Soal HAM, Ketua MPR Bamsoet Tidak Paham Konstitusi
by Marthen Goo
Jakapura FNN - Dalam konflik kombatan antara TPN-OPM dan TNI-Polri, tepat pada hari minggu 25 april 2021, kita dengar bahwa Kepala BIN daerah ditembak mati TNP-OPM seperti dirilis oleh berbagai media. Tentu dalam prinsip konflik kombatan, menjadi wajar karena dalam tembak-menembak, pasti satu dari antara pihak kombatan yang bergururan. Begitu juga hukum humaniter.
Dalam merespon kasus tersebut, kita dikagetkan dengan pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang mengatakan, "saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) kita bicarakan kemudian". (CNN – Indonesia, senin, 26/4/2021).
Ini pernyataan yang sangat keliru. Mungkin Ketua MPR tidak mengerti perbedaan HAM dan konflik kombatan. Barang kali ketua MPR juga tidak mengerti apa itu semangat Konstitusi dalam bernegara. Kalau ketua MPR saja berpandangan seperti begini, dan tidak menunjukan layaknya ketua MPR sebagai pembentuk konstitusi, akan turut merusak dan mencederai kemanusiaan dalam bernegara.
Semangat reformasi dan perubahan UUD’45 adalah untuk membangun negara berdasarkan HAM. Karenanya roh dari UUD’45 adalah HAM. Sebab HAM di dalam UUD’45 ditempatkan di tempat yang tinggi. Karena selain merupakan nilai dasar yang dirumuskan dalam pancasila, juga merupakan tujuan utama dalam berbangsa dan bernegara.
Soal HAM itu merupakan prinsip yang utama dalam bernegara. Ko bisa-bisanya seorang ketua MPR mengabaikan prinsip HAM dalam UUD’45? Barangkali Ketua MPR harus rubah UUD’45 lagi. Kemudian rubah juga negara republik jadi negara Tirani. Supaya kekuasaan bisa dipakai untuk mengabaikan HAM.
Batasan HAM & Konflik Kombatan
HAM dan konflik kombatan, itu dua hal yang berbeda jauh. HAM di Indonesia dirumuskan dengan jelas pada UU No. 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Prinsip HAM juga dikenal sebagai nilai luhur dalam Pancasila. Kemudian diturunkan dalam tujuan bernegara dan konstitusi. Sementara konflik kombatan itu masuk dalam hukum humaniter.
Kejahatan HAM dalam perspektif HAM adalah kejahatan yang dilakukan oleh State-Actor kepada warga sipil. Sehingga, jika itu masuk dalam terstruktur, sistematis dan masif, maka termasuk dalam kejahatan HAM berat. Prinsipnya adalah aktor negara sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi jika konlik itu diantara warga sipil, maka itu kemudian disebut “kriminal”.
Jika itu konflik kombatan, maka itu tidak masuk rana HAM. Konflik kombatan itu masuk rana hukum humaniter atau yang berlaku adalah hukum humaniter. Jadi, jika TPN-OPM dan TNI-Polri saling tembak-menembak sampai habis, maka itu hal biasa dan wajar dalam dunia hukum humaniter atau dunia hukum perang. Tidak ada aspek HAM dalam konflik kombatan. Berbeda jika masuk rana sipil.
Sayangnya, pernyataan Ketua MPR memiliki tendensius yang sangat buruk, seakan memiliki niat dan melegalkan kejahatan HAM dalam wilayah sipil di Papua. Itu bertentangan dengan hukum humaniter dan hukum HAM. Bahkan juga bertentangan dalam sistim hukum di Indonesia. Apalagi bicara soal UUD’45 dan negera republik ini. Kita harus lihat secara dalam batasan dan perbedaannya.
Lemahnya wawasan para pemimpin bangsa, bisa berdampak pada korbannya rakyat sipil dan hancurnya sebuah negara. Yang disampaikan ketua MPR adalah tontonan pada seluruh rakyat di Indonesia, itu sangat buruk. Juga menggambarkan bahwa Ketua MPR belum punya kemampuan untuk membedakan apa itu rana HAM dan apa itu rana konflik kombatan.
Soal HAM dan konflik kombatan itu mempunya rana yang berbeda. Kita seakan berada di bawah abad-18, abad dimana kejahatan mengesampingkan aspek HAM. Padahal menurut Usman Hamid, “kami sangat menyayangkan pernyataan Ketua MPR RI yang mengesampingkan HAM. Pernyataan itu berpotensi mendorong eskalasi kekerasan di Papua dan Papua Barat. Mengesampingkan HAM, bukan hanya melawan hukum internasional, tetapi juga tindakan yang inkonstitusional.
Negara harus menegakkan prinsip negara hukum dan HAM dengan menemukan dan mengadili pelaku penembakan Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny. Insiden itu harus menjadi yang terakhir dan tak boleh dijadikan pembenaran memperluas pendekatan keamanan yang selama ini terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah Papua.HAM itu bicara keselamatan semua. (CNN, 26/04/2021)
Menurut Andi Muhammad, Devisi Humas KontraS, pernyataan Ketua MPR tentang penyelesaian konflik di Papua tidak mencerminkan kepribadian dan etika yang baik sebagai pimpinan MPR. Semestinya setiap anggota MPR bekerja dengan menjunjung tinggi HAM. Padahal secara etik berdasarkan Keputusan MPR Nomor 2 Tahun 2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk menjunjung HAM (Kompas, 29/4/2021).
Dari pernyataan yang disampaikan oleh Usman (Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia) dan Andi Muhhamad, sesungguhnya pernyataan ketua MPR sangat bertentangan dengan konstitusi. Tidak paham konstitusi. Melegalkan kekerasan dan kejahatan HAM di Papua, bahkan melanggar kode etik MPR No. 2 Thn 2010, dimana setiap anggota MPR dituntut menjunjung HAM.
Ketua MPR merespon sikap koalisi yang meminta Ketua MPR menarik pernyataannya dengan menyatakan pada pers, “tak akan menarik pernyataannya. Penembakan dan pembunuhan terhadap Kabinda Papua, sejumlah prajurit TNI-Polri, pembunuhan warga sipil hingga pembakaran sekolah, rumah, dan properti lain milik masyarakat Papua tak boleh terjadi lagi”.
“Saya tidak akan menarik pernyataan saya. Tugas saya memberi semangat. Bukan menjadi pengkhianat. Negara tidak boleh tunduk” (Tempo/29/4/2021). Pernyataan tanggal 29 april 2021 dengan menyebut pembakaran sekolah, rumah dan properti lain milik masyarakat, siapa yang melakukan pembakaran? Apakah ketua MPR sudah melakukan investigasi dan menyimpulkan pelaku? Atau hanya beretorika secara politik?
Penembakan terhadap Kabinda dan anggota militer adalah konflik kombatan. Konflik kombatan berbeda dengan rana HAM. Pengertian negara tidak boleh tunduk, harus dilihat pada konteks konflik kombatan. Bukan tidak boleh tunduk dengan melakukan kejahatan HAM. Bukankah negara dirikan atas semangat penghormatan pada HAM? Atau HAM yang dimaksud dalam pancasila, UUD’45 dan turunannya itu, di luar dari orang Papua?
Kenapa ketua MPR tidak bersuara ketika tiga warga sipil (kakak-beradik) dibunuh oleh aparat negara di dalalam rumah sakit di Intan Jaya. Saat kedua adiknya mengantar kakak mereka yang ditembak dan ditusuk pakai sangkur oleh aparat, untuk berobat di rumah sakit ? Kenapa ketua MPR tidak bersuara terhadap perlindungan masyarakat sipil Papua yang mengungsi agar nyawa mereka tidak lenyap?
Kekerasan negara sudah terjadi sejak tahun 1962, dimulai dari Trikora yang dikumandangkan oleh Soekarno 19 desember 1961. Kemudian dilakukan berbagai operasi, adanya kejahatan Pepera. Berbagai operasi militer dan kekerasan itu berlangsung sampai saat ini. Kenapa Ketua MPR tidak pernah bersuara dari aspek kemanusiaan? Apakah ada tendensi rasialisme? Apa sesungguhnya yang terjadi terhadap Papua ? Apakah hak asasi rakyat Papua tidak penting dalam NKRI?
Menurut Yones Douw, aktivis HAM, “Jakarta tidak punya komitmen menyelesaikan masalah HAM dan status Politik Tanah Papua. Dalam operasi militer di Nduga dan Intan jaya, TNI-Polri menembak mati masyarakat sipil. Korban dari masyarakat sipil meningkat banyak. Mereka yang mengungsi meningkat, hingga kehilangan pencaharian, dan kematian. Disitulah terjadi genosida” (Tabloid Jubi/30/4/2021).
Dari pernyataan aktivis Hak Asasi Manisia tersebut, apakah pernyataan ketua MPR hanya sebagai upaya untuk menutupi berbagai kasus kejahatan pelanggaran HAM terhadap orang Papua di Papua yang sudah terjadi begitu lama? Apa masih ada keseriusan negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Pentingkah orang Papua berada di Indonesia dalam perspektif HAM?
Barangkali, yang disampaikan Ketua MPR itu memberikan gambaran pada publik, khususnya di Papua bahwa belum ada tokoh nasional yang memiliki wawasan kebangsaan. Satu-satunya tokoh nasional yang hebat sepanjang masa adalah Gus Dur. Gus Dur menempatkan HAM orang Papua sama dengan warga negara lainnya. Sekarang beberapa yang bermunculan, dan itu bisa dihitung.
Tokoh-tokoh nasional adalah mereka yang selalu berpihak pada rakyat. Menyuarakan suara ratapan dan tangisan rakyat. Seperti Rocky Gerung, Natalius Pigai, Usman Hamid, dan Haris Hazar. Ukuran tokoh nasional harus jelas dan ketat. Mereka harus berjiwa nasionalis. Jiwa jiwa yang pro rakyat. Semengatnya Pancasilais dan taat konstitusional. Itu yang menyebabkan lahirnya istilah republik.
Seluruh anak bangsa harus belajar menjadi tokoh nasional yang bisa mengorbankan jiwa dan raganya untuk keselamatan rakyat sebagi bentuk perwujudan cita-cita dan nasionalis dalam bangsa. Rakyat bukan untuk dibantai dan dibunuh, apalagi melegalkan kejahatan HAM dalam prinsip bernegara.
“Lebih baik kehilangan satu pulau daripada satu rakyat dikorbankan. Nasionalisme mengajarkan untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Bukan mengorbankan nyawa rakyat tak berdoa”. Ke depan ,Ketua MPR, DPR bahkan Presiden dan para menteri baiknya harus dari anak bangsa yang taat HAM dan Konstitusi
Ini pembelajaran yang sangat kurang baik, kurang etis, kurang manusiawi, dan melanggar etika kebangsaan dalam semangat Pancasilais, konstitusionalis dan humanis. Dalam sila kedua Pancasila, sangat jelas menegaskan bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengabaikan HAM sangat tidak manusiawi dan tidak beradab.
Ketua MPR atau pejabat negara lain di Jakarta harus bisa membedakan antara konflik kombatan dan HAM. Harus punya wawasan kebangsaan yang cukup. Punya jiwa nasionalisme yang menyelamatkan rakyat. Memiliki pemahaman yang bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Bisa menjaga warga negara.
Tujuan bernegara adalah melindungi warga negara. Bukan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara. Seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri soal pemahaman kebangsaan yang sebenarnya dan seutuhnya. Mengelolah negara yang multi kultur, butuh wawasan kebangsaan yang sempurna. Gus Dur harus bisa jadi contoh sebagai Bapak Bangsa yang memper-erat persaudaraan dan pembersatukan perbedaan.
Yones Douw memberikan jalan yang soluktif yakni “meminta pemerintah Indonesia berunding dengan rakyat Papua untuk mencari solusi konflik Papua secara Damai. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, dan justru menyebabkan masalah baru. Kekerasan di masa lampau menimbulkan trauma kolektif dan upaya balas dendam dari kedua belah pihak”.
Karenanya, seorang pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu mencari solusi damai untuk selesaikan masalah bangsa dan masalah negaranya. Bukan memakai kekerasan apalagi mengabaikan HAM. Cara-cara manusiawi dan bermartabat bisa dilakukan dan ditempuh.
Alangkah Indahnya jika cara menyelesaikan masalah di Papua melalui Perundingan antara Jakarta (Istana) dan Papua (ULMWP) seperti perundingan di Aceh. Ini yang harus disuarakan oleh pejabat publik. Presiden harus bisa buka diri untuk kemanusiaan.
Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.