Rakyat Hari Ini, Seperti Anak Ayam Kehilangan Induknya
by Bambang Tjuk Winarno
Madiun FNN - Pembaca FNN dimana pun yang bisa mengakses situs ini, bisakah membayangkan situasi dan kondisi sosial rakyat dari Sabang menuju Merauke saat ini? Jika peka, maka ilustrasi yang muncul adalah laksana anak ayam kehilangan induknya. Masyarakat luas, yang katanya memiliki presiden sebagai pemimpin negara, namun serasa seperti tidak adanya kehadiran seorang pemimpin.
Saat ini masyarakat tengah merasakan situasi penuh kebingunan. Galau dan kacau. Tidak mengerti harus bagaimana? Mesti harus berbuat apa? Sebab segala permasalahan yang membuatnya sedemikian pelik yang tengah ditanggung masyarakat, tidak lain adalah bab perekonomian. Gampangnya kalau ngomong, rakyat sulit mencari uang (rezeki). Kesulitan yang belom pernah dirasakan rakyat sebelum ini.
Ekonomi itu adalah hal utama. Persoalan yang sangat pokok. Kesulitan perekonomian bukan saja dialami masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan, juga dirasakan bos-bos besar papan atas. Hari-hari ini merasakan seperti pecah kepalanya. Memikirkan buruknya neraca perdagangan yang dikendalikannya. Biaya-biaya tetap seperti gaji, listrik, iuran BJS Kesehatan dan BPS Tenaga Kerja dan lain-lain.
Seorang pemilik warung di Madiun, Jawa Timur, belum lama ini terpaksa menumpahkan kemarahannya kepada petugas bank titil (Bank Perkreditan Rakyat) yang datang menagih hutang. Pemilik warung marah sejadi-jadinya, sampai-sampai penagih hutang lari ketakutan.
Kalau bicara dari sisi salah-benar sesuai hukum formal, seperti yang disukai Menkopolhukam Mahfud MD kalau berkomentar, maka pemilik warung tentu dinilai sebagai pihak yang salah. Sebab telah memarahi petugas BPR. Padahal dia berkewajiban melunasi pinjaman hingga tuntas.
Namun secara kondisional, bukannya soal-salah, atau tidak salah. Melainkan pemilik warung tidak punya uang untuk mengangsur pinjaman. Dagangannya pun juga tidak ada yang laku. Semisal diambil tindakan hukum pun, pemilik warung pasrah. "Awalnya kita dirayu rayu supaya mau pinjam ke BPR. Setelah pinjam, eehhh....nagihnya utang minta ampun," bentak pemilik warung, ketus.
Keadaan yang menyentuh perasaan seperti itu terjadi, dan dialami masyarakat di semua tingkat lapisan. Dari ujung Sumatera sampai pucuk Papua. Boleh jadi ada yang kondisinya lebih parah lagi. Mungkin jenis persoalannya saja yang berbeda. Namun intinya sama, sulit sulit dan sulit cari duit.
Masih di kota yang sama, seorang kontraktor kondang juga dalam kondisi "sekarat". Mati nggak sekalian mati, namun hidup, nggak hidup bener juga. Betapa tidak, belasan alat berat dan dum truck sebagai penopang utama usahanya masuk gadai. Sebagai jaminan hutang, dan macet. Ruwet, ribet dan mumet.
Beginilah gambaran yang lebih luas tentang gelapnya perekonomian masyarakat negeri ini. Setiap kali bertemu kawan, baik di warung atau dimana saja, selalu menyampaikan keluhan seragam. Tersumbat memikirkan ekonomi rumah tangga, sebagai topiknya. Bila kontak sahabat atau saudara yang tinggal di luar kota, atau di luar pulau. Pengakuannya sama. Sulit cari duit. Tak terkecuali pegawai negeri sipil.
Seorang Kepala Dinas di pemerintahan daerah menunjukkan chat WA bab kewajiban mengangsur pinjaman BPR yang telah jatuh tempo dan belum dibayar. Bayangkan sekelas Kepala Dinas diuber-uber utang. Baru di era Jokowi ini terjadi. "Mau apalagi, aku cuma bisa bilang ya nanti tak bayar," katanya.
Ibarat anak ayam yang terserakh di seluruh muka bumi. Saling teriak tanpa jelas apa yang diteriakkan. Lari kesana-kemari sembari menjerit pilu, terdengar seakan beradu merdu. Terjatuh, bangkit, terinjak, berdarah darah, tumpang tindih tak karu-karuan. Semua itu berlangsung demi memperoleh sumber kehidupan. Survival lah. Agar tetap bisa bertahan hidup. Meskipun sebenarnya yang ditemui cuma ke muleg an. Sebab satu dengan lainnya tak beda jauh persoalannya.
Ibarat pelanduk dicerang rimba. Mau kemana? Akan berbuat apa? Mengadu kepada siapa? Semua jalan gelap dan buntu. Rasanya, disaat ketidak-berdayaan mencapai batas, yang dimiliki cuma pasrah dan keputusasaan. Seolah telah hilang garis batas mana saudara, adik, kakak, mertua, menantu, ipar, besan, teman, musuh, kawan, lawan dan sebagainya. Semua bingung. Mulai gelap-gulita.
Kepelikan ekonomi bukan dominasi kaum proletar. Kaum optimat pun merasakan hal sama. Pengusaha paling besar dan kaya pun tak luput dari badai ekonomi. Menurut kompas.com (23/06/2020), selama sepekan harta bos Grup Djarum, Robert Budi dan Michael Hartono, merosot U$ 1,3 miliar atau setara dengan Rp. 18,4 triliun. Wuuhhh....ngeri-ngeri tidak sedap kan?
Menjadi logis hangusnya triliunan rupiah harta bos Djarum, bila dikaitkan dengan ulasan cnn Indonesia (05/02/21), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pertumbuhan ekonomi RI minus -2,07 persen pada tahun lalu. Sementara, BPS dalam situsnya yang dilansir pada 15/07/2020 mengumumkan bahwa indeks gini rasio pada Maret 2020 sebesar 0,381.
Jika angka koefisien yang digunakan sebagai alat ukur gini rasio adalah antara 0 (sangat kaya raya/ amat sangat hidup) sampai 1 (mati), maka angka gini rasio tersebut (0,381) berada nyaris diantara hidup dan mati. Padahal, masih ingat janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu. Dia bilang, “akan menggenjot pertumbuhan ekonomi di angka 7%”. Janji yang sama diulang lagi Jokowi di kampanye Pilpres berikutnya (2019), juga 7%.
Apakah Jokowi sanggup buktikan ucapannya 7%? Alih-alih 7%. Malah hancur di angka minus -2,07%. Padahal, sepeninggal SBY dari kursi presiden 20 Oktober 2024, angka pertumbuhan ekonomi masih lumayan 6%. Seumpama angka nilai rapor sekolah masih tergolong naik kelas.
Melihat kenyataan ini, para buzzer dan gobloger melakukan advokasi dengan mengatakan hancurnya ekonomi sebagai dampak dari Covid-19. Nah, virus jadi wedus ireng. Padahal, sebelum kehadiran virus dari cina tersebut pertumbuhan ekonomi selama dipimpin Jokowi tak lepas dari angka 5 persen. Jadi, perekonomian negara ini bukan soal virusnya, melainkan Jokowinya.
Lagi pula, secara global Covid-19 meletus dari Wuhan Cina, pada akhir Desember 2019 (jika tidak salah 23 Desember). Hampir semua negara di belahan dunia telah terpandemi virus haram tersebut. Meski semua negara telah tercemar, kala itu Indonesia masih aman.
Celakanya, diwaktu negara ini masih aman, lha kok pemerintah malah memasukkan ribuan warga asing dari Cina. Lebih sinting lagi "virus" tersebut didominasi berasal dari negara produsen Covid-19. Wuhhh... ini namanya ngeri-ngeri kurang ajar.
Karena Indonesia ini ibarat negara seribu pintu, maka ribuan "virus" tersebut bisa leluasa masuk melalui Sulawesi, Papua, Bali, Semarang, Surabaya, Halmahera serta pintu-pintu lainnya. Walhasil, pemerintah hingga lebih setahun bingung menangani Covid-19. Berbagai cara dilakukan. Masyarakat malah lebih dari sekedar bingung, yakni entah nggak bisa lagi mikir.
Lantas pemerintah mengeluarkan kebijakan tutup pintu masuk warga asing. Tetapi sudah terlambat. Ibarat sebuah kampung lagi musim maling, malingnya sudah masuk rumah, baru pintunya ditutup. Ini kan seperti epilog komedian di panggung tonil hiburan. Ketawa ampe mencret.
Soal kebutuhan rasa aman, nyaman, tenang, tenteram pun menjadi sesuatu yang mahal sekarang ini. Bayangkan, ekonom sekelas Kwik Kian Gie sampai menyatakan keluhannya, "Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternative". Kwik menyambung, "(Pada) zaman Pak Harto yang otoriter saja, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik kritik tajam. Tidak sekalipun ada masalah". (Pikiran Rakyat, 06/02/2021).
Sebenranya, masih banyak permasalahan berbangsa dan bernegara yang ingin dituliskan disini. Namun, saking banyaknya permasalahan sosial kemasyarakatan sampai bingung mengingat ingatnya. Sejak Orde Baru berkuasa, belom bangsa Indonesia sesulit ini di bidang ekonomi.
Pecinta FNN yang budiman. Media digital, escort the state goal di penjuru dunia. Tumpukan campur aduk permasalahan, baik ekonomi, hukum, sosial, budaya, keamanan serta deretan aspek hidup lainnya secara umum dapat membuat kebingungan. Yah, laksana anak ayam yang kehilangan induknya. Atau pelanduk di cerang rimba.
Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.