Negeri Fitnah Yang Menerapkan "Summum Ius Summa Iniuria"

by M. Rizal Fadillah

Bandung FNN - Adalah Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi sasaran fitnah keji. Aksi terorisme "abal-abal" dikait-kaitkan atau dihubungkan dengan FPI dan tentu HRS. Terkesan mau dipakai untuk menutupi-nutupi kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar FPI di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek).

Pembunuhan berdasarkan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) patut diduga melibatkan anggota polisi dari Polda Metro Jaya. Perbuatan kejahatan yang tak bisa dihindari mengarah pada keterlibatan aparat keamanan. Dampknya pelakukan pmebunuhan terdahap enam anggota laskar FPI tidak diumumkan.

Adapun nama-nama pelaku yang terus-terusan disembunyikan, dan hingga kini tidak diumumkan oleh oleh Bareskrim Polri, menjadi keanehan tersendiri. Keanehan yang membuka peluang bagi terjadinya rekayasa lanjutan perkara ini. Wajar kalaui publik bertany-tanya, mengapa belom juga diumumkan para tersangka? Siapa saja nama-nama mereka?

Penangkapan orang-orang "jaringan terorisme" yang dikaitkan dengan mantan atau simpatisan FPI adalah dugaan dari fitnah yang direkayasa. FPI selama ini tidak pernah dituduh sebagai organisasi teroris. Bahkan mantan Kapolri Prof. Dr. Tito Karnavian memuji-muji FPI setinggi langit, sebagia organisasi yang sangat nasional, dan peduli terhadap persoalan kebangsaan.

Sepak terjang FPI, baik kegiatan maupun ungkapan tokohnya yang selalu mengecam terorisme semua yang berbau terorisme. FPI sendiri merupakan organisasi formal dan legal. Hanya karena dipersulit pendaftaran badan hukumnya, akhirnya dibubarkan oleh pemerintah. Itupun sampai sekarang tanpa ada perlawanan, apalagi kekerasan dari FPI.

Radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme justru ditujukan kepada umat Islam. Profil setiap pelaku "teroris" yang ditampilkan selalu beratribut Islam. Padahal pernah ada pelaku perencanaan bom atas gereja beragama Katolik yang ditangkap oleh polisi. Sayangnya polisi tidak pernah mau memberikan stigma dan status sebagai pelaku teroris. Apa penyebab? Hanya polisi yang tau.

Namun tidak bagi umat Islam. Ini tentu saja sangat menyakitkan. Jika pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar itu benar anggota Jaah Ansorul Daulah (JAD), maka bukalah sudah sejelas-jelasnya siapa dan apa organisasi ini? Jangan dipelihara lagi, sehingga semua harus dikait-kaitkan dengan Islam. Langsung saja umumkan pembubaran organisasi JAD. Selesai dan habisi itu JAD.

Yakinkan kepada rakyat bahwa JAD ini bukan organisasi buatan yang dijadikan hantu cantolan terorisme. Bom yang disebut bunuh diri di Gereja Katedral Makassar itu janggal. Sebab betapa bodohnya pelaku datang ke Gereja berbusana muslimah. Bercadar lagi. Begitu juga wanita berbusana muslimah ZA yang mengacungkan senjata air soft gun di Mabes Polri lalu ditembak mati itu.

Sebaiknya Komnas HAM perlu turun tangan untuk mengusut siapa yang pelaku yang menembak mati ZA di Mabes Polri tersebut. Mengapa harus ditembak mati? Mengapa bukan dilakukan tembakan untuk melumpuhkan ZA saja. Apakah lawful atau unlawful killing? Publik jangan disuguhkan informasi hanya dari polisi. Kasus kilometer 50 tol Japek cukup menjadi pelajaran berharga buat bangsa ini bahwa tidak cukup masyarakat mendapat indormasi dari polisi saja.

Untung masih ada Komnas HAM yang menemukan penembakan terhadap empat anggota laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya. Selain itu, ada mobil Land Cuiser di lokasi kejadin kilometer 50 tol Japek. Ada juga mobil Avanza Hitam dan Avanza Silver yang publik tidak tau keberadaannya. Sebab sebelumnya tidak diumumkan oleh polisi.

Saat enam anggota laskar FPI yang dibunuh, disiksa dan dijadikan tersangka adalah fitnah keji. Begitu juga peradilan HRS yang didakwa melakukan kerumunan saat walimahan anaknya dan maulidan. Mengapa kerumunan "wedding" Attar Halilintar dan Aurel Hermansyah, puteri Krisdayanti dibolehkan? Jokowi, Prabowo, Bambang Soesetyo hadir pula. Sungguh ini fakta dari suatu ketidakadilan.

Tontonan ketidakadilan juga semakin menjijikan diperlihatkan dengan dihentikannya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penyidikan terhadap koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kakap Syamsul Nursalim, yang buron bertahun-tahun. Sampai sekarang belum kembali ke Indonesia. Mungkin sebentar lagi balik. Apalagi SP3 sudah keluar. Tidak lagi ada hambatan untuk pulang.

Betapa nyaman menjadi perampok besar di negeri ini. Kabur bertahun-tahun ke luar negeri, lalu keluar SP3 dari KPK. Padahal BLBI adalah perampokan uang rakyat puluhan, bahkan ratusan triliunan rupiah. Perampokan ini ditutup hanya dengan Inpres No. 8 Tahun 2002. Inpres ini diteken oleh Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai Presiden.

KPK semestinya tidak menetapkan SP3 kepada penjahat besar Syamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Sebab pasal 40 ayat (1) UU KPK hanya merumuskan "dapat". Tidak adanya kewajiban bagi KPK untuk mengeluarkan SP3. Wajar jika KPK dicurigai bermain-main dalam kasus ini. Sudah terlalu banyak tampilan wajah muram ketidakadilan di negeri ini.

Rakyat sangat merasakan ketidakadilan itu. Kekuasaan dan kekayaan yang membenarkan perlakuan berbeda terhadap warga negara. Asas "equality before the law" dapat dilanggar dengan berbagai alasan. Atau mungkinkah mereka memahami dan bersikap tak peduli pada keadilan mengingat ada adagium hukum "summum ius summa iniuria", yang berarti keadilan tertinggi adalah ketidakadilan?

Penguasa sekareng berhak untuk berbuat tidak adil dengan merasa telah berlaku adil? Soal fitnah keji? Mungkin merasa tidak juga karena di negeri Rusia tahun 2012-2017 pernah sukses mempropagandakan teori semburan fitnah "firehose of falsehood". Menebar kebohongan demi mempengaruhi opini publik termasuk media massa.

Adakah rezim Jokowi sedang mempraktekkan teori semburan fitnah ala Rusia saat ini? Sejarah akan berbicara esok.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

781

Related Post