Stagnasi Pembangunan Manusia Indonesia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual
by Abdurrahman Syebubakar
Jakarta, FNN - Dalam pidato 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat, Presiden Jokowi menyampaikan Visi Indonesia 2020-2024, yang diklaim mengandung perubahan paradigma, model, cara dan nilai baru. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu di antara lima sasaran prioritas dalam visi tersebut.
Pidato kenegaraan Presiden Jokowi menyambut HUT ke-74 RI juga sesak dengan pesan tentang maha pentingnya pembangunan SDM. Moto “SDM Unggul, Indonesia Maju” menjadi tagline peringatan HUT RI tahun 2019. Pada 2020, di tengah situasi multi krisis akibat akumulasi masalah di periode pertama dan pandemi Covid-19, peringatan HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia masih mengambil tema besar “Indonesia Maju”.
Sepintas, tidak ada yang aneh dengan moto dan tekad Presiden Jokowi. “Membangun SDM” merupakan salah satu kunci dalam setiap tahapan pembangunan untuk meraih kemajuan dan kemakmuran bangsa. SDM yang unggul juga menjadi pilar utama persaingan antar negara di kancah global.
Segenap komponen bangsa termasuk para cendekiawan menyambut dengan antusias tekad untuk membangun manusia Indonesia. “Mahabenar menjadikan pembangunan manusia pusat perhatian” tulis Yudi Latif dalam kolom Opini Kompas, Agustus 2019.
Namun, tidak disadari terselip kekeliruan paradigma yang sangat mendasar dalam visi Presiden Jokowi. Pembangunan SDM (human resource development) dipertukarkan secara literal dengan pembangunan manusia (human development). Dengan kata lain, visi Presiden Jokowi gagal memahami perbedaan antara pembangunan SDM dan pembangunan manusia.
Pembangunan Manusia vs SDM
Kendati saling terkait dan beririsan pada tataran praksis, pembangunan SDM dan pembangunan manusia, secara paradigmatik, berbeda. Pembangunan SDM memandang manusia sebagai faktor produksi semata dan bertujuan memaksimalkan produktivitas (maximizing human productivity). Indikatornya kecerdasan instrumental dan keterampilan teknis yang bermuara pada produktifitas tenaga kerja. Di samping itu, motif dan orientasinya bersifat ekonomistik utilitarian.
Dengan demikian, pembangunan SDM berjarak cukup jauh dari motivasi kecerdasan dan keberdayaan politik yang berlandaskan rasionalitas substantif (substantive rationality) untuk menembus perkara pokok pembangunan. Mulai dari isu demokrasi substansial, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, kemiskinan, kerentanan dan ketimpangan, sistem ekonomi politik dan kepemimpinan, rule of law, hingga oligarki dan korupsi dengan segala daya rusaknya.
Rasionalitas substantif inilah yang mendorong lahirnya kebijakan dan kebajikan publik (public virtue) yang bervisi jangka panjang, memberdayakan dan berkeadilan bagi semua, terutama rakyat marjinal dan lapisan bawah. Sementara, pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Tujuannya, seperti yang diformulasikan Mahbub ul-Haq (1990), menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk menikmati kehidupan yang panjang, sehat, berilmu pengetahuan dan kreatif.
Amartya Sen (1999), rekan ul-Haq, yang meletakkan landasan konseptual pembangunan manusia mendefinisikan pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom). Bagi Sen, “kebebasan” tidak saja menjadi tujuan utama pembangunan, tetapi juga merupakan sarana penting untuk mencapai tujuan-tujuan lainnya. Perbedaan pembangunan SDM dan pembangunan manusia mensyaratkan strategi, pilihan kebijakan, pendekatan dan langkah langkah berbeda. Hasilnya pun berbeda, bahkan bisa berbanding terbalik secara diametral jika penekanan strategi dan pilihan kebijakan tertukar diantara keduanya.
Kegagalan memahami kedua pendekatan ini, tercermin dalam pilihan sistem dan kebijakan negara yang jauh dari semangat pemberdayaan dan pembebasan (empowerment and liberation) di berbagai bidang - ekonomi, politik, hukum, pendidikan, lingkungan dlsb. Agenda pembangunan neo-liberal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur fisik di bawah kendali para oligark, makin mendominasi. Sementara, sektor-sektor lain tersubordinasi kedua agenda ekstraktif ini.
Sistem dan kebijakan pendidikan, misalnya, mengabaikan materi berpikir kritis (critical thinking) dan pembangunan karakter (character building). Namun, lebih diarahkan untuk mencetak SDM sebagai faktor produksi – subordinat pertumbuhan ekonomi. Sekadar menjadi manusia robot (pelaksana) dari kepentingan relasi antara penguasa dan pengusaha.
Pengkhianatan Intelektual
Dus, alih-alih menjadi produsen pengetahuan dan katalis perubahan, kaum terdidik Indonesia jutsru berperan sebagai corong kekuasaan dan modal. Meminjam tesis Noam Chomsky (1967, 2016) tentang tanggung jawab intelektual, kaum terdidik ini berada di barisan intelektual konformis, atau intelektual tradisional versi Antonio Gramsci (1971). Intelektual antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara.
Kiprah mereka, jauh dari nubuah Julien Benda, dalam karya klasiknya “The Treason of the Intellectuals” atau Edward Said dalam “Representations of the Intellectual” (1996), bahwa kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, dan menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Dosa terbesar seorang intelektual tidak dilihat dari kesalahannya, tetapi dari ketakutan dan kebohongannya dalam menyampaikan kebenaran.
Jalan ketiga peran intelektual yang ditawarkan mendiang Cornelis Lay, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik UGM (Februari 2019), dimana intelektual bisa keluar masuk kekuasaan berdasarkan penilaian matang dan menyeluruh, jauh panggang dari api. Tawaran ini memiliki pijakan teoritik yang lemah, jika tidak dikatakan rapuh, dan berjarak cukup jauh dari realitas.
Faktanya, terlalu banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa.
Hadiah jabatan, entah posisi di pemerintahan, perguruan tinggi, BUMN, atau jabatan penting di perusahan-perusahan swasta penyokong kekuasaan. Seketika atau lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif (serba memaklumi). Bahkan, berdiri di barisan terdepan membela semua kebijakan negara, dan kemudian sepenuhnya menjadi antek kekuasaan. Bagi mereka, “the king can do no wrong, no matter what!”
Pada saat yang sama, tidak sedikit kaum intelektual di lingkungan perguruan tinggi, lembaga think-tank/riset dan kelompok masyarakat sipil, yang belum mendapat jabatan dan uang, berlomba lomba memuji dan membela agenda kekuasaan. Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya. Sebagian bertindak sebagai pollster atau industrialis survei, merangkap buzzerrp, yang dibayar dari uang rakyat atau dimodali para taipan. Dengan kata lain, kaum intelektual ini bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika mereka berada di luar status quo kekuasaan.
Sementara, segelintir intelektual, yang tidak mau mengompromikan idealisme politik dan tanggungjawab moralnya demi uang dan jabatan, seringkali harus tersingkir dengan sendirinya. Terkadang mereka dipersekusi dan dikriminalisasi tangan-tangan kekuasaan. Seperti yang dialami oleh sedikit kaum intelektual yang konsisten menjadi “manusia merdeka” dan bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari siapapun yang berkuasa. Tipe intelektual ini memainkan peran “intelektual organik” nya Gramsci atau “intelektual berbasis nilai” ala Chomsky.
Stagnasi IPM & Kemerosotan
Dengan pemahaman keliru tentang pembangunan manusia, diikuti kebijakan tidak tepat, serta absennya peran organik dan transformatif kaum intelektual, sulit dihindari terjadinya stagnasi pertumbuhan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.
Meskipun bergabung dalam IPM kategori tinggi, Indonesia masih berada di tangga-bawah kategori ini. Merujuk Laporan Pembangunan Manusia 2020 oleh UNDP, dengan nilai IPM 0.718, bersama Filipina dan Bolivia, Indonesia berada di peringkat 107, dari 189 negara. Tertinggal jauh dari Thailand (ranking 79), dan tiga negara anggota ASEAN yang masuk dalam kelompok IPM sangat tinggi, yaitu Singapore, Brunei Darussalam dan Malaysia. IPM Indonesia juga jauh lebih rendah dari rerata IPM kawasan Asia-Timur dan Pasifik, yang mencapai 0.747.
IPM merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia, yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living).
Perlu digarisbawahi, IPM beserta indeks turunannya seperti indeks pembangunan gender, indeks ketimpangan gender, dan indeks kemiskinan multidimensi, hanya penggalan dari keseluruhan “cerita” pembangunan manusia. Dirancang untuk menyederhanakan konsep besar pembangunan manusia dan memastikan aplikabilitasnya sebagai panduan, target dan instrumen monev pembangunan.
Di luar IPM, namun, masih dalam kerangka pembangunan manusia, Indonesia mengalami kemerosotan di berbagai bidang, mulai dari meluasnya korupsi, ketimpangan yang makin dalam, anjloknya tingkat kebahagian, demokrasi yang dibajak oligarki dan otoritarianisme, penegakan hukum diskriminatif, hingga menguatnya feodalisme dan dinasti politik, serta ketegangan sosial. Menyebabkan negara besar ini tertinggal dari negara-negara miskin seperti Etiopia dalam indeks persepsi korupsi dan keberlanjutan pangan, dan Timor Leste dalam indeks demokrasi dan kebebasan.
Sekarang, Indonesia tidak saja kehilangan jejak untuk kembali ke cita-cita reformasi, jalan yang dipilih atas pengorbanan mahasiswa dan segenap elemen bangsa. Tapi, kompas negara ini telah jauh melenceng dari amanat Pancasila dan konstitusi.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip hasil riset Ahmet T. Kuru (2019), profesor ilmu politik San Diego State University, asal Turki, bahwa “aliansi ulama dan intelektual dengan negara” menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam, sejak abad 12, seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, spiral kekerasan dan otoritarianisme.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, Indonesia kini menjadi contoh sempurna dari temuan riset Kuru.
Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe)
Pegiat Demokrasi Sosial dan Anti-Korupsi