OPINI

Anies Dikerjain, Kabel Listrik Bakal Diputus Lagi

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) salah siapa? Salah Hujan! Kalau banjir di Jakarta? Itu salah Anies. Begitulah bunyi sebuah meme yang beredar di medsos. Entah siapa yang buat, setidaknya itu ekspresi rakyat untuk mengingatkan logika yang seringkali terbalik. Ada pihak yang kerjanya menyalahkan Anies. Di otak mereka, tidak ada yang bener sedikitpun dengan Anies. Semua keliru dan salah. Mereka menganggap semua penghargaan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta itu hasil kerja gubernur sebelumnya. Tetapi, semua masalah yang terjadi di DKI itu salahnya Anies. Tentu, logika ini tidak fair. Ada penghargaan, yang tentu saja ikut andil di dalamnya gubernur-gubernur sebelumnya. Ini tidak dapat disangkal. Harus ujur untuk mengakui itu. Tetapi, tak semua penghargaan dan kemajuan di Jakarta itu hasil investasi dari pemimpin terdahulu. Janganlah lebay juga! Ganjaran Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Tiga penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Top Digital Award 2020, Gubernur Terpopuler, penghargaan sebagai Pembina Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang sukses. Pembangunan fasilitas untuk kenyamanan pejalan kaki dan pengguna sepeda, panorama kawasan Soedirman-Thamrin itu kerja Anies. Ada jua penghargaan untuk transparansi dan keterbukaan publik. Pernghargaan Jakarta Internasional Studion (JIS), pembangunan Museum Rasulullah, dan banyak lagi yang tidak terhubung sama sekali dengan gubernur-gubernur sebelumnya. Jadi, kalau bilang Anies tidak bekerja, ini bertentangan dengan banyak fakta adanya berbagai kemajuan dan penghargaan untuk Pemprov DKI Jakarta. Ruang persepsi publik kita memang sering dirusak oleh mereka yang dibayar untuk tugas itu. Orang menyebut mereka "buzzer rupiah". Operasi mereka berhasil memprovokasi kelompok-kelompok fanatik yang memang suka dengan hoak, yang diolah dengan narasi-narasi pejoratif semacam itu. Akibatnya, ruang publik kita menjadi tidak rasional. Merusak kecerdasan. Ini semua menyebabkan interaksi dan diskusi publik yang semakin tidak sehat. Kemenangan Anies di Pilgub DKI 2017 yang disusul dengan penyegelan "project raksasa ribuar triliun" bernama "reklamasi" memposisikan Anies sebagai tokoh yang seksi. Lebih seksi lagi ketika Anies punya kans cukup besar untuk maju di Pilpres 2024. Kenyataan ini membuat mereka panik, karena tidak punya lawan tanding yang sepadan di 2024 nanti. Dalam posisi ini, Anies dianggap ancaman, sekaligus harapan. Ancaman, karena tidak mudah untuk berkompromi dengan proyek-proyek ilegal. Proyek yang dianggap membahayakan eksistensi dan masa depan bangsa. Reklamasi dan Alexis adalah dua dari sekian banyak contoh bisnis yang melanggar aturan dan merugikan masan depan bangsa. Disisi lain, Anies dianggap harapan. Ditengah bangsa yang sedang terbelah, maraknya pelanggaran hukum, arogansi oligarki, demokrasi yang hampir mati, ekonomi yang mengalami resesi, Anies memiliki kapasitas yang dianggap mampu menghadapi situasi seperti itu. Anies punya latar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan kebijakan publik. Basik ekonomi akan sangat membantu mengatasi pertumbuhan ekonomi yang minus, dan problem resesi. Basik kebijakan publik memberi modal Anies untuk memahami dan merumuskan setiap persoalan bangsa. Track record Anies yang selalu mengedepankan pola persuasi. Selalu merangkul bukan memukul. Komitmen Anies soal hukum dan pemberantasan korupsi dengan berdirinya lembaga semacam KPK di DKI. Kematangan Anies terlihat dalam merespon setiap kritik, bahkan lawan politik. Ketegasan Anies dalam menghadapi mafia kapitalistik, dan kemampuannya membuat terobosan-terobosan program yang tak biasa. Itubisa dinilai secara obyektif oleh publik sebagai harapan buat Indonesia. Ini tidak berlebihan, karena ada data dan fakta yang bisa dibaca publik setiap saat. Sebagai harapan, Anies mendapatkan banyak dukungan dari publik. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme publik ketika membicarakan Anies di media sosial. Sayang, jika satu dari 20 tokoh yang dianggap oleh Majalah FORESIGHT Jepang mampu memberi arah perubahan dunia ini tidak diberi ruang untuk membangun Indonesia ke depan. Namun, sejumlah pihak yang menganggap Anies sebagai ancaman masa depan politik dan bisnis, mereka secara konsisten dan sistematis terus melakukan berbagai hal untuk menjegal Anies. Tidak semua publik tahu upaya-upaya yang dilakukan mereka untuk menjegal Anies. Sebagian terpublis, tapi sebagian dilakukan di belakang kamera. Operasi yang kasar diliput media, operasi khusus lebih halus. Terakhir, tapi mungkin bukan yang paling akhir, sejumlah kabel pompa air di Jakarta dipotong. Ada juga yang dicuri. Oleh siapa? Pasti jawabnya adalah "orang tak dikenal". Padahal ini bukan aksi pengrusakan dan pencurian biasa, tapi sabotase! Setiap Januari-pebruari, Jakarta berhadapan dengan curah hujan yang lebat. Pompa air menjadi andalan untuk memperpendek durasi banjir. Jika dirusak aliran listriknya, ini akan menyebabkan pompa nggak jalan dan banjir nggak terkendali. Disinilah Anies, lagi-lagi, akan disalahkan dan menjadi bulan-bulanan media. Tujuan mereka satu “Anies dipersepsi gagal memimpin Jakarta”. Dengan begitu, nggak layak nyapres. Banjir seringkali dijadikan indikator yang paling berpengaruh. Isunya paling seksi. Khusus Jakarta. Tidak hanya di Kalsel, tidak juga di daerah lain. Bagimana jika segala upaya penjegalan gagal, dan Anies tetap melaju ke pilpres 2024? Ingat, mafia kapitalis dan elit politik adalah orang-orang yang rasional dan sangat pragmatis. Jika Anies tak juga bisa dijegal, tetap melaju ke pilpres 2024, maka mereka akan merubah strategi, yaitu kompromi. Demi menjaga posisi politik dan keamanan bisnis mereka. Mereka cukup piawai dan berpengalaman untuk melakukan penyesuaian-penyusaian. Layaknya sutradara, sekaligus pemain drama. Begitulah panggung politik, ada intrik, kalau gagal, ya kompromi. Rakyat berharap, apapun judul dan sekenario drama yang sedang dan akan ditawarkan, Anies harus tetap konsisten memperjuangan kepentingan bangsa dan negara dalam artikulasi yang sesungguhnya. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Amerika, From The New World Order to The New Covid World Order

by Sayuti Asyathri Jakarta FNN – Tulisan ini sebagai catatan untuk Amerika menjelang pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Rabu 20 Januari 2021. Amerika sendiri di dalam dirinya adalah sebuah bangsa yang terbelah. An inherently divided nation. Demokrasi dengan sistem cheks and balances adalah sebuah sistem yang didisain untuk mengelola enerji yang terbelah tersebut untuk memperkuat Amerika dalam pencapaian cita cita kebangsaannya. Salah satu alasan utama mengapa kalangan konservatif tetap mempertahankan kebijakan, dimana rakyat, dengan syarat tertentu, dibolehkan memiliki senjata. Kebijakan tersebut dianggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk tetap mempertahankan diri dari ancaman “negara”. Kebijakan yang juga untuk menyelamatkan cita-cita Amerika yang bersatu dalam perserikatan. Apabila negara terlempar keluar dari poros keseimbangan dalam mekanisme cheks and balances bisa berakibat patal. Sebab tidak semua negara dengan demokrasi cheks and balances sebagaimana yang diterapkan Amerika menggunakan cara seperti itu. Tetapi sejarah perang sipil Amerika yang menyimpan enerji pembelahan dan pertentangan mendasar itu telah meyakinkan Amerika selama ini untuk menerapkan kebijakan cheks and balances. Meskipun hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika yang yang baru lalu juga bisa menjadi ukuran meningkatnya penentangan atas kebijakan dalam soal itu. Sementara kebijakan cheks and balances dan sejumlah kebijakan lain semacam itu, sangat khas Amerika. Terutama karena posisinya sebagai pusat perhatian dan pergesekan paling intensif dengan semua bagian dunia lain. Amerika menerapkan banyak kebijakan yang unik dan tidak mudah. Bahkan tidak bisa ditiru oleh negara lain. Kini, Amerika terancam keluar dari keseimbangan cheks and balances yang membanggakan selama ini. Semua akibat hasil Pilpres yang telah memenangkan Joe Biden sebagai presiden. Menjelang pelantikan Biden, banyak senjata-senjata yang habis terbeli. Sebagian toko malah menambah jumlah stafnya untuk melayani pembeli senjata. Suasana dan nuansa instabilitas sangat mewarnai kehidupan masyarakat Amerika sekarang ini. Belum pernah Amerika mengalami sebuah situasi demokratis yang seperti ini. Siatuasi sekarang menempatkan Amerika seperti keadaan di negara negara berkembang yang bergolak dan tidak stabil. Negara-negara berkembang yang sering mengundang Amerika dan Barat selama ini untuk dijadikan sebagai sasaran khotbah tentang hak asasi manusia dan demokrasi. Situasi yang terjadi sekarang ini adalah sebuah ujian dan sekaligus gugatan telak atas jalan sejarah sebuah negara. Amerika yang dalam perkembangannya telah menggabungkan dirinya dalam enerji imperialisme yang mengganas dan pengkhotbah yang tidak otentik tentang hak asasi manusia dan demokrasi di berbagai belahan dunia. Namun sejarah menunjukkan bahwa Amerika menjadi negara kuat atau terkuat di dunia hanya kalau berhasil mempertahankan keutuhannya dan menyelamatkan demokrasinya. Karena posisinya yang selama ini mendefinisikan potret dunia dalam perang dan ketidakadilan. Rumus sederhananya apabila Amerika berubah menjadi lebih baik, maka dunia juga akan memetik hasilnya. Hanya saja, ada kekuatan lain yang kini mendefiniskan kekuatan Amerika dan dunia, yaitu covid-19. Dunia akan melihat bagaimana kekuatan Amerika bangkit mengatasi tantangan tersebut. Mengingat bahwa pukulan covid-19 yang perkasa atas Amerika akan jauh lebih parah. Karena pukulan itu berkelindan dengan selain prestasi Amerika, juga dosa-dosa kemanusiaannya yang bagi sebagian besar belahan dunia sulit untuk dimaafkan. Bagi dunia, siapapun yang terpilih sebagai presiden Amerika, itu adalah refleksi perjalanan dialektisnya sebagai sebuah negara yang tidak pernah selesai mendefiniskan dirinya. Seperti kata Samuel P Huntington, masalah sejatinya adalah karena Amerika tidak miliki sebuah akar budaya yang otentik. Padahal "culture matter", katanya. Situasi yang dialami Amerika itu adalah pilihan dari bait puisi Walt Whipman tentang cita-cita menjadi sebuah bejana pelebur, dari sebuah melting pot. Dengan asumsi seperti itu, maka terpilihnya Joe Biden mestinya juga dilihat sebagai hasil refleksi dialektis itu. Bila itu yang terjadi maka Amerika akan dihela Biden menurut sebuah logika tatanan baru, yakni dari The New World Order menuju The New Covid World Order. Pusat tatanan baru itu, Amerika dan dunia diyakinkan dan dideterminasi, bukan oleh pilihan spiritualitas atau materialisme. Tetapi oleh keduanya sebagai suatu kesatuan yang mengalami asyik masuk dialektis eksistensial. Covid ada di pusat rekleksi dialektis itu, menginterupsi kehidupan manusia dan menarik manusia ke istana eksistensialnya yaitu kerendahtian, ketulusan dan kepedulian. Sebab manusia tidak pernah berhenti bertengkar di arus gelombang kemanusiaan dan keadilan meskipun dari situ keluar yakut dan marjan. Disana hampir tidak pernah ada kedamaian. Pilihan arus spirituslisme dan materialisme itu juga selalu dalam keasyikan eksistensial, sehingga tidak pernah berpisah. Seakan-akan karena cinta dan kepedulian. Karena denyut cinta dan kepedulian abadi itulah kita selalu ada, dan berbagi cerita tentang hari depan manusia yang kita cintai. Manusia-manusia besar dalam kehidupan dunia adalah pasak-pasak kemanusian dan cahaya keadilan. Boleh jadi ungkapan itu adalah sebuah tafsir metafora dari kalimat kitab suci. Kita sedang memasuki dengan pasti sebuah masa depan yang, suka atau tidak, didefinisikan oleh The New Covid World Order. Sebuah dunia dengan tatanan baru yang menantang kehadiran manusia manusia yang berkualifikasi pasak itu untuk menentukan dan menyelamatkan masa depan dunia kita bersama. Penulis adalah Alumni of Advanced Course of National Defense Institute, Indonesia, KSA X, 2000.

DPR Harusnya Tolak Listyo Sigit Sebagai Kapolri

by Luqman Ibrahim Soemay Lhokseumawe FNN - Listyo Sigit Prabowo, Kabareksrim berpangkat Komisaris Jendral (Komjen) Polisi, telah resmi dicalonkan oleh Presiden menjadi Kapolri. Sigit dinilai Presiden sebagai orang tepat menggantikan Jendral Idham Aziz, yang segera pensiun. Sigit hebat. Karena Sigit dikenal luas pernah menjadi ajudan Presiden Jokowi itu, mengalahkan tiga Komjen senior lainnya. Tiga nama itu adalah Komjen Pol. Gatot Edy Pramono (Letting 1988A) , Komjen Pol. Boy Rafly Amar (Letting 1988A) dan Komjen Pol. Agus Andrianto (Letting 1989) harus menerima kenyataan terlempar dari meja Presiden sebagai calon Kapolri. Mereka tidak lebih unggul dari Sigit. Karena itu Sigit memang Top. Sigit, mungkin tidak akrab dengan Jokowi kala bertugas Solo. Tetapi itu tidak mengubah hal apapun bahwa Sigit dan Jokowi, telah saling kenal sejak di Solo. Entah takdir atau begitulah roda politik bekerja. Sigit dan Jokowi jumpa lagi dalam status yang berbeda. Jokowi menjadi Presiden dan Sigit jadi ajudannya. Kini, Sigit dicalonkan menjadi Kapolri oleh Jokowi. Sangat istimewa, surat Presiden tentang pencalonan dirinya, yang ditujukan ke DPR diantar sendiri oleh Pratikno, Menteri Sekertaris Negara. Ini istimewa. Tetapi jangan bilang kenyataan itu sebagai refleksi aktual tebalnya politik perkoncoan antara Sigit dengan Jokowi. Pernyataan itu akan sangat mudah disanggah oleh Menteri Sekretaris Negara. Dia bisa bilang itu adalah tata karma baru yang sedang dikembangkan Presiden dalam menjaga relasi manis dengan DPR. Ini tata krama baru hubungan non legal antara Presiden dengan DPR. Jadi seharusnya dihormati, bukan dikritik. Lagi pula cara itu sama sekali tidak melanggar hukum. Sigit, pria berpembawaan tenang dan tidak banyak cakap ini, entah sedang riang gembira dengan pencalonannya atau tidak. Tetapi Sigit, entah apa pertimbangannya, dalam mengkonsolidasi jalannya menuju Tri Barata (TB) 1, atau mengirimkan pesan kepada masyaraat bahwa dirinya menghormati para senior, mendatangi sejumlah mantan Kapolri. Sigit pas untuk jabatan Kapolri? Suara-suara di luar sana, terlihat sama tone-nya. Dia pas, Dia punya kompetensi untuk jabatan itu. Macam-macam bukti disodorkan. Diam-diam Sigit mengecek kelangkaan persedian barang kebutuhan rakyat, yang disinyalir langka. Terakhir diam-diam Sigit mengecek fenomena kelangkaan kadelai. Sewaktu jadi Kapolda di Banten, Sigit pergi ke Pesantren-Pesantren. Alhasil,Sigit Dia digambarkan sebagai sosok yang memiliki hubungan bagus dengan pesantren-pesantren di Banten. Logiskah soal-soal itu dipertimbangkan? Tidak juga. Pengecekan kelangkaan persediaan bahan pangan itu pekerjaan teknis, yang hanya memerlukan penyebaran intel-intel. Tidak perlu sampai Kabareksrim. Sekali lagi itu tidak perlu. Kecuali membentuk citra, harus jujur dikatakan tidak ada urgensinya Kabareskrim turun mengecek harga-harga di pasar.. Soal relasinya dengan pesantren-pesantren, apa perlu dipertimbangkan? Tidak juga. Betul sejarah pembantaian ummat Islam terheboh dalam masa pemerintahan Pak Harto terjadi ketika Penglima ABRI berada di tangan Jendral Beny Moerdani. Sistem kala itu memungkinkan Pangab mengendalikan bedil sekaligus hukum. Pada kepemimpinan Beny Moerdani inilah ummat Islam terteror secara sistimatis. Puncaknya terjadi pembantaian terhadap Ummat Islam di Tanjung Priok tahun 1984. Tetapi kenyataan itu, dimana Benny Moerdani yang merangkap sebagai Pangkopkamtib tersebut tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menolak Sigit sebagai Kapolri. Tidak begitu. Kerana bukan itu soalnya. Namun harus diakui bahwa Sigit punya masalah nyata, yang tidak bisa disederhanakan. Juga tidak bisa dibiarkan. Akan sangat membahayakan bangsa dan negara ini ke depan. Apa masalah nyata Sigit itu? Bareskrim yang dikomandaninya, itulah yang menyelidiki peristiwa penembakan anggota Polda Metro Jaya terhadap enam warga negara, laskar Anggota Front Pembela Islam (FPI) di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Bahkan penyelidikannya itu telah sampai level rekonstruksi peristiwa. Bareskrim yang dikomandani Sigit inilah yang memanggil dan memeriksa Edy Mulyadi, wartawan senior dari Portal Berita FNN.co.id. yang ditugaskan oleh redaksi FNN.co.id untuk menginvestigasi pembunuhan yang terjadi di kilometer 50 tol Japek itu. Pemeriksaan penyidik bareksirim terhadap Edy Mulyadi dilakukan tanpa melalui persidangan etik atas konten berita di Dewa Pres. Padahal Dewan Pers adalah institusi yang ditugaskan negara untuk mengadili pelanggaran atas kode etik jurnalistik dan pers sebelum diperiksa oleh penyelidik kepolisian. Edy Mulyadi malah dipanggil dan diperiksa Bareskrim begitu saja. Apa Sigit tidak tahu bahwa bahwa orang yang dapat dijadikan saksi dalam satu perkara itu adalah orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri peristiwa tersebut? Masa Kabareskrim tidak tahu prinsip hukum yang sangat sesederhana seperti itu? Kabareskrim tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, atau memang arogan? Bareskrim juga yang melakukan penangkapan terhadap Jumhur Hidayat, Dr. Sahganda Nainggolan dan Anton Permana. Apakah Kabareskrim tidak tahu protokol penangkapan? Apakah penangkapan ini diperintahkan langsung oleh Jendral Idham Aziz, Kapolri, sehingga Kabareskrim tidak berdaya menolaknya? Jumhur, Sahganda dan Anton diborgol tangannya. Bandingkan dengan empat laskar anggota FPI yang dimuat petugas Polisi di mobil tanpa diborgol tangan atau kakinya. Padahal menurut versi Kapolda Menro Jaya Fadil Imran, telah didahului dengan tembak-menembak. Apa begitu hukum yang berlaku di Bareksrim yang dipimpin oleh Sigit? Komjem yang sudah dicalonkan oleh Jokowi jadi Kapori ini? Sejauh ini Sigit diam soal temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) atas pembunuhan yang menjijikan terhadap empat orang anggota Laskar FPI. Padahal Komnas HAM sudah menyebut peristiwa itu “unlawfull killing”. Orang tahu temuan ini diumumkan Komnas HAM jauh setelah Bareskrim melakukan rekonstruksi atas peristiwa itu. Orang atau publik tahu itu. Kalau saja Komnas tidak mengumumkan temuannya, tentu Bareskrim yang Sigit pimpin akan bekerja sesuai dengan reskonstruksi yang telah dilakukan itu. Bekerja berdasarkan rekonstruksi jelas maknanya. Enam orang FPI itu mati secara sah, alias menurut hukum. Mengapa? Sesuai dengan pernyataan resmi Irjen Pol. Fadil Imran, Kapolda Metro, mereka melawan petugas. Kecuali tidak diumumkan, dan itu kami ragukan, sampai sejauh ini, Bareskirm yang dipimpin Sgit, sang calon Kapolri ini, tidak berbuat apapun. Tidak terlihat tanda-tanda Bareskrim yang dipimpim Sigit sedang berkerja menyidik peristiwa pembunuhan yang unlawful tersebut. Apa Sigit, calon Kapolri ini, tidak tahu bagaimana Dr. Ahmad Yani, SH.MH. mau ditangkap Bareskrim, atau apapun namanya itu? Apa Sigit tidak tahu pemanggilan terhadap Dr. Ahmad Yani, SH.MH harus dilakukan dengan mengerahkan para penyidik atau petugas malam-malam ke kantornya di Jalan Matraman? Mengantar surat panggilan ko banyak orang? Apa begitu hukumnya Pak Sigit? Apakah kewenangan Sigit sebagai Kabareskrim begitu terbatas? Sehingga tidak ada satu tindakan yang nyata-nyata terlihat oleh publik dalam merespon penanganan orang-orang yang dituduh melaklukan pembakaran di halte Busway Sarinah Thamrin pada demo UU Cupta Kerja? Dari video yang beredar di masyarakat, para pelaku pembakaran halte Buway Sarinah Thamrin itu berjalan penuh percaya diri? Tidakkah pada peristiwa itu, Najwa Shihab, Jurnalis yang menggawangi acara Mata Najwa mengedarkan video yang memperlihjatkan adanya orang lain di luar mereka yang telah ditangkap itu? Apakah mereka yang terekam di gambar yang diedarkan Najwa Shihab itu telah diselidiki? Apakah yang telah Kabareskrim Sigit lakukan terkait pembakaran halte Busway itu? Kalau soal-soal yang seelementer itu saja tidak mampu direalisasikan oleh Sigit dalam pekerjaan teknis, apa yang bisa bangsa ini harapkan dari Sigit sebagai Kapolri? Untuk bisa mendekorasikan republik tercinta ini dengan keadilan hukum? Apa Sigit mengerti dan faham kalau Republik Indonesia ini telah mengharamkan ketidakadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk hukum? Kalau nyawa anak-anak FPI diambil dengan cara paling jijik, tak beradab, bar-bar itu, jorok, primitif berhasil mejungkir-balikkan “Polisi Proter” yangsangat dibanggakan Prof. Dr. Tito Karnvan Ph.D tersebut, tidak mampu untuk menggetarkan nurani Sigit, lalu apa maknanya? Apakah tidak wajar orang berhipotesa bahwa nyawa-nyawa akan melayang lagi dalam yang belom dapat diduga? Nyawa-nyawa anak bangsa akan diambil dengan cara-cara yang menjjijikan, jorok, primitif, tidak beradab, dan bar-bar oleh petugas petugas polisi, dimasa Sigit menjadi Kapolri akan semakin sering terjadi? Atas dasar itu, kami mohon Maaf, dan dengan segala hormat kami yang tinggi kepada pribadi Komjen Pol. Sigit, kami harus yatakan Sigit tidak memiliki kaulifikasi dan kompetensi teknis bidang hukum. Entah kalau Dia memiliki kompetensi politik dalam menggerakan hukum. Atas dasar itu pula, Sigit harus dinilai tidak memiliki kompetensi untuk jadi Kapolri. DPR harus berbesar hati menolak Sigit menjadi kapolri. Sebaiknya DPR segera bersurat kepada Presiden meminta agar Presiden mengirimkan lagi nama lain untuk di fit and proper test. DPR sebaiknya tidak ngeyel terhadap soal-soal elementer di atas. Soal-soal itulah yang, dalam penilaian kami, sangat berkontribusi besar menghasilkan keadaan politik, yang kian hari kian mengkhawatirkan bangsa ini. Diskriminasi hukum yang kian menjulang saat ini, suka atau tidak, tidak bisa disepelekan. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Khadavi, Korban Pembunuhan Polisi di KM 50

by Abdullah Hehamahua Bandung FNN - Mobil yang saya tumpangi melaju ke arah Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Matahari telah condong ke barat. Di depan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, mobil berhenti. Sebab, adzan maghrib terdengar di beberapa masjid dan mushalla di Kawasan tersebut. Kami menuju mushalla kecil di pekarangan Kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Melihat ukuran mushalla, dugaan kuat, tidak semua muslim di kantor itu, shalat dzuhur berjamaah. Mungkin saja pimpinannya nonmuslim. Kalaupun pimpinannya muslim, nilai Pancasila yang diperoleh ketika kuliah, paling nilai C. Sebab, sila pertama Pancasila – Ketuhanan Yang Maha Esa- menunjukkan Indonesia negara agama, bukan negara komunis. Sepertinya Kepala Kejaksaan Negara (Kajari) atau pejabat di kantor itu kurang memahami isi UUD 45. Sebab, hakikat pasal 29 ayat (1) dan (2) mewajibkan umat beragama, khususnya Islam untuk shalat berjamaah di masjid atau mushalla. “Mau jumpa siapa pak,” tegur pegawai kantor itu setelah kami bersama selesai shalat berjamaah. “Cuma mampir untuk shalat maghrib,” jawabku singkat. Rumah Sederhana di Mulut Gang Mobil diparkir di tepi jalan Puri Kembangan yang sudah mulai sepi. Kami berlima menyeberang jalan. Sekitar seratus meter, kami menjumpai banyak anak muda berpakaian koko dan ketayap putih. Gang sempit di depan rumah orang tua Khadavi digelar tikar dan karpet. Banyak anak muda duduk sambil berdzikir. Kami berlima dipersilahkan duduk di atas tikar tersebut. Malam itu, 15 Desember 2021, hari ke-40, enam laskar FPI meninggal dunia dibunuh polisi dari Polda Metro Jaya. Rumah itu sederhana itu panjangnya mungkin 8 meter. Lebarnya sekitar enam meter. Ruang tamu berukuran, kurang lebih dua setengah kali tiga meter. Ruang keluarga sekitar tiga kali tiga setengah meter. Tidak nampak perabot rumah yang mewah. Di atas meja kecil, terpampang foto Khadavi. Wajahnya cerah, ganteng, bercahaya. Masih muda, sekiar 21 tahun. Nama lengkapnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Anak pertama dari dua orang bersaudara. September nanti, Khadavi akan wisudah. Dia kuliah di Fakultas Perkapalan, satu universitas di Jakarta. Khadavi Ingin Menegakkan Keadilan “Khadavi pernah mau pindah ke jurusan hukum,” kata Herman Mulyana, ayah Khadavi. Mantan Satpam di salah satu super market di Jakarta ini berperawakan sedang, ramping tubuhnya. Memerhatikan postur dan penampilannya, musykil bagi saya, Herman bisa mendidik anaknya menjadi seorang teroris. “Mengapa dia ingin pindah jurusan? ” tanya saya penasaran. “Dia ingin menegakkan keadilan dan melindungi ulama,” terang Herman. Saya termenung sekejap. “Menegakkan keadilan,” gumam saya. Sesampai di rumah malam itu, terbayang kawan-kawan di KPK. Ada Penyelidik dan Penyidik KPK yang sengaja ditabrak di jalan sampai cedera. Teror dan intimidasi sudah jamak bagi pegawai Gedung Merah Putih ini. Bahkan, terjadi “perang” di antara cicak dan buaya, sampai beberapa jilid. Beberapa komisioner KPK dikriminalisasi, ditahan, dan diberhentikan secara tidak adil hanya karena mereka membuka borok korupsi yang ada di Indonesia. Wajah pegawai KPK yang saya tidak bisa lupakan adalah Novel Baswedan. Sewaktu jumpa di Singapura (2018), saya lihat bola mata kanannya menonjol keluar. Mata kiri, hampir tertutup seluruhnya. Novel berada di Singapura untuk operasi mata akibat disirami air raksa oleh dua anggota polisi. Kini, sekalipun sudah melalui operasi dan pengobatan oleh dokter pakar di Singapura, mata Novel tetap tidak pulih sebagaimana sebelumnya. Beliau mengalami cacat mata permanen. Kawanan harimau di wilayah Riau, protes atas penyelesaian kasus salah seorang kawan mereka. Sebab, Januari tahun lalu, hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap pemuda yang membunuh rekan mereka, tanpa hak. Pembunuh mungkin mau menjual kulit harimau yang dibunuh tersebut. Kawanan harimau tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena kawan mereka tidak dapat hidup kembali sekalipun pembunuhnya dihukum empat tahun penjara. Di alam manusia yang konon paling pancasilais, penganiaya Novel hanya dijatuhi hukuman penjara setahun dan setahun setengah. Padahal, sebelah mata Novel buta total dan yang lainnya hanya 25% berfungsi. Alasan jaksa dan hakim, pelaku tidak berniat jahat untuk mencelakai Novel. Saya yang sarjana hukum dan delapan tahun berkhidmat di KPK saja, kurang mafhum atas alasan penegak hukum tersebut. Khadavi yang masih berstatus mahasiswa. Wajar jika beliau ingin menjadi sarjana hukum agar dapat menegakkan keadilan. Mungkin dalam pikirannya, bagaimana subuh hari, dua polisi datang ke masjid tempat Novel shalat, kemudian menyirami wajah Penyidik KPK tersebut dengan air raksa, tanpa niat. Apakah niat mereka sebenarnya datang ke masjid untuk shalat berjamaah saja? Sewaktu melihat Novel, timbul kegeraman mereka karena sakit hati atas apa yang dilakukan terhadap atasan mereka, beberapa waktu sebelumnya. Spontan, mereka mencelakai Novel. Sampai di sini, masih manusiawi alasannya. Pertanyaannya, dari mana air raksa yang digunakan untuk mencelakai Novel tersebut? Oh “niat”, dimana engkau berada.? “Puyeng” untuk bisa memahami jalan pikiran jaksa dan hakim. Tentu, jutaan rakyat Indonesia yang waras akan berpikir seperti saya. Wajar jika Khadavi bercita-cita, menegakkan keadilan. Kekhawatiran saya, selama pemerintahan Jokowi, ratusan, ribuan, bahkan jutaan akan bernasib sama dengan Khadavi. Tujuh jutaan peserta 212 yang di Monas tahun 2016 lalu akan menjadi Khadavi-Khadavi baru. Apalagi dengan menyaksikan penahanan HRS, ulama, dan aktivis KAMI secara lebai dan semena-mena. Khadafi Akan Wisudah Khadavi mengambil jurusan perkapalan, salah universitas di Jakarta. Di depan saya dan empat anggota rombongan lainnya, Herman mengekspresikan wajah sedihnya sewaktu mengatakan, “September ini Khadavi akan diwisudah”. Seorang mantan Satpam dengan isteri yang hanya suri rumah membesarkan dan menyekolahkan kedua anak mereka. Kedua anak ini, terkenal saleh. Apalagi Khadavi biasa menasihati orang tuanya agar jangan gila dunia. Ingatlah kehidupan akhirat. Selangkah lagi, Herman dan pasangannya akan menyaksikan anak sulungnya duduk di pelaminan, mengenakan pakaian kebesaran ‘toga’ sebagai seorang sarjana perkapalan. Namun harapan tersebut pupus hanya karena kegilaan dan nafsu duniawi di hati polisi yang menganiaya Khadavi sampai tewas. Terbayang, betapa bangga dan gembira ketika dengan isteri menghadiri satu persatu anak-anak saya wisuda. Tiba-tiba muncul gambaran syahdu di benak saya. Muncul kenangan sewaktu saya harus mengaduk semen sebagai kernek tukang bangunan di kawasan Cheras, Selangor, Malaysia agar bisa membayar uang kontrakan rumah. Bagaimana saya harus menjual pisang goreng dan air kelapa muda di tepi jalan, kawasan Ulung Kelang, Selangor, guna membeli perlengkapan sekolah anak-anak. Begitulah kira-kira perasaan dan kenangan seorang Herman dan jutaan Herman lainnya di pelosok negeri yang jatuh bangun membesarkan anak-anak dalam keterbatasan ekonomi keluarga. Pertemuan Terakhir Pagi itu, Khadavi seperti biasa pamit dari ayah dan ibunya menghadiri majelis ilmu. Sejak SMP, Khadavi rajin mengikuti majelis ta’lim di mana-mana di Jakarta. Belakangan, beliau rajin mengikuti kegiatan FPI. Apalagi memerhatikan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah khususnya lima tahun terakhir ini, membuat Khadavi semakin tertarik dengan kegiatan dan dakwah FPI. FPI sering muncul ketika terjadi bencana alam, baik tsunami, gempa bumi atau banjir. Mereka menolong korban tanpa pamrih, mulai dari tsunami Aceh, Banten, NTB, Sulawesi Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta bencana lainnya di hampir seluruh Indonesia. Herman dan isterinya tidak sangka, pertemuan pagi itu, 6 Desember 2020 adalah pertemuan terakhir dengan anak sulungnya, Muhammad Suci Khadavi Poetra. Herman sedih tapi bersemangat ketika mengemukakan kondisi fisik jazad anaknya. Menurutnya, ada dua lobang peluru dekat jantung, berwarna hitam. Maknanya, Khadavi ditembak dari jarak dekat. Matanya juga terdapat bekas penganiayaan. Ada jahitan di dada yang menunjukkan rumah sakit melakukan autopsi tanpa ijin keluarga. Bagian belakang kepala Khadavi, sampai di liang lahat pun masih keluar darah. Wajar jika Herman menolak tuduhan polisi yang mengatakan anaknya membawa senjata. “Beli gorengan saja, dia kongsi dengan kawan-kawannya. Dari mana duit untuk beli senjata,” tambahnya. “Senjatanya adalah baju koko dan kopiah putih,” lanjutnya. Itu sebabnya, Herman menolak memenuhi panggilan Polda Metro Jaya. Menurutnya, dua kali surat panggilan Polda Metro Jaya dibawa oleh Babinsa dan Ketua RT. Herman minta agar pak RT mengembalikan surat panggilan polisi tersebut. Herman kemudian minta keadilan ditegakkan dengan seadil-adilnya terhadap para pelaku pembunuhan. Keadilan yang bagaimana? Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini ditegaskan lagi di UUD 45, pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) mengatakan, “negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pancasila dan UUD 45 terebut mengisyaratkan bahwa, hukuman bagi pembunuh (tanpa hak) harus sesuai dengan ketentuan Tuhan Yang Esa. Maknanya, penegak hukum harus merujuk Al-Qur’an, Injil, dan KUHP di mana pembunuh harus dijatuhi hukuman mati. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al Baqarah: 178). “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Injil, Kejadian 9:6). “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” (KUHP pasal 340). Jika polisi yang membunuh Khadavi, ikhlas menjalani hukuman mati yang didahului dengan tobat nasuha, in syaa Allah, mereka akan memeroleh keringanan dalam pengadilan akhirat nanti. Bahkan, bisa masuk surga jika dia muslim. Para Penyidik, JPU, dan Hakim yang menyidik, menuntut, dan memutuskan hukuman mati juga akan memeroleh keringanan atau kebebasan hukuman di akhirat kelak. Penulis adalah Mantan Penasehat KPK.

Jokowi Melompat-Lompat di Tumpukan Hutang Rp 6.000 Triliun

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Banyak tersiar berita mengenai semangat Pemerintahan Jokowi untuk keluar dari krisis multi dimensi sekarang. Bahkan kabarnya Pemerintahan Jokowi bakal melakukan lompatan besar pasca krisis. Saat membuka secara virtual Rakornas III Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) tanggal 15 Januari 2021 lalu, Jokowi bertekad untuk melakukan lompatan saat krisis. Melompat berdasarkan langkah yang diakuinya "extra ordinary" seperti reformasi birokrasi, UU Cipta Kerja, pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), serta pembentukan Indonesia Investment Authority sebenarnya kontroversial. Sebab rezim investasi ini terbukti di lapangan, sedang mengalami hambatan atau kegagalan. Kehadiran UU Cipta Kerja yang diobrak-abrik oleh para buruh, masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Birokrasi yang semakin gemuk, serta program UMKM yang tak jelas. Bahkan terkesan tiak lebih dari sekedar pencitraan semata. Belom lagi pertentangan di dalam interal birokrasi antara Kementerian Kordinator Perekonomian dengan Kementrian Kordinator Maritim dan Investasi. Banyak netizen menyindir tentang akumulasi mimpi-mimpi dan janji-janji Jokowi yang realisasinya ibarat jauh panggang dari api. Pada tingkatan yang terbilang ekstrim, ada yang mengusulkan agar Jokowi segera dilaporkan ke Kepolisian, dengan mereferensikan pada Babe Haekal yang juga dilaporkan akibat mimpi bertemu Rosulullah Sallaahu Alaihi Wasallam. Mimpi melompat di tengah krisis itu boleh-boleh saja Pak Jokowi. Akan tetapi nampaknya yang dibaca publik adalah sebaliknya. Yang dibaca publik ini berangkat dari pengalaman mimpi-mimpi yang sudah-sudah. Pemerintahan Jokowi justru sedang bersiap siap melompat ke dalam got kembali. Ini terjadi akibat dari roket menukik meluncur ke bawah. Roketnya bukan meluncur atau melesat ke atas. Krisis ekonomi semakin dalam. Hutang luar negeri pemerintah semakin dahsyat angkanya, yaitu Rp. 6.000 triliun lebih. Dari jumlah tersebut, sejak Indonesia merdeka sampai berakhirnya SBY di Oktober 2014 (69 tahun) hanya Rp 2.600 triliun. Sedangkan selama Pak Jokowi menjadi Presiden 6 tahun, hutang pemerintah yang berhasil dibuat Pak Jokowi Rp. 3.400 triliun lebih. Hutang pemerintah Rp. 3.400 triliun lebih ini adalah prestasi Pak Jokowi yang paling membanggakan. Kondisi ini diperparah dengan daya beli rakyat semakin gawat dari har ke hari. Belum lagi investasi yang tak kunjung meningkat. Jangankan untuk meningkat, invetasi datang saja susah dan seret. Yang lebih tragis dan miris adalah alokasi anggaran untuk mengatasi pandemi dikorupsi oleh kader PDIP Juliari Peter Batubara dan koleganya saat menjabat Menteri Sosial. Dari laporan Majalah TEMPO, diduga adanya keterlibatan petinggi PDIP yang lain, termasuk Ketua DPR Puan Maharani. Setelah diteliti lebih jauh, keterlibatan banyak pihak dalam korupsi Bantuan Sosial (Bansos) ini semakin melibatkan banyak pihak, termasuk Istana sendiri. Belakangan KORAN TEMPO edisi Senin (18/01/2021) memberitakan kalau dua kader PDIP, yatu Herman Hery dan Ihsan Yunus, diduga memeperoleh proyek pengadaan bansos terbesar di Kemneterian Sosial (Kemensos). Dua kader PDIP ini mendapatkan kuota senilai Rp. 3,4 triliun. Herman Hary sekarang menjabat sebagai Ketua Komisi III DPR yang membidangi masalah-malah hukum. Bidang tugas Komisi III DPR adalah Kapolisian, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komnas HAM, Kompolnas, Komisi Kejaksaan serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Mimpi untuk melompat seperti harimau (leaping like a tiger) sulit untuk terealisasi. Sebab faktanya adalah melompat-lompat seperti katak (jumping like a frog). Semua itu, akibat dari kebijakan yang tak terencana dengan baik, reaksioner dan cenderung tambal sulam. Berkhayal untuk melompat di tengah krisis. Namun yang terjadi adalah melompat-lompat memperdalam krisis. UU Omnibus Law, reshuffle yang asal-asalan, vaksin yang tergesa-gesa, ancaman pidana kepada warga masyarakat yang penolak vaksin, lelang Rurat Utang Negara (SUN) Rp. 35 triliun, serta "menjual" danau Toba ke China adalah contoh kebijakan yang melompat-lompat seperti katak. Sementara saat berada dalam air menendang-nendang juga. Setelah hantu radikalisme dan intoleransi disebar, kini hantu baru dimunculkan, yakni ekstrimisme yang mengarah pada terorisme sebagaimana Perpres No 7 tahun 2021 yang baru diterbitkan. Perpres ini hanya alibi untuk menutupi kegagalan pemerintah mengatasi penyebaran Covid-19, resesi ekonomi dan korupsi Bansos yang diduga mulai menyasar lingkaran inti PDIP dan istana. Perpres No 7 tahun 2021 adalah tendangan katak beracun. Patut diduga sasarannya tak lain adalah umat Islam. Kelanjutan dari isue atau kebijakan "radikalisme, intoleransi, dan anti kebhinekaan" sebelumnya. Umat Islam dikesankan sebagai kekuatan berbahaya bagi Pemerintahan Jokowi yang sekuler, pragmatis, dan materialistis. Perpres terbaru yang diterbitkan ini potensial untuk membangun iklim politik saling curiga dan rawan adu domba. Kebijakan yang melompat-lompat (jumping like a frog) ini sebenarnya menunjukkan tiga fenomena. Pertama, pembangunan tanpa rencana. Kedua, menciptakan kegaduhan secara permanen. Ketiga, penggunaan alat paksaan untuk memproteksi dan mengekalkan kekuasaan. Tiga fenomena tersebut menjadi ciri negara otoritarian. Negara yang jauh dari prinsip demokrasi, abai terhadap hak-hak asasi, serta di tengah pandemi masih bisa menari-nari. Menari melompat-lompat ke kanan dan ke kiri. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Ibu Risma, Jangan Bertindak Seperti Presiden

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Bikin gaduh aja! Begitulah kesan publik terhadap Risma. Jabatannya Menteri Sosial (Mensos). Tetapi upla uplek di Jakarta cari gelandangan. Setelah menemui gelandangan di Jl. Thamrin, kini Risma kasih rekomendasi gelandangan jadi pegawai di BUMN. Apakah langkah Risma ini akan menyelesaikan persoalan? Pastinya tidak. Yang ada justru muncul persoalan baru. Pertama, berapa banyak gelandangan yang bisa ditampung di BUMN? Kalau jumlah gelandangan di kota-kota besar jumlahnya jutaan, termasuk di Surabaya, apa akan bisa ditampung di BUMN? Nggak mungkin. Di bawah jalan tol Waru-Tanjung Perak Surabaya saja ada 175 gelandangan. Itu baru satu tempat. Di Surabaya saja. Bagaimana dengan kota-kota lain? Ada banyak kolong-kolong jembatan yang sekarang menjadi tempat tinggal bagi gelandangan. Mau ditampung semuanya di BUMN? Ngayal saja ah. Justru, upaya Risma memberi kerjaan hanya untuk segelintir gelandangan akan dianggap publik sebagai pencitraan belaka. Kenapa Risma tidak memperbanyak tempat-tempat penampungan di berbagai kota besar. Di tempat-tempat kota besar seperti Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, Makasar, Pelambang, Yogyakarta dan Jakarta ini, para gelandangan dikumpulkan. Setelah itu dilatih skillnya agar bisa bekerja atau usaha. Ini jauh lebih efektif sebagai solusi. Tetapi, nggak mudah juga mengumpulkan mereka dalam satu tempat. Mereka terpencar di berbagai lokasi. Banyak yang nggak mau dilokasir. Ini problem klasik yang dihadapi setiap pemda terkait gelandangan. Risma pasti tahu soal ini. Karena itu, nggak boleh ada dusta diantara kita. Kedua, soal skill. Banyak yang punya skill, berpendidikan lagi. Tetapi susah untuk mencari kerja. Nggak diterima di banyak perusahaan. Karena memang, lapangan kerja makin sempit. Ini para gelendangan, sekolahnya entah apa, dan bagaimana juga skillnya? Masuk di BUMN. Ingat lho, bekerja di BUMN itu seksi. Gajinya aduhai lagi. Tetapi keren, Risma bisa memberi rekomendasi ke kementerian BUMN. Apakah Erick Tohir sebagai Menteri BUMN bisa mengakomodir pola Risma yang spontan dan instan ini? Terakhir, Risma mau bikinin KTP buat para pengemis dan gelandangan. Lagi-lagi, urusan KTP itu urusan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dibawah Mendagri Tito Karnavian. Soal e-KTP, ada prosedurnya. Harus jelas asal usul orangnya. Ada teknis mengurusnya. Dimulai dari RT-RW semua data akan diverifikasi. Warga mana, sudah punya KTP atau belum, bagaimana dengan KK-nya. Kalau dari desa, mesti ada surat pindah domisili. Prosedur ini dibuat untuk menghindari KTP ganda. Aturan ini ada di Kemendagri. Apalagi, tahun 2018 kemarin adalah akhir Kemendagri tuntaskan urusan KTP. Kalau sekarang Risma mau bikinin KTP lagi buat para gelandangan, ini jadi tamparan buat Mendagri. Seolah-olah urusan KTP ini nggak pernah beres rupanya. Ada lagi masalah baru. Akan jauh lebih bijak, bila Risma mendata lebih dahulu para gelandangan di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Verifikasi secara detail identitas mereka. Gali lebih mendalam apa masalahnya. Setelah data-data itu terverifikasi, cari solusi, termasuk menjalin kerjasama lintas Kementerian dan Pemda. Semangat boleh, gebrakan juga oke-oke aja. Kerja cepat, itu juga bagus, tetapi nggak bisa spontan dan instan saja. Semua perlu dikerjakan secara sistemik. Ada data dan perencanaan. Jangan asal liat ada gelandangan dan tuna wisma, langusng teriak sana, teriak sini. Umbar janji sana, janji sini. Risma itu mensos, bukan presiden. Kalau presiden, bisa perintahkan menteri-menteri lain. Juga sudah ada mekanisme koordinasi yang lazim dengan daerah. Risma mestinya jangan bertindak sebagai presiden. Ingat, nggak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Kecuali jika tujuannya untuk persiapan Pilgub DKI 2022. Kalau itu targetnya, Risma sungguh nggak cerdas. Sebab, langkahnya membuat publik, termasuk warga DKI, malah nggak simpati. Buktinya, Forum RT-RW se-DKI malah menuduh Risma bikin gaduh. Artinya, sepak terjang Risma direspon negatif oleh warga DKI. Juga oleh rakyat Indonesia. Ngono yo ngono, tapi yo ojo ngono!

Edan Edun Edin,,, Dukun Dikriminalisasi Juga

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Para pendukung penguasa semakin kehilangan akal sehat dan rasionalitasnya. Setelah mimpi Ustadz Haikal Hassan ketemu Nabi Sallaahu Alaihi Wasallam dilaporkan ke Polisi, kini spesialis pelaporan polisi Muannas Alaidid hendak melaporkan Mbak You, ibu dukun yang telah meramalkan kejatuhan Jokowi pada tahun 2021. Sebelumnya Mbak You "sukses" meramal kejatuhan pesawat. Setelah diancam akan dilaporkan, Mbak You mengklarifikasi bahwa yang dimaksud penggantian Jokowi itu tahun 2024. Sebenarnya ini bukan klarifikasi tetapi perubahan ramalan akibat adanya tekanan mau dikriminalisasi. Sebab narasi ramalan jatuhnya Presiden itu satu paket dengan jatuhnya pesawat terbang. Sama-sama bakal terjadi pada tahun 2021. Kini giliran peramal yang mau dikriminalisasi. Kejadian seperti ini hanya ditemukan ada di eranya Jokowi. Mungkin juga sudah lupa bahwa Jokowi dahulu pernah juga meramal kalau ekonomi Indonesia akan terus meroket. Ramalannya tahun 2017 akan mencapai 7,1%. Sementara tahun 2018 dan 2019, masing-masing bakalan mencapai 7,5 % dan 8 %. Nah, ramalan tentang bakalan meroketnya pertumbuhan ekonomi di atas 7%, dimulai sejak tahun 2017 itu yang membuat harapan pada masyarakat. Namun akhirnya mengecewakan, karena pertumbuhan ekonomi merosot atau meroket ke bawah. Malah nyungsep dan ternjun bebas. Ramalan palsu jadinya. Untuk menyamakan dengan hasil pertumbuhan ekonomi yang decapai selama SBY berkuasa saja susah. Mengkriminal dimensi transenden adalah fenomena baru dalam sejarah hukum dan politik di negara Pancasila. Begitu semena-menanya kekuasaan mengkriminalisasi warga negaranya. Mengkritisi disebut makar. Mimpi dan meramal disebut bikin onar. Hanya pandangan sendiri dari penguasa saja yang paling benar. Selain dari penguasa, semua salah. Dasar ambyar. Dalam hukum pidana itu berlaku asas "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali". Artinya, seseorang tak dapat dipidana tanpa ada delik yang mendahuluinya. Karenanya kriminalisasi terhadap mimpi dan ramalan adalah bertentangan dengan asas hukum pidana ini. Baik KUHP maupun aturan hukum pidana lain. Tidak ada aturan hukum yang mengatur delik seperti ini. Dahulu saja kasus dukun santet tak bisa dihukum karena tak memiliki rumusan delik. Pembuktian yang tidak mudah. Sangat susah. Pasal 545 (1) KUHP yang dilarang adalah peramalan dijadikan sebagai mata pencaharian. Bukan konten ramalan, itupun sanksi pidana kurungan hanya 6 (enam) hari dan denda 300 rupiah. Apalah artinya sanksi pidana yang seperti itu. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang baru, dukun santet dicoba untuk diancam dengan pidana. Namun RUU itupun hingga kini tak kunjung dibahas. Entah mangkraknya dimana? Apakah di pemerintah atau di DPR? Namun nyatanya tidak pernah ada pembahasan lebih lanjut. Paling-paling ujungnya saling menyalahkan antara pemerintah dan DPR. Mungkin perlu ada titel sendiri dalam RUU KUHP baru yang memuat delik mimpi, ramalan, khayalan, lamunan, atau sejenisnya. Lalu dibahas oleh Pemerintah dan DPR dengan serius. Jangan asal-asalan pembahasannya. Sementara dunia memperhatikan dengan seksama bagaimana sekumpulan orang gila sedang ikut merumuskan hukuman terhadap fantasi. Begitu mungkin fikirnya. Nah Mbak You, you adalah Mbak. Banyak yang komentar atas suksesnya meramal pesawat terbang jatuh, dan kini banyak yang menunggu pilot pesawat lain yang jatuh di tahun 2021 ini. Namun ketika mengubah menjadi tahun 2024, rupanya Mbak You sukses melobi Jin komunikator. Jin yang takut dilaporkan ke Kepolisian. Atau Jin yang mungkin telah disuap agar dapat berkelit demi politik? Edan, edun, edin. Ramal meramal memang bukan ruang orang sehat. Karenanya agama melarang mempercayai ramalan. Agama Islam menyebutnya dengan syirik atau menyekutukan Tuhan. Itu adalah dosa besar yang sulit untuk diampuni. You memang keterlaluan dalam hal plintat-plintut. Tetapi yang main lapor jauh lebih keterlaluan lagi. Edan, edun, edin. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Jokowi Bisa Dipidana Jika Suntik Vaksin Bohongan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sudah banyak yang mewanti-wanti agar dalam proses vaksinasi ini kepeloporan Presiden Jokowi harus diikuti dengan transparansi. Selain itu, tidak membuka celah pintu dugaan negatif dalam pelaksanaan vaksinasi vaksin yang berasal dari Cina Tiongkok tersebut. Bermain-main dengan vaksin bukan saja berbahaya tetapi juga mengarah pada skandal. Penyuntikan yang tidak tanggung-tanggung. Penyuntikan dilakukan seorang Guru Besar yang tangannya "gemetaran" ketika menyuntik. Prof. dr. Abdul Mutholib, Sp. PD. KHOM. Mungkin sebenarnya dapat lebih tegar dan mahir jika dilakukan oleh seorang paramedis. Tetapi itulah fungsi pencitraan. Presiden disuntik vaksin oleh Guru Besar Kedokteran. Benar saja, banyak yang curiga. Yang paling menonjol dan viral adalah surat terbuka seorang dokter dari Cirebon. Dokter spesialis penyakit dalam dr. Taufiq Muhibbudin Waly, Sp PD. Beliau berpendapat setelah mendiskusikan dengan dokter dan paramedis senior, bahwa cara penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi adalah salah. Harusnya tidak begitu. Menurut dr. Taufik Muhibbudin Waly, agar masuk intramuskular harus lurus 90 derajat. Jika intramuskular miring seperti yang dilakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. kepada Presiden Jokowi, maka vaksin salah masuk. Demikian juga alat suntik, harusnya spuit 3 cc. Bukan spuit 1 cc seperti yang terlihat kemarin itu. Meski ini hanya opini, yang kemudian dinafikan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Faqih yang juga ikut disuntik bersama Presiden, tetapi hal tersebut harus dikarifikasi serius. Tidak cukup hanya dengan dibantah saja. Apalagi sekedar menyebut surat hanya berdasar pada opini. Publik berhak tau apa sesungguhnya yang dengan vaksin sinovac yang banyak ditolak di berbagai belahan dunia. Rakyat Indonesia menyaksikan dan mempertaruhkan diri kelak terhadap penyuntikan yang dicontohkan oleh Pak Jokowi. Presiden pun berbahagia dan menyatakan "tak terasa, terimakasih Prof". Sikap refleks yang menimbulkan multi tafsir di masyarakat. Sehingga uji kesahihan harus dilakukan. Apakah dr.Taufik Muhibbudin Waly yang benar, atau dr. Daeng Faqih yang benar ? Jika ada kesalahan suntik, maka solusinya jelas, harus dilakukan pengulangan sebagaimana saran dr Taufik Muhibbudin Waly. Jika cara penyuntikan yang dlakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. dan isinya sudah benar, maka dr Taufik dapat dikenakan sanksi oleh IDI. Masalah terberat adalah jika ternyata "salah suntik" itu "by design" semata. Kalau salah suntik yang terjadi pada Presiden Jokowi ini hanya by design semata, makan ini akan masuk ranah penipuan publik. Hoaks yang tersebar di banyak media. Presiden dan tim telah menyebarkan kebohongan.Bukan hanya satu dua orang, tetapi 260 juta rakyat telah tertipu. Bisa dikatagorikan sebagai pembohongan publik yang sengaja dan direncanakan. Merujuk peristiwa kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, yang kemudian dihukum penjara selama dua tahun, maka bila Presiden yang melakukan hal serupa, juga tidak boleh kebal hukum. Delik pelanggaran yang dikenakan kepada Ratna Sarumpaet adalah penyebaran berita bohong Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan kepada Ratna Sarumpaet dikaitkan pula dengan Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE. Untuk itu, Penelusuran secara transparan dan obyektif untuk menyimpulkan bahwa penyuntikan vaksin sinovac kepada Presiden itu benar, salah, ataupun suatu kebohongan menjadi sangat penting, mengingat akibat hukum yang ditimbulkannya. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah pihak-pihak yang terlibat berani memberi pengakuan atau kesaksian di bawah sumpah? Atau mungkin perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk menyelidiki kasus vaksinasi vaksin sinovac kepada Presiden Jokowi ini? Memang lucu juga jadinya, tetapi apa sih yang tidak lucu di negeri ini? Terlalu banyak pemimpin yang menjadi pelawak suntik,,, eh pelawak politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Perlu SKB Enam Menteri Soal Vaksin

by Tony Rosyid Jakarta FNN - Pandemi akibat Covid-19 belum juga berakhir. Bahkan eskalasinya dalam beberapa hari belakangan ini justru semakin naik. Setiap hari hampir 13 ribu orang terinveksi. Lebih dari 200 orang mati. Total kematian mencapai lebih dari 24 ribu. Segala upaya sudah dilakukan. Mulai Mencuci Tangan, Memakai Masker dan Menjaga Jarak (3M) sampai dengan membatasi aktifitas kerja dan kerumunan. Saat pandemi, semua aspek kehidupan termasuk sosial, ekonomi dan ibadah mengalami banyak perubahan. Selama pandemi, puluhan orang kena denda akibat melanggar Protokol Kesehatan (Prokes), khususnya di DKI. Soal penerapan prokes tersebut, DKI memang dikenal lebih tegas dari daerah lain. Ada juga yang dipenjara gegara melanggar prokes. Pertanyaannya, kenapa angka yang terinveksi tak juga turun, malah terus naik? Ada tiga penyebabnya. Pertama, kebijakan yang sering terlambat dan tidak konsisten. Kedua, aturan yang tidak benar-benar ditegakkan untuk semua. Ketiga, kedisiplinan masyarakat yang rendah. Ujung-ujungnya, herd immunity. Saat ini, 3M dianggap tidak cukup. Muncul gagasan vaksinasi. Bahkan sudah dijalankan. Semua langkah memang perlu ditempuh, selama itu memberi efek pencegahan, atau setidaknya meminimalisir jumlah terinveksi. Selama tujuan dan realisasinya benar, efek positifnya terukur, dan terjamin keamanannya, rakyat relatif akan bisa menerima. Ada penelitian menarik yang dilakukan Kemenag soal vaksinasi. Sebanyak 54, 37 persen rakyat menerima untuk divaksin. Sekitar 9,39 persen lagi menolak. Dan sisanya 36,25 persen belum punya pilihan. Bisa diartikan, masih ragu-ragu. Masih banyak masyarakat yang ragu dan menolak untuk divaksin. Mulai dari dokter, perawat, anggota DPR hingga rakyat biasa. Salah satunya karena faktor informasi yang simpang siur. Ada enam hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum "atau sembari" program vaksinasi dijalankan. Pertama, perlunya jaminan bahwa vaksinasi ini halal, aman, efektif dan tidak ada risiko. Jika ada risiko, baik ringan maupun berat, pemerintah sebaiknya menjamin akan bertanggungjawab, setidaknya secara materiil. Misalnya, pemerintah menanggung biaya rumah sakit jika terjadi risiko akibat vaksinasi. Pemerintah pun menjamin biaya hidup keluarganya jika sampai ada tulang punggung keluarga yang meninggal akibat vaksinasi. Kedua, soal regulasi. Vaksinasi wajib, boleh menolak tanpa sanksi, atau seperti apa. Vaksinasi jadi tanggung jawab pusat, atau daerah. Perlu ada kepastian hukum. Entah itu kepres, peraturan menteri, atau peraturan kepala daerah. Bila perlu Surat Keputusan Bersama (SKB) enam Menteri, yaitu Menkes, Mensos, Menkominfo, Mendagri, Menkumham dan menteri BUMN. Kok banyak kali menteri yang terlibat? Biar mantabs saja. Sekarang lagi musim serba "enam". Ketiga, soal panduan teknis. Mesti jelas siapa yang melakukan vaksinasi? Dimana saja tempat vaksinasi? Urutan pasien berdasarkan profesi dan wilayah, serta kepastian schedulenya. Setiap orang dapat berapa kali vaksinasi. Semua orang akan mendapat vaksin sinovac yang sama atau beda. Apa saja yang harus dilakukan oleh peserta vaksinasi, baik sebelum atau sesudah divaksin. Setelah divaksin, bolehkah berkerumun tanpa masker, misalnya. Disini, perlu panduan secara rinci. Keempat, sosialisasi. Perlu ada jubir khusus yang ditunjuk sebagai pihak resmi yang menyampaikan informasi atas nama pemerintah. Kalau semua pejabat bicara tentang vaksinasi, rakyat jadi bingung. Pejabat A bilang ada sanksi. Pejabat B bilang nggak ada sanksi. Menteri A bilang ini, menteri B bilang itu, kan berabe. Simpang siur. Sudah lama simpang siur informasi dari para pejabat tinggi negara terjadi. Sudah waktunya ditertibkan. Kelima, soal konsistensi. Mesti dipikirkan, didiskusikan dan direncanakan secara matang sebelum aturan, kebijakan atau panduan terkait vaksinasi itu dibuat. Inkonsistensi akan pasti terjadi jika persiapan tidak dilakukan dengan matang. Keenam, perlu pengawasan. Jangan sampai ada malpraktek, atau adanya pihak-pihak yang berbisnis secara tidak halal di program vaksinasi ini. Agar tidak bernasib seperti bansos dan Kementerian Benur, program vaksinasi mesti diawasi lebih ketat. Supaya tidak ada lagi korupsi. Bila perlu, KPK terlibat. Jaminan halal, aman, efektifitas, serta ada pertanggungjawaban medis dan material dari pemerintah kemungkinan akan dapat mengurangi setidaknya tingkat keraguran pada rakyat. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Dorong Koalisi Sipil Lapor ke Pengadilan Kejahatan Internasional

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah final menyampaikan hasil penyelidikan. Bahwa kasus penembakan terhadap 6 anggota Laskar Pront Pembela Islam (FPI) adalah "Pelanggaran HAM". Selanjutnya proses Pengadilan pidana adalah tindak lanjut. Presiden tinggal memerintahkan kepada Jaksa Agung untuk mulai penyidikan. Mudah-mudahan saja, untuk menetapkan tersangka, baik pelaku penembakan maupun yang ikut serta, termasuk kemungkinan atasan dari pelaku kejahatan tidak menemui hambatan. Tidak ada lagi kesulitan, seperti yang terjadi pada penyedisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Tidak perlu butuh bertahun-tahun untuk menemukan tersangkanya. Entah bentuk perlawanan atau pengaburan kasus, serangan penguasa kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) belakangan ini terasa semakin membabi buta. Seribu satu macam kesalahan pun dicari-cari. Setelah kasus baru ditimpakan seperti soal test swab di Rumah Sakit (RS) UMMI yang menyeret juga menantu HRS dan Direksi RS UMMI, kini soal pemblokiran rekening yang merajalela. Disamping 59 rekening yang terkait dengan FPI diblokir oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), juga 7 rekening milik putera HRS pun ikut diblokir. Belakangan adanya informasi bahwa bahwa rekening pribadi Munarman yang konon untuk menampung uang pensiunan ayahnya juga diblokis. Padahal rekening Munarman itu, sebagai biaya ibunya yang sedang sakit. Pemblokiran yang sebenarnya secara hukum tidak beralasan ini dapat saja digugat ke pengadilan. Akan tetapi persoalannya adalah kuatnya kemauan politik yang tidak peduli akan hukum. Kemauan politik yang bermisi secara brutal untuk "menghabisi HRS, keluarga, FPI, dan segala keterkaitannya". Hal ini sesungguhnya masuk dalam ruang kesewenang-wenangan kekuasaan yang sekaligus menjadi lanjutan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Dalam kasus pembunuhan 6 anggota Laskar FPI terus digemakan suara pentingnya pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Disamping itu, untuk obyektivitas dan keterbukaan proses peradilan, semangat menarik kalau melibatkan Mahkamah Internasional. Banyak fihak yang mencari solusi untuk mekanisme atau prosedurnya. Komnas HAM sendiri yang melapor hasil penyelidikan kepada Presiden, semakin terlihat tidak dapat dipercaya. Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari banyak organisasi yang peduli dengan HAM telah membuat buku saku tentang International Criminal Court (ICC). Buku saku untuk ICC sebagai lembaga peradilan kejahatan internasional yang siap mengadili kejahatan kemanusiaan. Apalagi negara pelanggar HAM tersebut, tidak ada kemauan (unwilling) dan tidak ada kemampuan (unability) untuk memproses kejahatan pelanggaran HAM. Nampaknya perlu kebersamaan semua pihak untuk menguak pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini. Baik kasus 6 laskar FPI, kasus kematian 6-9 orang pada 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu, atau pun kasus tewasnya kurang lebih 989 petugas Pemilu pada Pilpres yang lalu. Semuanya menjadi terasa mutlak untuk keterlibatan Pengadilan Kriminal Internasional. Apalagi mengingat ketidakmauan dan ketidakmampuan Pemerintah untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut. Keluarga korban, tokoh dan aktivis, para pengacara, bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil kiranya perlu mencari solusi. Pelaporan atau pengaduan kepada lembaga seperti ICC menjadi salah satu upaya yang dinilai strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Andaikata pemerintah mau "mundur sedikit" melangkah bersama rakyat, maka mungkin solusi bersama mengatasi problema dapat digalang. Akan tetapi bila "maju terus pantang mundur", maka posisinya yang berhadap-hadapan dengan koalisi masyarakat sipil pasti akan terjadi. Iklim politik yang tidak sehat seperti ini selalu berprinsip "menang dan kalah". Lalu negara (baca : pemerintah) tidak boleh kalah ? Jika demikian berlaku hukum, "Fa idza jaa-a ajaluhum la yasta'khiruun saa'atan walaa yastaqdimuun" (QS Al A'raf 34). Jika saat ajal telah tiba, maka tidak ada kekuatan apapun yang bisa mempercepat atau memundurkan. Itulah momen dari perubahan. Bisa 2024 bisa pula 2021. Wallahu a'lam. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.