Wuiiish Munarman Ditangkap, Kriminalisasi?
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN - Penangkapan terhadap mantan Sekretaris Jendral dan Juru Bicara Frot Pembela Islam (FPI) Munarman yang dikaitkan dengan terorisme, dan itu terjadi tahun 2015, adalah aneh. Orang dengan mudah nyeletuk mestinya tangkap tahun itu kan ada bukti acara FPI Makassar dan lainnya. Munarman juga berulang melakukan klarifikasi soal acara tersebut.
Persoalan sebenarnya adalah bahwa keperluan untuk melakukan penangkapan itu memang saat ini. Bukan tahun 2015 lalu itu. Apalagi di tengah kasus Habib Rizieq Sihab (HRS) yang dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dimana Munarman menjadi salah satu pembelanya. HRS, FPI, dan Munarman adalah target politik perlu dilumpuhkan dengan perangkat hukum.
Salah atau benar berdasarkan hukum, itu urusannya nanti. Pasalnya nanti bisa dicari-cari belakangan. Yang paling panting itu adalah tangkap, dan selanjutnya ditetapkan menjadi tersangka saja dulu. Sebab ini bukan ansih urusan hukum, yang dasar rujukannya adalah benar atau salah menurut. Ini berkaitan dengan urusan politik. Politik itu tidak menganal salah atau benar. Lumpuhkan dulu lawan politik.
Begitu kekuasaan politik punya keinginan. Akibat dari kekuasaan yang salah dalam mengelola negara. Kewengan publik dikelola dengan cara-cara yang amtiran dan kampungan. Akibatnya kekuaaan yang kepusingan ketika berhadapan dengan sikap kritis dari orang-orang seperto HRS, Munarman, Syaganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana, Gus Nur dan lain-lain.
Penangkapan Munarman oleh Densus 88 menimbulkan pro dan kontra. Fadli Zon menyebut mengada-ada. Haris Rusly Moti, mantan Presiden PRD yang mengenal dengan Munarman mengatakan sangat berlebihan kalau dituduh teroris. Menyeret secara tidak berkemanusiaan dari rumah kediamannya dinilai melanggar Hak Asasi manusi (HAM) karena untuk memakai sandal saja tak diberi kesempatan.
Sebagai advokat, tentu perlakuan polisi ketika menangkap seperti itu di luar batas kepatutan. Advokat yang semestinya diperlakukan dengan hormat. Melalui proses pemanggilan hukum tentu Munarman akan datang memenuhi. Sebagai mantan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Munarman bukan tipikil anak bangsa yang melanggar hukum. Kalau melawan kezoliman dan perlakuan tidak adil, otoriter punguasa, Munarman paling depan.
Jika kriminalisasi menjadi target, makan apapun bisa dilakukan penguasa. Asas praduga tak bersalah sangat mudah diabaikan. Barang bukti dapat diolah, bubuk deterjen pembersih toilet di markas Petamburan bisa menjadi narkoba atau bahan peledak. Untuk meledakkan para cecunguk atau tikus. Buku do'a, kumpulan hadits dapat dituduh menjadi panduan untuk mati syahid. Dengan tuduhan terorisme maka semua prosedur hukum dapat dilewati.
Sejak jaman Adnan Buyung Nasution dahulu Munarman sudah menjadi advokat di LBH. Munarman sangat gigih membela klien korban pelanggaran HAM. Pembelaan dalam kasus HRS menunjukkan kualitasnya yang faham hukum, cerdas, dan berani. Wajar jika Munarman selalu menjadi subyek dan obyek berita media massa maintsream, baik dalam maupun luar negeri.
Ketika kini dikaitkan keterlibatan dengan terorisme yang jelas melanggar hukum, maka tentu jauh dari karakter dan kapasitas Munarman yang selama ini dikenal masyarakat. Publik dipastikan tidak akan percaya dengan tuduhan yang dialamatkan Densus 88 Polri kepada Munarman. Apalagi Munarman terkenal memiliki prinsip kehati-hatian hukum yang tinggi dalam rangka penegakkan hukum.
Ya proses politik sedang berjalan HRS, FPI, dan Munarman memang menjadi target. Dari kacamata ini kita dapat melihatnya, sebab jika konteksnya penegakkan hukum dan keadilan, maka peristiwa HRS, FPI, dan Munarman tentu tidak akan terjadi. Menjadi pertanyaan umum di kalangan publik, kita ini sedang menjalankan prinsip negara hukum atau negara kekuasaan?
Jika yang kedua, yaitu negara kekuasaan, maka kriminalisasi bisa saja menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja untuk rezim atau penguasa. Hanya masalahnya apakah masyarakat, rakyat, dan umat haruskah pasrah untuk berada dibawah bendera negara kekuasaan? Jangan menjaawabnya sekarang. Nanti saja. Simpan saja dulu jawabannya.
Pertanyaan, sudah tidak ada lagikah pejuang kebenaran dari kalangan ulama, cendekiawan, politisi, pengacara, TNI-Polri, mahasiswa, buruh dan elemen strategis lainnya? Tentu masih banyak aktivis perjuangan yang memiliki kepedulian. Kasus Munarman yang juga diyakini bukanlah teroris, namun kepentingan politik begitu mudah mengaitkan dengan terorisme.
Kasus Munarman ini perlu dikawal proses hukum yang dijalankan. Semoga asas praduga tak bersalah tidak disimpan Densus 88 Polri di tong sampah, sehingga tetap diberlakukan. Polisi hanya institusi penegak hukum. Bukan lembaga yang benar menurut hukum. Pengadilan saja masih diragukan putusannya kalau tunduk pada tekanan kekuasaan. Apalagi Cuma polisi.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.