OPINI
Ada Serangan Torpedo Dibalik Tenggelamnya KRI Nanggala 402?
Rasulullaah Salallaahu Alaihi Wasallam bersabda, "siapa yang terbunuh di jalan Allah, dia syahid. Siapa yang mati (tanpa dibunuh) di jalan Allah dia syahid, siapa yang mati karena wabah penyakit Tha’un, dia syahid. Siapa yang mati karena sakit perut, dia syahid. Siapa yang mati karena tenggelam, dia syahid.” (HR. Muslim 1915). by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Sejak ramai diberitakan kapal selam KRI Nanggala 402 “hilang”, penulis sudah punya firasat yang lain. Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan KRI Nenggala? Apakah murni insiden kecelakaan atau kecelakaan yang by skenario? Sejak dinyatakan hilang, 21 April 2021 KRI Nanggala 402, dan isu kedatangan Warga Negara Asing (WNA) India ke Indonesia sebagai edisi lanjutan tipu-tipu politik dengan alasan covid-19. Kedua isu tersebut menjadi headline berita utama di berbagai media mainstream dan media sosial. Sejenak publik diistirahatkan dari perbincangan pengadilan politik terhadap Habib Rzieq Sihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ada juga kasus penistaan agama oleh Joseph Paul Zhang yang disebut-sebut diotaki oleh, meminjam istilah Prof. Daniel M Rosyid, kelompok sekuler kiri radikal. Belum lagi kasus pembantaian dan pembunuhan enam laskar anggota FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) telah mulai sepi. Jarang lagi diperbincangkan di berbagai media dan media sosial. Hingga hari ini pelakunya sudah ditetapkan. Namun belum ditangkap dan diadili. Konon adanya jendral bintang yang terlibat, sehingga semakin mumet kasus ini. Apalagi kasus mega korupsi seperti Jiwasraya, Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan. Ada juga SP3 atas kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim yang bernama asli Lim Tek Siong alias Lim Tjoen Ho. Semua skandal ini bakal menguap, dan divonis dengan hukuman yang sangat ringan. Maklum, bila menyangkut etnis tertentu, hukum jadi lembek. Kemarin sore di group WhatsApp, lanjut dengan japri. Penulis membaca analisis Ruslan Buton tentang tenggelamnya KRI Nanggala 402. Penulis tidak terkejut. Kenapa? Analisis tersebut sangat mungkin untuk terjadi, di tengah menguatnya kelompok sekuler kiri radikal akhir-akhir ini. Begini analisis Ruslan Buton, penulis kutip apa adanya. "Dari awal berita KRI Nanggala 402 hilang kontak, saya sempat beradu argumen dengan beberapa sahabat. bahwa sangat lucu bila kemudian kapal secanggih itu meskipun sudah uzur hilang kontak. Pesawat udara saja yang begitu cepat ketika ada trouble masih ada percakapan terakhir. Ini kapal laut yang kecepatannya tidak secepat pesawat udara, kok saat terjadi trouble posisi akhir di koordinat berapa tidak diketahui. Kemudian laporan kru kapal kepada komando juga tidak ada. Nah kita lupa, masih kata Ruslon Buton, kalau beberapa waktu lalu nelayan kita menemukan drone bawah laut di pulau selayar. Perkiraan saya malah sampai jauh kesana, bahwa KRI Nanggala 402 mendapat serangan torpedo atau rudal bawah laut. Ruslon Buton melanjutkan analisisnya. "Sekarang makin diperkuat dengan temuan serpihan-serpihan kapal. Artinya ada kemungkinan kapal rusak karena serangan”. Serangan torpedo atau masalah teknis? Benarkah ada serangan torpedo di tengah-tengah isu adanya operasi intelijen bawah air RRC terhadap Indonesia? Wallahua'lam Spekulasi ini diperkuat dengan kecurigaan terhadap RRC yang diam seribu bahasa. Saat negara lain bersimpati atas hilangnya KRI Nanggala 402, seperti Singapura, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Turki, Jerman dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut ikut membantu dengan mengirim kapal dan pesawat untuk melakukan penyelamatan. Semoga analisis atau dugaan kita keliru. Namun bila benar, menurut Ruslan Buton, ini ancaman serius buat pertahanan kita. Ternyata pertahanan kita begitu sangat lemah dan rapuh. Kemungkinan sangat mudah untuk ditembus oleh pihak lawan. Menurutnya lagi, secara otomatis opini tentang hilangnya KRI Nanggala 402 ini, akan dibungkus secara rapi supaya tidak menjadi gejolak publik. Karena apa...? Bila ternyata ini terbukti karena serangan musuh, maka jelas genderang perang telah di tabuh. Siapa atau negara manakah musuh yang dimaksud. Silahkan analisis dan jawab sendiri. Sekali merdeka tetap merdeka. Kata Ruslon Buton mengakhiri wapri dengan penulis. Akhirnya kita berdoa, semoga seluruh kru KRI Nanggala 402 yang tewas tenggelam, apalagi di bulan Ramadhan sebagai mati syahid. Semoga Syurganya Allah Subhaanahu Wata’ala telah menanti mereka. Mereka kekal dan menikmati fasilitas di syurga. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Paul Zhang Dan Indonesia Darurat Komunis
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Semua mengecam Joseph Paul Zhang, pendeta, pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), penista Nabi. Meski kesehatan fikirannya diragukan karena mengaku sebagai Nabi ke 26, namun pandangan ngawurnya mengguncang negeri. Berkoar dari luar negeri, tak kurang Menag menjadi sasaran dan mendesak Zhang untuk segera ditangkap. Konon sedang diburu interpol. Perasaan umat Islam di Indonesia ini terus sedang diacak-acak. Penistaan agama hanya salah satu sisi saja. Ada kriminalisasi, radikalisme, dan terorisme. Peran agama dalam berbangsa dan bernegara yang dikecilkan atau dimarginalkan. Zhang hanya model gerakan yang sama dengan Janda, Densi, Laiskodat, Armando atau teman teman lainnya. Artinya Jozeph Paul Zhang tidak berdiri sendiri. Orang ini dapat untuk dimunculkan kapan saja. Tokoh JPZ bukan baru. Rekam jejaknya telah muncul sebelumnya. Meski telah ke luar dari Indonesia sejak tahun 2018, dan katanya telah melepas status WNI-nya, akan tetapi semua haruslah dibuktikan. Kepolisian dituntut untuk mampu menangkap dan mendeportasi segera ke Indonesia. Seperti biasa urusan seperti ini tak mungkin muncul suara Presiden Jokowi. Mungkin terlalu kecil. Urusan Pancasila dan Bahasa Indonesia saja kecil kok. Apalagi agama yang dinista-nistakan. Yang harus dibesarkan adalah Gibran dan tetap tersanderanya para anggota Koalisi. Urusan tiga periode juga tak kalah penting. Soal Zhang "bukan urusan saya". Zhang itu hanya wayang? Semua serba mungkin. Zhang kini melayang "tunduk pada hukum Eropa" katanya. Komunitasnya pasti mendukung. Jika wayang ini dimainkan konspirasi global, dengan target Indonesia, khususnya umat Islam, maka diduga ada jaringan di tingkat nasional yang ikut bermain. Karenanya patut dilihat keseriusan penanganan. Sebab jika Zhang lolos, dipastikan ia adalah tabungan atau investasi jangka panjang. Dalang selalu sembunyi dalam memainkan wayang. Wayang golek atau kulit selalu ada jalan ceritanya tentang kapan muncul kapan masuk kotak. Kapan perang kapan bercanda. Semua itu di atur dalang. Tim penabuh gamelan membantu suasana ceritra. Kini lakon Zhang sedang menarik. Isu sensitif penistaan agama oleh pendeta dan pendukung PKI bermata sipit. UU ITE dan KUHP Pasal 156 a layak untuk dikenakan kepadanya. Kunci awalnya adalah deportasi dahulu Zhang. Baru setelah itu proses sang wayang. Buktikan kalau Zhang tak kebal. Berikutnya semoga muncul dalang. Bila tidak, ya kasus ini dipastikan menjadi hilang dalam bayang bayang yang ditelan isu lain. Kegaduhan demi kegaduhan hanya datang dan pergi. Dalang memang piawai memainkan irama. Diam Hadapi Komunis mungkin sebagian orang menganggap berlebihan. Bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan Komunisme masih berlaku? Demikian juga UU No. 27 tahun 1999 yang melarang dan mengancam pidana penyebar Komunisme dan penggantian ideologi Pancasila. Masalah yang dihadapi bukanlah ketentuan perundang-undangan. Tetapi permainan politik yang bergerak di sela-sela peraturan perundang-undangan. Tidak eksplisit berbenturan, tetapi ada agenda yang mengindikasi bahwa komunisme itu bukan hanya ada tetapi juga berkembang. Kehadiran petinggi Partai Komunis Cina yang "bersilaturahmi" dengan pimpinan partai politik di Indonesia seperti PDIP dan terakhir Dubes Xiao Qian ke PKB, ternyata direspons konstruktif. Jalinan kerjasama sepertinya terus dibangun. Dalam mengisi sejarah, ternyata PKC di rezim ini sukses bertandang ke istana Merdeka. Peta jalan (road map) pendidikan nasional menghilangkan agama, Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia. Muncul penista agama seperti Zhang yang ternyata pendukung PKI. Pelantikan Dirjen kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid ternyata aktivis PRD. Tentu semua ini bukan kebetulan. Apalagi sebelumnya disiapkan intens RUU HIP yang berbau kiri/komunis. Megawati dan Mendikbud Nadiem membahas pelurusan sejarah 1965. Entah apa yang hendak diluruskan? Faktanya PKI melakukan percobaan kudeta berulang kali dan hendak mengganti Pancasila. Sejarah kejahatan PKI tidak mungkin diluruskan. Memang kenyataannya bengkok dan merongrong ideologi bangsa dan negara. Kini aneh, Kamus Sejarah Indonesia membuang tokoh pendiri NU, tokoh HMI dan justru mengangkat tokoh PKI/Komunis. Indonesia memasuki darurat komunis. Pantas untuk disematkan dan diwaspadai. Sayang Presiden Jokowi tidak jelas sikap politiknya yang anti PKI/Komunis. Rakyat menunggu sikap tegasnya agar tetap mewaspadai bahaya PKI dan komunisme. Tidak cukup menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih melarang penyebaran Komunisme/marxisme. Di situasi pandemi, resesi dan krisis ekonomi, oligarkhi yang menguat, hukum yang diperalat politik, penistaan agama yang marak, budaya menjilat, serta oposisi yang ditekan dan dihabisi, maka menjadi indikasi bahwa PKI bangkit dan komunisme semakin merambah. Kondisi ini tak bisa dianggap biasa. Ada indikasi kuat dari pertumbuhannya. Jalur budaya adalah sarana versus agama. Parlemen jangan hanya memikirkan kekuasaan sendiri. Rakyat sedang terancam. TNI dan umat Islam harus segera melakukan konsolidasi. Indonesia darurat komunis. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Tak Ada Alasan Hukum Untuk Menghukum Syahganda
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jarkarta FNN - Perkara Syahganda Nainggolan, segera diputus. Syahganda didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) “menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan terjadi keonaran”. JPU pun telah membacakan tuntutannya, termasuk menyanggah tanggapan Syahganda. Sejauh teridentifikasi melalui berbagai pemberitaan, JPU berpendapat dakwaannya terbukti. Atas dasar penilaian itu, JPU menuntut Syahganda dihukum 6 (enam) tahun. Sekarang perkara ini sepenuhnya berada di tangan hakim-hakim yang menyidangkan, memeriksa dan akan memutusnya. Sulitkah hukum dalam perkara ini? Sama sekali tidak, dengan apapun alasannya. Hukum pada perkara ini begitu sangat mudah. Semudah atlit bernapas. Yang berat adalah lilitan politiknya. Inilah yang memusingkan Jaksa dan hakim. Secara teknis, unsur kunci atau yang ahli ilmu hukum pidana sebut “unsur delik” pada perkara ini adalah Pertama “kabar bohong”. Kedua, “onar.” Hanya itu tidak lebih. Apapun ilmu interpretasi yang mau digunakan untuk melebarkan cakupan konsep atau teks atau unsur delik “bohong” dan “onar” dalam perkara ini, tetap tak tersedia jalannya. Ilmu interpretasi hukum dimanapun didunia ini memandu setiap aparatur hukum dengan sangat jelas. Tidak ada interpretasi yang tidak diawali dengan interpretasi terhadap teks-kata dan kalimat-dalam pasal. Tidak ada pula ilmu interpretasi di dunia ini yang menyatakan bahwa teks tidak memiliki konteks. Justru sebaliknya setiap teks memiliki konteks. Itu prinsipil dalam ilmu hukum. Tidak ada ilmu hukum yang tidak mengajarkan bahwa inti penerapan hukum adalah interpretasi. Tidak ada interpretasi yang tidak bertalian dengan sistem hukum. Sistem hukum melahirkan konsekuensi berupa terdapat level-level rules atau lapisan-lapisan rules. Interpreter, suka atau tidak, harus pergi menggali dan menemukan text representation level dan intention. Itu disebabkan teks tidak pernah tidak merupakan refleksi atau pantulan kehendak pembentuk teks itu. Ilmu hukum mengajarkan dengan jelas, teks tidak selalu atau tak pernah secara alamiah menggambarkan dengan tepat dan jelas maksud pembentuknya. Itu menjadi dasar ilmu hukum memaksa hakim, siapapun mereka, dalam perkara apapun, pergi menyelam, memeriksa setepat mungkin kehendak pembentuk teks itu. Dalam perkara ini, suka atau tidak, soal pertama dan utama yang harus diperiksa adalah teks “bohong” dan “onar.” Kedua hal ini menjadi dua unsur delik kunci. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 mengartikan kata “bohong” itu. Bohong a 1. tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya “dusta”, kabar itu-belaka, 2. Ia berkata-kaya cak bukan yang sebenarnya, palsu (biasanya mengenai permainan) lotre. Membohong, menurut kamus ini, “mengatakan sesuatu yang tidak benar kepada; membohongi-berbohong kepada mendustai kepada. Pembohong, orang yang suka berbohong. Bohong-bohong, bukan sebenarnya. Kebohongan, perihal bohong, sesuatu yang bohong. Bagaimana dengan teks atau unsur delik onar? Menurut KBBI di atas onar 1. huru-hara, gempar, ulahnya menimbulkan, 2. Keributan, kegaduhan, anak-anak itu sering membuat, meng-onarkan-menghuru-harakan, menggemparkan, mengacaukan, tindakan pejabat itu masyarakat. 2 Onar kl n akal busuk, tipu muslihat, pedagang sering melakukan-terhadap pembeli. Apa hal bohong yang Syahganda sebarkan, yang mengakibatkan terjadinya keonaran? Lupakan dulu tabiat hukum pidana pada rumusan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana yang didakwakan kepada Syahganda. Sekali lagi, lupakan dulu itu. Mari kenali hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda. Hal bohong yang dituduhkan kepada Syahganda adalah (i) kutipan Syahganda terhadap isi pidato Pak Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo di Karawang. (ii) analisisnya teradap rancangan UU Omnibus Cipta Lapangan Kerja. (iii) dukungan Syahganda dan rekan-rekannya di KMAI yang akan ikut demonstrasi buruh menolak RUU itu. Terakhir adalah analisis Syahganda terhadap pernyataan Profesor Mahfud MD, Menko Polhukam tentang calon kepala daerah yang disinyalir dibiayai para pemilik modal. Ini disebut cukong. Perihal ini juga, kalau tak salah pernah dirilis oleh KPK. Hanya harus diakui jumlah, terdapat perbedaan dalam jumlaah persentasinya. Anggap saja semua hal di atas benar ada dan terbukti dalam sidang. Soal hukumnya apakah perbuatan itu dapat dipersalahkan? Bila ya, bagaimana penalarannya? Penalaranlah yang menjadi hal kunci dalam menentukan kualifikasi atas sifat fakta yang tersaji dalam sidang itu. Ini benar-benar krusial. Hakim mau tidak mau harus memadati interpretasinya dengan pengetahuan yang cukup tentang latar-belakang teks. Dititik ini ketepatan identifikasi atas “kontek teks” yaitu situasi empirik sebagai basis teks, memainkan peran kunci. Ketepatan identifikasi konteks teks situasi empirik menentukan kualifikasi sifat hukum terhadap hal keadaan yang terbukti dalam sidang. Tidak itu saja, pengetahuan hakim tentang ilmu hukum, khususnya ilmu perundangan-undangan turut menentukan. Hakim harus tahu konsekuensi alamiah yang membadakan RUU dan UU. Jangankan RUU yang pasti berubah, bagian-bagian tertentu dalam UU juga bisa berubah, karena dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Kantitusi (MK). Praktis begitulah inferensi yang harus ditapaki dalam semua kasus, pada semua peradilan. Diawali dengan mengidentifikasi fakta dalam semua aspeknya. Berikut pertalian antara satu fakta dengan lainnya, yang merupakan ekstraksi atas fakta itu. Itulah proses awalnya. Proses selanjutnya, fakta itu dipertalikan dengan hukum. Dititik inilah proses identiikasi hukum atas fakta itu berawal. Proses ini berakhir dengan lahirnya kongklusi pemberian hukum atas fakta itu. Dititik ini lahir kongklusi apakah tuduhan itu terbukti tidak? Kalau pun terbukti, fase ini juga menentukan apa hal yang terbukti itu benar-benar meyakinkan untuk dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum pidana atau tidak. Begitulah cara inferensi, baik fakta maupun hukum dalam perkara ini. Logisnya inferensi menjadi kunci logisnya hukum yang disifatkan atas fakta yang tersaji. Untuk selanjutnya ditarik kongklusi, baik perbuatannya maupun hukum astas perbuatan itu. Ini disebut penalaran dedeuktif. Sekarang bagaimana menginferensi kasus ini? Proses inferensi kasus ini, praktis harus dimulai dengan mempertanyakan atau mengidentifikasi keadaan apa dalam RUU? Apakah menurut ilmu hukum, RUU memiliki kualifikasi hukum atau kebahasaan atau leksikal sebagai keadaan sebenarnya? Tidakkah heading RUU, sebagai heading utamanya maupu heading pada setiap Bab, juga materi muatannya potensial berubah dalam pembahasan antara DPR dengan Pemerintah? Disebabkan perubahan pada heading utama, dan heading pada Bab, juga materi muatannya merupakan hal alamiah dalam proses pembentukan UU (proses pembahasan) antara DPR dengan Pemerintah, muncul satu soal prinsipil. Soalnya dengan cara apa dalam ilmu interpretasi yang logis digunakan untuk menyebut hal dalam RUU yang pasti berubah itu sebagai hal tidak berubah alias keadaan sebenarnya? Tidak ada nalarnya sama sekali. Mari beralih pada isu lainnya. Sebut saja Pak Jendral (Purn) Gatot mengutuk dan menolak RUU Omnibus Cipta Kerja” lalu pernyataan itu dikutip oleh Syahganda dan disebarkan. Soal hukumnya adalah inferensi hukum macam apa yang dapat digunakan untuk menghasilkan kongklusi tentang sifat “bohong” pada perbuatan Syahganda itu? Bila pun pernyataan Pak Jendral (Purn) Gatot itu disebarkan, dan itu menyemangati calon demonstran untuk menyelenggarakan berdemonstrasi, maka soal hukumnya adalah bagaimana menginferensinya untuk menghasilkan kongklusi tak meragukan bahwa tindakan Syahgada tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya alias bohong? Pasti tak ada nalarnya, suka atau tidak. Disisi lain, andaikan saja Syahganda menyatakan “selamat bergerak” kepada rekan-rekan KAMI-nya, yang akan ikut bergabung dalam demonstrasi buruh, dimana letak “bohongnya” pernyataan Syahganda itu? Demonstrasi itu mau diberi sifat dan kualitas hukum sebagai onar? Boleh saja, tetapi syaratnya harus cabut UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum. Sisi eksplosif lainnya dalam kasus ini adalah analisis Syahganda atas pernyataan orang. Sebut saja pernyataan Profesor Mahfud MD, tentang pembiayaan calon kepala daerah oleh cukong. Andaikan angka yang dikutip Syahganda tak sesuai dengan angka yang disebut Pak Mahfud, maka soal hukumnya bagaimana menginferensi fakta itu untuk menghasilkan kongklusi sebagai pernyataan bohong? Menggelikan dan konyol sekali kalau kesalahan atau perbedaan angka yang disebut Syahganda dengan yang disebut Pak Mahfud dijadikan titik tolak kongklusi adanya hal “bohong.” Sebabnya tidak ada peralatan interpretasi yang dapat dipakai untuk membenarkan cukong-cukong sebagai hal hukum sah dalam peristiwa hukum sah. Misalnya pemilihan kepala daerah. Untuk alasan apapun, cukong dalam pilkada, tidak dapat dibenarkan. Konsep cukong, tidak pernah memiliki, jangankan sifat dan kapasitas sah, kesan sah pun tidak dalam kerangka sistem hukum. Sekali lagi tidak. Undang-Undang pilkada hanya mengenal penyumbang kepada calon kepala daerah. Itu sebab utama mengapa “cukong” untuk alasan apapun, buruk dalam seluruh aspeknya. Hal eksplosif lain yang menentukan yang tak dapat diabaikan dalam kasus ini adalah, apa pernyataan-pernyataan Syahganda “mengakibatkan” terjadi keonaran? Demonstrasi mau diberi sifat sebagai hal onar? Jelas tidak. Sebab kalau mau diberi kualifikasi itu, konsekuensi logisnya UU NOMOR 9 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM mutlak harus dicabut. Praktis tidak ada penalaran hukum yang bisa digunakan, apapun caranya, menyatakan perbuatan Syahganda melawan hukum pidana, khususnya UU pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Perbuatannya pasti terbukti, tetapi perbuatan itu tidak melawan hukum pidana. Itu sebabnya tidak ada alasan untuk menghukum Syahganda. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternarte.
Berdoa Untuk Mubahalah Keluarga Korban Pembunuhan 6 Pengawal HRS
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Penuntasan kasus pembunuhan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) secara adil, transparan dan bisa dinilai publik, sebagaimana dijanjikan Presiden Jokowi saat beraudiensi dengan TP3, pada 9 Maret 2021, tampak suram. Polri telah melangkah sepihak dengan memproses anggota Polri yang diklaim sebagai para “tersangka”. Padahal dasar hukum proses penyidikan Polri tersebut adalah laporan hasil peyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menurut Pasal Pasal 89 ayat (3) UU No.39/1999 tidak kredibel. Bahkan tidak valid dan sarat dengan rekayasa. Bagaimana bisa, Polri mendasarkan proses penyidikan hanya atas hasil pemantauan yang diakui Komnas HAM sebagai hasil penyelidikan? Ternyata minggu ini Polri terus melangkah “maju”. Kasus pembunuhan 6 pengawal HRS oleh tiga oknum anggota Polda Metro Jaya yang menjadi “tersangka” (satu orang “dinyatakan meninggal akibat kecelakaan”), saat ini sudah memasuki tahap pemberkasan. Hal ini dikonfirmasi Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Jakarta (20/4/2021). Menurut Rusdi, penyidik masih memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para tersangka. Kalau sudah P21 dari Jaksa, baru dinyatakan penyidikan telah lengkap. Sebelumnya pada Kamis minggu lalu Rusdi di Mabes Polri mengatakan, penyidik telah melaksanakan gelar perkara terhadap peristiwa kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kesimpulan yang didapat dari gelar perkara yang dilakukan, maka status dari terlapor tiga anggota polisi tersebut kini dinaikkan menjadi tersangka," (6/4/2021). Namun hal yang paling mengherankan kita para penghuni Negeri +62 ini, adalah kalau benar menjadi “tersangka” pembunuhan sadis, mengapa sampai sekarang mereka tak kunjung ditahan aparat? Pada 17 April 2021 Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM telah mengingatkan Polri untuk benar-benar menjalankan 4 rekomendasi Komnas HAM yang tercantum dalam laporan yang diakui sebagai laporan penyelidikan. Taufan juga mengingatkan agar Polri tidak membiarkan ada kelompok-kelompok masyarakat sipil yang menggunakan instrumen kekerasan. Move Taufan Damanik di atas tampaknya merupakan bagian dari upaya agar rakyat dapat memaklumi dan menerima begitu saja penyelesaian kasus pembunuhan enam anggota laskar FPI sesuai dengan skenario, yang antara lain berawal pada 7 Desember 2021. Menurut versi Polri, pembunuhan terjadi akibat terjadi baku-tembak. Para pengawal HRS memiliki senjata api dan terlibat penyerangan terhadap jajaran Polri. Skenario inilah dicoba untuk diselaraskan oleh hasil penyelidikan Komnas HAM, dengan membuat laporan sumir sebagai “hasil penyelidikan” yang statusnya hanya “laporan pemantauan”. Faktanya, pihak FPI, HRS dan keluarga korban telah membantah keterangan Polri tentang pemilikan senjata dan penyerangan aparat Polri oleh pengawal HRS. Itu sebabnya keluarga korban menantang dilakukannya Sumpah Mubahalah. Ternyata dengan status pemberkasan yang dilakukan Polri dan pernyataan Taufan Damanik di atas, tampaknya skenario bernuansa sarat rekayasa tetap berlanjut. Sumpah Mubahalah dianggap angin lalu. Karena itu, dalam bulan Ramadhan1442H ini, bulan penuh berkah dimana kita banyak berdo’a dan meminta pertolongan Allah, mari kita terus berdo’a, siang dan malam, agar Allah mengabulkan do’a-do’a kita. Kita pun memohon agar Allah segera menetapkan taqdirnya, menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran atas Sumpah Mubahalah yang telah dibacakan pada 3 Maret 2021 lalu oleh keluarga korban. Seluruh keluarga korban pembunuhan enam pengawal HRS telah membacakan sumpah mubahalah secara sepihak untuk meyakinkan dan menyatakan kepada pemerintah dan rakyat bahwa para korban adalah pihak yang benar-benar dalam peristiwa pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek. Acara mubahalah difasilitasi dan didukung penuh oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3), bertempat di Masjid Al Furqon, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sebelumnya, pada 7 Desember 2020 Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan enam pengawal HRS tewas dalam baku tembak, karena menyerang jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan dua pengawal HRS tewas dalam baku tembak di kilometer 50 tol Japek. Sedangkan empat pengawal lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil, sehingga polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur (membunuh dengan sengaja). Namun sebaliknya, Pimpinan FPI menyatakan pengawal HRS tidak memiliki senjata apapun, dan karena itu dalam bertugas pasti tidak pernah menggunakan senjata. Hal ini merupakan ketentuan baku dan konsisten dijalankan internal ormas FPI. Sikap dan pernyataan seluruh keluarga korban pembunuhan juga sama. Bahwa anak-anak mereka tidak pernah memiliki senjata atau senjata api. Dengan demikian, para korban tidak pernah menyerang aparat yang semula disangka preman, karena tak penah menyatakan identitas sebagai aparat polisi. Karenanya tidak pula akan terjadi baku tembak, sebagaimana diklaim oleh Polri. Yakin dengan keterangan Pimpinan FPI dan pernyataan keluarga korban, termasuk setelah mendatangi dan mewawancarai seluruh keluarga korban, maka TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya. TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat negara sudah melampaui batas dan bertindak di luar kewenangan. TP3 meyakini aparat negara telah melakukan pembantaian di luar prosedur hukum yang dalam istilah HAM disebut extra judicial killing. Bukan unlawful killing sebagaimana dinyatakan oleh Komnas HAM. Pada ranah publik pendapat kedua belah pihak memang saling bertolak belakang. Namun TP3 lebih yakin pada keterangan FPI dan keluarga korban. Oleh sebab itu, TP3 berupaya untuk mencari kebenaran dalam kasus yang mengusik rasa kemanusiaan ini. Itu pula sebabnya TP3 memfasilitasi dilakukannya Sumpah Mubahalah seperti diurai dalam tulisan ini. Salah satunya dengan menulis surat kepada Presiden Jokowi, sebagaimana dilakukan pada tanggal 9 maret 2021 yang lalu. Atas nama keluarga enam korban pembantaian, TP3 lantas melayangkan tantangan mubahalah kepada pihak Polri melalui surat No.04/A/TP3/II/2021 tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut, TP3 juga menyebutkan nama-nama yang ditantang untuk bermubahalah, yakni Kapolda Metro Irjen Fadil Imran, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, Briptu Fikri Ramadhan, Bripka Faisal Khasbi dan Bripka Adi Ismanto. Ketiga nama terakhir terlibat dalam peristiwa kilometer 50 tol Japek. Kelima nama pejabat dan anggota Polri yang disebut dalam tantangan mubahalah ini sesuai informasi publik yang beredar di media berdasar penjelasan Polri sendiri. Ternyata hingga waktu mubahalah berlangsung, TP3 tidak pernah menerima jawaban Polri, sehingga dianggap tidak berkenan hadir. Karena itu acara mubahalah berlangsung sepihak. Secara lengkap isi sumpah mubahalah yang telah dibacakan oleh Suhada (ayah dari Faiz Ahmad) mewakiil seluruh keluarga korban pembunuhan adalah sebagai berikut “demi Allah, Tuhan langit dan bumi, kami bersumpah bahwa kami keluarga Reza, Fais, Ambon, Andi, Lutfil, dan Kadhafi, enam Laskar FPI yg terbunuh di kilometer 50 Tol Cilampek, adalah benar dan meyakini bahwa anak-anak kami dari laskar FPI tersebut telah dianiaya dan dibunuh dengan zalim oleh oknum aparat negara. Kami meyakini bahwa polisi telah berdusta atas masalah pembunuhan tersebut”. “Karenanya ya Allah timpakanlah laknat dan azabMu kepada siapapun diantara kami yang berdusta dan timpakan juga laknat dan siksaMu, Ya Allah ke atas seluruh keluarganya. Jika pihak apparat negara yang benar menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka kami beserta keluarga dan keturunan kami akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. “Tetapi jika Enam Laskar FPI tersebut yang benar dan pihak aparat negara yang telah bertindak sadis dan zalim menurut Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, maka aparat negara beserta keluarga dan keturunan apparat negara akan dilaknat Allah SWT di dunia sampai akhirat”. Mubahalah berasal dari kata bahlah atau buhlah yang berarti kutukan atau laknat. Praktiknya, sumpah mubahalah dilakukan oleh dua pihak yang berperkara. Kedua pihak berdoa kepada agar Allah SWT menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran (Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Lentera Hati). Mubahalah dalam syariat Islam bertujuan untuk membenarkan suatu yang memang hak, dan menundukkan kebatilan. Dalam sistem hukum Indonesia memang tidak dikenal adanya sumpah mubahalah. Namun dalam hukum acara perdata dikenal adanya sumpah pemutus, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah pemutus bersifat menentukan (decisoir) dan berfungsi sebagai alat bukti. Sumpah ini dilakukan jika sudah tidak ada saksi atau bukti lain selain pengakuan benar dari kedua belah pihak ketika diketahui oleh persidangan hanya salah satu yang benar (Pasal 1929 KUH Perdata). Dalam penanganan perkara pembunuhan enam WNI di kilometer 50 tol Japek, aparat penegak hukum, Komnas HAM dan pemerintah menunjukan sikap yang unwilling and unable (tidak bersedia dan tidak mampu) mengungkap alat-alat bukti dan saksi pembunuh secara sah dan transparan. Bagi TP3 dan banyak akademisi, kasus ini bukanlah kasus pelanggaran HAM biasa, tetapi merupakan pelanggaran HAM berat. Menurut UU No. 26 Tahun 2000, karena terjadi Pelanggaran HAM Berat, Polri tidak berhak melakukan penyelidikan. Sedangkan Komnas HAM pun bukan pula lembaga yang berwenang menyidik. Wewenang penyidikan ada di tangan Kejaksaan Agung. Setelah mengamati penanganan kasus ini sejak Desember 2020, TP3 tidak melihat upaya sungguh-sungguh dari lembaga terkait dan pemerintah menuntaskan kasus ini secara objektif, transparan, serta sesuai hukum dan keadilan. Polri ikut menyelidik, padahal Polri mengakui aparatnya terlibat dalam kasus. Komnas menggiring opini agar kasus ini dianggap sebagai pelanggaran HAM biasa. Komnas HAM hanya mengatakan telah terjadi unlawful killing. TP3 menilai tampaknya kebenaran hanya berasal dari Polri dan Komnas HAM yang harus diterima rakyat. Dalam kondisi keluarga korban yang tidak berdaya dan hampir tanpa harapan agar kasus putra-putranya dapat dituntaskan sesuai hukum yang berlaku, maka merupakan hal yang wajar jika mereka mengusung Sumpah Mubahalah. Kondisi dan harapan mereka sangat dirasakan oleh TP3. Atas dasar pula, sehingga TP3 mendukung dan memfasilitasi acara mubalah tersebut. Mubahalah adalah salah satu ajaran yang diatur dalam Islam. Mubahalah dilakukan untuk kepentingan agama yang fundamental, yakni menyatakan kebenaran. Menjalankan perintah agama yang diyakini merupakan hak para keluarga korban yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Berangkat dari keyakinan dan ketaatan pada perintah agama itu, TP3 telah berulang kali menyatakan dukungan dan berjalan seiring dengan keluarga korban pembantaian kilometer 50 tol Japek untuk menuntut ditegakkannya kebenaran, hukum dan keadilan. Memasuki 2/3 Ramadhan ini, mari kita terus berdoa, semoga Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang mengingkari kebenaran dalam Sumpah Mubahalah. Semoga Allah meridhoi seluruh upaya kita. Semoga Allah mengabulkan do’a orang-orang yang dizalimi. Mengabulkan do’a para pendukung Petisi Rakyat Kasus Pembantaian Enam Pengawal HRS dan anak-anak bangsa yang bersimpati dengan upaya advokasi TP3 ini. Selebihnya, hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala kita bertawakkal. Penulis adalah Juru Bicara Badan Pekerja TP3
Stop Tipu-Tipu Politik Atas Nama Covid-19
by Tarmidzi Yusuf Bandung FNN - Saya merupakan salah seorang dari ratusan juta ummat Islam Indonesia yang paling geram dengan politisasi covid-19. Betapa tidak, saat banyak masjid yang shaff shalat berjamaah berjarak dan tidak berkarpet dengan dalih melaksanakan protokol kesehatan. Nyatanya banyak pengurus masjid tertipu oleh raja tukang tipu. Shalat tarawih dipercepat dengan bacaan surat-surat pendek. Ta'lim atau kajian dilakukan secara online. Sempat dilarang pula atas nama radikal radikul radirel. Lebay dotcom banget. Sementara mall, pasar, terminal, stasiun, bandara bahkan pejabat negara tanpa risih mempertontonkan kerumunan. Beberapa bank plat merah antrian mengular sampai ke area parkir. Kerumunan bagi-bagi bantuan tunai kartu pra kerja. Modus investasi untuk 2024? Sekolah, madrasah dan pesantren ditutup. Belajar daring. Setahun lebih anak-anak kita dilakukan “pembodohan” massal dengan alasan covid-19. Mudik dilarang. Objek wisata dibuka. Aneh bin ajaib. Mana ada tempat wisata tanpa kerumunan. Ratusan, bahkan tenaga kesehatan, perawat dan dokter yang sudah menjadi korban. Sudah ratusan tenaga kesehatan yang meninggal. Tega sekali. HRS ditangkap, dipenjara dan diadili dengan pasal dan dakwaan berlapis. Lain halnya dengan kerumunan yang dihadiri oleh Jokowi. Dua kali kerumunan Jokowi di NTT, satu lagi kali di Kalimantan. Anehnya, Jokowi bebas-bebas saja dari jeratan hukum. Tanpa merasa bersalah lagi. Propaganda covid-19 telah menimbulkan penyakit baru, yaitu paranoid. Demam dikit, takut covid. Batuk-batuk dan sesak napas, takut covid. Lebih takut dengan covid daripada takut kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Syirik besar itu namanya. Padahal, demam dan batuk itu penyakit populer. Patalnya lagi, menurut data per 20 April 2021 seperti dilansir CNN Indonesia, angka kematian covid-19 hanya 2,7% dari jumlah yang positif covid. Sedangkan 90,6% dinyatakan sembuh. Sisanya 6,7% dalam perawatan. Jumlah yang positif covid-19 sekitar 1.604.348 orang. Kalikan saja biaya rapid test Rp 250.000 dan ongkos vaksin Rp 300.000. Berapa? Triliunan. Belum termasuk APD, masker dan yang lainnya. Bisnis baru yang sangat fantastis dengan mengorbankan empat puluh ribu lebih orang yang meninggal. Bisnis menghalalkan segala cara. Yang mengejutkan lagi. Ternyata penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia bukan karena covid-19. Nah lho. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar dan Kementerian Kesehatan, penyakit penyebab kematian tertinggi adalah hipertensi 34,1% atau sekitar 8 juta orang pada tahun 2018. Sementara yang meninggal karena covid hanya 2,7% atau 43.424 orang. Sedangkan menurut WHO, lima penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia adalah Stroke 21%, Ischemic Heart Disease 9%, Diabetes 7%, Lower Respiratory Infection 5% dan TB 4%. Kenapa angka kematian karena covid yang hanya 2,7%, tapi publik parnonya luar biasa. Propaganda rezim yang berhasil menakut-nakuti rakyat. Saban hari kita disuguhkan dengan data banyak yang terpapar dan meninggal karena covid. Sampai-sampai jenazah covid tidak boleh dilihat keluarga. Shalat jenazah dalam peti mati di area kuburan. Sekali lagi, hanya 2,7% penyebab kematian karena covid. Sekarang kasus covid di India sedang melonjak dijadikan alasan. Sampai kapan publik ditipu atas nama covid-19? Sampai Indonesia jadi bagian dari Indo China Raya? Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Teater Politik Vaksin Nusantara
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Andika Perkasa menyepakati riset berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas dari SARS-CoV-2 yang memicu Covid 19. Dengan demikian Uji klinik Vaksin Nusantara dihentikan. Kesepakatan ditanda tangani Senin (19/04/21) di Markas Besar TNI AD di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Disaksikan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhajir Effendy. Penelitiannya dipusatkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Penelitian akan memedomani kaidah sesuai dengan ketentuan undang-undang dan juga bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri. Sebelumnya, kalangan TNI menegaskan vaksin Nusantara bukanlah program TNI, kata Kapuspen TNI Mayjen TNI Achmad Riad pada jumpa pers di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur , Senin (19/4/21). Dua keputusan besar dari markas besar TNI itu yang dikeluarkan pada hari yang sama, namun dari tempat yang berbeda, mengakhiri hidup vaksin Nusantara! Sejak awal TNI terlibat aktif dalam upaya penanganan Covid-19. Skenario Pelibatan Militer Secara teoritis, operasi selain perang merupakan pemanfaatan “kapasitas tak terpakai” (idle capacity) organisasi militer di masa damai. Secara umum, pelibatan TNI termasuk ke dalam mekanisme tugas perbantuan dalam kerangka OMSP (Operasi Militer Selain Perang). OMSP adalah serangkaian operasi militer di luar peperangan dalam skema perbantuan terhadap otoritas sipil berdasarkan kompleksitas ancaman yang diatur secara ketat melalui legislasi. Pelaksanaan OMSP merupakan respons organisasi militer terhadap situasi kritis atau darurat ketika otoritas sipil memiliki keterbatasan dalam penanganannya. Jagad politik Indonesia telah dihebohkan dengan narasi patriotisme Vaksin Nusantara. Sejumlah tokoh bersama anggota DPR rela menjadi relawan Vaksin Nusantara besutan mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Proses pengambilan sampel darah dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/04/21) itu, sifatnya bukanlah suntikan vaksin. Dari relawan tercatat nama Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR RI), Melki Laka Lena, Saleh Daulay, Adian Napitupulu, Nihayatul Wafiroh. Arzetty Bilbina. Dalihnya atas nama kedaulatan kesehatan dan dukungan kepada karya anak bangsa. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan mantan Ketum Golkar, Aburizal Bakrie juga bergabung. Wakil rakyat dan tokoh bangsa itu mengaku mendukung proses pengadaan Vaksin Nusantara sebagai kebanggaan anak bangsa dan agar dapat berjalan lebih awal. Diharapkan kedaulatan dan kemandirian Indonesia dapat terjamin dalam bidang kesehatan dan pengobatan. Kesiapan produksi skala besar vaksin dalam negeri menjadi opsi, guna menunjang kesinambungan stok apabila terjadi embargo oleh negara produsen. Gejala embargo mulai terlihat ketika India menghentikan pengiriman vaksin AstraZeneca ke Indonesia. Vaksin produk India itu dikerjasamakan dengan The Global Alliance for Vaccines and Immunisation (GAVI). Indonesia rencananya akan mendapatkan vaksin AstraZeneca gratis sebanyak 54 juta dosis. Melonjaknya secara mendadak penularan Covid-19 secara drastis di India saat ini, menghambat pengiriman vaksin, karena akan diprioritaskan bagi warga India sendiri. Menurut Kepala Badan POM Penny K. Lukita, proses pembuatan Vaksin Nusantara belum memenuhi beberapa prosedur ilmiah yang diwajibkan dilakukan sesuai dengan kaidah saintifik yang mutlak sifatnya. Penny menilai banyak kelemahan pada pengembangan Vaksin Nusantara yang dibela DPR. Salah satunya adalah banyak komponennya yang masih impor dari Amerika Serikat. Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik diimpor dari Amerika. Seperti antigen, GMCSF (Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor), medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan. Transfer teknologi butuh waktu 2-5 tahun untuk mengembangkannya di Indonesia. Aivita Biomedical Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi. CEO Aivita Indonesia mengakui akan mengimpor obat-obatan sebelum produksi di Indonesia. Hasil uji klinis tahap I yang telah dilakukan kepada hewan di Amerika. Bukan dengan hewan Indonesia. Lagi pula, Vaksin Nusantara yang berbasis sel denritik hanya boleh disuntikkan kembali kepada pemilik darah itu sendiri. Tidak mudah menjadi vaksin massal karena memerlukan biaya prosesing yang sangat mahal. Data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam Electronic Case Report Form (ECRF), dengan menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan Aivita Biomedical Inc. Servernya hanya tersimpan di Amerika. Kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian. Tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan Aivita Biomedical Inc USA. Badan POM juga mencatat keterlibatan peneliti asing dalam riset Vaksin Nusantara, sehingga dalam dengar pendapat dengan Komnas Penilai Obat, ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh peneliti utama dari Indonesia, demikian Penny K Lukito dalam rilisnya, Rabu (14/04/21). Melki Laka Lena mengeritik pernyataan Penny K Lukito yang tak mengizinkan uji klinis tahap II. Sebab menurut Melki, Penny telah membohongi publik dan peneliti dengan pernyataannya. Legislator dapil NTT itu menuduh Penny telah berdusta. Penny dituduh mendramatisasi seolah-olah Vaksin Nusantara berbahaya, dengan 71 persen dia gambarkan itu berisiko. Semua sudah dibahas di DPR RI dan tidak ada masalah, kata Melki Laka Lena dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (17/04/21). Mengacu pada hasil kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX dengan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro, dan Terawan, dan sejumlah peneliti pada Rabu (10/3) disimpulkan roleh rapat itu bahwa Badan POM diminta untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II paling lambat 17 Maret 2021. Namun, manuver wakil rakyat dan tokoh nasional itu mendapat tantangan oleh 105 tokoh dari berbagai kalangan masyarakat sipil (civil society)). Termasuk mantan Wapres dan beberapa mantan menteri mengeluarkan pernyataan dan merebak di publik, Sabtu (17/04/21). Tercantum nama Boediono, Christine Hakim, Goenawan Mohamad serta dua orang putri almarhum Presiden Gus Dur. Ada juga mantan menteri Emil Salim, Sarwono Kusumatmaja berikut Lukman Hakim Saefuddin untuk menyebut beberapa nama beken Charles Honoris anggota DPR RI Komisi IX fraksi PDIP menegaskan tidak pernah ada rapat Komisi itu mendukung Vaksin Nusantara. Dampak dramatisasi Vaksin Nusantara itu melahirkan teater politik yang penuh sensasi. Menjadi pertanyaan publik, apa penyebab utama pemantik patriotisme anggota Komisi IX DPR membela vaksin Nusantara? Apakah ada kaitan memanasnya diskursus pengadaan vaksin itu dengan dana besar puluhan triliun itu? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan anggaran untuk pelaksanaan vaksinasi gratis tersedia dan akan menjadi anggaran belanja prioritas di tahun ini. Taksasi anggaran awal untuk program vaksinasi gratis sebesar Rp 73 triliun, kata Sri Mulyani dalam konperensi pers virtual, Rabu (06/01/21). Dalam acara Rosi Show di Kompas TV, Kamis malam (15/04/21), Rosi Silalahi berdiskusi dengan narasumber, diantaranya, Melki Laka Lena, bersama tiga pakar kesehatan, Ahmad Ruslan Utomo Ph.D dari Universitas Yarsi, Jakarta, Prof. Chairul Anwar Nidom dari Univeristas Airlangga dan Prof. Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Covid 19 IDI. Menurut Rosi, anggota DPR RI yang ramai-ramai mempertontonkan keberpihakannya bukan contoh yang baik. Kepada Melki Laka Lena yang menjabat Wakil Ketua Komisi IX DPR, Pemimpin Redaksi Kompas TV tersebut menanyakan, apa motivasi anggota DPR RI ngotot mendukung Vaksin Nusantara? Tentang sainskah? Tentang bisnis besar puluhan triliun, duitkah? Atau ini tentang politikkah? Gonjang ganjing Vaksin Nusantara mengingatkan publik kepada cerita teater absurd “Menunggu Godot” (Waiting For Godot) karya Samuel Beckett (1952). Teater yang derjemahan oleh W.S. Rendra, yang sekaligus mementaskannya bersama “Bengkel Teater” Yogyakarta, di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1970. Kehadiran Godot adalah in- absentia, keberadaan dari ketiadaan. Dibicarakan terus menerus, namun ia pernah tidak muncul. Polusi absurditas sepertinya menjadi subur di dalam peradaban yang serba virtual di era new normal ini. Tumbangnya kubu pendukung Vaksin Nusantara yang didukung sejumlah politisi beken dari parpol papan atas, membantu menjelaskan di dalam tubuh masyarakat telah tumbuh sebuah imunitas non medis yang berhasil menumbangkan keangkuhan politis. Wartawan senior itu masih setia mengirim pesan WhatsApp, dan menulis begini, “Imunitas alamiah itu melahirkan kekebalan tubuh terhadap polusi politik yang menyesatkan”! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya.
Chevron Licik, Mau Rampok Pertamina Rp 4,2 Triliun di Listrik
by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Presiden Jokowi dituntut segera membatalkan proses tender pembangkit listrik Rp 4,2 triliun milik Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN) yang sedianya akan digunakan untuk operasi Blok Rokan oleh Pertamina sejak 8 Agustus 2021. Penghentian ini harus segera dilakukan karena melanggar hukum. Berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Merendahkan kedaulatan NKRI di hadapan asing dan para oligarki pemburu rente. DPR dan KPK dituntut segera menyelidiki Chevron Pacifik Indonesia (CPI) dan Chevron Standard Ltd (CSL) atas sikap dan pelanggaran yang dilakukan. KPK juga perlu segera menyelidiki keterlibatan konspiratif oligarki dan oknum-oknum pemerintah pada lembaga terkait, terutama Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas, yang membiarkan proses tender yang melanggar hukum dan Kontrak KKS tetap berlangsung. Pengelolaan Blok Rokan akan beralih kepada Pertamina pada 8 Agustus 2021 nanti setelah dioperasikan CPI sejak 8 Agustus 1970. CPI (dulu bernama Caltex) telah menambang minyak di Blok Rokan (lapangan-lapangan Minas, Duri dan Bekasap) sejak 1924. Cadangan Blok Rokan saat ditemukan sekitar 6 miliar barel. Namun sebagian besar sudah terkuras. Untuk mengeluarkan minyak yang tersisa dari sumur-sumur perlu suntikan air atau uap (secondary recovery) atau zat kimia (tertiary recovery, EOR). Listrik adalah fasilitas utama untuk operasi lapangan dan penyuntikan uap ke sumur-sumur Blok Rokan. Untuk itu Blok Rokan ditopang Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) North Duri Cogeneration (NDC) berkapasitas 300 Megawatt (MW), yang menghasilkan output berupa daya listrik 300 MW dan uap 3.140 MMBTU sekaligus. PLTG ini dikelola oleh MCTN dengan komposisi saham CSL sebesar 95% dan PT Nusa Galih Nusantara (NGN) sebesar 5%. CLS sendiri terafiliasi dengan Chevron Corporation. Belakangan diketahui, saat alih kelola Blok Rokan 8 Agustus 2021 yang akan datang, PLTG milik MCTN tidak termasuk bagian aset yang ditransfer dari CPI kepada Pertamina. Chevron tidak ingin mentransfer aset PLTG tersebut secara cuma-cuma dengan menyatakan bahwa aset tersebut tidak masuk dalam aset hulu migas yang dialih-kelola ke Pertamina. Karena itu CPI menyatakan berhak melelang pembangkit tersebut kepada penawar tertinggi. Padahal, jika pasokan listrik dan uap PLTG NDC tidak tersedia, maka produksi minyak Blok Rokan akan terhenti. Dengan asumsi rata-rata produksi Blok Rokan 165.000 barel per hari, harga crude rata-rata pada April 2021 USS 60 per barel dan kurs US$/Rp=14.000, maka potensi kehilangan penerimaan Pertamina sejak 8 Agustus 2021 mencapai Rp (165.000 x 60 x 14.000) = Rp 138,6 miliar per hari. Dalam tiga tahun penerimaan yang akan hilang sekitar Rp 5 triliun. PLN dan Pertamina Hulu Rokan (PHR) memang sudah menandatangani kontrak jual-beli listrik dan uap. Kontrak berjangka pendek selama masa transisi, dan berjangka panjang, setelah PLN selesai membangun jaringan transmisi penghubung ke sistem jaringan listrik Sumatera. Karena itu, selama masa transisi mau tidak mau PLTG yang dikelola MCTN harus tetap menyuplai listrik dan uap Blok Rokan, sampai PLN mampu menyuplai kebutuhan 3 tahun mendatang. Kasus listrik MCTN yang muncul saat alih-kelola dari CPI ke Pertamina tinggal beberapa bulan ini telah menyandera kelangsungan operasi Blok Rokan. Hal ini sekaligus akan mengancam pendapatan negara. Merugikan Pertamina dam menurunkan lifting nasional, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan impor crude/BBM. Menambah defisit neraca perdagangan dan menurunkan kurs kupiah. Karena itu Pemerintah dituntut untuk segera bertindak membatalkan proses tender pembelian MTCN Blok Rokan dari Chevron. Patut diguga ada mafia yang ikut memainkan listrik Blok Rokan ini sejak awal, sehingga tidak dimamasukan dalam aset yang harus diserahkan Cheron kepada Pertamina. Ada unsur kesengajaan Untuk itu, kasus ini agar segera dibawa ke rana hukum, karena hal-hal berikut. Pertama, sarana listrik NDC milik MCTN telah dibayar oleh negara melalui mekanisme cost recovery. sehingga tidak ada alasan bagi Chevron atau MCTN mengklaim tetap memiliki aset negara tersebut. Apalagi, selama beroperasi, pembangkit NDC berada di atas tanah negara dan MCTN tidak pernah membayar biaya sewa sesuai perjanjian. Kedua, saat ini Chevron masih terikat kontrak PSC Blok Rokan dengan Pemerintah atau SKK Migas. Sehingga Chevron tidak berhak secara hukum mentenderkan PLTG NDC secara sepihak kepada pihak manapun tanpa persetujuan Pemerintah. Mengapa Pemerintah dan SKK diam saja? Dicurigai ada oknum penguasa atau pengurus partai yang terlibat perburuan rente listrik Blok Rokan. Ketiga, sesuai konstitusi, PLN merupakan pemegang hak monopoli penjualan listrik domestik. Karena itu tidak ada hak bagi perusahaan swasta untuk menyuplai listrik (dan uap) Blok Rokan, termasuk swasta calon pemenang tender. Mengundang swasta untuk mengikuti tender listrik MCTN pada dasarnya sudah merupakan pelanggaran hukum yang fatal. Keempat, seandainya lelang tetap terjadi, nilai tender pembangkit NDC sebesar US$ 300 juta (sekitar 4,2 triliun) ini sangat tidak wajar. Sebab saat dibangun nilai NDC hanya US$ 190 juta (sekitar Rp 2,66 triliun) dan pembangkit ini sudah beroperasi selama 20 tahun. Sehingga nilai bukunya saat ini hanya tinggal beberapa juta dollar saja. Kelima, Chevron sengaja tidak membangun pembangkit sendiri, tetapi membiarkan pembangunan oleh perusahaan terafiliasi CPI, yakni MCTN. Sehingga hal ini memudahkan terjadinya transfer pricing guna memperoleh keuntungan besar. Tagihan listrik dari MCTN ke Chevron dapat mencapai US$ 80 juta per tahun. Negara telah dikadali dan dirugikan. Keenam, tender listrik MCTN sengaja dilakukan last minute, menjelang saat alih-kelola terjadi. Hal ini menunjukkan adanya iktikad buruk dari Chevron perburuan rente ditengah ketidak-berdayaan Pertamina untuk tetap mempertahankan produski migas Rokan. Prilaku yang sarat moral hazard ini merupakan pelecehan terhadap kedaulatan negara dan martabat bangsa. Ketujuh, proses tender berlangsung tertutup. Sarat konspiratif dan ditutup-tutupi guna memperoleh penawaran tinggi. Sementara itu, lembaga-lembaga terkait, terutama KESDM dan SKK Migas, tidak menjalankan tugas dan fungsi pengendalian dan pengawasan sesuai aturan, sehingga tender pembangkit NDC tetap berlangsung. Sikap pembiaran yang melanggar hukum ini perlu diselidiki dan diusut DPR dan KPK. Hal ini akan dibahas dalam tulisan terpisah. Memperhatikan hal-hal di atas, IRESS kembali mengingatkan dan menuntut Pemerintah, terutama Presiden Jokowi, untuk segera membatalkan proses tender PLTG milik Chevron MCTN. Karena melecehkan kedaulatan, merugikan keuangan BUMN/negara dan mengancam lifting nasional yang berujung pada defisit neraca perdagangan dan gangguan ekonomi nasional. Untuk itu, proses tender PLTG MDC yang sedang berlangsung saat ini harus dinyatakan tidak berlaku. Selain itu Presiden dituntut menjamin alih-kelola Blok Rokan dari CPI ke Pertamina secara mulus, lancar dan prudent. Termasuk menjamin penyerahan PLTG NDC dari MCTN kepada PLN secara cuma-cuma sesuai aturan berlaku. Alih-kelola harus bebas dari intervensi oknum-oknum pejabat Kemnetrian ESDM dan SKK Migas, serta oknum-oknum Partai Politik yang terlibat perburuan rente yang merugikan negara. Pemerintah pun harus bersikap tegas menghadapi setiap upaya licik, culas dan picik oligarki, termasuk pihak asing untuk memanfaatkan situasi ketidak-berdayaan BUMN (Pertamina dan PLN). Mereka berdalih atas nama mempertahankan lifting migas. Padahal misi utama berburu rente. Penulis adalah Dikrektur Eksekutif IRESS.
Cintai Produk Lokal, Amandemen UUD ‘45 Lahirkan Politik Dinasti (Bagian-3).
Mayjen TNI (Purn.) Prijanto Jakarta FNN - Kita telah bicarakan keelokan dan kecantikan Sistem Pemerintahan Pancasila dibanding Sistem Pemerintahan Presidensial di artikel ke-1. Di artikel ke-2, kita bandingkan praktek Demokrasi Pancasila dengan Demokrasi Liberal yang individualistis sehingga berakibat terbelahnya persatuan bangsa Indonesia. Baca: https://rmol.id/read/2021/04/09/482760/boleh-kaget-tapi-jangan-masa-bodoh-1-cintai-produk-lokal-kenapa-import-presidensial Baca: https://fnn.co.id/2021/4/16/cintai-produk-lokal-kenapa-import-demokrasi-individual-bagian-2/ Artikel ke-3 ini sebagai lanjutannya, yang akan mengupas pendapat JA di artikel sebelumnya. Dimana JA, yang pakar HTN dan mantan pejabat negara itu berpendapat, setelah 75 tahun merdeka justru yang bangkrut politik dinasti. Benarkah sinyalemen ini? Penulis ragu dengan pendapat JA. Biasanya, identifikasi JA terhadap perkembangan di masyarakat akurat. JA mengkritisi sebelum reformasi, demokrasi kita berbau budaya feodal. Artinya, pergantian pejabat seperti tradisi kerajaan, yang turun menurun, layaknya “politik dinasti”. Penulis menangkap penjelasan JA, stigma itu harus dikikis, direformasi melalui Sistem Presidensial dengan Demokrasi Liberalnya. Persoalannya, apakah demokrasi sebelum reformasi layak disebut sebagai budaya feodal? Penulis berpendapat tidak tepat. Pemilihan pejabat masa lalu, walau dilakukan dengan sistem musyawarah-perwakilan, di MPR dan DPRD, hak konstitusi rakyat berjalan wajar dan benar, sesuai konstitusi. Kandidat pejabat yang ikut pemilihan, memiliki rekam jejak dan profesionalisme yang jelas. Memiliki dan memenuhi kreteria kompetensi leadership dan manajerial yang dipersyaratkan. Umumnya para kandidat dikenal dan terkenal di masyarakat. tidak muncul tiba-tiba. Tanpa polesan dari lembaga survei. Penulis pernah bincang-bincang dengan Dra. Mia Syabarniati Dewi, seorang psikolog, sebagai konsultan assesment pejabat. Pembicaraan seputar kualitas kepemimpinan pejabat publik dan pejabat negara paska reformasi. Melalui pengamatan atau penilaian pribadinya, ditambah berbagai macam berita dari media dan pendapat masyarakat, Mia memiliki dua sinyalemen. Pertama, pembangunan karakter kader pemimpin nyaris tidak tampak setelah reformasi. Calon-calon pemimpin yang diusung dalam pemilihan nyaris jenjang pengalamannya tidak jelas. Namun, tiba-tiba bisa muncul sebagai kandidat. Kedua, akibat tersebut di atas, figur pemimpin pada semua tingkat, walau tidak semua, kualitasnya memprihatinkan akibat ikut campur pemilik modal dalam rekrutmen. Penulis sependapat dengan dua sinyalemen Mia Syabarniati tersebut. Sebagaimana berita di media, lebih lanjut Mia juga melihat fenomena yang terjadi antara lain. Pertama, adanya krisis etika para elite, walau tidak semua. Kedua, adanya krisis hukum. Ketiga, adanya krisis ketidakpercyaan antar elite. Keempat, adanya krisis ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Semua persoalan kepemimpinan di atas, tidak bisa lepas dari persoalan rekrutmen yang didasari oleh Demokrasi Liberal. Demokrasi dengan pemilihan secara langsung yang individualistis. Siapa yang kuat, berduit, menguasai kekuasaan, dialah pengendali dan pemenang. Patut dinilai, sistem inilah yang membuat pemodal atau kapitalis bisa mendikte sesuai keinginannya. Hati dan pikiran penulis berkata, tampaknya pemodal tidak mengutamakan keunggulan kompetensi leadership dan menajerial. Mereka mengutamakan orang yang bisa dipengaruhi atau diajak kerja sama. Karena itulah, banyak tokoh yang mengatakan, orang yang mumpuni dalam segala hal sulit menjadi pemimpin, karena umumnya mereka sulit dipengaruhi, sehingga pemodal tidak tertarik memilihnya sebagai “ayam jago”. Akibatnya, menjamurlah politik dinasti paska amandemen UUD 1945. Ibaratnya, bapak, istri, anak, menantu, besan, dan kerabat lainnya maju menjadi kandidat. Dinasti politik tidak saja terjadi di pemerintahan, tampaknya juga terjadi di Partai Politik. Apakah para kandidat keluar biaya yang sangat besar tersebut? Tidak. Patut diduga para cukong atau pemodal yang mengongkosi. Apa akibatnya? Kandidat yang terpilih, jelas berhutang budi. Menjamurnya politik dinasti tersebut ditengarai oleh kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Yoes C. Wenas, yang menyatakan fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding 2015. Pada 2015 ada 52 peserta Pilkada dan di Pilkada 2020 ada 158 calon. (CNN Indonesia, 17/12/2020) Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal. Sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut. Namun dalam kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur seperti jamur tumbuh di musim hujan. Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja. Tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabaniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan, berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak. Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui “saringan” yang sesuai kebutuhan. Sumber calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan? Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme. Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri. Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan dan kesemaptaan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya. Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas. Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode “Assessment Center dengan Psychological Assessment”. Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi “underlying factors” seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra. Mia Syabarniati Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, Pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam merekrut calon Kepala Daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020). Gambaran tentang dampak buruk Sistem Permerintahan Presidensial dan Demokrasi Liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia. Menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang sangat memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita tetap pertahankan? Apa dasar MPR melakukan amandemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945? Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh “Founding fathers” saat menyusun dan menetapkan UUD 1945? Selamat membaca, semoga paham. Insya Allah, aamiin. (bersambung). Panulis adalah Wagub DKI Jakarta 2007-2012 & Rumah Kebangkitan Indonesia.
Masih Pentingkah Pancasila Itu Untuk Jokowi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Gonjang-ganjing soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikanyang menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dari kurikulum dasar menengah dan tinggi menyengat Menteri Nadiem dan Jokowi. Sejak awal Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memang gagal memimpin Kementrian Pendidikan dengan baik. Nadiem memang sangat inkompeten dengan dunia pendidikan. Suksesnya usaha gojek Nadiem tidak serta-merta bisa ditransformasikan pada dunia akademik berdimensi panjang untuk mencetak dan memproduksi orang-orang cerdas. Ada soal-soal yang sangat bersentuhan ideologi, nasionalisme, dan agama di sana. Ternyata disinilah titik lemahny Nadiem. Presiden Jokowi sejak diramaikan Rancangan Undang-Undang Haluan Idelogi Pancasila (RUU HIP) yang dilanjutkan dengan RUU Badan Pembinaan Idelogi Pancasila (RUU BPIP) juga mingkem. Padahal dalam RUU ini, pposisi Pancasila sangat terancam. Penggerusan dari nilai-nilai Pancasila yang ditetapkan 18 Agustus 1945 mendapat kritik dan perlawanan tajam dari rakyat. Penggantian dengan dari RUU HIP menjadi RUU BPIP belum menjawab keraguan masyarakat tentang ancaman terhadap esksistensi Pancasila 18 Agustus 1945. Kelembagaan BPIP sendiri terkaget-kaget saat diterbitkan PP Nomor 57 Tahun 20221 yang mengeliminir mata kuliah utama Pancasila tersebut. Di sisi lain RUU BPIP menyimpan misteri yang diduga masih mengandung "hidden agenda". Kepekaan ideologis Presiden Jokowi memang terlihat lemah. Hanya bisanya “teriak sana, teiak sini saya Pancasila”. Jadinya wajar jika publik ragu dengan pandangan Jokowi tentang penting atau tidak Pancasila. Lebih banyak basa-basi. Rezimnya Jokowi materialistik dan pragmatik. Terlalu berorientasi pada investasi dan hutang luar negeri. Pada era pandemi paradigma ini mengalami kemandegan serius. Beban negara sangat berat sehingga dapat membawa Indonesia menjadi negara gagal. Tinda-tanda Indonesia mengarah ke arah negara gagal itu menganga di depan mata. Yang paling menonjol adalah persatuan kebangsaan kita yang rapuh. Akibat dari adanya upaya-upaya tersembunyi untuk mengganti Pancasila 18 Agustus 1945 dengan Pancasila 1 Juni 1945, yaitu Trisila dan Ekasila. Semestinya disaat genting, Presiden memacu keyakinan ideologis secara lebih terbuka dan partisipatif. Pancasila harus didinamisasi sebagai katalisator berbangsa dan bernegara. Sebenarnya tak perlu diajari lagi soal ini. Kecuali kalau Presiden Jokowi memang tidak paham soal ini. Namun lagi-lagi ini blunder untuk ke sekian kalinya. Nampaknya kepekaan yang lemah ini menyebabkan sorotan tajam pada produk PP Nomor 57 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi. Setelah diketahui, barulah ribut soal revisi yang tentu tak bisa sekedar berargumen "salah ketik atau lupa". Bisa juga "i don't read what i sign" terhadap sebuah Peraturan sepenting ini. Banyak ahli bergaji besar di lingkaran Presiden. Ataukah istana telah berubah menjadi tempat kongkow-kongkow warung kopi yang tak mampu memproduk kebijakan bermutu dan disukai rakyat? Di tengah misi menuju Pancasila Trisila dan Ekasila pun masih dibenturkan dengan soal-soal Agama. Akibatnya rakyat, khusunya umat Islam kini semakin waspada. Ada tafsir mendewakan budaya tanpa berbasis moral dan historika. Kasus PP Nomor 57 Tahun 2021 mungkin hanya tes politik saja untuk mengukur reaksi publik. Toh Presiden tetap memegang kendali. Pak Jokowi, berdiri dan pidatolah di mimbar Istana Negara itu tentang masih pentingnya Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut. Ingatkan rakyat bahwa radikalisme paling nyata kini adalah sekularisasi, ideologi orde lama, serta komunisme yang terus bergerak dan menyusup ke semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan senyap. Paham komunis dan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada. Jangan biarkan mereka mengisi fikiran para buzzer di istana. Sebab kelak Presiden semakin tersandera. Lalu, Pancasila dalam bahaya. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Jokowi Jangan Seperti Kapten Kapal Titanic
by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Busyeeettt........ seorang kawan jurnalis menilai, dalam pemerintahan negara ini yang perlu segera diganti, dan itu sebenarnya presidennya. Bukan menterinya. Dalam sehari mau ganti seribu kali menteri pun, bila presidennya tetap Jokowi (Joko Widodo), Indonesia tidak akan menjadi besar, kuat, berdaulat, bermartabat, tangguh, disegani dan mandiri. Sebab semua itu cuma bayangan semu. Omongan kawan jurnalis itu menanggapi kabar angin yang belakangan deras mendesir, terkait isu reshuffle kabinet di sejumlah pos kementerian. Kabar tersebut, secara manusiawi, sudah barang tentu menimbulkan sport jantung bagi anggota kabinet. Terlebih bagi menteri oportunis, yang keberadaannya tak lebih dari cuma cari makan dan selamat. Tanpa memiliki semangat memperkokoh negara. Ali Mochtar Ngabalin, selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, pun turut serta ambil bicara merepresentasikan sebagai orang Istana. Dia bilang, dalam minggu-minggu ini memang segera akan dilakukan reshuffle sejumlah menteri. Para menteri mulia bertanya-tanya, “duh kira-kira gue kena geser Pak Jokowi nggak nih ya”? Kira-kira begitu lamunannya saban hari. Tak pelak, Menristek Bambang Brojonegoro sempat bicara di sejumlah media massa. Dirinya pamit dan mungkin statemennya itu menjadi yang terakhir kalinya sebagai menteri. Itu dilakukan setelah mendengar kabar adanya penggabungan dua lembaga kementerian, Kemendikbud dan Kemenristek bakalan digabungkan menjadi satu kementerian. Secara jujur, sebenarnya tidak sedikit para menteri yang membantu kinerja Jokowi, memiliki integritas keilmuan mumpuni di bidangnya. Mereka paham betul terkait apa yang dibebankan dan tengah dia kerjakan. Sebut saja misalnya, Prabowo Subianto, Sri Mulyani, Bambang Brojonegoro, Sandiaga Uno, Mahfud MD serta sejumlah menteri lainnya. Mereka pada dasarnya bukan pribadi yang dungu, dongo, keleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Merka sangat menguasai persoalan tugasnya. Prabowo sngat menguasai manageman pertahanan, keamanan, intelijen dan jagad siasat bertempur. Sri Mulyani mengerti semua bab finansial dan seluk beluk perekonomian global. Bambang Brojonegoro juga ahli bidang ekonomi. Sandiaga Uno, tidak ada pihak yang meragukan kemampuannya dalam hal ekonomi mikro. Termasuk mencari celah dan terobosan pasar rakyat. Pun demikian dengan Mahfud Md, sebagai sosok yang dikenal sebagai ahli hukum tata negara. Meski begitu, mengapa negara tidak mampu meluncur sebagaimana harapan Undang Undang Dasar 1945 maupun Pancasila? Kenyataan itu disebabkan sehebat apapun seorang menteri, dia adalah anak buah presiden. Sekalipun presidennya itu tidak hebat, tetap saja menteri itu anak buah. Disini berlakulah sebuah ungkapan, “seluas angkasa kepintaran seseorang akan dikalahkan hanya dengan seruang kekuasaan. Itu uncontested. Tidak terbantahkan! Untuk mempermudah memahami, kita tarik saja satu permisalan. Perjalanan sebuah bus umum yang penuh dengan aneka rupa angkutan, baik orang maupun barang, tentu semuanya berada di bawah kendali sang pengemudi alias sopir. Sehebat apa pun kernet, kondektur, mekanik, pramugari maupun para penumpang itu sendiri tidak memiliki kewenangan mengatur sopir. Keterangan yang ditempel dalam interior berbunyi, "dilarang berbicara dengan sopir" itu sebagai indikator bahwa keselamatan seisi ruangan bus selama dalam perjalanan menjadi urusan sopir. Nah sekarang yang menjadi persoalan adalah, bagaimana kompetensi sang sopir tersebut dalam hal kecakapan mengemudi? Apakah benar-benar sopir tersebut bisa mengemudi? Apakah para penumpang betul-betul akan diantar ke tempat tujuan sesuai rute busnya? Mulailah bus "PO Indonesia" meluncur di wilayah pegunungan. Jalur yang dilintasi bukan sekedar lurus dan mulus, yang mana sopir yang kemarin sore baru bisa mengemudi pun bisa mengendalikannya. Melainkan terdapat seribu satu tanjakan dan turunan, yang dilengkapi dengan lembah dan jurang terjal di kanan kirinya. Terkadang tanjakan atau turunan itu disertai tikungan sulit, sempit dan rumit. Deretan bukit dan tebing tinggi yang memagari sepanjang jalur, setiap saat siap longsor dan meleburkan bus jika sang pengemudi tudak punya kemampuan membaca situasi. Belum lagi di musim penghujan, jalanan licin yang dalam hitungan detik bisa melempar bus berikut isinya ke dasar jurang. Ilustrasi perjalanan darat seperti itu tentu sangat dibutuhkan seorang pengemudi yang handal, cekatan, tangkas dan trengginas. Senantiasa memberi arti, bahwa penumpang menjadi yang utama diberikan kenyamanan dan keselamatan. Pendek kata harus sopir profesional, bukan amatir. Namun jika sang pengemudi ternyata tidak seperti yang diharapkan, bagaimana nasib para penumpang, kru dan pengguna jalan lainnya? Saat sang kernet memberi sinyal agar sopir memperlambat laju bus, lantaran di depan ada penyeberang jalan. Bagaimana laju bus bisa lambat? Masalahnya si sopir tidak mengerti mana pedal gas, pedal kopling dan pedal rem. Begitu suga ketika kernet memberikan aba-aba agar sopir segera memindah akselerasi mesin ke gigi satu, karena jalur menurun tajam. Tentu laju bus hilang kendali dan menyelonong liar, lantaran sopir tidak paham yang sebelah mana handle persnelingnya. Giliran ketika mekanik mengingatkan sopir agar segera mengambil tempat beristirahat, lantaran perjalanan yang sudah sekian jam mengakibatkan suhu mesin meninggi. Namun sopir tidak menggubris. Indikator temperatur di dashboard malah dikiranya jarum jam. Sopir tidak berusaha merapat untuk berhenti, melainkan malah menggenjot gas sejadi jadinya. Tentu mesin terbakar lantaran overheating. Begitu juga ketika di depan terdapat rambu penunjuk arah jalan, ke kiri dan ke kanan. Arah kiri menuju jurang, sedangkan kanan menuju obyek wisata kesejahteraan. La kok sopir bodoh tersebut malah banting setir ke kiri, lantaran dia tidak paham yang mana panel lampu signnya. Apa jadinya? Sudah bisa diterka dan dibayangkan, dalam kondisi bus yang dikemudikan seorang sopir yang barbar blas tidak mengerti dunia sopir menyopir ini, kondisi para penumpangnya pasti bengok-bengok laksana dikejar hantu. Menjerit-jerit ketakutan nggak karu-karuan. Mestinya, seorang sopir angkutan umum harus bisa membuat para penumpangnya duduk dengan tenang dan nyaman. Penumpang bisa menikmati perjalanan, duduk mengangkat kaki sambil baca link FNN.co.id. Atau tidur pulas, tanpa khawatir terjadi kecelakaan lalu lintas. Bukan malah menutup-nutupi ketidak becusannya mengemudi, dengan meminta para penumpangnya tetap tenang dan optimis. Tenang dan optimis yang bagaimana? Orang laju bus juga nggak jelas tujuannya? Lajunya oleng. Miring ke kanan atau kiri. Kadang berjalan mundur. Sedangkan bagi awak bus yang membangkang, akan dipecat. Diganti yang lebih bego. Supaya nurut apa kata sopir. Sehingga bisa diajak bekerjasama dalam per-goblog-an. Sementara bagi penumpang yang protes, akan diturunkan. Bila perlu dilaporkan ke Bareskrim Polri, agar bisa dipenjarakan. Lantaran dianggap bikin kisruh dalam bus, hingga menggangu perjalanan. Padahal sumber kekisruhan tersebut justru sopirnya sendiri. Busyeeetttt..!!! Dulu, waktu debat Capres dua tahun silam, Prabowo Subianto menyampaikan sebuah analisa, bahwa ke depan akan lebih banyak lagi BUMN yang kolaps. Dan ternyata benar itu terjadi hari ini. Saat ini sulit dituliskan (saking banyaknya) deretan BUMN yang megap-megap. Bahkan, Prabowo Subianto mengulas novel fiksi, Ghost Fleet, yang isinya dominasi sebuah analisa intelektual tentang negara Indonesia yang di kemudian hari nanti hanya tinggal kenangan. Namun kala itu Jokowi membantahnya dengan argumen mentah. Hanya mengajak agar bangsa Indonesia optimis. Jangan pesimis. Tidak bisa menyampaikan materi bantahannya secara detil, yang bisa terlihat sebagai diplomasi berkelas dan mematahkan tudingan lawannya. Harusnya Jokowi waktu itu bisa membantah kekhawatiran Prabowo Subianto, dengan jawaban yang lebih mengena dan mendasar. Mengapa? Karena Jokowi sebagai incumbent tentu memiliki seribu gudang repository atau metadata, yang bisa diminta dari semua menterinya. Namun Jokowi malah meminta Prabowo agar menggunakan data jika berbicara. Akan tetapi, Prabowo yang bicara tanpa data saja bisa membuktikan kebenaran analisanya. Terlebih jika menggunakan data. Sederet whistleblower seperti Amien Rais, Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, Rocky Gerung, Natalius Pigai, Munarman, Dien Syamsudin, Gatot Nurmantyo dan oposan lainnya tidak pernah lelah meniupkan peluitnya. Berulangkali mereka mengingatkan Jokowi mengenai ketidak beresan terkait kebijakan pemerintah. Baik bab hukum, ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Yang paling kentara, pelanggaran HAM akibat praktik diskresi yang dilakukan aparat kepolisian. Yakni, gugurnya 6 mantan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di tangan polisi yang kemudian dikenal dengan istilah malapetaka kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Juga terjadinya disparitas oleh para penegak hukum, hingga mengakibatkan Habib Rizieq Shihab (HRS) dipenjara. Serta sejumlah penentang kebijakan Jokowi lainnya, hingga mengantarkan beliau-beliau berurusan hukum. Namun, berbagai masukan para pengkritik tersebut tidak pernah mendapat tanggapan melegakan dari Jokowi. Ibarat sopir bus yang tabrak lampu merah, jalan terus. Pengabaian Jokowi terhadap para pengkritiknya itu, mengingatkan legenda tenggelamnya kapal pesiar paling mewah 109 tahun silam, “Kapal Titanic”. Hanya berselang empat hari setelah lego jangkar atau 15 April 1912 ,Titanic tenggelam di laut bebas, Samudera Atlantik Utara, pada dini hari pukul 02.20. Sebanyak 2.200 penumpang, termasuk awak kapalnya tewas menyedihkan. Singkat kisahnya, kapal sepanjang 217 meter mulai dari haluan sampai buritan yang dinahkodai Kapten EJ Smith itu menabrak gunung es. Soal celakanya kapal milik Britania Raya itu akibat menabrak gunung es, memang benar. Akan tetapi yang penting untuk digaris bawahi dalam insiden mendunia itu adalah, bahwa Kapten “Kapal Titanic” telah berani mengabaikan sejumlah peringatan. Sejumlah suar dan pesan yang dikirim lewat radio oleh kapal-kapal kecil di sekelilingnya diabaikan. Akhirnya Kapten “Kapal Titanic” mengabarkan bahaya gunung es di dekatnya. Kecelakaan laut tak terhindarkan. Maka tamatlah riwayat Titanic termasuk nahkodanya, Kapten EJ Smith. Semoga tidak untuk Indonesia saat ini maupun nanti. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.