait dengan dimasukannya pasal tengang Garis-garis Besar Haluan Negara (GHBN).
Yang nanti bakal diselundupkan adalah merubah pasal tentang masa jabatan presiden, yang tadinya hanya dua periode, menjadi tiga periode atau lebih. Karena pasal inilah yang sebenarnya menjadi tujuan utama dilakukan amandeman UUD 45. Bukan hanya soal masuknya pasal tentang GBHN.
Bisik-bisik di kalangan intelijen gadungan, besar kemungkinan yang menjadi Capres untuk priode ketiga nanti adalah Joko Widodo, yang berpasangan dengan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto. Begitulah kalau kekuasaan lagi mendesak atau menagih agar tetap dalam genggaman.
Dengan duduk di atas meja, ini adalah pencitraan bahwa Gibran lebih tinggi dari siapapun, termasuk Menteri Basuki Hadimoeljono dan stafnya. Maklum saja ini anak raja. Menteri adalah bawahan "ayahku". Karenanya tidak masalah bahwa Walikota tidak menghormati Menteri. Apakah ini pencitraan? Mungkin juga iya. Karena persis sang ayah.
Pola dan cara untuk mendapat dukungan politik dilakukan melalui pencitraan yang sebenarnya adalah kepalsuan semata. Banyak yang tidak sesuai antara omongan dengan perbuatan sebagai Kepla Negara dan Kepala Pemerintahan. Yang paling terakhir adalah “tiga tahun terakhir tidak pernah mengimpor beras”. Nyatanya omongan ini dibatah oleh data-data yang ada Badan Pusat Statistik, Kemnterian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.
Soal Giran duduk di atas meja ini telah dibantah oleh Sardono W. Kusumo. Konon itu bukan meja, tetapi kursi yang bertingkat dari panggung teater. Namun tetap saja orang bertanya-tanya, mengapa di depan itu ada "kursi lebar" yang lebih rendah? Mengapa kursi lebar itu tidak diduduki oleh Gibran?
Selayaknya jika tujuannya untuk berdiskusi, maka Gibran akan duduk di samping menteri atau didepan di kursi panjang yang dapat langsung berhadapan dengan Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono. Sindroma anak raja memang penuh dengan kontroversi, disamping proteksi dan tentu saja buzzerisasi.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.