Menguji Ketangguhan Pemimpin di Era Pandemi
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
PANDEMI Itu nyata. Mengenai hal ini, sudahlah gak usah berdebat. Soal ada oknum pejabat yang bancaan (korupsi) bansos, rebutan bisnis vaksin, dan sejumlah orang yang "aji mumpung" menjadikan pandemi sebagai lahan "cuan" itu soal lain. Itu urusan negara yang harus menertibkan. Aksi para oknum ini tidak akan merubah data dan fakta covid yang telah membunuh 50 ribu lebih penduduk Indonesia.
Tingginya angka penyebaran telah membuat pemerintah kewalahan. Sejumlah upaya telah dilakukan, dari PSBB hingga relaksasi, dari PPKM Darurat hingga PPKM ber-level. Hasilnya belum maksimal. Fakta ini menuntut evaluasi semua pihak, terutama stakeholders. Dalam hal ini adalah pemerintah.
Pandemi yang telah menelan nyawa dan memporakporandakan ekonomi negara akan menjadi ujian bagi seorang pemimpin. Baik presiden maupun kepala daerah.
Saat pandemi, setiap pemimpin akan dihadapkan pada dilema, antara nyawa rakyat dengan ekonomi. Di sini akan dilihat apakah pemimpin itu bisa mengambil keputusan yang tepat dan akurat di tengah dilema yang sedang dihadapi.
Ketangguhan seorang pemimpin dalam menghadapi covid ini akan dilihat dari pertama, kemampuannya memahami persoalan covid ini. Pemimpin dituntut untuk memiliki pandangan yang akurat, sehingga mampu melakukan antisipasi. Ibarat musuh, virus harus benar-benar dikenali. Tentang tabiatnya, penyebarannya dan bagaimana cara virus itu menyerang mangsanya. Sebab, jika salah mengenalinya, keputusan menjadi tidak tepat, dan nyawa rakyat jadi bulan-bulanan.
Seorang pemimpin itu pemegang tongkat perintah. Otoritas ada di tangannya. Di sini, Pemimpin ambil tanggung jawab. Jika salah membuat keputusan, negara dan rakyat jadi taruhan. Dan keputusan hanya akan tepat jika pemimpin berhasil mengidentifikasi persoalan secara akurat.
Kedua, lihat bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan. Mengalahkan covid, atau dihancurkan oleh covid. Dari sini kita akan mengukur data secara obyektif.
Hebatnya seorang pemimpin bukan dilihat dari lihainya berkampanye, tapi diukur dari kemampuannya membuat perubahan dan menyelesaikan masalah. Ketika pandemi menjadi persoalan serius seperti saat ini, maka lebih mudah untuk mengukur kapasitas dan kompetensi seorang pemimpin.
Ketiga, konsistensi kebijakan. Jika pemahaman berubah-berubah, dan kebijakan sering sekali gonta ganti, ini menunjukkan dilema belum bisa diatasi. Jika ini terjadi, kecil kemungkinan setiap keputusan yang diambil akan efektif.
Ketangguhan seorang pemimpin justru terukur ketika ia mampu keluar dari situasi dilematis. Dan ini butuh konsistensi.
Boomberg merilis daftar ketahanan Covid-19, dari yang terbaik sampai yang terburuk di dunia. Yang terbaik itu Norwegia, Swiss, lalu disusul Selandia Baru. Yang terburuk? Indonesia. Ini tamparan buat kita bersama.
Beberapa pekan ini, ada rata-rata 1.300 kematian setiap hari. Sementara vaksinasi baru 11,9 persen. Apakah ini karena faktor anggaran untuk Covid-19 yang minim yaitu 5,41 persen dari PDB? Bukankah anggaran covid di 2021 sudah ditambah? Dari 699,43 T menjadi 477,75 T. Meski anggaran covid sudah ditambah, tapi pandemi belum nampak turun secara signifikan.
Indonesia diprediksi akan menjadi negara terakhir yang keluar dari pandemi. Mungkin mengecualikan Jakarta. Vaksinasi di Jakarta sudah lebih dari target. Harusnya Agustus mencapai angka 7,5 juta. Angka itu sudah dicapai di bulan Juli.
Jumlah terinveksi di Jakarta sudah sangat melandai. Dari 113 ribu menjadi 19 ribu. Hanya butuh waktu dua pekan.
DKI Jakarta memang terlihat paling konsen sejak informasi covid menyebar ke sejumlah negara. Sebelum covid masuk ke Indonesia, Jakarta sudah membuat tim kajian dan penanganan virus. Ini langkah antisipatif yang saat itu sangat diperlukan.
Bahkan di awal covid masuk Indonesia, Jakarta mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk lockdown. Hanya saja, saat itu banyak pihak yang belum menganggap covid ini masalah serius, sehingga usulan DKI ditolak.
Sudah hampir 1,5 tahun, covid menyebar di Indonesia dan memakan banyak korban nyawa. Nasi sudah jadi bubur. Covid telah merajalela menemukan mangsanya. Satu persatu rakyat mati. Sejumlah tokoh dan agamawan mati. Lebih dari 400 dokter dan nakes mati. Covid tak juga berhenti memburu mangsanya. Ini menjadi tantangan dan ujian tersendiri, khususnya bagi setiap pemimpin untuk menunjukkan ketangguhannya di hadapan rakyat.
Faktor kenapa Indonesia dianggap paling buruk dalam penanganan covid, ini bukan semata-semata karena soal anggaran. Penyebab utamanya ada dua. Pertama, karena tidak menjadikan data sebagai referensi dan pijakan serius dalam mengambil keputusan. Sehingga, sering telat mengantisipasi. Kedua, Indonesia tidak kunjung keluar dari dilema. Berada di antara nyawa dan ekonomi. Akhir-akhir ini, politik ikut menambah unsur dilema itu.
Peralihan PPKM Darurat ke PPKM Level, lebih karena faktor politik. Saat PPKM Darurat, gejolak sosial terjadi di berbagai wilayah. Penyebab utamanya karena rakyat lapar. Diubahlah PPKM Darurat ke PPKM Level. Padahal, penyebaran covid masih sangat tinggi. Disinilah tampak pemerintah merubah kebijakan PPKM demi ketahanan politik.
Saatnya keluar dari jebakan dilema. Gimana caranya? Prioritaskan kesehatan. Utamakan keselamatan nyawa rakyat. Ambil risiko ekonomi untuk sementara waktu. Tentu melalui perhitungan yang matang. "Uang bisa dicari, tapi nyawa tak bisa dibeli".
Rakyat secara umum tidak keberatan PSBB atau PPKM. Mau apa aja istilahnya, rakyat setuju. Tapi, mereka harus tetap hidup. Satu-satunya jalan, kasih makan. 300 ribu sebulan, gak bakal cukup. Rakyat pasti berontak. Akibatnya, PSBB dan PPKM tidak optimal. Negara gak boleh pelit kalau itu untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Toh, kalau nyawa selamat, ekonomi juga akan aman. Semua ini bergantung pada pemimpinnya.