Radikalisasi Kaum Sekuler Kiri di Indonesia
by Prof. Daniel Mohammad Rosyid PhD
Labuanbajo FNN - Selama lima tahun terakhir ini kaum sekuler kiri di Indonesia mengalami radikalisasi. Mereka yang semakin intoleran dengan kelompok Islam di negeri ini. Namun justru balik menuduh Islam sebagai yang intoleran. Islam anti NKRI, bahkan anti Pancasila segala.
Kelompok sekuler kiri ini juga menyebut Islam sebagai agama impor dari Arab. Islam memecah belah bangsa dan tukang bikin ribut. Disamping didorong oleh syahwat politik, perut dan di bawah perut, radikalisasi ini memanfaatkan dua agenda internasional yang membentuk lingkungan geopolitik regional paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Pertama, dapat dipastikan bahwa kebangkitan kelompok sekuler kiri ini memanfaatkan agenda “Bush War on Terror”. Agenda ini dalam praktek berarti “War on Islam” yang masih diteruskan oleh Presiden Trump. Hanya para naifun penganut dunguisme yang percaya bahwa ISIS, al-Qaeda dan Gerakan Jihadis itu bukan operasi intelijen kaum sekuler kanan radikal yang berkuasa di Sayap Barat, terutama sejak Obama berkuasa.
Wacana Huntingtonian tentang benturan peradaban menjadi menu yang dilahap habis dengan sangat rakus oleh penghuni Sayap Barat ini. Wacana ini diamini dengan suara keras, bahkan penuh dengan kekhusyu'an oleh kaum nasionalis sekuler kiri di negeri ini.
Kedua, saat Presiden Trump yang terobsesi dengan agenda nasionalistiknya, sehingga terjadi kekosong kepemimpinan internasional. Siatuasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis China yang sejak Xi Jinping berkuasa, yang semakin menampilkan ambisi politik globalnya. Instrumen ambisi China ini adalah proyek One Belt One Road (OBOR).
China tidak lagi puas menjadi manufacturer of the world saja. Tetapi kini ingin juga sekaligus menjadi transporter of the world. China tahu bahwa keuntungan menjadi pabrik dunia tidak terlalu banyak jika sektor transportasi global masih dikuasai Sayap Barat beserta para sekutunya. Kebangkitan China ini dimanfaatkan secara cerdik oleh kaum sekuler kiri di negeri ini yang telah menunggu waktu yang tepat secara lebih terorganisir sejak reformasi dimulai.
Sayang sekali, proyek sekulerisasi sekaligus pendunguan massal melalui persekolahan massal paksa sejak Orde Baru telah menyebabkan masyarakat negeri ini buta sejarah. Juga sekaligus tumpul daya kritisnya. Akibatnya, masyarakat menjadi makanan empuk ocehan dusta para influencer bayaran melalui medsos. Bad influencer paling bersemangat justru diperankan oleh elite ormas Islam terbesar di negeri ini.
Kini banyak pejabat publik dengan berani mengatakan bahwa kehidupan politik harus dibersihkan dari agama. Bahkan agama dijadikan musuh terbesar Pancasila. Pernyataan itu hanya bisa diucapkan oleh kaum sekuler kiri radikal. Kaum yang ingin menjadikan agama hanya simbol kehidupan bermasyarakat.
Bukti terakhir adalah pencopotan seorang direksi sebuah BUMN karena yang bersangkutan mengadakan pengajian dengan mengundang penceramah yang dituding sebagai penceramah radikal. Padahal seorang Ketua MUI yang lalu pernah mengatakan bahwa, jangankan perbedaan khilafiah seperti penampilan wajah dan pakaian tertentu, perbedaan agamapun harus diterima.
Perbedaan itu sesuai dengan amanah konstitusi. Bahwa negara berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan setiap penduduk dijamin kemerdekaan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pencopotan direksi ini jelas inkonstitusional sekaligus sebuah kejahatan besar yang bila dibiarkan akan semakin menjadi-jadi. Merusak sendi-sendi kebangsaan negeri yang sangat majemuk ini.
Di tengah wacana publik tentang radikalisme Islam, patut dicermati radikalisasi kaum sekuler kiri ini. Mereka menunggangi agenda war on Islam Sayap Barat dan OBOR China. Seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Umum MUI KH Anwar Abbas, ummat Islam perlu protes sangat keras pada KH Ma'ruf Amin yang diam membisu melihat kesewenang-wenangan dan penyelewengan konsitusi.
Bahkan pengamat Islam Radikal Sidney Jones pun heran dengan obsesi Pemerintah saat ini yang berosesi untuk mengkriminalisasi Front Pembela Islam (FPI).
Penulis adalah Guru Besar Institut Tekonologi Sepuluh November Surabaya.