Paul Zhang Dan Indonesia Darurat Komunis

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Semua mengecam Joseph Paul Zhang, pendeta, pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), penista Nabi. Meski kesehatan fikirannya diragukan karena mengaku sebagai Nabi ke 26, namun pandangan ngawurnya mengguncang negeri. Berkoar dari luar negeri, tak kurang Menag menjadi sasaran dan mendesak Zhang untuk segera ditangkap. Konon sedang diburu interpol.

Perasaan umat Islam di Indonesia ini terus sedang diacak-acak. Penistaan agama hanya salah satu sisi saja. Ada kriminalisasi, radikalisme, dan terorisme. Peran agama dalam berbangsa dan bernegara yang dikecilkan atau dimarginalkan. Zhang hanya model gerakan yang sama dengan Janda, Densi, Laiskodat, Armando atau teman teman lainnya.

Artinya Jozeph Paul Zhang tidak berdiri sendiri. Orang ini dapat untuk dimunculkan kapan saja. Tokoh JPZ bukan baru. Rekam jejaknya telah muncul sebelumnya. Meski telah ke luar dari Indonesia sejak tahun 2018, dan katanya telah melepas status WNI-nya, akan tetapi semua haruslah dibuktikan. Kepolisian dituntut untuk mampu menangkap dan mendeportasi segera ke Indonesia.

Seperti biasa urusan seperti ini tak mungkin muncul suara Presiden Jokowi. Mungkin terlalu kecil. Urusan Pancasila dan Bahasa Indonesia saja kecil kok. Apalagi agama yang dinista-nistakan. Yang harus dibesarkan adalah Gibran dan tetap tersanderanya para anggota Koalisi. Urusan tiga periode juga tak kalah penting. Soal Zhang "bukan urusan saya".

Zhang itu hanya wayang? Semua serba mungkin. Zhang kini melayang "tunduk pada hukum Eropa" katanya. Komunitasnya pasti mendukung. Jika wayang ini dimainkan konspirasi global, dengan target Indonesia, khususnya umat Islam, maka diduga ada jaringan di tingkat nasional yang ikut bermain. Karenanya patut dilihat keseriusan penanganan. Sebab jika Zhang lolos, dipastikan ia adalah tabungan atau investasi jangka panjang.

Dalang selalu sembunyi dalam memainkan wayang. Wayang golek atau kulit selalu ada jalan ceritanya tentang kapan muncul kapan masuk kotak. Kapan perang kapan bercanda. Semua itu di atur dalang. Tim penabuh gamelan membantu suasana ceritra. Kini lakon Zhang sedang menarik. Isu sensitif penistaan agama oleh pendeta dan pendukung PKI bermata sipit. UU ITE dan KUHP Pasal 156 a layak untuk dikenakan kepadanya.

Kunci awalnya adalah deportasi dahulu Zhang. Baru setelah itu proses sang wayang. Buktikan kalau Zhang tak kebal. Berikutnya semoga muncul dalang. Bila tidak, ya kasus ini dipastikan menjadi hilang dalam bayang bayang yang ditelan isu lain. Kegaduhan demi kegaduhan hanya datang dan pergi. Dalang memang piawai memainkan irama.

Diam Hadapi Komunis

mungkin sebagian orang menganggap berlebihan. Bukankah Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan Komunisme masih berlaku? Demikian juga UU No. 27 tahun 1999 yang melarang dan mengancam pidana penyebar Komunisme dan penggantian ideologi Pancasila.

Masalah yang dihadapi bukanlah ketentuan perundang-undangan. Tetapi permainan politik yang bergerak di sela-sela peraturan perundang-undangan. Tidak eksplisit berbenturan, tetapi ada agenda yang mengindikasi bahwa komunisme itu bukan hanya ada tetapi juga berkembang.

Kehadiran petinggi Partai Komunis Cina yang "bersilaturahmi" dengan pimpinan partai politik di Indonesia seperti PDIP dan terakhir Dubes Xiao Qian ke PKB, ternyata direspons konstruktif. Jalinan kerjasama sepertinya terus dibangun. Dalam mengisi sejarah, ternyata PKC di rezim ini sukses bertandang ke istana Merdeka.

Peta jalan (road map) pendidikan nasional menghilangkan agama, Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia. Muncul penista agama seperti Zhang yang ternyata pendukung PKI. Pelantikan Dirjen kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid ternyata aktivis PRD. Tentu semua ini bukan kebetulan. Apalagi sebelumnya disiapkan intens RUU HIP yang berbau kiri/komunis.

Megawati dan Mendikbud Nadiem membahas pelurusan sejarah 1965. Entah apa yang hendak diluruskan? Faktanya PKI melakukan percobaan kudeta berulang kali dan hendak mengganti Pancasila. Sejarah kejahatan PKI tidak mungkin diluruskan. Memang kenyataannya bengkok dan merongrong ideologi bangsa dan negara. Kini aneh, Kamus Sejarah Indonesia membuang tokoh pendiri NU, tokoh HMI dan justru mengangkat tokoh PKI/Komunis.

Indonesia memasuki darurat komunis. Pantas untuk disematkan dan diwaspadai. Sayang Presiden Jokowi tidak jelas sikap politiknya yang anti PKI/Komunis. Rakyat menunggu sikap tegasnya agar tetap mewaspadai bahaya PKI dan komunisme. Tidak cukup menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada masih melarang penyebaran Komunisme/marxisme.

Di situasi pandemi, resesi dan krisis ekonomi, oligarkhi yang menguat, hukum yang diperalat politik, penistaan agama yang marak, budaya menjilat, serta oposisi yang ditekan dan dihabisi, maka menjadi indikasi bahwa PKI bangkit dan komunisme semakin merambah. Kondisi ini tak bisa dianggap biasa. Ada indikasi kuat dari pertumbuhannya. Jalur budaya adalah sarana versus agama.

Parlemen jangan hanya memikirkan kekuasaan sendiri. Rakyat sedang terancam. TNI dan umat Islam harus segera melakukan konsolidasi. Indonesia darurat komunis.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

610

Related Post