OPINI
Wuiiish Munarman Ditangkap, Kriminalisasi?
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Penangkapan terhadap mantan Sekretaris Jendral dan Juru Bicara Frot Pembela Islam (FPI) Munarman yang dikaitkan dengan terorisme, dan itu terjadi tahun 2015, adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman juga berulang melakukan klarifikasi soal acara tersebut. Persoalan sebenarnya adalah bahwa keperluan untuk melakukan penangkapan itu memang saat ini. Bukan tahun 2015 lalu itu. Apalagi di tengah kasus Habib Rizieq Sihab (HRS) yang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dimana Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman adalah target politik perlu dilumpuhkan dengan perangkat hukum. Salah atau benar berdasarkan hukum, itu urusannya nanti. Pasalnya nanti bisa dicari-cari belakangan. Yang paling panting itu adalah tangkap, dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka saja dulu. Sebab ini bukan ansih urusan hukum, yang dasar rujukannya adalah benar atau salah menurut. Ini berkaitan dengan urusan politik. Politik itu tidak menganal salah atau benar. Lumpuhkan dulu lawan politik. Begitu kekuasaan politik punya keinginan. Akibat dari kekuasaan yang salah dalam mengelola negara. Kewengan publik dikelola dengan cara-cara yang amtiran dan kampungan. Akibatnya kekuaaan yang kepusingan ketika berhadapan dengan sikap kritis dari orang-orang seperto HRS, Munarman, Syaganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, Gus Nur dan lain-lain. Penangkapan Munarman oleh Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon menyebut mengada-ada. Haris Rusly Moti, mantan Presiden PRD yang mengenal dengan Munarman mengatakan sangat berlebihan kalau dituduh teroris. Menyeret secara tidak berkemanusiaan dari rumah kediamannya dinilai melanggar Hak Asasi manusi (HAM) karena untuk memakai sandal saja tak diberi kesempatan. Sebagai advokat, tentu perlakuan polisi ketika menangkap seperti itu di luar batas kepatutan. Advokat yang semestinya diperlakukan dengan hormat. Melalui proses pemanggilan hukum tentu Munarman akan datang memenuhi. Sebagai mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Munarman bukan tipikil anak bangsa yang melanggar hukum. Kalau melawan kezoliman dan perlakuan tidak adil, otoriter punguasa, Munarman paling depan. Jika kriminalisasi menjadi target, makan apapun bisa dilakukan penguasa. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah, bubuk deterjen pembersih toilet di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Untuk meledakkan para cecunguk atau tikus. Buku do'a, kumpulan hadits dapat dituduh menjadi panduan untuk mati syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati. Sejak jaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat di LBH. Munarman sangat gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang faham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika Munarman selalu menjadi subyek dan obyek berita media massa maintsream, baik dalam maupun luar negeri. Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme yang jelas melanggar hukum, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman yang selama ini dikenal masyarakat. Publik dipastikan tidak akan percaya dengan tuduhan yang dialamatkan Densus 88 Polri kepada Munarman. Apalagi Munarman terkenal memiliki prinsip kehati-hatian hukum yang tinggi dalam rangka penegakkan hukum. Ya proses politik sedang berjalan HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Dari kacamata ini kita dapat melihatnya, sebab jika konteksnya penegakkan hukum dan keadilan, maka peristiwa HRS, FPI, dan Munarman tentu tidak akan terjadi. Menjadi pertanyaan umum di kalangan publik, kita ini sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan? Jika yang kedua, yaitu negara kekuasaan, maka kriminalisasi bisa saja menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja untuk rezim atau penguasa. Hanya masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah untuk berada dibawah bendera negara kekuasaan? Jangan menjaawabnya sekarang. Nanti saja. Simpan saja dulu jawabannya. Pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya? Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme. Kasus Munarman ini perlu dikawal proses hukum yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tidak disimpan Densus 88 Polri di tong sampah, sehingga tetap diberlakukan. Polisi hanya institusi penegak hukum. Bukan lembaga yang benar menurut hukum. Pengadilan saja masih diragukan putusannya kalau tunduk pada tekanan kekuasaan. Apalagi Cuma polisi. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Penangkapan Munarman di Live Televisi, Mau Cuci Tangan KM 50?
by Tarmidzi Yusuf Bandaung FNN - Kemarin sore (27/4) Munarman, mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) ditangkap Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di rumahnya, Perumahan Modern Hills Pamulang Tangerang Selatan. Terlihat seperti mengerikan dan menakutkan. Munarman baru terduga. Belum pernah diperiksa. Apa alasan Polisi memperlakukan Munarman seperti itu? Tak berselang lama dari penangkapan Munarman. Markaz FPI di Petamburan Jakarta digeledah oleh Densus 88 Polri. Katanya ditemukan bahan peledak. Sudah diduga juga arahnya mau kemana. Lebih mengerikan lagi. Saat tiba di Polda Metro Jaya, tangan Munarman diborgol dan mata ditutup kain hitam. Seru seperti di film G 30 S/PKI. Jangankan teroris, penjahat aja bukan. Penangkapan Munarman disiarkan secara Live di sebuah stasiun televisi. Menjelang berbuka lagi. Biasanya banyak yang di depan televisi. Ini bentuk framing dan stigmatisasi dari penguasa. Tontonan di bulan Ramadhan yang sangat menyakiti ummat Islam. Ada apa dibalik ini? Bukankah ini hanya akal-akaln untuk pengalihan dari masalah yang sebenarnya? Apa itu masalahnya sebenarnya? Upaya “cuci tangan” pembantaian dan pembunuhan terhadap enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) yang Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah diratakan dengan tanah itu? Terorisasi FPI dan Islam. Tujuannya adalah agar dugaan keterlibatan seorang jenderal dan kelompok sekuler kiri radikal dalam kejahatan di kilimeter 50 tol Japek tidak bisa dituntut dan diungkap? Apakah Munarman itu teroris? Apakah ada bukti? Atau hanya berdasarkan pengakuan dari seorang mantan anggota FPI yang sudah digarap, lalu dikait-kaitkan dengan bom Makassar Maret 2021 lalu? Katanya karena itu-ikutan baiat dengan ISIS. Padahal bukankah ISIS itu organisasi teror buatan MOSSAD, CIA dan SAVAK? Alasan yang kurang logis. Mengapa Densus 88 hanya bisanya menangkap Munarman doang yang dituduh sebagai teroris itu? Sementara OPM yang telah membunuh Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen IGP Danny, Densus 88 tidak turun tangan. Densus lagi dimana saja ya? Apakah ada bukti otentik kalau Munarman dan FPI pernah melakukan teror? Berapa orang yang mati terbunuh akibat tindakan teror yang dilakukan oleh Munarman dan FPI? Boleh dong publik ingin mengetahui. Asal datanya valid saja. Agar tidak ada dusta diatas dusta. Mengapa Densus 88 tidak turun tangan menghadapi OPM yang jelas-jelas ingin memisahkan diri dari NKRI? Bahkan Mabes Polri seperti dilansir CNN Indonesia (27/4), menolak menyebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai Kelompok Separatis dan Teroris (KST). Wajar bila ummat Islam curiga. Karena ada standar ganda? Keras terhadap ummat Islam. Lembek ke non Islam. Padahal, apakah itu OPM, KKB atau KST itu maunya merdeka lagi bro Densus 88 Polri. Omong kosong dengan NKRI harga mati yang disuarakan oleh agama tertentu dan etnis minoritas radikal. Apakah belum cukup bukti pembunuhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan berulang kali oleh OPM, KKB dan KST? Kepala BIN Papua Brigjen IGP Danny tewas terbunuh oleh OPM. Kenapa yang ditangkap hanya Munarman? Bukan OPM, KKB KSN yang ditangkap Densus 88 Polri? Publik berhak mendapat penjelasan yang masuk akal. Bukan penjelasan pembenaran. Ada apa dengan Densus 88? Apakah betul Densus 88 dibentuk targetnya hanya Islam dan ummat Islam? Masih ingat terorisasi terhadap Ustadz Abu Bakar Ba'asyir beberapa tahun silam. Ummat Islam percaya? Tidak bro. Desas-desus siapa dibelakang Densus 88 ramai diperbincangkan di media sosial. Menyebut tokoh dari etnis minoritas tertentu dan kelompok sekuler kiri radikal. Ummat Islam patut saja curiga. Pasalnya, yang nyata-nyata gerakan separatis dan teroris seperti OPM/KKB Papua tidak diapa-apain. Apakah karena OPM, KKB dan KSN itu mayoritas beragama non muslim? Sehingga Densus 88 Polisi tidak bergerak kesana? Padahal sudah banyak yang dibunuh OMPM, KKB dan KSN itu. Misalnya membunuh anggota TNI, Polri dan warga masyarakat termasuk Brigjen IGK Danny. Pnulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial.
Munarman Teroris? Densus 88 Polri Gaweannya Lucu Amat Sih!
Sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an, Munarman sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI jika kekuasaan Soeharto berakhir kelak. Kini Munarman mau dituduh teroris? Ya pastinya mayoritas aktivis ‘98 yang mengenalnya puluhan tahun, tidak mau percaya degan geweannya Densus 88 Polri yang lucu-lucuan itu. Namun kalau Polisi menuduh Munarwan sukanya melawan kekuasaan yang zolim, tidak adil, semena-mena dan otoriter, korupsi dana bansos dan uangnya kaum difabel, antek aseng dan asing Bejing, itu mungkin ada benarnya. Karena itulah yang dikenal dari seorang pejuang demokrasi yang bernama Munarman. by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN – Ade pameo di polisi, kalau "teman satu angkatan atau teman seperjuangan saja bisa dikorbankan, apalagi orang lain". Pamoe ini sekarang terbukti pada diri Munarman, yang sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI. Namun sekarang Munarman ditahan Polisi dengan tuduhan yang dibuat-buat, karena kejadiannya sejak tahun 2015 lalu. Yang terjadi pada Munarman ini, bukan lagi seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Tetapi seperti kacang lupa sama tanah yang pernah menyuburkan dan membesarkan pohon kacang. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga untuk para aktivis muda lainnya, agar belajar dari kasus Munarman. Jangan sampai menyesal di belakangan tidak ada gunanya. Masyarakat sama sekali tidak terkejut ketika Selasa sore (27/04/2021), menyaksikan dan membaca berita berbasis satelit, Munarman ditangkap oleh Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di kediamannya, Blog G Klaster Lembah Pinus, Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Perlakuan polisi terhadap Munarman ketika ditangkap juga sangat buruk dan tidak manusiawi. Tuduhan utama polisi terkait penangkapan mantan Sekretaris Jendral eks Front Pembela Islam (FPI), yang sekarang ini tengah mati-matian memperjuangkan kepentingan hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut, adalah terkait baiat di UIN Jakarta, Makassar dan Medan beberapa waktu lalu. Munarman yang nampak tidak takut itu, lalu dibawa masuk ke mobil putih dan meluncur ke Mapolda Metro Jaya. Tuduhan Munarman terkait teroris itu disampaikan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan. "Jadi (penangkapan) terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal tersebut," kata Ramadhan pada wartawan. (Kompas.com, 27/4/2021). Yang paling nyata disini, ayah tiga putra kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 53 tahun silam, itu bukan sosok bajingan atau pengkhianat Merah Putih yang akan menjual NKRI ke negara lain. Dia bukan anak PKI, dan dia sendiri juga bukan penganut paham komunis. Bukan koruptor bansos dan difabel, Juwasraya, Asabri serta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan bandar atau penyebar narkoba. Bukan teroris. Munarman bukan pelaku yang menguras habis uang negara. Dia tidak turut campur dalam merancang UU Omnibus Law. Bukan pula perancang tergerusnya Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bukan perancang hilangnya pelajaran Agama Islam dan Bahasa Indonesia bagi anak didik sekolah. Munarman bukan sosok yang membuang pendiri NU, Hasyim Ashari, dari literasi sejarah. Yang kita kenal, Munarman adalah oposan negara yang setiap saat merobek robek ketidak adilan rezim Jokowi (panggilan Presiden Joko Widodo). Munarman sebagaimana rekan seperjuangannya, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang lebih dulu berurusan hukum, memperjuangkan ketidak adilan dibidang hukum, ekonomi, politik maupun ketimpangan rezim lainnya. Munarman bergerak dalam basis akidah Islam yang kental, kuat dan mendasar. Ibarat jet tempur F-16 Fighting Falcon, Munarman meluncur secara Fly by Wire dengan kendali Sang Khaliq di Singgasana Arasy. Karenanya, Munarman babar blas tidak ragu. Apalagi gentar tentang apa yang dia perjuangkan. Sebagai pejuang demokrasi dan kemanusiaan, Munarman tentu tidak gagal paham tentang resiko yang akan dialaminya. Secara fighter view, penjara akan diterjemahkan sebagai anugerah tanda jasa luar biasa. Atau ibarat sakera dari Madura. Penjara akan dipandang sebagai tempat mengasah celuritnya. Hingga semakin tajam dan mematikan musuh-musuhnya, kelak jika keluar penjara. Jangan mengaku pemain bola, jika belum punya bekas luka jatuh akibat tackling lawan. Atau jangan mengaku pengganti Valentino Rossi dan Dani Pedrosa di Motor GP, jika belum pernah patah tulang akibat tersungkur saat meluncur sentrifugal di lintasan kelok. Itu semua hal biasa saja untuk seorang Munarman, yang sudah pernah ditahan di Polda Metro Jaya. Itu sekedar contoh tentang nilai-nilai perjuangan Munarman. Perjuangan yang tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan korupsi. Atau menjual bangsa dan negara dengan memburu rente Vaksin Sinovac. Munarman tidak menjual bangsa dengan hanya dengan berpura-pura kerja sama investasi. Atau malah menuduh para pejuang kebenaran, sebagai biang keladi kerusuhan. Tidak seperti itu. Munarman menyuruh anak buahnya dari FPI berada di garda terdepan setiap kali bencana alam terjadi. Pada hari pertama ,ketika institusi negara belum hadir di setiap bencana alam, anak buah Munarman dari FPI sudah berada di lokasi benacana. Wajar saja kalau media internasional kelas Washinton Post, New York Times mengganjal FPI sebagai organisasi paling manusiawi dalam setiap bencana alam. Bicara penjara dan pejuang, maka hampir semua pahlawan nasional pejuang revolusi dan kemerdekaan NKRI pernah mengenyam indahnya jeruji besi. Keluar masuk penjara tak membuat mereka kapok untuk melawan penjajah dan kekuasaan yang zolim. Bahkan, mungkin malah dianggapnya keluar masuk rumah makan saja. Karena melawan kekuasaan yang zolim pasti mengantarkan mereka ke syurga. Itu pasti. Tidak ada keraguan. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno, Mohamad Hatta, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, Kapitan Pattimura, serta sejumlah pahlawan lainnya yang turut mendirikan negeri ini. Posisi mereka tak ubahnya Munarman, HRS, Sobri Lubis Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan para pejuang masa kini lainnya. Mereka pilih keluar dari zona-zona nyaman. Para pejuang dan pahlawan terdahulu musuh utamanya penjajah. Mereka bukan saja dipenjara, melainkan juga disiksa, bahkan dibuang ke pulau terpencil atau luar negeri. Harta-benda, bahkan nyawa mereka dipertaruhkan. Yang mereka tidak pertaruhkan hanyalah kebenaran dan akidah. Sekarang tugasnya berteriak melawan kekuasaan yang zolim dan tidak adil. Kekuaksaan yang semena-mena dan otoriter. Tak terperikan perjuangan mereka. Namun, Bung Karno masih mengakui kalau berat perjuangannya masih belum seberapa, jika dibandingkan perjuangan para pahlawan sesudahnya kelak. Kata Bung Karno, “perjuanganku tidak seberapa, sebab musuhku jelas Belanda. Sedangkan musuhmu nanti adalah bangsamu sendiri. Maksud Bung Karno kura kira "merepotkan". Dibilang musuh itu, kawan. Tetapi dibilang kawan, ternyata (mohon maaf, karena bulan puasa) bangsat. Ternyata benar apa yang "ramalkan" Bung Karno. Sekarang sudah terbukti. Munarman, HRS, Sobri Lubis, Syahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan sahabat senasib seperjuangannya, kini berhadapan dengan musuh yang tak lain adalah bangsanya sendiri. Munarman sejak menjadi aktivis akhir 1980-an, selalu bersikap melawan rezim zolim dan otoriter Soeharto. Rezim yang menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan untuk memenjarakan para aktivis demokrasi. Sikap Munarman itu tidak pernah bergeser sampai sekarang. Keputusannya menerima jabatan KetuaYayasan Lebaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Katua Kontras, dua LSM Menteng yang menjadi salah satu musuh utamnyanya kekuasaan Soeharto adalah pilihan melawan kekuasaan zalim, otoriter, dan tidak adil. Ketika Munarman bercita-cita untuk memishkan Polisi dari ABRI di tahun akhir tahun 1980-an dan saat menjabat Ketua YLBHI dan Ketua Kontras dulu, yang hari ini menjadi pemimpin Polisi belum menjadi anggota Polisi. Sebagian besar masih menjadi siswa taruna polisi di Magelang dan Akpol Semarang. Masih berjuang untuk menjadi anggota polisi. Namun Munarman sudah berjuang melawan kekuasaan yang menjadikan Polisi sebagai alat politik untuk memukul lawan-lawan politik Soeharto. Ingat itu petuah orang tua-tua kampong, "jangan seperti kacang yang lupa kulitnya". Selain sebagai Ketua YLBHI dan Ketua Kontras, Munarman juga mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Para aktivis '98 yang kenal dengan Munarman sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an seperti Fadli Zon, Haris Rusli Moti, Agus Prijono Jabo, Yusuf Lakaseng, Ray Rangkuti, Fahri Hmazah, Muhammad Naufal Donggio, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Adi Arief, Bursah Zarnubi, Rama Pratama, Iwan Somule, Adam Wahab, Ahmad Muzani, Adrianto, Ahmad Yani, pastinya tidak akan percaya kalau Munarman terpapar paham teroris. Begitu juga dengan almarhum Bang Buyung Nasution dan almarhum Bang Mulyana W. Kusumu, mungkin saja akan menjadi saksi di pengadilan akhirat kalau Munarman pasti tidak terpapar teroris. Karena yang menjagokan Munarman menjadi Ketua YLBHI adalah Bang Buyung Nasution dan Bang Mulyana W. Kusuma. Hampir dipastikan kali ini Densus 88 Polri keliru besar. Hanya karena khawatir kemungkinan Munarman yang menjadi Ketua Tim Pembela HRS, bakal menangkis semua alibi Polisi dan Jaksa di persidangan. Selain itu, hawatir juga Munarman bakal membongkar keterlibatan intitusi negara di luar Kepolisian yang diduga terlibat dalam pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Sebab kalau hanya soal dugaan keterlibatan teroris (baiat) yang terjadi tahun 2015 dulu, masa sih mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian PhD tidak tau? Ingat, Pak Tito itu orang hebat di Densus 88 lho, selain Pak Gories Mere. Apalagi Munarman sering berkomunikasi dengan Pak Tito, karena punya hubungan baik. Sama-sama Wong Kitogalo dan sekolah di SMA yang sama. Kalau Munarman itu terpapar paham teroris, tidak mungkin Pak Tito yang sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menjadi salah satu kandidat potensial untuk Calon Presiden 2024 nanti itu tidak tau. Sebab bisa jadi dugaan tindak pidana yang kemukinan polisi lain tidak tau, Pak Tito pasti tau. Sedangkan yang Pak Tito tau, belum tentu polisi lain tau. Ingat, Pak Tito itu polisi hebat, polisi pintar, polisi cerdas. Polisi yang top markotp. Makanya Densus 88 Polri sebaiknya jangan sampai anggap reme Pak Tito, kalau sampai menuduh Munarman terpapar teroris. Itu kurang baik, bahkan kurang ajar. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Kasus KM 50, Diduga Institusi Kepolisian Yang Mau Dikorbankan
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Hingga kini Kepolisian masih otak-atik untuk mengumumkan nama-nama tersangka pembunuhan enam anggota laskar mantan Front Pdembela Islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Konon satu orang palakunya sudah meninggal dalam kecelakaan tunggal. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu mentertawakan kinerja dan pekerjaan yang sebenarnya sangat mudah, akan tetapi menjadi sulit seperti ini. Masalah sulitnya adalah karena berupaya untuk mempertimbangkan skenario dan menyembuyikan kebenaran. Bukan menguak fakta kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika. Akibatnya yang berikutnya bisa berubah ubah. Penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sarat dengan kritik keraguan publik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski Komnas HAM telah diback-up habis Presiden Jokowi dan Menteri Kordintor Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) masih berjalan di tempat. Tidak melakukan penyelidikan lanjutan Komnas HAM seharusnya melakukan penyelidikan lanjutan yang bersifat pro justisia. Sebab penyelidikan pro justisia itu sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Tinggal menyampaikan pemberitahuan kepada Kejaksan Agung bahwa Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan pro justisia untuk kasus kilometer 50 tol Japek. Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian? Melihat penetapkan tersangka yang berbelit-belit, dan cenderung disembunyikan, maka wajar saja kalau publik meragukan intitusi kepolisian sebagai pelaku pembunuhan. Meskipun telah diakui oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Fadil Imran. Yang diragukan dan dibicarakan publik bukan hanya soal dua korban "tembak-menembak" dan empat yang ditembak. Sebab keenam anggota laskar mantan FPI itu mengalami luka tembak mematikan yang sama, yaitu seluruhnya ditembak dari jarak dekat. Memilah-milah keduanya adalah keliru besar. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran. Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan saja, dan selesai. Selanutnya tangkap dan tahan mereka. Tinggal penyidikan lanjutan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah pelapor awal yang mentersangkakan "korban" pembunuhan adalah justru paket lain, yaitu Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan paket ini juga menjadi menarik. Tampak kalau Bareskrim Polri masih ragu dengan skenario ini. Sebab bisa-bisa mengorbankan institusi Kepolisian yang mungkin saja bukan pelaku sebenarnya. Wajar kalau publik menduga, pelakunya anggota polisi yang diperbantukan ke institusi negara yang lain. Akibatnya adalah institusi Kepolisian akan dicatat oleh sejarah sebagai pelaku pembunuhan warga negara yang berada dalam penguasaan anggota polisi yang bertugas. Beredar viral tentang adanya tim penguntit dan pemburu Habib Rizieq (HRS) dan rombongan yang ternyata bukan semata-mata hanya dari elemen Kepolisian. Ada banyak personal dari Badan Intelijen negara (BIN). Diantaranya anggota BIN dari Daerah. Penguntitan yang dilakukan puluhan personal tentu saja didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Kalau dengan Surat Penugasan dari atasan, maka dengan demikian ada kegiatan yang dilakukan secara sistematik dan terencana. Sehingga menjadi unsur-unsur dari terjadinya pelanggaran HAM berat. Aneh saja kalau Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan dari institusi Kepolisian seperti ini. Komnas HAM hanya fokus di Polri saja. Kalau benar terlibat, maka lambat atau cepat dugaan keterlibatan institusi lain di luar Kopolisian pasti akan terungkap. Itu berarti penyelidikan duagaan adanya pelanggaran HAM terkait pembunuhan enam anggota lankar mantan FPI di kilometer 50 tol Japek bakal dimulai dari awal lagi. Hasil kerja Komnas HAM yang sekarang bisa dikatagorikan sebagai penyelidikan yang abal-abal semata. Dugaan hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya konperensi pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah konperensi pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya. Tidak perlu Pangdam Jaya ikut-ikutan pekerjaan yang bukan tupoksinya. Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando juga harus dibongkar. Komnas HAM diduga menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha. Begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis. Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Bisa ujung-ujungnya pertanggungjawabanpelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar mantan FPI adalah Presiden Jokowi. Harusnya negara hadir untuk melindungi anak bangsanya. Bukan sebaliknya, negara terlibat dalam pembunuhan rakyatnya. Peristiwa ini bukan semata kasus hukum. Peristiwa ini adalah kejahatan kemanusiaan yang berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban juga secara politik. Kilometer 50 tol Japek tak boleh diabaikan. Kilometer 50 tol Japek adalah crimes against humanity. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Eranya Jokowi, Indonesia Buruk Soal Pemberantasan Korupsi & Demokrasi
by Gde Siriana Jakarta FNN - Indeks Persepsi Korupsi-IPK (Corruption Perception Index-CPI) yang dikeluarkan Berlin-based Transparency International sejak 1995, menunjukkan bahwa IPK Indonesia tahun 2020 melorot 3 poin dibanding tahun 2019, dan menempati ranking 101 dari 179 negara. Jika dilihat sejak 2015-2020, maka score-nya pun tidak berubah banyak. Tahun 2015 score-nya 36 dengan posisi di ranking 88. Meskipun 2020 score-nya naik menjadi 37, tetapi rankingnya melorot jauh ke posisi 101. Artinya banyak negara lain yang lebih baik dalam pemberantasan korupsinya, sehingga menyalip posisi Indonesia. Soal pemberantasan korupsi ini, peran dan efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai garda depan pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Bahkan dari dua peristiwa terakhir di tahun 2021 yang melibatkan oknum KPK, yaitu penggelapan barang bukti dan suap kepada penyidik KPK menunjukkan bahwa KPK mengalami penurunan kualitas. Bahasa halusnya degradasi moral. Dua menteri yang dijadikan tersangka oleh KPK, Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara sangat mungkin perisitiwa ini yang dapat menurunkan kepercayaan publik pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tentunya sangat mungkin ini semua menurunkan score dan posisi Indonesia dalam daftar Indeks Persepsi Korupsi tahun 2021. Indeks Demokrasi Parah Menurunnya indeks persepsi korupsi ini juga seiring dengan menurunnya indeks demokrasi di Indonesia. Indeks demokrasi yang disusun oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dari The Economist Group yang berbasis di Inggris, menempatkan indeks demokrasi Indonesia tahun 2020 di ranking 64 dari 167 negara. Fakta global menunjukkan banyak negara mengalami penurunan score indeks demokrasi selama masa pandemi Covid19. Sangat mungkin selama pandemi, pemerintahan di banyak negara merespon pandemi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak melalui proses demokratis yang melibatkan peran serta publik, sehingga kebijakannya dianggap tidak sesuai harapan publik atau pro masyarakat banyak. Meskipun secara global banyak negara yang mengalami penurunan indeks demokrasi, yang paling memprihatinkan di Indonesia adalah selama lima tahun terakhir, 2015-2020 telah terjadi trend penurunan indeks demokrasi. Jika tahun 2015 score-nya 7,03 dengan ranking 49, maka di 2020 turun drastis score-nya menjadi 6,30 di rangking 64. Sedangkan untuk masuk level negara full-democracy score-nya harus mencapai 8. Artinya selama lima tahun terakhir, terjadi penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Bandingkan dengan Timor Leste yang ranking nya relatif tetap di posisi 44, baik di tahun 2015 maupun tahun 2020. Meskipun terjadi perubahan kriteria penilaian indeks demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penurunan ranking itu menunjukkan ada negara lain yang lebih baik kulitas demokrasinya sehingga menyalip posisi Indonesia. Melihat trend penurunan indeks demokrasi dan indeks persepsi korupsi di Indonesia selama lima tahun terakhir, menarik untuk munculnya suatu hipotesa bahwa ada korelasi antara menurunnya kualitas demokrasi dan meningkatnya korupsi di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Meskipun hipotesa itu perlu dibuktikan dengan metodelogi kuantitatif, setidaknya secara kualitatif beberapa fakta dapat dijadikan dasar bagi hipotesa tersebut. Misalnya, tidak berfungsinya peran dan fungsi parlemen sebagai saluran demokrasi sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan. Karena hampir semua Parpol Politik (fraksi) menjadi bagian dari koalisi kabinet Jokowi. Sangat wajar jika kemudian kebijakan yang dianggap publik sebagai kebijakan yang berpotensi rente atau dikorupsi tidak mendapatkan resistensi dan pengawasan yang proper dari parlemen. Kita bisa menyaksikan bagaimana resistensi publik pada kebijakan Kartu Pra Kerja di awal pandemi yang kemudian direvisi karena tekanan publik yang amat kuat. Juga resistensi publik pada UU Omnibus-Law Cipta Kerja yang dianggap lebih pro pengusaha. Tidak transparanan pembuat kebijakan patut untuk dianggap sebagai kebijakan rente atau kebijakan yang koruptif, karena adanya kolusi antara pembuat kebijakan dan pengusaha. Mekanisme threshold pada kontes politik yang menimbulkan mahar politik untuk elit-elit parpol. Mekanisme ini faktanya dapat menurunkan kualitas demokrasi karena pencalonan kontestan politik sangat ditentukan oleh uang. Bukan karena partisipasi atau kehendak rakyat. Ujungnya, kontes politik berbiaya tinggi ini menjadi motif dari kasus korupsi kepala daerah terpilih di kemudian hari. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan awal, bahwa selama masih ada mahar politik akibat aturan threshold, maka kontes politik yang berbiaya tinggi pasti terjadi. Ujungnya adalah kasus korupsi dan kebijakan yang koruptif (rente) di Indonesia akan sulit diberantas. Penulis adalah Direktur Eksekutuif INFUSS.
Jurnalis Tabloid Jubi Papua Jadi Korban Aksi Teror
by Marthen Goo Jayapura FNN – Wartawan senior sekaligus Pemimpin Umum Tabloid Jubi yang berbasis di tanah Papua, Victor Mambor menjadi korban aksi teror. Mobil miliknya yang diparkir di tepi jalan dekat rumahnya, dirusak orang tak dikenal, pada rabu (21/4/2021) sekitar pukul 00.00- 02.00 WIT. Mobil Isuzu DMax (Double Cabin) milik Victor dirusak pada bagian kaca depan. Diduga pelaku menggunakan benda tumpul untuk merusak mobil hingga retak. Pada bagian belakang di sebelah kiri juga dipukul. Diduga memakai benda tajam, sehingga bagian ini hancur. Pintu depan dan belakang sebelah kiri dicoret-coret menggunakan cat piloks berwarna orange. Ketua Aliansi Jurnalis Jayapura (AJI), Lucky Ireeuw menduga aksi teror tersebut terjadi berkaitan dengan pemberitaan Tabloid Jubi yang tak disukai pihak tertentu. Tindakan teror dan intimidasi ini jelas bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Papua dan Indonesia pada umumnya. Menurut Adi Briantika yang dirilis di Tirto.id, teror ini diduga terkait dengan rangkaian teror sebelumnya. Misalnya, serangan digital, doxing, dan penyebaran selebaran di media sosial yang kontennya menyudutkan, mengadu domba, dan mengkriminalisasi Tabloid Jubi maupun Victor. Jubi merupakan salah satu media independen dan kredibel dengan fokus utama isu Papua dari sisi orang asli Papua. Menurut Advokad senior Yan Christian Warinusi, aksi nyata teror dan intimidasi yang ditujukan terhadap psikis saudara Mambor jelas sangat berkaitan erat dengan tugas jurnalisme yang dilakukannya. Apalagi beberapa pemberitaan Tabloid Jubi, media yang digawangi Mambor senantiasa menampilkan pemberitaan dari sudut pandang (angle) yang berbeda. Sesungguhnya semua sajian pemberitaan Tabloid Jubi sangat dilindungi oleh UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga, siapapun yang tidak puas dengan berita sajian Jubi, seyogyanya dapat menempuh prosedur melalui penggunaan hak jawab. Tidak dengan teror. Teror hanya pekerjaan orang-orang yang anti kebebasan berpendapat. Cara-cara yang primitif. Kebebasan Pers Sejak Abad-17 Soal kebebasan pers dan hak asasi manusia menjadi ganjalan utama 13 negara bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia 1787. Empat tahun kemudian, pada amandemen pertama UUD Amerika Serikat, 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 negara bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Isi amandemen itu bunyinya begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat rancangan undang undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. (dikutip dari editorial FNN.co.id) Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Kebebasan pers itu sudah dibutuhkan sejak abad ke-17 lalu. Dimana kebebasan pers itu jugalah yang menyatukan negara-negara bagian di Amerika Serikat hari ini. Makanya kebebasan pers di abad modern dan milenial seperti sekarang ini, justru terlihat jauh lebih maju dan lebih beradap. Kebebasan pers kemudian bukan hanya menjadi sarana, tetapi juga tujuan utama dalam bernegara dan membangun negara. Kebebasan pers menjadi salah satu alat kontrol terhadap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Kebebasan Pers di Papua? Ini sudah masuk di abad 21. Abad dimana dikenal dengan abad teknologi 4.0 (four foint zero), sehingga keberadaan pers mestinya berada di titik tertinggi dalam dunia teknologi yang modern ini. Sayangnya, kebebasan pers di Indonesia, khususnya untuk Papua menjadi masalah serius. Bahkna menjadi masalah berat. Sebab banyak wartawan di Papua yang diteror ketika mencoba memberikan pemberitaan yang berimbang. Dalam konteks Papua, media yang memberikan pemberitaan yang objektif sangat sulit ditemukan. Kebanyakan media hanya memberitakan infromasi versi kekuasaan, sehingga keberadaan media kerap kali turut memberikan legitimasi kekerasan di Papua. Media takk berani mengungkapkan fakta agar kekerasan di Papua bisa diubah menjadi Papua yang damai. Hanya ada beberapa media di Papua yang sangat objektif dan selalu memberitakan fakta-fakta peristiwa secara objektif , seperti Tabloid Jubi, dan Suara Papua. Mungkin ada media-media kecil lainnya seperti Jelata News Papua. Sementara untuk tingkat nasional, ada media FNN (Forum News Networ), yang selalu mengungkapkan kebenaran di luar kekuasaan. Selain itu ada juga Tirto dan CNN yang cukup objektif untuk mengungkapkan fakta. Terhadap terror yang dilakukan kepada Victor Mambor, pemimpin umum Tabloid Jubi adalah upaya untuk menutupi kebebasan pers di Papua. Tentu ini adalah tindakan tidak terpuji. Upaya seperti ini bisa kita hubungkan juga dengan upaya menutup media Suara Papua. Kemudian upaya memutus jaringan internet, bahkan menurut Ketua AJI Papua, bahwa itu erat kaitannya dengan pemberitaan Tablid Jubi. Peristiwa ini dapat diduga sebagai upaya besar untuk menutup kebebasan pers. Tindakan tersebut sudah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Indonesia jauh ketinggalan dengan Amerika soal kebebasan pers. Perilaku bandid dalam melakukan upaya menutupi kebebasan pers masih saja dilakukan di era globalisasi. Wajah Indonesia seakan masih di bawah abad ke-16. Dalam situasi perang yang sangat sengit saja pun, kebebasan pers masih tetap dipelihara dan dijaga. Indonesia, tidak ada perang sengit. Upaya pengungkapan kebenaran dan media yang menyampaikan informasi yang benar dan berimbang malah diteror secara tidak terpuji. Tujuannya untuk membungkam dan menutupi informasi sebenarnya. Sangat memalukan dalam kehidupan berbangsa. Polisi Harus Ungkap Pelaku. Kejahatan yang dilakukan terhadap Victor Mambor adalah menteeror wartawan. Sebagai upaya untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia. Bahkan tindakan ini menunjukan rendahnya martabat berbangsa. Indonesia harus belajar dari Amerika soal kebebasan pers. Setiap wartawan wajib hukumnya dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun. Patut diduga bahwa kejahatan yang dilakukan adalah yang melibatkan kekuatan atau tangan-tangan lain. Semua itu memiliki keinginan yang sama, yaitu menutupi informasi yang objektif dengan cara menyerang pers yang objektif dan pers yang berintegritas di Papua. Ini bagian dari upaya mematikan media di Papua agar tidak pempublikasi informasi yang benar di Papua. Dengan prinsip perlindungan pers di Indonesia, polisi diharapkan mengungkap dan menangkap siapa pelaku dan dalang dibalik upaya-upaya memamatikan dan menutup akses media di Papua. Kapolri harus mendesak Kapolda Papua agar segera secara propesional mengungkap kejahatan yang dialami wartawan Tabloid Jubi. Sehingga dapat memberikan efek jerah pada mereka yang menghambat kebebasan pers di Papua. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.
Please Pak Hakim, Bebaskan Dr. Syahganda Nainggolan
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Jakarta FNN - Perkara Dr. Syahganda Naingolan telah memasuki babak akhir. Hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini segera menjatuhkan putusan. Akankah hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Dr. Syahganda dijatuhi hukuman penjara 6 (ernam) tahun, setengahnya atau dibebaskan? Tersediakah alasan yang bersumber dari fakta persidangan untuk hakim pijaki secara jujur sehinga dapat menyatakan hukum yang berberda dengan yang dituntut oleh JPU? Misalnya hakim menyatakan benar tuduhannya terbukti. Tetapi hal yang terbukti itu tidak beralasan hukum yang logis untuk dinyatakan sebagai perkara pidana, sehingga Syahganda diputus lepas dari segala tuntutan hukum, onslag van rechtvervolging? Persidangan perkara ini dilakukan secara terbuka. Fakta persidangan tersebar luas. Dapat diidentifikasi oleh berbagai pihak. Fakta ini memungkinkan siapapun menganalisisnya, dan membayangkan hukum yang akan ditetapkan hakim. Fakta yang tersebar itu telah cukup berbicara secara gamblang bahwa perkara, dengan semua argument hukum yan tersedia, tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana. Saya tidak akan menyajikan lagi argumen-argumen teknis hukum pada kesempatan ini. Sebab argumen-argumen itu telah saya sajikan pada artikel-artikel sebelumnya. Kali ini saya ingin menyajikan dimensi lain. Dimensi yang hendak saya sajikan adalah relasi antara peradilan dengan bobot rule of law. Bagi saya soal terpenting pada titik ini adalah apakah hakim memahami eksistensinya dalam spectrum rule of law? Sebab rule of law tidak meminta banyak dari hakim. Yang diminta rule of law kepada hakim hanyalah membebaskan diri dari lilitan penguasa. Itu saja. Tidak lebih dari itu. Independensi atau kemandirian hakim tidak ditentukan oleh pernyataan dalam huruf-huruf konstitusi. Sama sekali tidak. Eksistensi independensi, sepenuhnya merupakan cerminan sikap pribadi hakim. Praktis sikap pribadi hakimlah merupakan kunci independensi peradilan. Cara berpikir atau penalaran hakim tertuang dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Penalaran merupakan cerminan level mahkota hakim, sekaligus level mahkota independensi itu. Disebut mahkota hakim, karena penalaran hakim mencerminkan kadar dan level ilmunya. Level ilmu merupakan cerminan level kebijaksanaannya. Level kebijakan merupakan cerminan dari kombinasi manis antara pemahaman ilmu hukum, ilmu pengetahuan lainnya, termasuk keadaan faktual. Ilmu apa yang dapat digunakan secara logis untuk membuat kongklusi bahwa pengrusakan yang terjadi dalam satu demontrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja sebagai pidana? Ilmu hukum tidak menyediakan satu pun dimensinya untuk diambil dan digunakan sebagai pijakan membuat kongklusi demontrasi yang disertai pengrusakan itu bersifat pidana. Pengrusakan harus dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tetapi bukan kegiatan demonstrasinya. Ilmu hukum dibangun dengan prinsip perbuatan para perusak itulah yang harus dipidana. Bukan kegiatan demontrasinya yang dinyatakan pidana. Itu sebabnya para perusak dalam demonstrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja saja yang ditangkap dan diproses hukum. Ini logis dan benar menurut hukum. Yang tidak benar adalah demonstrasi dikualifikasi sebagai pidana. Sekali lagi ini tidak benar. Sangat buruk dan primitif. Tidak benar, bukan disebabkan oleh demonstrasi itu merupakan tampilan ekspresif dari hak berbicara dan menyatakan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945. Sebabnya adalah sistem hukum memberi sifat hukum pada demonstrasi sebagai tindakan hukum yang sah dan legal adanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Tidak ada penalaran yang dapat digunakan untuk menyatakan hal hukum yang sah itu, berubah menjadi tidak sah hanya karena ada tindak pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang. Demonstrasi itu, untuk semua cakrawala ilmu hukum konstitusi diterima sebagai bentuk kongkrit dari ekspresi hak masyarakat menyatakan pendapat. Menuliskan pikiran atas suatu hal, untuk alasan ilmu hukum konstitusi merupakan cara hak menyatakan penapat yang diberi bentuk dan eksis. Pada titik ini hakim harus tahu bahwa konsep hak menyatakan pendapat tidak bersifat tunggal. Hak ini dalam ekspresinya bersifat jamak. Konsep ini luas. Boleh saja demokrasi diisolasi atau relasi fungsional antara demonstrasi dengan hak menyatakan pendapat. Masalahnya cara itu menyangkal hukum alam, yang menjadi basis alamiah lahirnya konsep hak menyatakan pendapat. Eksistensi alamiah orang diukur antara lain oleh apakah lingkungan tempat orang itu hidup memungkinkan dia menggunakan akal pikirannya atau tidak. Soal ini memiliki sifat alamiah, dengan derajat fundamental. Itu sebabnya ilmu konstitusi memberi sifat hak menggunakan akal pikiran itu sebagai hak yang bersifat negatif. Negatif karena hak itu melekat pada diri setiap orang, siapapun orangnya, karena mereka adalah manusia. Melekatnya hak itu pada setiap orang sama sekali tidak ditentukan oleh sebab dari luar orang itu. Ini disebut sebab yang artifisial. Sama sekali bukan begitu. Melekatnya hak itu pada setiap orang, karena mereka, sekali lagi adalah manusia yang sebenarnya. Praktis hak itu ada dan melekat pada setiap manusia bukan karena dinyatakan dalam UU, positum. Ini harus dimengerti betul oleh hakim. Analisis Syahganda atas berbagai persoalan, termasuk menyatakan dukungannya atas rencana para pekerja berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja, itu bukan perbuatan pidana, apapun alasannya. Sama sekali bukan. Demontran yang terus berdemonstrasi hinga batas waktu yang ditentukan, bukan pidana. Demontrasi yang melampaui waktu yang ditentukan, sekacau apapun, tidak dapat dikualifikasi sebagai onar menurut konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Apa argumennya? Demontrasi bukan onar menurut pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946. Demontrasi menolak RUU Cipta Kerja misalnya, jelas maksudnya. Maksudnya adalah menolak RUU itu. Hal yang sedari awal jelas maksudnya, untuk alasan apapun, termasuk analogi, tidak dapat diserupakan dengan onar. Itu karena konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, sedari awal tidak jelas maksudnya. Itu menimbulkan ketakutan atau kebingungan atau kegaduhan ditengah masyarakat. Itulah onar. Ini diistilahkan dalam ilmu interpretasi dengan objective teleologis. Objective teleologis adalah maksud obyektif dari pembuat UU. Bahaya yang ditimbulkan dari keonaran itu harus kongkrit atau nyata-nyata adanya. Bukan hayalan. Ini yang dalam ilmu hukum disebut present danger. Present dangger inilah pulalah yang menjadi objective teleologis pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Praktis sifat bahanya harus present. Bukan potential danger atau bahaya yang dibayangkan secara hipotetik. Konsep present danger ini, hemat saya mencerminkan secara nyata pemerintah kala itu mengerti sifat alamiah warga negara yang mengekpresikan hak menyatakan pendapatnya. Ekspresi hak itu harus jelas maksudnya. Itu sebabnya yang dilarang adalah ekspresi hak yang tidak jelas maksudnya. Itulah yang harus dikenali benar oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini. Konyol sekali kalau demonstrasi yang menimbulkan ekses dijadikan titik tolak menyatakan demonstrasi itu sebagai onar. Bila demonstrasi yang menimbulkan dikualifikasi sebagai onar, maka akibatnya jelas. Bangsa ini ditarik jauh kebelakang meliputi masa-masa zaman penjajahan dulu. Menarik bangsa ini ke masa-masa zaman penjajahan memang merupakan soal besar. Tidak lebih dari menjungkir-balikan sesuatu yang secara alamiah diterima sebagai postulat tentang eksistensi manusia merdeka. Disebut manusia merdeka, karena cara itu mengingkari apa yang secara alamiah menjadi parameter kemanusiaan manusia. Menghukum perbuatan analisis terhadap sesuatu yang dalam sistem hukum telah dikualifikasi buruk, misalnya “cukong” jelas konyol. Beda angka yang dikutip dari pernyataan orang, tak dapat diinterpretasi sebagai telah terjadi kebohongan. Selisih lebih atau selisih kurang dari angka yang dinyatakan orang dan dikutip oleh Syahganda, tidak dapat diinterpretasi sebagai menyebar kebohongan. Sebabnya sifat dasar kenyataan itu tidak berubah. Sifat dasarnya tetap buruk. Buruk memang dapat dibuat gradasinya. Tetapi apapun gradasinya, cukong itu tetap saja buruk dalam semua sifatnya menurut sistem hukum yang eksisting. Konsekuensi level gradasi tidak dapat dijadikan “denominator dominan” atau “determinative factor” untuk menyatakan perbedaan gradasi menjadi kunci adanya “berita bohong” yang disebarkan. Hakim, tidak dapat menggunakan perbedaan angka itu sebagai “denominator dominan” yang mempertalikan dan mengutuhkan dua kenyataan berbeda itu, lalu membuat kongklusi adanya kebohongan. Pembaca FNN yang budiman. Tak masuk akal mengesampingkan sifat alamiah berpikir dan menyatakan pikiran. Berpikir dan menyatakan hasil pikirnya itu, merupakan hal alamiah yang bersifat categorial imperative dalam spektrum Immanuel Kant, filosof Jerman ini. Menghukum pikiran, jelas mengingkari sifat alamiah, yang Immanuel Kant sebut cateogorial imperative itu. Benar-benar patut ditertawakan bila hal yang bersifat imperative itu secara alamiah disingkirkan. Harus ditertawakan, oleh karena hal itu mencerminkan orang kehilangan bawaan alamiahnya. Padahal justru untuk mengagungkan hal yang secara alamiah merupakan parameter kemanusiaan, dan itu bersifat kategorial, peradilan dan hakim dihadiahi atau diatributifkan dengan senjata yang bernama “independensi” peradilan. Demi hukum dan bawaan alamiah manusia, tidak hanya untuk Syahganda Nainggolan, tetapi untuk semua warga negara Indonesia, yang UUD atribusikan eksistensi mereka sebagai orang merdeka, maka Syahganda harus bebas. Sungguh tak tersedia alasan masuk akal untuk menghukumnya. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.
Rakyat Patungan Membeli Kapal Selam Pengganti Nanggala 402
by Agi Betha Bekasi FNN - Rakyat bangkit untuk membeli Kapal Selam baru. Gerakan rakyat untuk patungan membeli Kapal Selam sendiri sebagai pengganti KRI Nanggala 402 yang tenggelam di laut Bali. Gerakan yang akan tercatat dalam sejarah Indonesia. Bahkan pada buku sejarah dunia. Gerakan ini akan bergulir menjadi peristiwa sejarah yang fenomenal. Baru kali ini ada rakyat di sebuah negara yang mengalami duka yang sangat mendalam akibat kehilangan prajurit-prajurit terbaiknya. Hilangnya prajurit terbaiknya bukan karena suatu pertempuran dengan negara lain. Tetapi akibat dari Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang sudah berumur 40 tahun lebih. Maka, untuk melindungi dan keamaan bangsanya sendiri, rakyat sontak menciptakan usaha swadaya berupa pengumpulan dana untuk membeli Alutsista tempur Kapal Selam. Rakyat patungan untuk membeli Kapal Selam pengganti KRI Neggala 402. Sebab rakyat sangat sadar kalau pemerintahnya yang berkuasa sedang sibuk-sibuknya mencari dan mengalokasikan dana besar-bsaran untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Proyek yang membutuhkan biaya raksasa senilai Rp 466 triliun. Namun untuk membeli kapal selam baru susahnya minta ampun. Rakyat juga menyadari, waktu untuk pemerintah telah habis hanya untuk mencari utangan sana-sini demi untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang pada Maret 2021 ini saja, sudah tekor sebesar Rp 144 trilun. Rakyat pun sangat paham, kalau penguasa negaranya sedang panik dalam mengejar-ngejar pajak, dengan membuat daftar baru barang-barang milik rakyat yang perlu untuk dipajaki. Rakyat harus dikuras melalui pajak demi mengisi kas negara yang kosong. Rakyat merasa kasihan melihat pemerintahnya. Karena segala daya dan upaya yang sudah dikerahkan pemerintah agar Rp 11.000 triliun duit WNI yang diparkir di luar negeri agar dibawa kembali ke sini, tak membuahkan hasil apa-apa. Padahal data-data para taipan kaya raya itu sudah ada di kantong Presiden sejak tahun 2016 lalu. Rakyat tidak pernah frustrasi. Rakyat selalu optimis. Nrimo. Juga rakyat tidak ada dendam, meski sering distigma buruk oleh pemerintahnya sendiri. Rakyat lagi berpikir, jika pemerintah sudah tidak mampu melindungi negara dan seisinya, maka mereka sendirilah yang akan bergotong royong melindungi diri sendiri. Tanpa perlu ribut-ribut menggugat dan menghujat. Tetapi langsung bertindak ngumpul dana. Makanya, tak heran jika ajakan Ustadz Abdul Somad di Instagram pribadinya agar umat mendukung “Gerakan Patungan Membeli Kapal Selam oleh Masjid Jogokaryan Jogja”, langsung disambut gegap gempita oleh rakyat. Menjadi pembicaraan dimana-mana. Menjadi “talk of the town” atau buah-bibir di sela-sela keheningan rakyat menunaikan ibadah Ramadhan tahun ini. Rasa duka cita rakyat yang mendalam karena kehilangan 53 prajurit terbaiknya bersama tenggelamnya KRI Nanggala 402, berubah menjadi harapan. Rakyat yang selalu merasa satu jiwa bersama dengan TNI menggumamkan asa bahwa tragedi yang menimpa para prajurit pilihan “Hiu Kencana” itu tak boleh sia-sia. Tidak boleh terulang lagi hanya karena peralatan yang sudah berumur 40 tahun lebih. Rakyat berkeinginan agar pasukan dan prajurit tarbaik ini seperti Yontaifib, Kopaska, Denjaka, Marinir dan seluruh prajurit TNI Angkatan Laut lainnya harus tetap bangga menjaga negaranya. Memiliki kecanggihan peralatan tempurnya yang sejajar dengan milik negara lain. Rakyat bermimpi ingin menjadikan Indonesia seperti dahulu kala. Sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan tempur terbaik dan terbesar di Asia. Makanya biarlah hilang satu, asalkan tumbuh seribu. Rakyat berduka dengan ikhklas merelakan KRI Nanggala 402 beristirahat tenang di dasar samudera. Namun rakyat Indonesia akan membelikan penggantinya yang lebih canggih melalui ajakan yang dipimpin oleh Ustadz Abdul Somad. Antusiame rakyat pun membahana di seluruh pelosok negeri. Bayangkan, baru diupload selama 6 jam saja. Namun poster ajakan tokoh bangsa yang dikenal dengan sebutan UAS tersebut di Instagram untuk mendukung ide Masjid Jogokaryan Jogja dan menyumbang duit untuk membeli Kapal Selam sendiri itu, sudah disukai oleh 121 ribu lebih netizen. Termasuk disukai oleh akun resmi TNI Angkatan Laut. Status instagram UAS itu juga panen komentar, yakni ada 4.336 komentar yang umumnya mendukung seruan positif tersebut. Poster itu pun menjadi tenar. Karena di-download dan dibagikan ke berbagai media sosial. Gerakan ini benar-benar telah membuat kebangkitan untuk selalu bersama-sama dengan anak kandunya TNI dalam menjaga dan menyelamatkan bangsanya. Sementara itu di dunia nyata, rakyat Jogja juga menyambut gembira ajakan Masjid Jogokaryan. Masjid yang selama ini sangat dipercaya karena terkenal amanah dalam mengelola uang jamaah itu, menuai pujian. Ajakan orisinil itu menggerakan hati umat. Dari kelas papa hingga kaya raya. Seribu, dua ribu, uang berwarna hijau, biru, dan merah, pelahan mulai terkumpul. Melihat besarnya antusiasme rakyat dalam menyambut seruan perjuangan dari Masjid dan Takbir dari ulamanya ini, maka dapat diprediksi bahwa Gerakan Open Donasi tersebut akan menjadi bola salju yg menggelinding. Makin lama semakin membesar. Karena seruan dari satu ulama pewaris ilmu Nabi Salallaahu Alaihi Wasallam, biasanya akan digemakan oleh para ulama-ulama hanif lainnya. Gerakan ini akan menjadi orkestra ajakan yg menggema dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Nias sampai Mianga. Mari dukung Indonesia memiliki kapal selam baru yang canggih dan aman bagi para prajurit TNI penjaga laut Nusantara. Cita-cita luhur yang lahir dari rahim ibu pertiwi dan dikumandangkan oleh ulama ini, insya Allah akan membawa kejayaan bagi rakyat dan Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...!!! Jelasveva Jayamahe, Merdekaaaaaaaa...!!! Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemehati Bangsa
Partai Masa Islam Berpeluang Maraih Suara Besar 2024
by Luqman Ibrahim Soemay Jakarta FNN - Korupsi bertubi-tubi dilakukan oleh partai-partai yang berkuasa saat ini dalam koalisi Presiden Jokowi. Apalagi korupsi yang menjijikan itu dilakukan saat rakyat sedang menderita dalam situasi bencana pandemi covid-19, maka muncul semacam public distrust (ketidakpercayaan publk) yang meluas terhadap partai-partai yang berkuasa saat ini. Pendapat itu disampaikan pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun saat ditanya usai berbicara di acara Orientasi dan Rakernas Partai Masyumi di Hotel Balairung Jakarta, Sabtu (24/4/21) lalu. "Faktanya korupsi yang marak itu terjadi di tengah bencana yang sangat nekena kehidupan dan daya beli masyarakat saat ini, jutru dilakukan oleh partai-partai yang sedang berkuasa. Misalnya, maaf saya sebutkan, kalau korupsi itu dilakukan oleh menteri yang berasal dari PDIP dan Partai Gerindra yang notabenenya bukan dari partai Islam" ujar Ubedilah Badrun. Tentu partai Islam sebagai anti tesis memiliki peluang lebih besar dibanding partai lain yang sekuler (non Islam). Apalagi jika memiliki gagasan gagasan baru yang solutif dalam menghadapi problem bangsa saat ini yang bermasalah hampir di semua bidang kehidupan. Momentum ini menjadi peluang untuk mendulang suara besar. Untuk itu, mesin politik partai Islam harus kerja keras sejak saat ini. Adapun peluang partai baru seperti Masyumi menurut pengamat politik papan atas ini memiliki peluang yang cukup besar. Juga bakal diperebutkan oleh partai-partai baru lainya karena ceruk pemilihnya masih banyak. "Ceruk pemilih untuk Masyumi itu masih banyak. Diantaranya masih ada Golongan Putih (Golput) yang kurang lebih dari 25% pemilih. Ada swing voters sekitar 16%, dan ada juga undecided voters sekitar 20%. Apalagi sangat mungkin akan dapat limpahan suara dari PBB yang pemilu lalu terpuruk mulai, karena ditinggalkan pemilih tradisionalnya " tegas Ubedilah. Selain itu, Partai Masyumi ini menurut pengamat yang juga tokoh aktivis ‘98 ini memiliki modal historis dan kultural yang bagus. Masyumi ini secara historis memiliki modal besar karena sumbangsihnya pada negara dalam menyatukan kembali Indonesia dalam bingkai NKRI setelah sempat menjadi negara serikat yang terpecah-pecah. Modal Masyumi itu dikenal dengan “Mosi Integral Muhamad Natsur”. Selain itu keberadaan mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi adalah modal kultural yang penting karena beliau dikenal sebagai tokoh nasional memiliki integritas yang tinggi. Bersih dari hal-ihwal yang berkaitan dengan korupsi atau barang yang sifatnya haram. Sementara Ketua Umum DPP Masyumi Ahmad Yani menyatakan bahwa langkah-langkah penting partai Masyumi akan terus dilakukan diantaranya mengajak generasi muslim milenial untuk bergabung. Pemilih muda pada pemilu 2024 itu jumlahnya lebih dari 50 %. Karenanya Masyumi jugu sebaiknya cncern soal itu, dengan mengajak generasi milenial dan generasi Z ini untuk bergabung. Alhamdulillah sudah mulai banyak yang bergabung. “Kami ingin membuktikan bahwa kepada masyarakat Indonesia Masyumi kini bukan partainya orang-orang tua. Tetapi juga partainya generasi milenial " ungkap Ketua Umum Partai Masyumi, Ahmad Yani yang dikenal sebagai tokoh oposisi dan juga mantan anggota DPR RI. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id
Kematian Kabinda Papua, Presiden Harusnya Ganti Kepala BIN
by George Elkel Ambon FNN - Saat membaca kematian Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha yang di tembak di dekat Gereja, saya mulai berpikir, apakah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) organisasi bentukan yang teroganisir dan terlatih? Sebab mereka bisa punya jaringan ke tubuh institusi rahasia sekalipun seperti Badan Intelijen Negara (BIN). Apakah KKB ini murni dari sayap Organisasi Papua Merdeka? Mengapa demikian? Sebab KKB dalam memilih terget seorang Kebinda Papua itu sungguh sangat provisional dan terlatih. Selain itu, setiap turunnya Kabinda ke daerah selalu adanya Operasi tertutup. Perjalanannya sangat rahasia. Surat perjalanan dikirimkan ke Kepala BIN Pusat. Mengulas dari kematian Kabinda Papua, kita tau dalam sejarah OPM, target yang dipilih separatis OPM selalu saja tidak asal bunuh. Selalu membunuh musuh dengan membedakan, baik dari suku, jenis kulit dan lainnya. Mereka tidak asal mengeksekusi atau membakar secara membabi buta. Namun dalam selang beberapa waktu terakhir, sampai pada hari kematian Kabinda Papua, saya percaya KKB yang sering melakukan penyerangan kepada warga adalah KKB teroganisir. Mereka terhimpun dalam kesatuan komando yang dibagi sesuai wilayah. Mereka adalah KKB yang terlatih khusus dalam hal mengalihkan isu, teror, gerakan taktis, dan menakut-nakuti pribumi rakyat papua. Tujuan dari KKB ini bervariasi. Namun dari setiap postingan klip KKB di youtube, seakan-akan KKB ini ganas dan seperti teroris. Hal ini bisa saja memicu KKB dalam taktik untuk di usulkan sebagai teroris. Pernah ada usulan KKB dan OPM di Papua ditetapkan sebagai organisasi teroris. Gagasan untuk menetapkan KKB dan OPM di Papaus sebagai organsiasi teroris pernah diusung Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, Senin 22/03/2021. “Alasannya KKB dan OPM menyerang anggota TNI/Polri dan masyarakat sipil di Papua” kata Kepala BNPT, Komisaris Komjen. Pol. Dr. Drs. Boy Rafli Amar, MH. Kalau dilihat dari pola gerakannya, KKB dan OPM sejak awal sudah berbeda. Sebab ada anggota TNI dan Polri yang membelot, dan masuk OPM. Itu sebagai akibat dari kekejaman oknum anggota TNI dan Polri yang bertugas di Papua terhadap rakyat Papua. Rakyat tidak diperlakukan sebagai saudara. Apalagi memperlakukan lawan sebagai kawan, yang akhirnya mau menjadi saudara. Harusnya pendekatan yang dilakukan adalah dengan mencontoi pola dan pendekatan TNI asal Maluku yang di turunkan ke Papua. Banyak hal manfaat yang bisa didapat. Misalnya, kebijakan OPM tidak mau menempatkan anggota TNI asal Maluku yang ditugaskan di Papua sebagai target serangan. Karena masih dianggap sebagai saudara. Kalau OPM tidak asal serang dan membunuh. OPM masih pilih-pilih target yang mau diserang. Menjadi pertanyaan, apakah pembunuhan, ancaman, pembakaran yang dilakukan KKB ini merupakan bagian atau perpanjangan tangan dari OPM? Atau KKB bentukan khusus yang terlatih untuk melakukan serangan taktis dan cepat dalam menembak, membakar dan meninggalkan lokasi. Kalau diamati hal-hal menarik dari pola KKB yang tersebar youtube, nampak seorang anggota KKB sebarkan ancaman, serta dalam hal KKB bercakap dengan pimpinannya soal utang Rp 2.350 miliar. KKB menyatakan akan membakar dan membunuh yang tersiar dan tersebar di youtube, seakan-akan publik ini dibuat penafsiran kalai KKB OPM itu berbahaya. Sejak istilah OPM di ganti dengan panggilan KKB, apakah dengan sendirinya cara-cara membunuh dan menyerang juga berubah? Ternyata sama sekali tidak. Jadi, OPM dan KKB itu dua hal yang berbeda di Papua. Kalau dilihat di dalam vidio ancaman yang tersiar di youtube ada seorang di sebelah dengan bentukan kaki bersih, licin seakan-akan bukan orang yang lama di hutan. Namun sepertinya itu adalah kaki dari prajurit yang lama ikut pendidikan khusus. Jadi kematian Kabinda Papua, perlu di tarik pada masalah bocornya operasi Rahasia Negara. Perlu adanya kebersihan pada tubuh Badan Intelijen Negara di jakarta. Sebab dalam hal laporan rahasia negara ke BIN, baik untuk perjalanan keluar dan di dalam negeri bisa di katakan sudah tidak aman lagi. Sehingga perlu adanya pemeriksaaan khusus dalam kasus kematian tersebut. Melihat pola serang KKB OPM dan pola kerja BIN sudah pasti dua hal yang berbeda jauh. Namun KKB yang berhasil membunuh Kabinda Papua adalah Keberhasilan dan kemangan OPM yang luar biasa, bila dilihat dari sisi perjuangan OPM. Kalau dilihat dari sisi strategi OPM, kejadian ini dianggap provesional. Tetapi OPM yang dimaksud sudah pasti KKB OPM yang mana? Kemungkinan bisa saja pelakunya adalah anggota TNI dan Polri yang membelot ke hutan. Dalam berita kontak senjata, apakah BIN daerah dilengkapi dengan senjata laras panjang atau pistol? Apakah Kabinda dikawal TNI dengan laras panjang atau bersama anggota BIN lapangan? Sebab kematian Kabinda Papua tidak bisa dianggap hal kontak senjata biasa. Banyak rekomemndasi BIN soal deportasi WNA akibat salah dalam jalankan tugas di Papua. Misalnya, ada WNA wanita yang menjadi pekerja sosial, dan memberikan obat kepada anggota OPM yang sakit dan lainnya telah dideportasi. Diduga sudah banyak rekomendasi yang bersifat rahasia dari BIN yang jebol dan bocor ke tangan OPM dan KKB. Untuk itu, berkaitan dengan dengan penyerangan yang berakibat kematian Kabinda Papua ini, sebaiknya Kepala diganti. Presiden Jokowi sebaiknya menunjuk Kepala BIN dari kesatuan yang di anggap lebih profesional di bidang intelijen. Bukan mantan polisi lalulintas. Sebab BIN itu adalah biji matanya negara. Hanya kepada Presiden sajalah mata itu melapor hal-hal yang urgensi. Kematian Kabinda Papua menambah deretan pertanyaan, apakah KKB itu murni OPM? Atau KKB itu bentukan dari organisasi yang terlatih? Bila KKB itu adalah murni KKB OPM, maka OPM dianggap telah menang, karena strategi dan data serta informasi negara bisa didapat mereka. Namun bila KKB itu bentukan organisasi terlatih, maka negara harus siap untuk menghadapi perang kepentingan pada setiap rahasia negara yang bocor. Untuk mencegah hal itu, negara secepatnya membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi kasus kasus bocornya rahasia negara dan menyelidiki, apakah KKB bentukan organisaisi khusus yang terlatih atau KKB OPM yang murni? Penulis adalah Sekjen Lingkar Pulai Kei Nasional.