Polisi Semakin Arogan, Sudah Waktunya Direstrukturisasi (Bagian-1)

Reformasi dan demokrasi, yang menjadi faktor kunci perubahan fundamental eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam tatanan ketatanegaraan kita, ternyata jauh dari cita-cita dan tujuan berbangsa Indonesia. Kepolisian justru semakin tampil mencekik reformasi dan demokrasi itu sendiri. Kepolisian benar-benar gagal mengenal, memahami dan mengaktualisasikan dirinya dalam nilai-nilai reformasi dan demokrasi yang memisahkannya dari TNI.

by Luqman Ibrahim Soemay

Gorontalo FNN - Kepolisin sekarang semakin memantapkan diri untuk menjadi lawan dan musuh utama dari reformasi dan demokrasi. Citra buruk TNI selama 32 tahun sebagai penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru sekarang diambil-alih dengan sempurna Kepolisin. Prilaku buruk yang sudah ditinggalkan oleh TNI dengan senang hati (legowo). TNI sadar betul kalau menjadi musuh reformasi dan demokrasi, maka akan selalu dikenang sebagai catatan buruk perjalanan negeri ini.

Dari waktu ke waktu, hari ke hari disepanjang rute reformasi dan demokrasi gelombang kedua (1998-hinga sekarang) setelah gelombang pertama 1950-1959, Kepolisian terlihat semakin menakutkan dan menyeramkan untuk rakyat negeri ini. Arogansinya Kepolisian tak kunjung menemui titik akhir. Arogansi mereka terhadap Buya Hamka dulu, terus saja terlihat dalam berbagai bentuk dan sifat, yang pada sejumlah aspek memiliki kemiripan.

Buya Hamka dituduh (dengan direkayasa) Kepolisian kalau Buya Hamka terlibat dalam rapat gelap untuk menggulingkan Bung Karno. Rapat itu, begitu yang dikarang para polisi dari Departemen Kepolisian (Depak), berlangsung disebuah rumah di daerah Tengerang. Tidak itu saja, Buya Hamka juga dituduh (dengan rekayasa) Polisi tergabung dalam Gerakan Anti Soekarno ( GAS).

Bejat betul polisi-polisi ketika itu, yang mungkin saja telah almarhum, semoga Allaah Subhanahu Wata’ala mengampuni dosa-dosa mereka. Mereka polisi-polisi bejat tersebut tahu betul bahwa kasus yang dikenakan kepada Buya Hamka itu full dengan rekayasa. Tetapi polisi-polisi itu malah dengan gagah dan membanggakan berani menyuruh Buya Hakmka untuk berbicara dengan jujur. Kurangajar dan tak punya hati memang. Sudah merekayasa kasus, tetapi meminta untuk Buya Hamka jujur.

Pembaca FNN yang budiman. Untuk mengetahui selengkap-lengkapnya kasus rekayasa Polisi-polisi bejat itu terhadap Buya Hamka, kami persilahkan untuk baca sampai tamat buku dengan judul “Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi”. Penulisnya adalah Haidar Mustafa. Penyunting adalah Farid Wijan. Penerbitnya adalah Imania. Cetatakan pertama tahun 2018.

Sekali lagi bacalah baik-baik buku ini, karena kami percaya, dari sana pembaca FNN yang budiman memproleh hikmah apa yang terjadi dengan Kepolisian kita hari ini. Dengan demikian, pembaca FNN akan terbentuk perspektif yang masuk akal tentang bagaimana cara yang tepat dalam mengontrol dan mengendalikan arogansi Kepolisian ke depan.

Oke, pembaca FNN yang budiman. Boleh saja ada yang mengatakan kalau arogansi Kepolisian terhadap Buya Hamka itu bisa terjadi oleh satu sebab yang mendasar. Sebab itu adalah mungkin saja kala itu belum ada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur cara-cara kerja polisi yang bermartabat, berdasarkan hukum dan berkemanusiaan. Kala itu hukum acara masih didasarkan pada HIR peninggalan penjajah Belanda.

Okelah kalau begitu. Tetapi apakah arogansi Kepolisian itu berhenti setelah KUHAP terbentuk pada tahun 1981 lalu? Masih ingatkah pembaca FNN kasus Karta dan Singkong? Setelah dua anak manusia ini dipenjara bertahun-tahun, muncul fakta baru yang menyangkal keduanya sebagai pembunuh korban. Masih ingatkah kasus Udin, jurnalis di Jogyakarta yang hilang, entah kemana?

Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 20 Tahun V, tangga 13 Januari 1997 menulis kasus ini dengan sangat menarik. Dwi Sumadji, tersangka pembunuh wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudin dibebaskan dari tahanan. Polisi dianjurkan mencari terasangka lain. Lebih lanjut Majalah FORUM Keadilan menulis, penahanan terhadap Dwi Sumadji alias Iwik, tersangka kasus pembunuhan wartawan Bernas, Fuad M. Sjafrudfin, sudah ditangguhkan.

Tidak urung, penangguhan tersebut mengesankan kalau polisi akhirnya kebingungan sendiri. Sebab, sudah bukan rahasia lagi bahwa Iwik hanya korban dari rekayasa penyelidikan dan penyidikan Polisi bejat ketika itu. Untuk mengukap kasus ini, banyak pihak ketika itu yang menyarankan agar polisi mulai menyidik tersangka alternatif.

Oke itu urusan rekayasa kasus. Sekarang mari melihat penambahan jumlah Polda yang terjadi pada tahun 1996. Polda yang semala jumlahnya hanya 17, sejak tahun 1976 itu dimekarkan. Begitu istilahnya sesuai dengan jumlah provinsi. Praktis setiap provinsi ada Polda. Ini diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1996. Lagi-lagi Majalah FORUM Keadilan edisi Nomor 14 Tahun V, tanggal 21 Oktober 1996 mempertanyakan efekfitas kehadiran Polda-Polda baru tersebut.

Pertanyaan Majalah FORUM Keadilan itu berbunyi begini, “apakah penambahan Polda-Polda baru akan menjamin kinerja Polisi semakin baik dalam menangani kriminalitas? Majalah FORUM Keadilan tidak memiliki jawaban yang kongklusif. Majalah FORUM Keadilan hanya menyatakan masih harus menunggu kenyataan. Disisi lain Kapolri Jendral Polisi Drs. Dibyo Widodo menyatakan tujuannya adalah untuk memang meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Empat tahun setelah itu, gagasan pemekaran Polda-Polda tersebut direalisasikan. Namun tragisnya, publik Indonesia digemparkan dengan perilaku buruk seorang Wakapolres. Publik terhentak dengan pemberitaan Majalah FORUM Keadilan esisi nomor 39, tanggal 29 Oktober 2000 menurunkan berita dengan judul “Polisi Beking Itu Babak Belur”.

Wakapolres Sinjai, Senior Inspektur Sapewali dan ajudannya Kopral Ahmad Patudani, keduanya diamuk masa masyarakat di daerah tersebut. Dua gigi sang Wakapolres sampai copot dibuatnya. Lalu, apa penyebabnya? Warga menduga Wakapolres Supewali adalah beking dari perjudian, pencurian ternak dan penjualan ballo (tuak) di Kabupaten Sinjai.

Menggunakan judul “Pak Polisi”, Pemimpin Redaksi Karni Ilyas dalam catatan hukuk Majalah FORUM Keadilan edisi nomor 16, tanggal 25 Juli 1998 menulis begini, “penegakan hukum di hiruk-pikuk reformasi ini bukan semakin baik, malah membingungkan. Berbagai aparat hukum lebih terkesan meriah, tetapi tidak memberikan kepastian hukum apa-apa”.

Karni Ilyas selanjutnya menulis, “ketika masyakarat mengharapkan Polisi melakukan tindakan-tindakan untuk memberi rasa aman, Polisi justru melakukan tindakan sepele yang mengundang perdebatan luas. Misalnya, pekan-pekan ini, tiba-tiba saja polisi memperkarakan media cetak yang menyiarkan tulisan dan gambar-gambar yang dianggap porno”. (bersambung).

Penulis adalah Wartawan FNN.co.id.

1719

Related Post