Please Pak Hakim, Bebaskan Dr. Syahganda Nainggolan
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum
Jakarta FNN - Perkara Dr. Syahganda Naingolan telah memasuki babak akhir. Hakim yang menyidangkan dan memeriksa perkara ini segera menjatuhkan putusan. Akankah hakim sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Dr. Syahganda dijatuhi hukuman penjara 6 (ernam) tahun, setengahnya atau dibebaskan?
Tersediakah alasan yang bersumber dari fakta persidangan untuk hakim pijaki secara jujur sehinga dapat menyatakan hukum yang berberda dengan yang dituntut oleh JPU? Misalnya hakim menyatakan benar tuduhannya terbukti. Tetapi hal yang terbukti itu tidak beralasan hukum yang logis untuk dinyatakan sebagai perkara pidana, sehingga Syahganda diputus lepas dari segala tuntutan hukum, onslag van rechtvervolging?
Persidangan perkara ini dilakukan secara terbuka. Fakta persidangan tersebar luas. Dapat diidentifikasi oleh berbagai pihak. Fakta ini memungkinkan siapapun menganalisisnya, dan membayangkan hukum yang akan ditetapkan hakim. Fakta yang tersebar itu telah cukup berbicara secara gamblang bahwa perkara, dengan semua argument hukum yan tersedia, tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana.
Saya tidak akan menyajikan lagi argumen-argumen teknis hukum pada kesempatan ini. Sebab argumen-argumen itu telah saya sajikan pada artikel-artikel sebelumnya. Kali ini saya ingin menyajikan dimensi lain. Dimensi yang hendak saya sajikan adalah relasi antara peradilan dengan bobot rule of law.
Bagi saya soal terpenting pada titik ini adalah apakah hakim memahami eksistensinya dalam spectrum rule of law? Sebab rule of law tidak meminta banyak dari hakim. Yang diminta rule of law kepada hakim hanyalah membebaskan diri dari lilitan penguasa. Itu saja. Tidak lebih dari itu.
Independensi atau kemandirian hakim tidak ditentukan oleh pernyataan dalam huruf-huruf konstitusi. Sama sekali tidak. Eksistensi independensi, sepenuhnya merupakan cerminan sikap pribadi hakim. Praktis sikap pribadi hakimlah merupakan kunci independensi peradilan.
Cara berpikir atau penalaran hakim tertuang dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Penalaran merupakan cerminan level mahkota hakim, sekaligus level mahkota independensi itu. Disebut mahkota hakim, karena penalaran hakim mencerminkan kadar dan level ilmunya. Level ilmu merupakan cerminan level kebijaksanaannya. Level kebijakan merupakan cerminan dari kombinasi manis antara pemahaman ilmu hukum, ilmu pengetahuan lainnya, termasuk keadaan faktual.
Ilmu apa yang dapat digunakan secara logis untuk membuat kongklusi bahwa pengrusakan yang terjadi dalam satu demontrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja sebagai pidana? Ilmu hukum tidak menyediakan satu pun dimensinya untuk diambil dan digunakan sebagai pijakan membuat kongklusi demontrasi yang disertai pengrusakan itu bersifat pidana.
Pengrusakan harus dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tetapi bukan kegiatan demonstrasinya. Ilmu hukum dibangun dengan prinsip perbuatan para perusak itulah yang harus dipidana. Bukan kegiatan demontrasinya yang dinyatakan pidana.
Itu sebabnya para perusak dalam demonstrasi tolak RUU Omnibus Cipta Kerja saja yang ditangkap dan diproses hukum. Ini logis dan benar menurut hukum. Yang tidak benar adalah demonstrasi dikualifikasi sebagai pidana. Sekali lagi ini tidak benar. Sangat buruk dan primitif.
Tidak benar, bukan disebabkan oleh demonstrasi itu merupakan tampilan ekspresif dari hak berbicara dan menyatakan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945. Sebabnya adalah sistem hukum memberi sifat hukum pada demonstrasi sebagai tindakan hukum yang sah dan legal adanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.
Tidak ada penalaran yang dapat digunakan untuk menyatakan hal hukum yang sah itu, berubah menjadi tidak sah hanya karena ada tindak pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang. Demonstrasi itu, untuk semua cakrawala ilmu hukum konstitusi diterima sebagai bentuk kongkrit dari ekspresi hak masyarakat menyatakan pendapat.
Menuliskan pikiran atas suatu hal, untuk alasan ilmu hukum konstitusi merupakan cara hak menyatakan penapat yang diberi bentuk dan eksis. Pada titik ini hakim harus tahu bahwa konsep hak menyatakan pendapat tidak bersifat tunggal. Hak ini dalam ekspresinya bersifat jamak. Konsep ini luas.
Boleh saja demokrasi diisolasi atau relasi fungsional antara demonstrasi dengan hak menyatakan pendapat. Masalahnya cara itu menyangkal hukum alam, yang menjadi basis alamiah lahirnya konsep hak menyatakan pendapat. Eksistensi alamiah orang diukur antara lain oleh apakah lingkungan tempat orang itu hidup memungkinkan dia menggunakan akal pikirannya atau tidak.
Soal ini memiliki sifat alamiah, dengan derajat fundamental. Itu sebabnya ilmu konstitusi memberi sifat hak menggunakan akal pikiran itu sebagai hak yang bersifat negatif. Negatif karena hak itu melekat pada diri setiap orang, siapapun orangnya, karena mereka adalah manusia.
Melekatnya hak itu pada setiap orang sama sekali tidak ditentukan oleh sebab dari luar orang itu. Ini disebut sebab yang artifisial. Sama sekali bukan begitu. Melekatnya hak itu pada setiap orang, karena mereka, sekali lagi adalah manusia yang sebenarnya.
Praktis hak itu ada dan melekat pada setiap manusia bukan karena dinyatakan dalam UU, positum. Ini harus dimengerti betul oleh hakim. Analisis Syahganda atas berbagai persoalan, termasuk menyatakan dukungannya atas rencana para pekerja berdemonstrasi menolak RUU Cipta Kerja, itu bukan perbuatan pidana, apapun alasannya. Sama sekali bukan.
Demontran yang terus berdemonstrasi hinga batas waktu yang ditentukan, bukan pidana. Demontrasi yang melampaui waktu yang ditentukan, sekacau apapun, tidak dapat dikualifikasi sebagai onar menurut konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana. Apa argumennya?
Demontrasi bukan onar menurut pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946. Demontrasi menolak RUU Cipta Kerja misalnya, jelas maksudnya. Maksudnya adalah menolak RUU itu. Hal yang sedari awal jelas maksudnya, untuk alasan apapun, termasuk analogi, tidak dapat diserupakan dengan onar.
Itu karena konsep onar dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, sedari awal tidak jelas maksudnya. Itu menimbulkan ketakutan atau kebingungan atau kegaduhan ditengah masyarakat. Itulah onar. Ini diistilahkan dalam ilmu interpretasi dengan objective teleologis. Objective teleologis adalah maksud obyektif dari pembuat UU.
Bahaya yang ditimbulkan dari keonaran itu harus kongkrit atau nyata-nyata adanya. Bukan hayalan. Ini yang dalam ilmu hukum disebut present danger. Present dangger inilah pulalah yang menjadi objective teleologis pasal 14 ayat (1) dan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946.
Praktis sifat bahanya harus present. Bukan potential danger atau bahaya yang dibayangkan secara hipotetik. Konsep present danger ini, hemat saya mencerminkan secara nyata pemerintah kala itu mengerti sifat alamiah warga negara yang mengekpresikan hak menyatakan pendapatnya.
Ekspresi hak itu harus jelas maksudnya. Itu sebabnya yang dilarang adalah ekspresi hak yang tidak jelas maksudnya. Itulah yang harus dikenali benar oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Konyol sekali kalau demonstrasi yang menimbulkan ekses dijadikan titik tolak menyatakan demonstrasi itu sebagai onar. Bila demonstrasi yang menimbulkan dikualifikasi sebagai onar, maka akibatnya jelas. Bangsa ini ditarik jauh kebelakang meliputi masa-masa zaman penjajahan dulu.
Menarik bangsa ini ke masa-masa zaman penjajahan memang merupakan soal besar. Tidak lebih dari menjungkir-balikan sesuatu yang secara alamiah diterima sebagai postulat tentang eksistensi manusia merdeka. Disebut manusia merdeka, karena cara itu mengingkari apa yang secara alamiah menjadi parameter kemanusiaan manusia.
Menghukum perbuatan analisis terhadap sesuatu yang dalam sistem hukum telah dikualifikasi buruk, misalnya “cukong” jelas konyol. Beda angka yang dikutip dari pernyataan orang, tak dapat diinterpretasi sebagai telah terjadi kebohongan. Selisih lebih atau selisih kurang dari angka yang dinyatakan orang dan dikutip oleh Syahganda, tidak dapat diinterpretasi sebagai menyebar kebohongan.
Sebabnya sifat dasar kenyataan itu tidak berubah. Sifat dasarnya tetap buruk. Buruk memang dapat dibuat gradasinya. Tetapi apapun gradasinya, cukong itu tetap saja buruk dalam semua sifatnya menurut sistem hukum yang eksisting.
Konsekuensi level gradasi tidak dapat dijadikan “denominator dominan” atau “determinative factor” untuk menyatakan perbedaan gradasi menjadi kunci adanya “berita bohong” yang disebarkan. Hakim, tidak dapat menggunakan perbedaan angka itu sebagai “denominator dominan” yang mempertalikan dan mengutuhkan dua kenyataan berbeda itu, lalu membuat kongklusi adanya kebohongan.
Pembaca FNN yang budiman. Tak masuk akal mengesampingkan sifat alamiah berpikir dan menyatakan pikiran. Berpikir dan menyatakan hasil pikirnya itu, merupakan hal alamiah yang bersifat categorial imperative dalam spektrum Immanuel Kant, filosof Jerman ini. Menghukum pikiran, jelas mengingkari sifat alamiah, yang Immanuel Kant sebut cateogorial imperative itu.
Benar-benar patut ditertawakan bila hal yang bersifat imperative itu secara alamiah disingkirkan. Harus ditertawakan, oleh karena hal itu mencerminkan orang kehilangan bawaan alamiahnya. Padahal justru untuk mengagungkan hal yang secara alamiah merupakan parameter kemanusiaan, dan itu bersifat kategorial, peradilan dan hakim dihadiahi atau diatributifkan dengan senjata yang bernama “independensi” peradilan.
Demi hukum dan bawaan alamiah manusia, tidak hanya untuk Syahganda Nainggolan, tetapi untuk semua warga negara Indonesia, yang UUD atribusikan eksistensi mereka sebagai orang merdeka, maka Syahganda harus bebas. Sungguh tak tersedia alasan masuk akal untuk menghukumnya. Semoga.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.