Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillah Kapolri Waras (Bagian -2)

Tranparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis. Kami terbuka untuk diawasi, sehingga pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan, karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karena itu, setiap tindakan Polri harus ditujukan untuk mendukung memajukan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Calon Kapolri Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Depan Komisi III DPR).

PRESISI itu bukan dengan cara mempidanakan orang yang menyerukan atau mengajak orang lain hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sejak kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu dinyatakan oleh hukum positif Indonesia sebagai kejahatan? Sejak kapan itu Pak Kapolri? Hukum apa yang mengatur soal itu Pak Kapolri?

PRESISI ko seruan kepada orang untuk datang menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallhu Alaihi Wasallam dinyatakan sebagai “hasutan” Pak Kapolri? Ah, itu konyol sekali. Sebaiknya jangan yang seperti begitulah. Sebab pasti disebut masyarakat sebagai arogansi kekuasaan dari institusi kepolisian. Bukan lagi disebut sebagai arogansi anggota atau oknum polisi semata.

Kapolri Yang Berkelas

PRESISI, tetapi apakah menyedot dan menyadap data pribadinya Jumhur Hidayat secara diam-diam itu dibenarkan oleh hukum? Pastinya itu tindakan ngaco dan ngawur? Kebijakan itu pakai hukum atau UU dari planet mana ya Pak Kapolri? Kalau tidak salah ingat, kebijakan penyedotan dan penyadapan data pribadinya Jumhur Hidayat tersebut dilakukan saat Pak Sigit masih menjabat sebagai Kapala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

Kapan dan pada UU apa polisi diberi wewenang untuk menyedot serta menyadap data pribadi warga negara? Ini pasti bukan pekerjaan polisi yang PRESISI Pak Kapolri. Perbuatan ini pasti arogansi namanya. Dibilang arogansi karena tidak ada UU yang memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap dan menyedot data pribadi dan percakapan pribadi orang.

Meskipun tidak menggunakan alat canggih penyadapan dan penyedotan, namun pekerjaan yang arogan dan sewenang-wenang dengan mengabaikan UU seperti ini hanya ada pada eranya Polisi GESTAPO Nazi Hitler dulu. Pasti itu bukan pekerjaan polisi yang PRESISI. Itu memalukan betul Pak Kapolri. Masa hari gini polisi bekerja tanpa panduan UU?

Masih ada aparatur negara yang berpikir menyembunyikan tingkah lakunya? Kekerasan aparat ko mau disembunyikan? Arogansi aparat ko mau diumpetin? Waraskah itu? Jelas saja itu tidak waras. Untung saja hari ini kita punya Kapolri yang waras. Sehingga TR yang hendak membatasi kebebasan pers memberitakan prilaku arogansi polisi itu dicabut.

Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam TR yang abal-abal tersebut dicabut Kapolri. Terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda memang Kapolri yang hebat, berkelas, top-markotop dan mengagumkan. Pak Kapolri Sigit sangat responsip dan prediktif terhadap keresahan dan kegalauan masyarakat Pers. Itu baru namanya sikap dan kebijakan yang PRESISI.

Sekali lagi, terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda telah menunjukan dengan sangat jelas kelas dan kaulitas anda sebagai Kapolri yang PRESISI. Pastinya tidak ada aparat yang bukan hamba-Nya Allah Subhanau Wata’ala. Sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala tidak ada satupun tindakan aparatur yang berada di luar penglihatan rekaman Allah Subhanahu Wata’ala, Robb yang Haq.

Secanggih apapun kekerasan dan arogansi itu diumpetin, tetap saja terekam dengan utuh oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalian boleh saja lolos di dunia. Tetapi tidak di alam Allah Azza wa Jallah. Allah Subhanahu Wata’ala yang maha tau setiap napas hamba-Nya pasti berada dalam genggaman-Nya.

Pak Sigit, saran kami, berhentilah untuk mengurus hal-hal yang tidak menjadi tugas pokok anda sebagai Kapolri. Tidak usahlah anda ikut cawe-cawe, mengambil prakarsa sendiri atau apapun namanya menangani urusan-urusan pemerintahan yang menjadi tugas pokok kementerian tertentu. Anda hanya perlu menggunakan semua energi yang serba terbatas, untuk membangun Kepolisian. Itu sudah cukup.

Tata Ulang Polisi

Benahi saja kultur Kepolisian. Itu jauh lebih penting daripada anda harus menggunakan energi kesana-kemari menangani hal-hal yang telah menjadi tugas Kementerian lain. Kalau anda mencintai kepolisian, sama dengan cinta kami kepada kepolisian. Anda harus tahu juga, kalau arogansi yang terlembagakan dan menjadi kultur suatu organisasi, kelak akan melahirkan energi antipasti.

Energi antipati itu akan bertransformasi menjadi undangan dan kebutuhan politik kepada bangsa ini, melakukan “Tata Ulang Kepolisian”. Sebab kalau terus-terusan arogan, dan dinilai polisi selalu andal sebagai tukang pukul politik Presiden, maka tampilan praktis polisi ditengah bangsa ini kelak akan dibuka oleh masyarakat. Akan dicerna dan dievaluasi semua prilaku polisi dengan deteilnya.

Bisa dibayangkan kalau semua data itu menyuguhkan kenyataan bahwa polisi selalu saja begitu, yaitu “menjadi tukang pukul politik Presiden”. Selalu mengandalkan hukum di sepanjang sejarah bangsa ini untuk memukul lawan politik. Setidaknya sejak tahun 1959 lalu, sehingga kebutuhan untuk melakukan “Tata Ulang Kepolisian” bakal sulit terhindarkan.

Bila data sejarah perilaku arogansi Polisi hadir secara detail di benak warga negara yang membiayai polisi, maka kenyataan itu bisa menghadirkan “Tata Ulang Kepolisian”. Tata ulang sebagai pilihan paling rasional dan mutlak. Itu yang harus diingat-ingat oleh Pak Kapolri. Belajarlah dari sejarah kelam masa lalu TNI yang “menjedi tukang pukul politik terhebat Presiden”. Jangan ulangi lagi kekeliruan TNI itu.

Pak Kapolri tidak bileh lupa dengan celah konstitusi terlalu besar untuk bangsa ini memilih pilihan “Tata Ulang Kepolisian”. Coba lihat dan pelajari lagi UUD 1945. Hubungkan kemungkinan “Tata Ulang Kepolisan” itu dengan pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Esensi dari pasal 28I ayat (5) UUD 45 itu sangat sangat dan sangat jelas. Tidak ada penegakan hukum, yang dengan alasan apapun, membatasi hak asasi warga negara atau pribadi orang. Negara hukum mengharuskan pembatasan itu dilakukan, bukan hanya berdasarkan hukum ansich. Tetapi hukum yang selaras dengan panduan etika, moral, kaidah sosial dan politik yang masuk dalam timbangan akal sehat.

Bagaimana dengan pasal 30 ayat (4), yang bicara tentang Kepolisian. Pasal ini menyediakan kaidah konstitusional untuk membatasi organisasi Kepolisian. Kadiah “menegakan hukum” itu tidak bersensi “menyelidik dan menyidik” mutlak hanya menjadi fungsi Polisi. Fungsi ini bisa dilakukan oleh organ lain negara di luar Kepolisian. Itu yang mungkin perlu diingat-ingat oleh Pak Kapolri Sigit.

Dalam rangka memastikan pelaksanaan fungsi konstitusional Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi serta melayani masyarakat, maka diperlukan organ lain sebagai transformasi konstitusional 28I ayat (5) UUD 1945 itu. Organ ini mutlak disifatkan sebagai organ yang independen. Organ di luar polisi. Namu bukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Sekedar saran, Pak Kapolri perlu mengasah kepekaan terhadap lingkungan politik. Kapolri harus pastikan lingkungan politik tidak boleh mengkristal pada kebutuhan untuk “Tata Ulang Kepolisian”. Polisi boleh saja dikenal hebat dan terlatih dalam lobi-lobi politik khusus. Tetapi politik punya cara kerja sendiri yang terkadang aneh-aneh. Sulit untuk diprediksi. Maka belajarlah yang banyak dari kekeliruan saudara tua.

Prinsipnya anggota polisi jangan mengorbankan institusi polisi. Misalnya, dengan berusaha berlindung dibalik institusi polisi. Namun sebaliknya, institusi polisi jangan juga sampai digunakan untuk melindungi anggota yang jelas-jelas bersalah dan tidak PRESISI. Sebab kalau keadaan masyarakat menghendaki perubahan, maka dipastikan politisi-politisi akan mengubah haluan.

Kalau perubahan itu ada depan mata, maka para politisi akan memilih untuk berlabuh di pelabuhan rakyat. Mereka akan bernyanyi dalam nada dan dan irama yang bersama-sama dengan rakyat. Itu pasti terjadi. Begitu cara politisi mencari jalan dan perahu untuk menyelamatkan diri. Tidak ada jalan yang bisa dipakai untuk dilewati politisi. Ketika itu, semua jalan menjadi buntu dan tertutup.

Terimak Pak Kapolri yang sudah bertindak cepat mencabut TR abal-abal itu. Arogansi Polisi akhirnya bisa diberitakan lagi oleh Pers. Jelas sudah kalau Pak Kapolri Sigit menghendaki tampilan polisi yang humanis. Bukan polisi yang arogansi. Bersamaan dengan itu, Pak Kapolri harus pastikan bahwa pencabutan TR abal-abal itu menjadi akhir arogansi Polisi pada semua aspek penegakan hukum negeri ini. Semoga saja. (selesai).

587

Related Post