Jurnalis Tabloid Jubi Papua Jadi Korban Aksi Teror
by Marthen Goo
Jayapura FNN – Wartawan senior sekaligus Pemimpin Umum Tabloid Jubi yang berbasis di tanah Papua, Victor Mambor menjadi korban aksi teror. Mobil miliknya yang diparkir di tepi jalan dekat rumahnya, dirusak orang tak dikenal, pada rabu (21/4/2021) sekitar pukul 00.00- 02.00 WIT. Mobil Isuzu DMax (Double Cabin) milik Victor dirusak pada bagian kaca depan.
Diduga pelaku menggunakan benda tumpul untuk merusak mobil hingga retak. Pada bagian belakang di sebelah kiri juga dipukul. Diduga memakai benda tajam, sehingga bagian ini hancur. Pintu depan dan belakang sebelah kiri dicoret-coret menggunakan cat piloks berwarna orange.
Ketua Aliansi Jurnalis Jayapura (AJI), Lucky Ireeuw menduga aksi teror tersebut terjadi berkaitan dengan pemberitaan Tabloid Jubi yang tak disukai pihak tertentu. Tindakan teror dan intimidasi ini jelas bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan mengancam kebebasan pers di Papua dan Indonesia pada umumnya.
Menurut Adi Briantika yang dirilis di Tirto.id, teror ini diduga terkait dengan rangkaian teror sebelumnya. Misalnya, serangan digital, doxing, dan penyebaran selebaran di media sosial yang kontennya menyudutkan, mengadu domba, dan mengkriminalisasi Tabloid Jubi maupun Victor. Jubi merupakan salah satu media independen dan kredibel dengan fokus utama isu Papua dari sisi orang asli Papua.
Menurut Advokad senior Yan Christian Warinusi, aksi nyata teror dan intimidasi yang ditujukan terhadap psikis saudara Mambor jelas sangat berkaitan erat dengan tugas jurnalisme yang dilakukannya. Apalagi beberapa pemberitaan Tabloid Jubi, media yang digawangi Mambor senantiasa menampilkan pemberitaan dari sudut pandang (angle) yang berbeda.
Sesungguhnya semua sajian pemberitaan Tabloid Jubi sangat dilindungi oleh UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga, siapapun yang tidak puas dengan berita sajian Jubi, seyogyanya dapat menempuh prosedur melalui penggunaan hak jawab. Tidak dengan teror. Teror hanya pekerjaan orang-orang yang anti kebebasan berpendapat. Cara-cara yang primitif.
Kebebasan Pers Sejak Abad-17
Soal kebebasan pers dan hak asasi manusia menjadi ganjalan utama 13 negara bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia 1787. Empat tahun kemudian, pada amandemen pertama UUD Amerika Serikat, 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 negara bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat.
Isi amandemen itu bunyinya begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat rancangan undang undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. (dikutip dari editorial FNN.co.id)
Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Kebebasan pers itu sudah dibutuhkan sejak abad ke-17 lalu. Dimana kebebasan pers itu jugalah yang menyatukan negara-negara bagian di Amerika Serikat hari ini.
Makanya kebebasan pers di abad modern dan milenial seperti sekarang ini, justru terlihat jauh lebih maju dan lebih beradap. Kebebasan pers kemudian bukan hanya menjadi sarana, tetapi juga tujuan utama dalam bernegara dan membangun negara. Kebebasan pers menjadi salah satu alat kontrol terhadap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat.
Kebebasan Pers di Papua?
Ini sudah masuk di abad 21. Abad dimana dikenal dengan abad teknologi 4.0 (four foint zero), sehingga keberadaan pers mestinya berada di titik tertinggi dalam dunia teknologi yang modern ini. Sayangnya, kebebasan pers di Indonesia, khususnya untuk Papua menjadi masalah serius. Bahkna menjadi masalah berat. Sebab banyak wartawan di Papua yang diteror ketika mencoba memberikan pemberitaan yang berimbang.
Dalam konteks Papua, media yang memberikan pemberitaan yang objektif sangat sulit ditemukan. Kebanyakan media hanya memberitakan infromasi versi kekuasaan, sehingga keberadaan media kerap kali turut memberikan legitimasi kekerasan di Papua. Media takk berani mengungkapkan fakta agar kekerasan di Papua bisa diubah menjadi Papua yang damai.
Hanya ada beberapa media di Papua yang sangat objektif dan selalu memberitakan fakta-fakta peristiwa secara objektif , seperti Tabloid Jubi, dan Suara Papua. Mungkin ada media-media kecil lainnya seperti Jelata News Papua. Sementara untuk tingkat nasional, ada media FNN (Forum News Networ), yang selalu mengungkapkan kebenaran di luar kekuasaan. Selain itu ada juga Tirto dan CNN yang cukup objektif untuk mengungkapkan fakta.
Terhadap terror yang dilakukan kepada Victor Mambor, pemimpin umum Tabloid Jubi adalah upaya untuk menutupi kebebasan pers di Papua. Tentu ini adalah tindakan tidak terpuji. Upaya seperti ini bisa kita hubungkan juga dengan upaya menutup media Suara Papua. Kemudian upaya memutus jaringan internet, bahkan menurut Ketua AJI Papua, bahwa itu erat kaitannya dengan pemberitaan Tablid Jubi.
Peristiwa ini dapat diduga sebagai upaya besar untuk menutup kebebasan pers. Tindakan tersebut sudah melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Indonesia jauh ketinggalan dengan Amerika soal kebebasan pers. Perilaku bandid dalam melakukan upaya menutupi kebebasan pers masih saja dilakukan di era globalisasi. Wajah Indonesia seakan masih di bawah abad ke-16.
Dalam situasi perang yang sangat sengit saja pun, kebebasan pers masih tetap dipelihara dan dijaga. Indonesia, tidak ada perang sengit. Upaya pengungkapan kebenaran dan media yang menyampaikan informasi yang benar dan berimbang malah diteror secara tidak terpuji. Tujuannya untuk membungkam dan menutupi informasi sebenarnya. Sangat memalukan dalam kehidupan berbangsa.
Polisi Harus Ungkap Pelaku.
Kejahatan yang dilakukan terhadap Victor Mambor adalah menteeror wartawan. Sebagai upaya untuk membungkam kebebasan pers di Indonesia. Bahkan tindakan ini menunjukan rendahnya martabat berbangsa. Indonesia harus belajar dari Amerika soal kebebasan pers. Setiap wartawan wajib hukumnya dilindungi oleh negara tanpa alasan apapun.
Patut diduga bahwa kejahatan yang dilakukan adalah yang melibatkan kekuatan atau tangan-tangan lain. Semua itu memiliki keinginan yang sama, yaitu menutupi informasi yang objektif dengan cara menyerang pers yang objektif dan pers yang berintegritas di Papua. Ini bagian dari upaya mematikan media di Papua agar tidak pempublikasi informasi yang benar di Papua.
Dengan prinsip perlindungan pers di Indonesia, polisi diharapkan mengungkap dan menangkap siapa pelaku dan dalang dibalik upaya-upaya memamatikan dan menutup akses media di Papua. Kapolri harus mendesak Kapolda Papua agar segera secara propesional mengungkap kejahatan yang dialami wartawan Tabloid Jubi. Sehingga dapat memberikan efek jerah pada mereka yang menghambat kebebasan pers di Papua.
Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.