Unjuk Rasa Thailand Dan Myanmar

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Setelah tiga bulan aksi unjuk rasa di Thailand berlangsung tanpa ada tanda-tanda mereda. Aspirasi yang dituntut adalah reformasi monarkhi dan desakan mundur Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha. Meskipun korban berjatuhan dan banyak aktivis yang ditangkap, tetapi pengunjuk rasa tetap gigih memperjuangkan tuntutannya.

Unjuk rasa dipicu oleh pembubaran terhadap partai oposisi Partai Maju Masa Depan Thailand. Sementara itu, demonstrasi besar-besaran terjadi juga di Myanmar. Rakyat pro demokrasi memprotes kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan penahanan pemimpin demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi beserta petinggi pemerintahan lainnya.

Partai Liga Nasional pimpinan Aung Suu Kyi baru saja memenangkan Pemilu bulan Februari lalu. Tercatat sudah 149 pengunjuk rasa tewas. Terdapat tiga catatan penting terkait dengan aksi unjuk rasa di Thailand dan Myanmar tersebut.

Pertama, protes rakyat ditujukan kepada penguasa yang potensial berprilaku otoriter. Misalnya, di Thailand ditandai dengan sikap sewenang-wenang membubarkan partai oposisi. Monarkhi semakin tidak disukai, Prayuth Cha O Cha berlindung dan memperalat Raja. Sementara di Myanmar, dipastikan pemerintahan junta militer Aung Hlaing bertindak otoriter untuk mengamankan kudeta. Menghadapi pengunjuk rasa dengan tindakan yang represif.

Kedua, kedaulatan rakyat sebagai substansi atau prinsip utama demokrasi yang terus menerus mengalami penggerusan, senantiasa menemukan momentum penggalangan dan perlawanan. Gerakan pro demokrasi selalu menarik dukungan dunia. Sikap otoritarian domestik akan goyah oleh kekuatan mondial yang pro demokrasi. Kejatuhan hanya masalah waktu saja.

Ketiga, pengunjuk rasa di Bangkok maupun Yangoon dan kota lain tidak peduli dengan pandemi Covid 19, yang biasa dipakai penguasa untuk menghalangi kerumunan massa. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan menjadi prioritas dengan menembus risiko pandemi. Faktanya, ternyata kelompok aksi itu tidak terdengar menjadi klaster penyebaran Covid 19 juga.

Apa yang dilakukan rakyat di Thailand dan Myanmar mengingatkan para penguasa oligarkhis dan otoriter dimanapun untuk menyadari bahwa rakyat tidak selamanya bisa diiming-imingi. Rakyat tidak mempan untuk ditakut-takuti. Rakyat tidak takut ditekan dengan alat kekuasaan apapun. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan dengan membangun keberanian untuk mengambil risiko.

Penguasa otoriter yang sering memperalat pandemi Covid 19 untuk menipu atau menindas rakyat, akan mengalami serangan balik dari rakyatnya sendiri. Tidak peduli dengan pandemi, jika aksi turun ke jalan menjadi pilihan. Mungkin rakyat memahami bahwa ada saat virus Corona pun jengkel dengan perilaku para penguasa yang korup dan zalim itu.

Lalu virus corona itupun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa akan ikut bersama-sama dengan rakyat berunjuk rasa menumbangkan kebodohan dan keangkuhan kekuasaan. Sehingga unjuk rasa di Thailand dan Myanmar memberi pelajaran. Meskipun lucunya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kita di Yangon, ibu kota Myanmar turut didemo oleh para pengunjuk rasa.

Rakyat Myanmar mendemo KBRI di Yangon gara-gara sikap Indonesia yang seolah-olah berpihak kepada kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. Pemerintah Pressiden Jokowi perlu belajar banyak dari kejadian Thailand dan Myanmar tersebut. Jika tidak berubah, sehingga masih tetap represip kepada para aktivis pro demokrasi, maka tunggu waktu yang tepat untuk berhadapan dengan kekuatan rakyat.

Memborgol demokrasi dengan menahan dan mengadili aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Pront Pembela Inslam (FPI), membunuh enam laskar, serta memaksakan dengan segala cara untuk membungkam dan menghukum HRS, merupakan wujud dari perilaku mepertontonkan "abuse of power" yang nyata kepada rakyat.

Prilaku pemerintah yang “abuse of power” dinilai rakyat sangat menjengkelkan. Remember Thailand and Myanmar !

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

395

Related Post