OPINI
Telegram dari Langit: Teguhlah dalam Kesabaran dan Siap-siagalah
by Asyari Usman Medan FNN - Selasa (15/12). Perjuangan para nabi dan Rasulullah selalu bersandar pada kesabaran. Mereka, para nabi, teguh dalam kesabaran. Dengan modal kesabaran dan teguh dalam kesabaran itulah mereka memperoleh keberhasilan. Hampir semua nabi mengalami persekusi dalam menegakkan kebenaran. Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup. Inilah puncak perskusi yang Beliau alami. Namun, sebelum ‘alaihissalam dibakar oleh kaumnya sendiri, Ibrahim tidak pernah berhenti mengingatkan orangtua dan saudara sekaum tentang Tauhid. Dan tentang amal baik. Ibrahim mengutamakan kesabaran dan teguh di dalam kesabaran itu. Akhirnya, Ibrahim sukses dan api yang membakar tubuhnya berubah menjadi dingin. Begitu juga Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ditolak oleh kaumnya. Bahkan ditolak juga oleh keluarganya. Namun, Nuh tidak surut. Tak kenal lelah, Beliau diberikan waktu 950 tahun untuk mendakwahkan kebenaran. Dahsyatnya, sepanjang sembilan abad itu hanya 83 orang yang menerima dakwah ‘alaihissalam. Namun, Nuh sabar dan teguh di dalam kesabaran. Pun sama halnya dengan Nabi Luth. Dikejar-kejar oleh umatnya yang mempraktikkan gaya hidup sejenis. Laki-laki berpasangan dengan laki-laki. Luth ‘alaihissalam memperingatkan mereka tentang kemurkaan Allah. Tapi, mereka melawan. Mereka usir Nabi dan manantang agar diturunkan azab kepada mereka jika Luth memang benar. Akhirnya mereka punah dihujani bala besar. Sebelum bencana itu diturunkan, Luth berdakwah dengan sabar dan teguh di dalam kesabaran. Nabi Musa ‘alaihissalam disiapkan Allah SWT untuk menghancurkan Fir’aun yang begitu kuat dan mengaku sebagai tuhan. Musa dibesarkan Fir’aun di istananya. Dia harus bersabar dan teguh dalam kesabaran menunggu sampai usia dewasa. Ketika itulah Musa ‘alaihissalam memulai perlawanan frontal terhadap Fir’aun. Musa dikejar sampai ke pinggir Laut Merah. Nyaris saja Nabi dan pengikutnya dihabisi balatentara Fir’aun. Namun, kesabaran Musa dan keteguhannya di dalam kesabaran membuahkan pertolongan Allah. Laut terbelah. Musa dan pengikutnya bisa menyeberang selamat. Sedangkan Fir’aun dan pasukannya tenggelam. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdakwah penuh tantangan dan tentangan. Beliau menghadapi resistensi keras dari kaum musyrik di Mekah. Di Taif, Rasulullah dilempari sampai berdarah-darah. Nabi terpaksa pindah ke Madinah di tengah berbagai kesulitan hidup, termasuk kesulitan logistik. Tetapi, Beliau tetap sabar dan teguh di dalam kesabaran. Sabar dan teguh di dalam kesabaran sangat krusial dalam perjuangan. Allah menukilkan ini sebagai penutup surat Ali Imran, ayat 200: “Yaa ayyuhalazina amanu, ishbiru wa shabiru wa rabithu. Wattaqullaha la’allakum tuflihuun.” “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah (ishbiru); dan teguhlah dalam kesabaran (wa shabiru), serta siap-siagalah (wa rabithu). Dan, bertaqwalah kepada Allah agar kalian berjaya.” Lebih-kurang, “telegram” dari Langit ini mengarahkan agar Anda bersabar. Tapi, tak cukup hanya itu. Anda harus teguh di dalam kesabaran. Di tengah meneguhkan kesabaran yang tidak mudah dijalani itu, Anda disuruh pula bersiap-siaga. Dan masih belum cukup juga, Anda diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah al-Qawiyyun al-‘Aziz. Setelah itu, barulah dibukakan pintu kejayaan untuk Anda. Nah, bisakah kita semua senantiasa bersabar dan teguh di dalam kesabaran? Tentulah sangat berat. Orang bilang, kesabaran ada batasnya. Tapi, Allah mengisyaratkan agar kita menumpuk kesabaran itu sebanyak mungkin sampai jumlahnya ‘tidak bernomor seri lagi’. Hanya saja, sambil menumpuk kesabaran, Anda haruslah senantiasa waspada dan siap menghadapi semua kemungkinan yang bisa terjadi. Wallahu a’lam. Mohon ampun kepada Allah jika ini salah, dan mohon maaf kepada teman-teman semua bila ini tak berkenan. Tidak ada maksud untuk berceramah.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id
Tetapkan Gibran & Bobby Sebagai Tersangka
by M Rizal Fadillah Jakarta FNN – Ahad (13/12). Penetapan tersangka kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Jokowi inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan. Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan oarang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Jokowi telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun. Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampaing dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kapmpanye pasangan Bobby di pemilihan Walikota Medan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putera dan anak mantu Presiden Gibran dan Bobby. Asas "equality before the law" itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution. Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama kepada HRS. Tersangkakan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan. Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur. Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik . Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula. Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, mantu Jokowi termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution? Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid 19. Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai "Lex Specialis", maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Kalau HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka. Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas "equality before the law" adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara. Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Jokowi dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Jokowi. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran daqn Bobby. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
HRS Diborgol, Lalu?
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Ahad (13/12). Dua kali panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Habib Rizieq Shihab (HRS) berniat hadir. Namun karena alasan kesehatan, pengacara memberi pertimbangan agar HRS tidak hadir dulu dan diwakili oleh pengacaranya. Pengacara minta kepada penyidik Polda Metro Jaya agar ada penundaan atau penjadwalan ulang panggilan. Panggilan ketiga, HRS tidak hadir karena sedang mengurus enam pengawalnya yang ditembak mati dalam peristiwa Tol KM 50. Sedang dalam masa berkabung. Karena tak hadir, rencananya HRS akan dijemput paksa oleh Polda Metro Jaya. Sebelum dijemput paksa, HRS mengutus pengacaranya untuk memberi tahu kepada Polda Metro Jaya agar tidak perlu mengeluarkan biaya dan uang negara hanya untuk mengerahkan pasukan, baik Polri maupun TNI untuk menjemput dirinya. HRS rencananya akan datang sendiri ke Polda Metro Jaya pada hari sabtu, 12 Desember 2020. Sebelum datang ke Polda Metro Jaya, HRS memberi pesan kepada Umat, bahwa dirinya telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala risiko. Apapun itu, termasuk ditahan maupun dibunuh. Apapun yang akan terjadi pada dirinya, perjuangan tidak boleh berhenti, katanya. Perjuangan harus terus berlanjut dan berlanjut. HRS selama ini dikenal dengan "Tiga Tuntutan" yang telah menjadi garis perjuangannya. Pertama, tetap dan teguh pertahankan TAP MPRS No 25 Tahun 1966 Tentang Larangan Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Kedua, keadilan ekonomi, khususnya untuk pribumi. Pemerintah agar tidak rajin menjual aset negara kepada asing maupun aseng. Ketiga, menjaga toleransi beragama, dengan menindak tegas para penista agama. Siapapun mereka dan agama apapun yang dihinanya. Tawaran Untuk Tidak Hadir Saat HRS datang ke Polda Metro Jaya pukul 08.45, Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus menyambut dengan menyatakan bahwa "jadi, MRS itu takut ditangkap sehingga dia menyerah dan datang ke Polda Metro Jaya" (12/12). Pernyataan ini kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Pertanyaanya, apakah betul HRS itu takut ditangkap? Beredar info, bahwa sebelum datang ke Polda Metro Jaya, banyak pihak yang menawarkan HRS untuk tidak hadir. Seperti Harun Masiku (kader PDIP saat itu). HRS bisa bersembunyi, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, HRS tegas menolak. "Saya akan hadapi akan haddapi semuanya. Saya tidak akan lari", begitu katanya. Nah, poin inilah membikin banyak yang demen. HRS tidak Pengecut! Sehari sebelum HRS pulang ke Indonesia, otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi (Amir Daulah) kabarnya telah memberi tahu jika ia pulang ke Indonesia, banyak pihak yang akan ngerjain. Disarankan HRS agar tinggal dulu beberapa bulan. Tiga bulan, enam bulan atau setahun dulu di Arab Saudi dengan jaminan keamanan dan fasilitas dari pemerintah Arab Saudi. Bahkan HRS dan keluarga boleh tinggal berapapun lamanya, Arab Saudi akan memberikan jaminan keamanan dan fasilitas. Tetapi, jika HRS pulang ke Indonesia, Arab Saudi tidak punya otoritas untuk menjamin keamanan itu. Dan jika karena situasi tertentu HRS ingin balik ke Saudi, 24 jam On Call, visa bisa disiapkan untuk HRS dan keluarga balik lagi ke Arab Saudi. Dasar bukan pengecut, HRS putuskan untuk pulang kampong. "Indonesia itu negaraku. Aku akan pulang. Saat ini, Indonesia butuh orang-orang untuk memperjuangkannya. Untuk menyelamatkannya. Bersama rakyat, saya akan berjuang untuk ikut bertanggung jawab menyelamatkan Indonesia", begitu jawab HRS kepada otoritas keamanan tertinggi Arab Saudi. Jika HRS takut hadapi risiko, takut ditangkap, bahkan takut dibunuh, tentu HRS akan memilih berdiam diri di Arab Saudi sampai menunggu situasi politik nasional stabil dan kondusif. Tetapi, HRS memang lain dari yang lain. Dia punya nyali di atas umumnya orang. Soal kalkulasi dan kirka, tak ada orang tahu apa yang ada di pikiran HRS saat ini. Apa Langkah Bereikutnya? Setelah sekitar 15 jam diperiksa penyidik, HRS ditahan dengan kedua tangan diborgol. Imam besar FPI diborgol. Penggerak demo 212 itu diborgol. Tampak HRS keluar dari ruang penyidik dengan baju tahanan berwarna khas “orange”. Lalu bagaimana kelanjutan perjuangan HRS? Terus atau ikut diborgol? Melanjutkan perjuangan atau menyerah pasrah? Bagaimana pula reaksi dari para pendukung HRS? Hanya prihatin, menangis dan membuat pernyataan di medsos? Atau mereka akan ikut menyerahkan diri untuk ditahan bersama HRS? Sebagaimana berbagai pernyataan di video yang banyak beredar sejak dua hari lalu? Apakah para pendukung HRS, atas nama keadilan dan kesamaan di depan hukum, akan melaporkan kasus-kasus kerumunan yang terjadi di berbagai tempat? Termasuk melaporkan kerumunan yang melibatkan Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution, putra dan menantu Jokowi yang diduga juga telah menciptakan kerumunan? Apakah para pendukung HRS bakal melaporkan Jokowi dan mendagri yang mengizinkan pilkada 2020 lalu? Pilkada yang terbukti menyebabkan 79.241 petugas KPPS reaktif Covid-19? Sebagian malah ada yang meninggal dunia. Atau para pendukung HRS akan memilih berkumpul dengan massa dalam jumlah besar dan melakukan protes ke Polda Metro Jaya? Kabarnya, anggota FPI di seluruh Indonesia ada lima juta orang. Benarkah angka itu? Kalau benar, jumlah itu belum termasuk simpatisan dan pendukung. Apakah mereka kompak, terkonsolidasi, lalu secara serempak bisa berkumpul di satu tempat dan melakukan protes? Dan siapa yang akan pegang komando dan mengkonsolidasikan massa pendukung setelah HRS diborgol? Diborgolnya HRS kali ini (13/12) akan menguji tingkat militansi para pengikut dan pendukung HRS, serta kemampuan konsolidasi para tokoh yang berada di sekitar HRS. Publik akan melihat dan mengukurnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Ironi Industri Nikel Nasional (Bagian-1)
Menggugat eksploitasi cadangan nikel yang hanya pro kepada para konglomerat dan asing. Kerugian negara mencapai rartusan trilun rupiah. by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Sesuai Pasal 170 UU Minerba No. 4/2009, larangan ekspor bijih mineral mestinya sudah berlaku sejak Januari 2014. Ketika saatnya tiba, muncul relaksasi melalui PP No. 1/2014 dan larangan ekspor mundur ke 2017. Pada 2017, kembali terjadi relaksasi melalui PP No.1 /2017, sehingga larangan baru akan efektif 2022. Maka, program hilirisasi minerba pun gagal. Ternyata, sesuai Permen ESDM No. 11/2019, larangan ekspor dipercepat khusus bijih nikel menjadi Januari 2020. Maka muncul apresiasi, karena akan diperoleh berbagai nilai tambah. Indonesia akan untung, penerimaan negara akan meningkat. Benarkah demikian? Merujuk data Ditjen Minerba (Juni 2020) cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4,59 miliar ton. Terdiri dari bijih kadar Ni>1,7% sekitat 930,10 juta ton dan bijih kadar Ni1,8%. Disebut saprolite yang harga FOB international November 2020 sekitar U$ 81/WMT. Sedang input untuk smelter HPAL dan MHP adalah bijih dengan kadar logam Ni1,7%), sementara smelter kadar rendah belum tersedia dan ekspor nikel kadar rendah dilarang, maka nikel kadar rendah sebagai “bijih ikutan” kegiatan eksploitasi, akan menjadi “waste” terbuang sia-sia. Hal ini tentu sangat merugikan dari sisi ketahanan mineral, penerimaan negara dan nilai tambah. Hingga 2026, berdasarkan data Kementerian ESDM akan beroperasi 29 smelter dan dimungkinkan akan beroperasi lebih dari 40 smelter berinput bijih kadar Ni>1,7% membutuhkan bijih yang terus meningkat. Cadangan bijih yang dimiliki Indonesia sekitar 930,10 juta ton. Kebutuhan bijih seluruh smelter pada 2020, 2021, 2022, 2023, 2024, 2025 dan 2026 masing-masing adalah 46,71 juta ton, 72,98 juta ton, 143,01 juta ton, 153,56 juta ton, 213,57 juta ton, 213,57 juta ton dan 213,57 juta ton. Maka pada 2026 smelter akan kekurangan pasokan bijih kadar Ni>1,7% sekitar 126,75 juta ton. Praktis cadangan bijih kadar Ni>1,7% hanya bertahan sekitar 6 tahun. Dimungkinkan kekurangan pasokan bijih nikel ini akan lebih cepat dari perkiraan apabila jumlah smelter melebihi dari yang diperkirakan. Jika cadangan bijih nikel berkadar rendah Ni
Kasus HRS, Politik Atau Hukum?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (12/12). Habib Rizieq Shihab (HRS) beserta lima orang lainnya termasuk Ketua Umum FPI KH. Shobri Lubis ditetapkan sebagai tersangka. Status tersangka di tengah tuntutan banyak pihak agar dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen atas tewasnya enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di area jalan tol Jakarta Cikampek Kilometer 50. Status tersangka sebelum pemeriksaan pribadi HRS dan masih dalam tenggang waktu pemanggilan nampaknya dipaksakan. Tuduhannya melanggar Pasal 160 KUHP Jo Pasal 216 KUHP delik penghasutan melakukan perbuatan pidana. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah frasa penghasutan dari delik formil menjadi delik materil. Harus ada perbuatan pidana ikutan. Harus nyata-nyata perbuatan perbuatannya. Bukan hanya dugaan dan tuduhan semata. Awalnya polisi menyatakan berhubungan dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan. Peristiwanya adalah kerumunan saat pernikahan puterinya Syarifah di Petamburan. HRS sendiri sudah membayar "denda kerumunan" sebesar Rp. 50.000.000. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini kasus politik atau hukum? Jika kasus hukum maka banyak hal yang masih dapat diperdebatkan secara hukum. Soal kerumunan yang dikenakan sebagai sanksi pidana untuk kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bukan Karantina menjadi sangat aneh. Sebab sanksi dendanya sudah dibayar. Hukum kita tidak mengenal sanksi dua kali untuk satu jenis kesalahan. Begitu juga dengan masalah penguntitan kepada orang yang belum berstatus tersangka ataupun buron. Ada penembakan terhadap enam anggota laskar FPI hingga tewas. Ada juga sikap diskriminasi terhadap kerumunan lain yang diperlakukan berbeda. Kerumunan Pilkada Gibran dan Pilkada lain yang diabaikan begitu saja. Jika persoalan yang terjadi adalah politik, sebagaimana yang dikesankan selama ini, maka semangat untuk menghukum dengan "segala cara" itu justru melanggar prinsip dan asas negara hukum. Sebab hukum harus dibawa jauh ke ranah politik. HRS sebagai bagian dari tokoh publik telah ditempatkan sebagai lawan politik penguasa. Sehingga segala cara haris dilakukan untuk "menghabisinya". Jika kondisinya seperti itu, maka melencenglah arah kehidupan sehat dalam demokrasi berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sebaiknya segera kembalikan persoalan hukum ke jalur hukum. Hukum yang lebih humanis sesuai dengan prinsip negara yang bermoral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum yang dianut bangsa Indonesia harusnya menjadi "tools of social engineering". Bukan hukum yang semata-mata menjadi alat pemaksa. Ketertiban itu memang perlu, akan tetapi keadilan jauh lebih perlu. Ketertiban yang mengabaikan keadilan, sama dengan menginjak-injak pondasi negara hukum. Merubah negara hukum menajadi negara kekuasaan. Mengeksplorasi habis-habisan peristiwa pernikahan puteri HRS agar bisa memenjarakan HRS, jelas dan nyata merupakan kasus politik. Menghancurkan dan menginjak-injak hukum agar kekuasaan politik bisa berdiri tegak dengan penuh arogansi, kesombongan, keangkuhan dan kepongahan. Membuat hukum menjadi terjajah, dipermainkan, dan dijadikan alat kekuasaan. Para pejuang hukum dan keadilan tidak boleh membiarkan keadaan seperti ini. Kedaulatan hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Detik-Detik Foto dan Video 6 Janazah FPI Dibuka
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Sabtu (12/12). Pengakuan sejumlah saksi di Komisi III DPR benar-benar mengagetkan publik. Mereka mengaku melihat tubuh para jenazah ena anggota Laskar Fron Pembela Islam (FPI) itu tampak sangat mengerikan. Ada yang tertembak di mata sebelah kiri hingga tembus ke bagian belakang. Ada yang tertembak sekitar telinga satu tembus ke telinga yang sebelahnya. Hampir sebagian besar tembakan di dada bagian kiri. Tepat pada jantung janazah ditembus lebih dari satu peluru. Ada juga janazah yang tangannya tampak terkelupas seperti akibat terseret atau diseret. Ada luka memar yang diperkirakan bekas penganiayaan. Ada sebagian tubuh yang gosong seperti bekas pembakaran. Benar-benar sangat mengenaskan! Cerita para saksi di Komisi III itu membuat tubuh kita spontan bergetar dan menggigil. Emosi kita juga ikut tersentuh. Perasaan terasa seperti diaduk-aduk. Terbayang apa yang terjadi kepada enam pemuda itu. Sakit sekali. Setelah itu mereka mati. Ada sejumlah orang yang tak lagi segan-segan untuk mengungkapkan bahwa ini adalah pembantaian. Bukan tembak-menembak. Luar biasa mengenaskan. Sebab menanggapi pengakuan para saksi itu, ada yang langsung menangis. Mengekspresikan betapa pedih apa yang dialami oleh enam anak muda itu. Kebayang jika itu terjadi pada anak atau saudara mereka. Ada yang menunjukkan kekesalan dan kemarahannya. Sebagian mengupkannya melalui berbagai komentar dan video. Disisi lain, ada yang menganggap kesaksian itu hanya mengada-ada. Sepertinya bukan kejadian yang telah terjadi. Ada yang malah nyumpahin enam jenazah tersebut dengan kalimat "mampus kalian". Ada juga yang berseloroh, "kenapa sedih. Bukannya mereka sudah ketemu 72 bidadari". Kalimat nyindir, nyinyir dan bahkan seperti mengejek juga. Supaya tak terus jadi polemik di masyarakat, ada baiknya semua foto dan video yang menggambarkan kondisi fisik para janazah tersebut dibuka saja kepada publik. Diviralkan saja di media sosial. Ini untuk mengkroscek pengakuan dari para saksi itu adalah keluarga dan pengacara korban. Apakah atau salah. Sekaligus sebagai sebuah pertanggungjawaban hukum dan sosial atas kesaksian tersebut. Jangan sampai terlambat momentum. Keburu basi dan bergeser ke isu-isu yang lain. Mumpung sebelum ada intervensi dan intimidasi kepada keluarga korban dan para saksi. Tidak boleh ada celah untuk kompromi, sehingga foto dan video itu tidak jadi dibuka ke publik. Jangan jadikan jenazah-jenazah itu untuk bertransaksi. Jika ini terjadi, kebenaran akan selamanya terbungkam dan tenggelam. Fakta dan kebenaran akan mennadi kenangan pahit. Kapan saja peristiwa tersebut bisa saja terulang kembali. Karena nggak ada pertanggungjawaban kepada publik. Kalau dibuka kepada publik, kita semua berhadarap kejadian tersebut, tidak lagi terulang. Kalaupun sampai terjadi juga, maka jangan sampai yang kejadiannya menggigil dan mengerikan seperti ini. Jauh dari nilai-nilai kemanusian yang menjadi penduan kesepakatan berbangsa dan bernegara kita. Jika foto dan video enam jenazah tersebut dibuka ke publik, dan ternyata tidak sama dengan apa yang disampaikan para saksi dan keluarga korban itu, maka harus ada saksi pidananya. Namanya kesaksian bohong nggak boleh dibiarkan terjadi. Begitu seharusnya kita berhukum. Sebaliknya, jika kesaksian itu benar-benar adanya, maka ini akan mengungkap banyak kepalsuan yang harus juga harus dipidanakan. Kebohongan tak boleh dibiarkan dan leluasa merusak pikiran rakyat. Siapapun orangnya harus dihukum. Harus menerima saksinya. Tidak perduli pelakunya aparat atau rakyat jelata. Hukum harus berdiri tegak di atas kebenaran. Jika apa yang diungkapkan para saksi tersebut benar adanya. Ada foto dan videonya, lengkap dengan data forensiknya, juga video pengakuan para saksi yang berada di TKP KM 50, dan harus saksi beneran. Bukan saksi hasil rekayasa, maka masyarakat akan semakin sulit percaya bahwa ada peristiwa tembak menembak. Tuduhan kubu FPI bahwa ada penculikan, penganiayaan, bahkan pembantaian tentu saja akan memenangkan opini publik. Berbagai kejanggalan kasus ini sejak awal penguntitan sampai penembakan yang berujung kematian enam laskar FPI harus segera dibongkar. Fakta-fakta itu mesti dibuka ke publik, apa adanya. Setansparan mungkin. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Supaya semuanya terang benderang. Pertanyaannya, elokkah memposting foto dan video jenazah dalam kondisi fisik sebagaimana yang didiskripsikan oleh para saksi dan keluarga korban itu? Kebenaran punya jalan dan standarnya sendiri. Apapun yang diperlukan untuk membuka kebenaran, tidak boleh dihalangi karena alasan keelokan. Kasus penembakan enam anak muda FPI itu sudah jadi konsumsi publik. Masyarakat berhak untuk tahu dengan sejelas-jelasnya. Setransparan mungkin. Ini sekaligus nantinya akan menjadi alat kontrol bagi proses investigasi dan sidang di pengadilan. Jika foto atau video tidak dibuka, kasus ini hanya akan menjadi kegaduhan di media massa dan media sosial. Menambah deretan keganjilan dalam penegakan hukum di negeri ini. Opini liar yang justru akan terus bersaing. Fitnah akan terus bertebaran. Karena itu, masyarakat menuntut foto dan video janazah itu segera dibuka. Kasus harus segera dibongkar. Pembukaan foto dan video enam jenazah Laskar FPI menjadi penting saat ini. Supaya tak berkembang berbagai prasangka yang akan mengaburkan dan menenggelamkan kebenaran itu sendiri. Dan ini tidak boleh terjadi! Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
6 Anggota FPI Yang Tewas, Martir Perubahan?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (08/12). Hampir setiap perubahan politik yang bukan berlandaskan proses demokrasi, pemilu misalnya, selalu didahului oleh adanya martir. Mereka yang gugur dalam proses perjuangan untuk perubahan dan perbaikan. Adanya martir ini membangun semangat dan solidaritas perjuangan. Juga memperkuat tuntutan agar rezim cepat turun. Setiap penguasa biasanya selalu waspada akan adanya martir yang dapat melengserkan dirinya. Sebab penguasa harus berhadap-hadapan dengan kekuatan perlawanan yang semakin membesar dan berani. Perjuangan yang tidak lagi mengingat pada apapun resiko yang bakal dihadapi. Pada masa orde lama, pembunuhan terhadap "Tujuh Jendral Pahlawan Revolusi" yang kemudian dikenal “Peristiwa Lubang Buaya” adalah titik kulminasi rezim Soekarno menuju kejatuhannya. Betapa besar kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan betapa berkuasanya Soekarno. Namun jatuh juga akibat dari jatuhnya martir para Jendral TNI Angkatan Darat. Soekarno boleh hebat dan digjaya. Menyebut namanya dengan Pemimpin Besar Revolusi. Namun dengan gerakan yasng tekenal dengan sebutan G-30S/PKI, yang membunuh para Jenderal TNI Angkatan darat, menjadi sebab dan momentum perubahan ambruknya kekuasaan Soekarno. Orde Lama ambruk dan jatuh. Tujuh Pahlawan Revolusi adalah martir untuk rezim Soekarno. Perubahan politik yang melahirkan gerakan reformasi, dan menumbangkan rezim Orde Baru ditengarai dengan penembakan mahasiswa. Empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas oleh tembakan peluru tajam. Mereka adalah Elang Maulana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka yang ditembak pada peristiwa tanggal 12 Mei 1998 ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Keempat mahasiswa ini adalah martir perjuangan reformasi. Pada bulan Mei 1998 itu pula Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden. Orde Baru dengan segala kebesaran dan kedigjayaan selama 32 tahun berkuasa akhirnya tumbang. Sementara di masa rezim Jokowi, sejak kemenangan Pemilu yang dinilai kontroversial, telah berulang kali protes terjadi. Tewasnya 6 pengunjuk rasa pada peristiwa 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu RI, baik akibat tembakan maupun penganiayaan adalah warna awal kekuasaan Jokowi Priode kedua. Selanjutnya penuh dengan kegaduhan. Aksi unjuk rasa berulang kali terjadi untuk menentang revisi UU KPK, RUU HIP/BPIP, serta RUU Omnibus Law. Aksi revisi UU KPK menewaskan pengunjuk rasa yang tertembak. Martir. Rezim Jokowi meskipun rapuh tetapi masih mampu bertahan. Program deradikalisasi mengarah pada kelompok Islam. Umat Islam berjarak dengan kekuasaan. Bukan itu saja. Tokoh dan aktivis sering merasa terpojokkan oleh agenda kriminalisasi. Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah salah seorang tokoh Islam yang juga menjadi obyek kriminalisasi itu. Kepulangan ke tanah air dari "pengasingan" di Makkah, tidak mengurangi gangguan dan terus menjadi target. Senin dini hari tanggal 7 Desember 2020 di area Tol Jakarta-Cikampek terjadi penguntitan terhadap rombongan keluarga inti HRS oleh orang yang kemudian diakuinya sebagai Polisi. Mobil pengawal HRS kemudian terpisah atau hilang. Terjadi penembakan terhadap enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal HRS hingga tewas. Polisi melalui Kapolda Metro Jaya, Irjen Muhmmad Fadil Imron menyatakan baku tembak antara polisi dengan laskar FPI. Sementara DPP FPI merilis bahwa anggotanya tak memiliki senjata api maupun senjata tajam. Karenanya FPI menyebut penembakan tersebut sebagai sebuah pembantaian. Tewas atau syahidnya enam anggota Laskar FPI yaitu Fais, Ambon, Reza, Andi, Lutfil, dan Kadhavi adalah wujud kekerasan dari arogansi kekuasaan Pemerintahan Jokowi. Bila terbukti memang anggota Laskar FPI ini tidak bersenjata, sebagaimana yang disampaikan oleh pihak DPP FPI, maka penembakan keenam orang tersebut merupakan suatu tindak kejahatan dan pembunuhan. Siapapun mereka, baik pelaku di lapangan, penyuruh, atau pihak yang membiarkan tindakan tersebut patut dikenakan sanksi berat. Intitusi Polisi dan Pemerintah harus bertanggungjawab. Kejadian seperti tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja dengan penjelasan dari Kapolda Metro Jaya. Dari keinginan adanya perubahan secara konstitusional, maka tewasnya enam orang anggota pengawal rombongan HRS dapat menjadi martir. Simpati dan dukungan kepada HRS dan FPI serta pada semangat perubahan yang dikenal dengan "Revolusi Akhlak" akan bertambah besar. Martir selalu jadi pemicu. Perkembangan pengusutan dari kasus penembakan anggota Polisi Polda Metro Jaya akan menentukan sikap dan reaksi publik. Masalah pelanggaran HAM itu tidaklah semata menjadi perhatian bangsa dan negara saja. Tetapi juga menjadi perhatian dunia internasional. Jika memang terjadi pembantaian, maka kiamat akan dialami oleh Kepolisian dan Pemerintah Jokowi. Martir akan selalu hadir, datang membayang-bayangi dan menghantui kekuasaan yang zalim dan semena-mena. Dengan demikian, Presiden adalah muara dari semua pertanggungjawaban. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Nyawa Manusia Di Indonesia Tak Berharga?
Perspektif Sosiologi Kewarganegaraan mencermati kematian enam anggota Laskar FPI by Ubedilah Badrun Saya cukup lama merenung atas peristiwa yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam(FPI) yang sedang mengawal Habieb Riziq Shihab (HRS) menuju pengajian subuh keluarga inti. Mereka para korban enam orang itu relatif masih muda. Yang pasti mereka adalah warga negara Indonesia. Perenungan itu dimulai dengan pertanyaan mengapa itu terjadi? Bagaimana peristiwanya? Dapatkah peristiwa itu dibenarkan atau disalahkan secara hukum? Apa argumenya? Apa buktinya? Jika itu tugas pengintaian polisi apakah ada bukti rekaman videonya? Sebagai akademisi sosiologi politik, saya mesti hati-hati menganalisis dan mengomentari peristiwa ini. Sebab ini soal nyawa manusia. Apalagi peristiwa yang kematianya melalui peristiwa penembakan. Bukan kematian yang biasa-biasa saja. Beberapa peristiwa kematian warga negara di republik ini dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi. Sebut saja misalnya kematian Patmi petani Kendeng yang protesnya tidak didengar pemerintah. Patmi protes terhadap pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng pada tahun 2017. Patmi protes di depan Istana dengan menyemen kakinya. Kematian warga yang ditembak saat menolak pengukuran tanah di pesisir Pantai Marosi, Desa Patijala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Seorang warga negara yang tertembak di bagian dada. Ini peristiwa terjadi pada April 2018. Kemudian kematian hampir 989 petugas KPPS pada pemilu 2019 lalu. Kematian sejumlah warga pada peristiwa demontrasi di depan kantor Bawaslu RI Mei 2019. Begitu juga dengan kematian dua mahasiswa di Kendari saat demonstrasi #reformasidikorupsi# menolak pelemahan KPK pada September 2019. Adalah sederet kematian yang masih misteri sampai saat ini. Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi. Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI. Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara. Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup. Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai. Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi. Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara. Giorgio Agamben dalam bukunya “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara. Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara. Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar. Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri. Pertanyaannya, mengapa itu semua terjadi? Bisa saja dimungkinkan karena cara berfikir rezim dalam melihat warga negara hanya sebagai obyek bukan sebagai subyek. Secara sosiologi kewarganegaraan, posisi warga negara itu mestinya tidak hanya ditempatkan dalam ranah kewarganegaraan politik. Tetapi juga dalam ranah kewarganegaraan sosial dan kewarganegaraan sipil. Soal bagaimana peristiwa itu terjadi? Ada dua versi. Menurut versi Polda Metro Jaya penembakan itu dilakukan dalam situasi baku tembak sebagai bentuk perlindungan karena aparat terancam. Sementara menurut versi FPI itu dilakukan oleh aparat secara sepihak. Tanpa da baku tembak, karena anggota Laskar FPI tidak memiliki senjata api maupun senjata tajam lainnya. Penjelasan dari dua pihak yang berbeda memungkinkan adanya celah yang keliru. Pembentukan Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) adalah solusi terbaik. Inisiator dan motor utama TPFI mesti dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi independen. TPFI biasanya akan mampu mengungkap secara detail kronologisnya. Besa kemungkinan akan ditemukan celah pelanggaranya dari sisi hukum dan hak azasi manusia. Pada titik ini kita semua berharap agar peristiwa tersebut terungkap secara terang benderang. Supaya kita semua tau bagaimana aparat penegak hukum polisi, Komnas HAM, Pengadilan HAM dan rezim pemerintah menempatkan hak azasi warga negara. Apakah menempatkan warga negara sebagai obyek kekuasaan semata, atau menempatkan warga negara sebagai subyek? Jika kasus ini tak terungkap sebagaimana kasus-kasus hak azasi manusia sebelumnya, maka kesimpulan bahwa nyawa manusia di Indonesia tidak berharga itu ada benarnya. Jika ini yang terjadi, ini adalah episode biadab hak azasi manusia di Indonesia. Episode gelap kemanusiaan negara republik. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Bentuk Komisi Pencari Fakta Independen
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (07/12). Penjelasan pihak Kepolisian Metro Jaya bahwa tewasnya 6 anggota Laskar Frot Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) menyerang aparat kepolisian berbeda dengan penjelasan resmi dari DPP FPI. Sekretaris jendral (Sekjen) DPP FPI Munarman menyatakan bahwa mobil pengawal HRS lah yang duluan diserang dan ditembakin oleh Orang Tak Kenal (OTK). Enam orang anggota Laskar FPI bersama mobil yang mereka tumpangi bahkan hilang. Karena mereka diculik. Setelah adanya penjelasan dari FPI, lalu ada konferensi pers dari Polda Metro Jaya yang menyatakan bahwa keenam orang pengawal HRS tersebut ternyata tewas. Mereka ditindak dengan tegas dan terukur olah aparat kepolisian. Begitu kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imron. Mengingat kaburnya peristiwa di atas, wajar saja muncul desakan harus segera dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen (KPFI). Karena ini menyangkut nyawa anak bangsas enam orang yang mesti mendapat pertanggungjawaban politik maupun hukum. Bukan semata pertanggungjawaban aparat, tetapi juga Pemerintah. Penjelasan yang sepihak harus memperoleh pembuktian. Pengintaian terhadap gerak-gerik HRS yang intensif juga menunjukkan bahwa apara penegak hukum telah menempatkan HRS sebagai musuh negara. Tentu hal ini sangat tidak proporsional, mengingat persoalan yang dituduhkan hanya masalah kerumunan saat pernikahan puteri HRS di Petamburan. Kualifikasinya hanya sebatas pelanggaran terhadap protokol kesehatan. Haruskah aparat kepolisian bertindak hingga penembakan yang menewaskan nyawa anak bangsa enam orang? Mengapa bukan penembakan untuk melumpuhkan? Bahwa HRS tidak hadir saat pemanggilan Polisi itu memiliki prosedur hukum yang dapat dilaluinya. Dimulai dari pemanggilan bertahap hingga panggilan paksa. Tetapi jika sampai pada pengintaian, penyerangan, dan penembakan tentu hal ini adalah di luar prosedur baku yang berlaku. Apakah proses penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakaukan dengan pengintaian? Untuk itu, hanya dengan komisi fact finding semua persoalan bisa terungkap. Benarkah polisi diserang atau polisi yang duluan menyerang? Ini sangat penting dan mendesak, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak bergeser menjadi negara kekuasaan. Jangan hanya perlakukan kesewenang-wenangan yang ditampilkan kepada masyarakat. Bila situasi ini diambangkan, maka akan menjadi bom waktu bagi instabilitas negeri. Kita harus menghindari terjadinya penghancuran atas negara demokrasi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Di Era Jokowi, Kebobrokan Negara Terbongkar
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/12). Menteri Sosial, Julian Batubara kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) pada 5 Desember 2020 lalu. Juliari jadi tersangka dengan tuduhan korupsi Rp 17 miliar. Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga di-OTT KPK (25/11). Nggak usah kaget. Biasa saja. Entar juga akan ada yang tertangkap lagi. Menteri, ketua dan sekjen partai, anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat lainnya, entah sudah berapa banyak dari mereka yang ditangkap KPK. Tak berarti yang tidak tertangkap itu bersih dari korupsi. Belum tentu juga. Ini hanya karena faktor apes dan bernasib sial. Korupsi di Indonesia bukan semata-mata karena bobroknya moral individu. Tetapi lebih karena faktor sistem, kultur dan mentalitas bangsa. Publik nggak usah berlebihan mengapresiasi KPK. Seolah KPK sudah siuman setelah sekian lama dikerangkeng oleh UU No 19 Tahun 2019. Para pejabat secara umum ditangkap karena pertama, dua alat bukti sudah ada. Kedua, tak ada perlindungan orang kuat. Tepatnya, kecolongan, sehingga tak sempat minta perlindungan. Ketiga, seringkali penangkapan pejabat sarat unsur politik. Meskipun dua alat bukti ada, tetapi pelindung anda orang kuat dan selalu menjaga anda, boleh jadi anda selamat. Asal tidak di-OTT. Belajar dari kasus Bank Century, dana BLBI, e-KTP sampai PAW anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku. Kok menguap? Publik berpikir ada orang kuat di belakangnya. Koruptor kakap Djoko Djandra yang sembilan tahun jadi buronan dan menyeret sejumlah perwira berpangkat bintang hanya dituntut 2 tahun. Sementara yang dituduh melanggar UU ITE diancam 6 tahun. Sampai disini anda mesti paham bagaimana penegakan hukum di negeri ini. Banyak yang ganjil. Korupsi pejabat akan "sulit dikurangi" selama penegakan hukum dan sistem politik tidak berubah. Ini jadi kata kunci. Ketidakadilan hukum jadi warisan dari satu generasi ke generasi lain secara turun temurun. Dari Orde Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Hanya saja, sekarang klimaks. Sepertinya, para pejabat sudah banyak belajar kepada generasi sebelunnya bagaimana melakukan korupsi secara efektif. Lihai! Meski kadang ada yang kepleset dan ditangkap KPK. Apes saja. Praktek penegakan hukum semakin rusak ketika aparat hukum ditarik di gelanggang politik. Tak jarang hukum justru dijadikan instrumen untuk menghabisi. Pertama, kepada mereka yang kritis terhadap penguasa. Kedua, lawan-lawan politik penguasa. Kriminalisasi adalah suatu keniscayaan ketika aparat hukum dilibatkan dalam politik. Di sisi lain, cost pemilu sangat besar. Para calon, baik caleg, capres maupun calon kepala daerah, mereka butuh modal besar. Umumnya, mereka tak mampu membiayai dengan dana pribadi. Dana cekak memaksa mereka harus melibatkan investor. Kalau umumnya anggota DPR tak mendengar lagi suara rakyat, ya wajar. Karena saham mayoritasnya bukan milik rakyat, tapi milik para pengusaha yang membiayai mereka. Suara rakyat sudah "dibeli putus" saat pemilu. Tepatnya ketika terjadi serangan fajar. Antara Rp 50.000-100.000 ribu per suara. Selesai sudah di kotak suara. Rakyat suaranya sudah dibeli putus. Ya nggak pantas kalau berteriak. Karena sudah nggak punya saham di gedung DPR. Ini juga berlaku bagi banyak kepala daerah, dan mungkin juga presiden. Jadi, kalau mereka nggak dengar rakyat, ya nggak salah. Karena sebagian besar rakyat sudah dibeli suaranya saat pemilu. Hukum yang tidak tegak lurus serta cost politik yang sedemikian tinggi, menyebabkan korupsi makin subur. Tradisi koruptif diwariskan turun temurun. Jadi, anda jangan hanya melihat case by case. Anda jangan terpukau dengan KPK menangkap Edhy Prabowo dan Julian Batubara. Dibalik kedua menteri itu, justru seringkali faktor yang lebih menarik untuk dibahas adalah tokoh di belakangnya, partainya, posisi jabatannya, atau sepak terjang KPK itu sendiri. Hukum seringkali nggak independen. Jadi, fenomena penangkapan tersangka tindak pidana korupsi jangan dilihat dari kasusnya. Tetapi lihatlah penyebabnya. Mengapa banyak diantara mereka yang korupsi? Lihat juga penegakan hukumnya. Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Yidak yang lain. Partai anda punya kader yang jadi menteri berapa orang? Yang jadi direktur dan komisaris BUMN berapa orang? Yang jadi kepala daerah berapa orang? Dari situ parpol-parpol itu mencari logistik. Sebagian untuk memakmurkan pengurusnya. Jadi, kalau dalam dua pekan ini ada kader dari dua partai di-OTT KPK, yang harus kita lihat pertama, jabatan menteri itu bukan cek kosong. Kedua, kebutuhan operasional partai sangat besar. Kalau menteri itu dari partai, mosok nggak ada setoran? Ketiga, posisi menteri banyak peminatnya. Posisi menteri ini menjadi arena perebutan antar partai dan antar banyak pihak. Keempat, di setiap kementerian biasanya sudah ada mafianya. Para pemain lama tentu saja sangat berpengalaman. Kelima, mata hukum seringkali "juling". Yang juling paling parah di sebelah kiri. Namu yang dihajar di sebelah kanan. Jika kita bongkar, negara ini sesungguhnya sudah sedemikian rusak. Ibarat penyakit kanker, sudah stadium empat. Korupsi "boleh jadi" ada di semua kementerian, di semua lembaga dan institusi negara, di semua BUMN. Terjadi secara sistemik. Salah satunya penyebabnya karena kesalahan sistem melahirkan tradisi dan mental koruptif. Jargon #Revolusi mental# bukannya memperbaiki, tetapi faktanya, malah masif terjadi korupsi. Ini terjadi bukan hanya di era Jokowi, tapi turun temurun. Sudah lama, terutama sejak era reformasi. Di era Jokowi ini, seolah jadi puncak gunung es. Makin parah. Lalu, darimana memperbaikinya? Perbaiki penegakan hukum dan sistem politik yang high cost itu. Dan ini harus dilakukan dari atas, yaitu oleh pemimpin. Kalau yang di atas memble, yang lain, terutama yang di bawah pasti ikut memble juga. Banyak pihak yang meragukan kemampuan Jokowi. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.