Mungkinkah Jokowi Lengser Sebelum Tàhun 2024?
by Tjahja Gunawan
Jakarta, FNN - Belakangan ini berbagai kalangan masyarakat sudah banyak yang kecewa dan menginginkan adanya perubahan di negeri ini. Kekecewaan itu terjadi karena diantara mereka banyak yang menderita akibat krisis ekonomi. Ada yang kehilangan pekerjaan, ada pula yang jatuh miskin. Sebelum Pandemi Covid19 melanda Indonesia bulan Maret 2020, sebenarnya negara kita sudah dilanda krisis ekonomi. Itu antara lain ditandai dengan melemahnya daya beli masyarakat, selain itu angka kemiskinan dan pengangguran juga meningkat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya. BPS juga mencatat sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran di tàhun 2020 atau naik 14,28% dibandingkan tàhun sebelumnya.
Indikator makro ekonomi juga sangat tidak menggembirakan. Mulai dari utang yang terus membengkak hingga melebarnya defisit APBN. Kini utang Indonesia sudah mendekati angka Rp 7.000 triliun. Sementara pertumbuhan ekonomi yang meroket hingga 7 persen per tàhun, hanya tinggal cerita lama Jokowi sangat mengumbar janjinya pada kampanye Pilpres 2014 lalu.
Selain persoalan ekonomi, kita juga banyak melihat praktek ketidakadilan yang dipertontonkan oleh rezim penguasa saat ini. Praktek korupsi terjadi hampir di semua lapisan elite kekuasaan baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Penjarahan duit negara ini terjadi d itengah kekuasaan yang dikendalikan oleh oligarki yakni para konglomerat yang memiliki aset dan kekayaan yang sangat besar.
Para konglomerat hitam ini selain mampu mengendalikan penguasa juga bisa mempengaruhi sejumlah partai politik pro pemerintah. Sehingga tidak heran kalau produk undang-undang yang dihasilkan DPR menguntungkan para konglomerat hitam seperti diantaranya UU tentang Minerba yang telah disahkan parlemen beberapa waktu lalu.
Selain persoalan korupsi, masyarakat juga menyaksikan praktek dinasti politik yang diperlihatkan secara kasat mata oleh pemimpin negeri ini. Anak dan mantu Presiden Jokowi yang kini menjadi Walikota di Solo dan Medan, merupakan contoh konkret dinasti politik itu.
Dinasti politik d bawah kendali oligarki
Lengkap sudah kondisi politik Indonesia saat ini, yakni sebuah kekuasaan yang didasarkan pada dinasti politik dan dikendalikan oleh oligarki. Itulah potret buram wajah politik Indonesia terkini. Disatu sisi penguasa bisa berbuat semaunya, di sisi lain kehidupan masyarakat semakin menderita. Pada saat yang sama, para tokoh masyarakat yang kritis dan para ulama yang lantang menentang kedzoliman di negeri ini dipersekusi, diadili dan dipenjarakan oleh rezim penguasa.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan ngobrol santai dengan Dr Rizal Ramli, pengamat ekonomi, mantan Menko Perekonomian yang juga salah satu tokoh pergerakan nasional. Kata dia, krisis ekonomi bisa menjadi pemicu jatuhnya seorang pemimpin. Kemudian Rizal Ramli, mengungkapkan rangkaian peristiwa dan kronologi kejatuhan Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto pada bulan Mei 1998.
Sampai April 1998, semua orang di Indonesia percaya bahwa Pak Harto tidak mungkin jatuh, beliau sangat kuat sekali dan baru terpilih kembali sebagai Presiden pada 11 Maret 1998. Ketika itu, hampir semua kalangan baik para pengusaha, kalangan akademisi , para tokoh dan pimpinan media masa, tetap percaya bahwa Pak Harto sangat kuat dan tidak mungkin ada perubahan. "Tetapi pada waktu itu mereka lupa bahwa tàhun 1998 itu ada krisis ekonomi. Ditambah lagi ada perubahan peta politik di Amerika Serikat, dimana Presiden AS Bill Clinton waktu itu tidak mau Pak Harto jadi presiden lagi," ungkap Rizal Ramli yang mengaku terlibat dalam proses politik di tàhun 1998.
Krisis ekonomi tàhun 1998 merupakan lanjutan dari krisis moneter yang melanda Indonesia sejak Juli 1997, yang ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, bangkrutnya sejumlah perbankan nasional akibat kesulitan likuiditas, dan gelombang PHK di sejumlah perusahaan swasta yang berhenti mendadak karena terhentinya aliran pinjaman kredit dari dunia perbankan.
Selain karena faktor ekonomi, para tokoh pergerakan Indonesia juga sudah bosen dengan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Dengan kata lain, semua pihak waktu itu menginginkan perubahan. Dan hanya butuh waktu 22 hari saja untuk bisa menurunkan Soeharto dari kursi Presiden RI. Awal pergerakan dimulai pada 1 Mei 1998, dimana waktu itu pemerintah menaikkan BBM 74%, dan minyak tanah 44%.
Kenaikan BBM tersebut merupakan saran dan rekomendasi Dana Moneter Internasional (IMF) untuk dijalankan pemerintah Indonesia. Sejak dihantam krismon tahun 1997, pemerintah Indonesia menandatangi Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Penandatangan LoI dilakukan Presiden Soeharto waktu itu dengan Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus. Momen bersejarah ini ramai menjadi perbincangan publik karena saat Soeharto membubuhkan tandatangan di LoI, Michel Camdessus berdiri sambil berlipat tangan.
Camdessus terlihat mengawasi Presiden Soeharto meneken surat berisi janji mereformasi ekonomi atas desakan IMF. LoI merupakan matriks rencana aksi yang bersifat mengikat. Isi LoI diantaranya menghapuskan program mobil nasional dan melumatkan monopoli cengkeh.
Sebelum BBM dinaikkan, jelas Rizal Ramli, dirinya pernah diminta pendapatnya oleh Direktur Pelaksana IMF wilayah Asia Dr Hubert Neiss. Rizal menyatakan momentum kenaikan BBM tidak tepat karena banyak masyarakat yang menderita akibat krismon. Namun, IMF tidak mau tahu dan tetap meminta pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM.
Betul saja, sehari setelah kenaikan BBM terjadi gelombang aksi mahasiswa yang diawali dari Kampus Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar. Kemudian diikuti oleh para mahasiswa Unhas, seminggu kemudian para mahasiswa di Medan rusuh. Gelombang aksi mahasiswa ini dengan cepat menjalar ke Solo yang diwarnai kerusuhan dan kebakaran di sejumlah gedung dan toko-toko disana.
Aksi demo mahasiswa dan kerusuhan kemudian melanda Jakarta. Akhirnya Soeharto jatuh dan hanya butuh waktu 22 hari.
"Waktu itu tidak ada yang menduga Presiden Soeharto yang sangat kuat sekali bisa jatuh dalam waktu 22 hari," ungkap Rizal Ramli.
Nah, kalau melihat konteks sekarang, krisis ekonomi lebih parah ketimbang tàhun 1998. Tingkat kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat kita hari ini jauh lebih susah dan akan lebih berat dibandingkan krisis ekonomi 1998.
Oleh karena itu, Rizal Ramli merasa optimis akan terjadi perubahan sebelum tàhun 2024. Ketika ditanya lebih rinci tentang perubahan dan proses pergantian Presiden Jokowi, Rizal Ramli hanya menjelaskan secara off the record. Semoga harapan masyarakat yang menginginkan adanya perubahan di negeri ini bisa segera terwujud. *
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.