Munarman Teroris? Densus 88 Polri Gaweannya Lucu Amat Sih!
Sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an, Munarman sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI jika kekuasaan Soeharto berakhir kelak. Kini Munarman mau dituduh teroris? Ya pastinya mayoritas aktivis ‘98 yang mengenalnya puluhan tahun, tidak mau percaya degan geweannya Densus 88 Polri yang lucu-lucuan itu. Namun kalau Polisi menuduh Munarwan sukanya melawan kekuasaan yang zolim, tidak adil, semena-mena dan otoriter, korupsi dana bansos dan uangnya kaum difabel, antek aseng dan asing Bejing, itu mungkin ada benarnya. Karena itulah yang dikenal dari seorang pejuang demokrasi yang bernama Munarman.
by Bambang Tjuk Winarno
Madiun FNN – Ade pameo di polisi, kalau "teman satu angkatan atau teman seperjuangan saja bisa dikorbankan, apalagi orang lain". Pamoe ini sekarang terbukti pada diri Munarman, yang sejak menjadi aktivis di akhir 1980-an sudah bercita-cita untuk memisahkan Polisi dari ABRI. Namun sekarang Munarman ditahan Polisi dengan tuduhan yang dibuat-buat, karena kejadiannya sejak tahun 2015 lalu.
Yang terjadi pada Munarman ini, bukan lagi seperti kacang yang lupa sama kulitnya. Tetapi seperti kacang lupa sama tanah yang pernah menyuburkan dan membesarkan pohon kacang. Kejadian ini juga menjadi pelajaran berharga untuk para aktivis muda lainnya, agar belajar dari kasus Munarman. Jangan sampai menyesal di belakangan tidak ada gunanya.
Masyarakat sama sekali tidak terkejut ketika Selasa sore (27/04/2021), menyaksikan dan membaca berita berbasis satelit, Munarman ditangkap oleh Densus 88 Polri. Munarman ditangkap di kediamannya, Blog G Klaster Lembah Pinus, Perumahan Modern Hills, Pamulang, Tangerang Selatan. Perlakuan polisi terhadap Munarman ketika ditangkap juga sangat buruk dan tidak manusiawi.
Tuduhan utama polisi terkait penangkapan mantan Sekretaris Jendral eks Front Pembela Islam (FPI), yang sekarang ini tengah mati-matian memperjuangkan kepentingan hukum Habib Rizieq Shihab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur tersebut, adalah terkait baiat di UIN Jakarta, Makassar dan Medan beberapa waktu lalu. Munarman yang nampak tidak takut itu, lalu dibawa masuk ke mobil putih dan meluncur ke Mapolda Metro Jaya.
Tuduhan Munarman terkait teroris itu disampaikan oleh Kabagpenum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan. "Jadi (penangkapan) terkait dengan kasus baiat di UIN Jakarta, kemudian juga kasus baiat di Makassar, dan mengikuti baiat di Medan. Jadi ada tiga hal tersebut," kata Ramadhan pada wartawan. (Kompas.com, 27/4/2021).
Yang paling nyata disini, ayah tiga putra kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 53 tahun silam, itu bukan sosok bajingan atau pengkhianat Merah Putih yang akan menjual NKRI ke negara lain. Dia bukan anak PKI, dan dia sendiri juga bukan penganut paham komunis. Bukan koruptor bansos dan difabel, Juwasraya, Asabri serta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan bandar atau penyebar narkoba. Bukan teroris.
Munarman bukan pelaku yang menguras habis uang negara. Dia tidak turut campur dalam merancang UU Omnibus Law. Bukan pula perancang tergerusnya Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bukan perancang hilangnya pelajaran Agama Islam dan Bahasa Indonesia bagi anak didik sekolah. Munarman bukan sosok yang membuang pendiri NU, Hasyim Ashari, dari literasi sejarah.
Yang kita kenal, Munarman adalah oposan negara yang setiap saat merobek robek ketidak adilan rezim Jokowi (panggilan Presiden Joko Widodo). Munarman sebagaimana rekan seperjuangannya, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang lebih dulu berurusan hukum, memperjuangkan ketidak adilan dibidang hukum, ekonomi, politik maupun ketimpangan rezim lainnya.
Munarman bergerak dalam basis akidah Islam yang kental, kuat dan mendasar. Ibarat jet tempur F-16 Fighting Falcon, Munarman meluncur secara Fly by Wire dengan kendali Sang Khaliq di Singgasana Arasy. Karenanya, Munarman babar blas tidak ragu. Apalagi gentar tentang apa yang dia perjuangkan.
Sebagai pejuang demokrasi dan kemanusiaan, Munarman tentu tidak gagal paham tentang resiko yang akan dialaminya. Secara fighter view, penjara akan diterjemahkan sebagai anugerah tanda jasa luar biasa. Atau ibarat sakera dari Madura. Penjara akan dipandang sebagai tempat mengasah celuritnya. Hingga semakin tajam dan mematikan musuh-musuhnya, kelak jika keluar penjara.
Jangan mengaku pemain bola, jika belum punya bekas luka jatuh akibat tackling lawan. Atau jangan mengaku pengganti Valentino Rossi dan Dani Pedrosa di Motor GP, jika belum pernah patah tulang akibat tersungkur saat meluncur sentrifugal di lintasan kelok. Itu semua hal biasa saja untuk seorang Munarman, yang sudah pernah ditahan di Polda Metro Jaya.
Itu sekedar contoh tentang nilai-nilai perjuangan Munarman. Perjuangan yang tidak mungkin dicapai hanya dengan melakukan korupsi. Atau menjual bangsa dan negara dengan memburu rente Vaksin Sinovac. Munarman tidak menjual bangsa dengan hanya dengan berpura-pura kerja sama investasi. Atau malah menuduh para pejuang kebenaran, sebagai biang keladi kerusuhan. Tidak seperti itu.
Munarman menyuruh anak buahnya dari FPI berada di garda terdepan setiap kali bencana alam terjadi. Pada hari pertama ,ketika institusi negara belum hadir di setiap bencana alam, anak buah Munarman dari FPI sudah berada di lokasi benacana. Wajar saja kalau media internasional kelas Washinton Post, New York Times mengganjal FPI sebagai organisasi paling manusiawi dalam setiap bencana alam.
Bicara penjara dan pejuang, maka hampir semua pahlawan nasional pejuang revolusi dan kemerdekaan NKRI pernah mengenyam indahnya jeruji besi. Keluar masuk penjara tak membuat mereka kapok untuk melawan penjajah dan kekuasaan yang zolim. Bahkan, mungkin malah dianggapnya keluar masuk rumah makan saja. Karena melawan kekuasaan yang zolim pasti mengantarkan mereka ke syurga. Itu pasti. Tidak ada keraguan.
Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Bung Karno, Mohamad Hatta, Cut Nyak Dien, Sultan Hasanudin, Sultan Nuku, Kapitan Pattimura, serta sejumlah pahlawan lainnya yang turut mendirikan negeri ini. Posisi mereka tak ubahnya Munarman, HRS, Sobri Lubis Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan para pejuang masa kini lainnya. Mereka pilih keluar dari zona-zona nyaman.
Para pejuang dan pahlawan terdahulu musuh utamanya penjajah. Mereka bukan saja dipenjara, melainkan juga disiksa, bahkan dibuang ke pulau terpencil atau luar negeri. Harta-benda, bahkan nyawa mereka dipertaruhkan. Yang mereka tidak pertaruhkan hanyalah kebenaran dan akidah. Sekarang tugasnya berteriak melawan kekuasaan yang zolim dan tidak adil. Kekuaksaan yang semena-mena dan otoriter.
Tak terperikan perjuangan mereka. Namun, Bung Karno masih mengakui kalau berat perjuangannya masih belum seberapa, jika dibandingkan perjuangan para pahlawan sesudahnya kelak. Kata Bung Karno, “perjuanganku tidak seberapa, sebab musuhku jelas Belanda. Sedangkan musuhmu nanti adalah bangsamu sendiri. Maksud Bung Karno kura kira "merepotkan". Dibilang musuh itu, kawan. Tetapi dibilang kawan, ternyata (mohon maaf, karena bulan puasa) bangsat.
Ternyata benar apa yang "ramalkan" Bung Karno. Sekarang sudah terbukti. Munarman, HRS, Sobri Lubis, Syahganda Nasinggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana dan sahabat senasib seperjuangannya, kini berhadapan dengan musuh yang tak lain adalah bangsanya sendiri.
Munarman sejak menjadi aktivis akhir 1980-an, selalu bersikap melawan rezim zolim dan otoriter Soeharto. Rezim yang menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan untuk memenjarakan para aktivis demokrasi. Sikap Munarman itu tidak pernah bergeser sampai sekarang. Keputusannya menerima jabatan KetuaYayasan Lebaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Katua Kontras, dua LSM Menteng yang menjadi salah satu musuh utamnyanya kekuasaan Soeharto adalah pilihan melawan kekuasaan zalim, otoriter, dan tidak adil.
Ketika Munarman bercita-cita untuk memishkan Polisi dari ABRI di tahun akhir tahun 1980-an dan saat menjabat Ketua YLBHI dan Ketua Kontras dulu, yang hari ini menjadi pemimpin Polisi belum menjadi anggota Polisi. Sebagian besar masih menjadi siswa taruna polisi di Magelang dan Akpol Semarang. Masih berjuang untuk menjadi anggota polisi. Namun Munarman sudah berjuang melawan kekuasaan yang menjadikan Polisi sebagai alat politik untuk memukul lawan-lawan politik Soeharto. Ingat itu petuah orang tua-tua kampong, "jangan seperti kacang yang lupa kulitnya".
Selain sebagai Ketua YLBHI dan Ketua Kontras, Munarman juga mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PPI) dan Himpunan Mahasiswa islam (HMI). Para aktivis '98 yang kenal dengan Munarman sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an seperti Fadli Zon, Haris Rusli Moti, Agus Prijono Jabo, Yusuf Lakaseng, Ray Rangkuti, Fahri Hmazah, Muhammad Naufal Donggio, Eggi Sudjana, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Adi Arief, Bursah Zarnubi, Rama Pratama, Iwan Somule, Adam Wahab, Ahmad Muzani, Adrianto, Ahmad Yani, pastinya tidak akan percaya kalau Munarman terpapar paham teroris.
Begitu juga dengan almarhum Bang Buyung Nasution dan almarhum Bang Mulyana W. Kusumu, mungkin saja akan menjadi saksi di pengadilan akhirat kalau Munarman pasti tidak terpapar teroris. Karena yang menjagokan Munarman menjadi Ketua YLBHI adalah Bang Buyung Nasution dan Bang Mulyana W. Kusuma. Hampir dipastikan kali ini Densus 88 Polri keliru besar. Hanya karena khawatir kemungkinan Munarman yang menjadi Ketua Tim Pembela HRS, bakal menangkis semua alibi Polisi dan Jaksa di persidangan.
Selain itu, hawatir juga Munarman bakal membongkar keterlibatan intitusi negara di luar Kepolisian yang diduga terlibat dalam pembunuhan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Sebab kalau hanya soal dugaan keterlibatan teroris (baiat) yang terjadi tahun 2015 dulu, masa sih mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian PhD tidak tau? Ingat, Pak Tito itu orang hebat di Densus 88 lho, selain Pak Gories Mere. Apalagi Munarman sering berkomunikasi dengan Pak Tito, karena punya hubungan baik. Sama-sama Wong Kitogalo dan sekolah di SMA yang sama.
Kalau Munarman itu terpapar paham teroris, tidak mungkin Pak Tito yang sekarang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan menjadi salah satu kandidat potensial untuk Calon Presiden 2024 nanti itu tidak tau. Sebab bisa jadi dugaan tindak pidana yang kemukinan polisi lain tidak tau, Pak Tito pasti tau. Sedangkan yang Pak Tito tau, belum tentu polisi lain tau. Ingat, Pak Tito itu polisi hebat, polisi pintar, polisi cerdas. Polisi yang top markotp. Makanya Densus 88 Polri sebaiknya jangan sampai anggap reme Pak Tito, kalau sampai menuduh Munarman terpapar teroris. Itu kurang baik, bahkan kurang ajar.
Penulis adalah Wartawan FNN.co.id