OPINI
Presiden Segera Non Aktifkan Kapolda Metro Jaya
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Senin (11/01). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis hasil kerja penyelidikan tewasnya 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dikenal dengan “Tragedi Penembakan kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Komnas HAM merekomendasi empat hal, yaitu soal pelanggaran HAM dan proses peradilan, penegakan hukum orang yang berada di dua mobil avansa yang bukan dari petugas Polda Metro Jaya, pengusutan senjata api, serta penegakan hukum yang akuntabel, obyektif dan transparan. Hasil kerja dan rekomendasi Komnas HAM disampaikan kepada Presiden untuk ditindaklanjuti. Presiden kini memegang bola panas itu. Rakyat menunggu sikap politik dan kepatuhan Presiden kepada hukum. Apalagi Presiden berulang-kali menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu, Presidem segera berpidato untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Gunakan segala fasilitas yang disediakan oleh negara. Pakai itu podium dan mimbar di Istana Negara untuk berbicara kepada rakyat negeri ini. Bicara untuk didengar oleh masyarakat dan komunis pegiat HAM di muka bumi ini. Bicara, apresiasi dan tindak lanjuti itu hasil kerja Komnas HAM. Meski dengan kesadaran bahwa masih banyak pihak yang kecewa atas kerja Komnas HAM tersebut. Namun sekurangnya masih ada tiga pertanyaan krusial dan keingintahuan publik berkenaan dengan temuan Komnas HAM yang butuh penyelidikan lebih lanjut tersebut. Pertama, benarkah terjadi tembak-menembak sebelum sampai di kilometer 50 tol Japek? Atau baru terjadi tembak-menembak baru terjadi persis di kilometer 50 tol Japek seperti keterangan warga kepada wartawan FNN.co.id Edy Mulyadi? Pertanyaan ini penting mengingat sampai dengan rilis Komnas HAM itu disampaikan kepada masyarakat, tidak ada keterangan atau penjelasan sedikitpun "goresan" pada para petugas yang juga ditembak itu? Apakah kemungkinan dua anggota Laskar FPI yang sudah meninggal lebih dulu itu ditembak secara sepihak oleh "petugas misterius" dari dua mobil Avanza yang ikut membuntuti rombongan keluarga Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak dari sentul? Sebab Komnas HAM dengan sangat jelas telah merekomendasi penegakan hukum kepada mereka-mereka di dua mobil Avanza tersebut. Kedua, mengusut senjata api rakitan. Apakah benar senjata rakitan tersebut adalah milik anggota Laskar FPI? Ataukah juga milik petugas yang kemudian dinyatakan seolah-olah merupakan milik anggota Laskar sehingga tersimpulkan terjadi "tembak-menembak" tersebut? Apalagi FPI telah menyatakan bahwa tidak ada anggotanya yang dibekali dengan senjata api atau senjata tajam lainnya. Pengusutan atas kepemilikan senjata rakitan ini menjadi penting mengingat adanya perubahan pada keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Dr. Fadil Imron. Semula ketika memberikan keterangan dengan didampingi Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurrachman, Kapolda Mtero Jaya menyatakan pistol tersebut asli jenis revolver. Kemudian pernyataan itu berubah menjadi hanya pistol rakitan. Ketiga, kesimpulan tidak ada penyiksaan perlu dilakun pendalaman oleh tim forensik yang independen dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Bukan tim forensik dari Rumah Sakit Polri mengingat adalanya jenazah yang lebam-lebam. Terjadi pembengkakan organ pada jenazah, serta melepuh dan mengelupas. Benarkah jenazah yang lebam-lebam, pembengkakan organ tubuh, melupuh dan mengelupas tersebut, semua hanya efek dari penembakan atau kolestrol? Sebab jarak waktu antara penembakan dengan otopsi, serta pemulasaraan jenazah relatif pendek. Perlu pendalaman yang lebih terperinci lagi. Keempat, atas rekomendasi bahwa terjadi pelanggaran HAM, maka harus ditindaklanjuti pada tingkat pengadilan. Dengan sendirinya petugas kepolisian akan segera menjadi tersangka. Kemungkinan sebagai atasan, Kapolda Metro Jaya Fadil Imron juga akan menjadi terperiksa. Demi berlanjutnya kasus "pelanggaran HAM" ini, maka dua hal menjadi mutlak adanya. Pertama, segera non aktifkan Kapolda Metro Jaya Irjan Pol. Dr. Fadil Imran. Kedua, Presiden harus segera memerintahkan Kapolri untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM tersebut. Bila Presiden merasa tidak terkait, dan memiliki tanggung jawab besar kepada rakyat, maka segera perintahkan pula pembentukan Peradilan HAM atas peristiwa ini. Pembentukan pengadilan HAM menjadi penting, untuk menghindari keterlibatan lembaga HAM, atau bahkan Peradilan HAM internasional untuk ikut menangani kasus pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek ini. Presiden jangan diam saja. Jangan pula serahkan respon Pemerintah kepada keterangan atau pidato Menkopolhukam. Karena sudah terlalu banyak blunder yang dibuat Pak Menteri ini yang suka membuat rakyat kurang percaya kepada pemerintah. Ataukah memang Pak Presiden juga merasa sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat ? Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Melumpuhkan Umat Islam Dengan Isu Radikalisme
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (10/01). Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas terus menyerang umat Islam. Ini semacam strategi perang frontal dan gerilya. Senjata penghancurnya adalah isu radikalisme dan intolerasi. Bagai menginginkan agar umat Islam menjadi umat yang lemah, hilang gairah, runtuh kekebalan keimanan, dan menjadi terjajah. Setelah itu, wibawa umat Islam menjadi sirna. Lalu suka dan senang menghamba. Bahkan lebih suka untuk berjoged-joged daripada berjuang dan bertempur di medan berda'wah, dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Umat Islam diharapkan menjadi umat yang "kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng ". Beberapa hari lalu Menteri Agama Yaqut mendatangi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin. Yaqut meminta untuk dilibatkan dalam menyusun konten seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka mencegah radikalisme. Pada era Jokowi khususnya periode kedua ini, fokus Kementrian Agama hanya pada masalah radikalisme dan intoleransi semata. Asumsinya Kementerian Agama adalah, bahwa umat beragama, khususnya umat Islam adalah kaum yang intoleran, radikalis, dan bahkan teroris. Agama ditempatkan menjadi musuh bagi kehidupan, dan harmoni berbangsa dan bernegara. Bahkan menjadi lawan ideologi. Terorisme mungkin lebih memiliki batasan yang jelas. Walaupun penuh dengan rekayasa, dan kepentigan global memainkan peran dominan. Sama dengan radikalisme yang menjadi mainnan elit global seperti disampaikan Komjen Pol. Dharma Pongrekun, “Islam itu Sangat Mencintai Kedamaian”, (FNN.co.id edisi 23/11/2019). Bahkan radikalime samkin tidak jelas lagi. Memiliki pengertian yang bias, dan dapat disalahmaknakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun hanya memberi batasan radikalisme untuk aliran politik. Bukan untuk pengertian yang berkaitan dengan keagamaan. Yaqut yang menempatkan diri sebagai panglima toleransi dan deradikalisasi, terkesan ingin membawa budaya kelompoknya menjadi kultur keberagamaan umat Islam. Keragaman yang diubah menjadi keseragaman. Beragama secara monolit yang seperti ini, bukan integrasi tetapi aneksasi dan. Penaklukan terhadap tata cara beragama. Moderasi atau toleransi tidak boleh menyebabkan seorang muslim menjadi kehilangan identitas kemusliman atau menjadi sinkretis. Bukan dengan mesti shalawat atau azan di gereja. Bukan pula dengan mencium tangan pastur, atau berpidato mengakui Yesus sebagai anak Tuhan. Bukan juga dengan meyakini semua agama itu, benar sehingga agama apapun dapat mengantarkan ke Surga. Gerakan anti radikalisme menjadi fenomena dan strategi melumpuhkan umat Islam. Sejarah politik bangsa menunjukkan terjadinya persaingan politik antara kelompok politik keagamaan dan kelompok kebangsaan sekuler. Memadukan kedua kekuatan potensial bangsa tersebut telah dilakukan melalui konsensus dalam rumusan ideologi Pancasila. Ketika kelompok kebangsaan sekuler "menang" dalam kompetisi demokrasi, maka ada kesan misi "menghajar" kekuatan politik Islam saat dimulai. Meski ada partai politik berbasis Islam, tetapi sebagian besarnya lumpuh dan ikut irama permainan politik pragmatik. Hanya karena takut dan tersandra dengan ancaman-ancaman permasalahan hukum. Pelemahan partai politik sekarang terus bergeser dan bergerak ke aras kehidupan sosial kemasyarakan. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau pergerakan Islam menjadi target yang harus dilumpuhkan. Isu strategis yang dinilai layak dan efektif untuk dipakai adalah radikalisme dan intoleransi. Menteri Agama sebelumnya Fakhrul Rozi yang berlatar belakang militer terkesan diamanati Jokowi untuk mengemban misi mengangkat isu radikalisme. Begitu juga dengan Menteri Agama penggantinya Yaqut Cholil Qoumas. Jika Kementrian Agama menjadi kementrian yang berisik dengan isu dan pandangan negatif terhadap aspek keagamaan umat Islam, maka kementrian ini telah menjauh dari misi awal sejarah pembentukannya. Kita harus malu dengan ucapan aktivis HAM Natalius Pigai yang non muslim bahwa "sampai kapan umat yang mayoritas, terutama muslim, akan tenang. Tidak ada Islam yang intoleran, tidak ada Islam yang teroris, tidak ada Islam yang radikal. Yang ada adalah cara pandang pemimpin yang radikal dan teroris ". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.
FPI & Keluarga Korban Boleh ke ICC Den Haag
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Sabtu (09/01). Telah dirilis hasil penyelidikan Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kasus pembunuhan terhadap enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Jalan Tol Jakarta Cikampek (Japek) yang dikenal dengan peristiwa Kilometer 50. Nampaknya rilis tanggal 8 Januari 2021 ini hasil final. Karena ada butir-butir narasinya, akan dilaporkan kepada Presiden, Menkopolhukam dan Kapolri. Adapun Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM dari penyelidikan tersebut ada empat butir. Pertama, tewasnya empat anggota Laskar FPI di tangan atau kekuasaan aparat negara merupakan kategori pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar dilakukan proses penegakan hukum lanjutan melalui mekanisme pengadilan pidana. Kedua, mendalami dan penegakan hukum orang-rang yang berada dalam dua mobil petugas di laur anggota Polda Metra Jaya. Kedua mobil tersebut adalah Avansa Hitam B 1739 PWQ dan Avansa silver B 1278 KJD. Karena kedua mobil yang bukan dari Polda Metro Jaya ini melakukan pembuntutan sejaka dari Megamendung, Setntul sampai Cikampek. Ketiga, mengusut kepemilikan senjata api milik Laskar FPI. Keempat, dilakukan proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai standar HAM. Meski meragukan dan belum jelas dalam kaitan kepemilikan senjata api milik Laskar FPI, yang menyebabkan kematian dua anggota Laskar FPI tersebut, tidak terungkap soal tanda-tanda penyiksaan. Tidak terungkapoleh Komnas HAM telah terjadi terjadi penyiksaan terhadap empat anggota Laskar FPI yang meninggal di tangan anggota Polda Metro Jaya. Catatan penting yang didapat dari rilis Komnas HAM ini adalah keyakinan bahwa telah terjadinya perbuatan yang dikategorikan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh anggota Polda Metro Jaya. Karenanya harus berlanjut pada proses peradilan. Empat orang yang tewas ditembak pada tahap kedua, yang dikategorikan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM dapat menjadi pintu masuk. Pintu untuk menguak lebih lanjut kebenaran dari kasus yang menghebohkan ini. Apalagi terkait dengan adanya keterlibatan pihak yang bukan aparat kepolisian. Begitu juga dengan pembuntutan yang intensif dan masif terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS). Apa dasar hukumnya? Padahal HRS ketika itu bukan bestatus tersangka. HRS juga tidak berstatus sebagai buronan. Sehingga keterlibatan atasan aparat pelaku pembuntutan dan penembakan patut digali dan didalami lebih lanjut. Jika tidak, maka bisa muncul dugaan adanya kebijakan target "pembunuhan politik" terhadap HRS. Mengapa sejak dari awal keluarnya surat penugasan, petugas dari Polda Metro Jaya tidak meperkenalkan diri atau memperlihatkan surat tugas kepada HRS? Bahwa mereka sedang melakukan penyelidikan terkait dengan dugaan pengerahan massa besar-besaran? Sehingga tidak perlu terjadi pepet-pepetan dengan Laskar FPI yang mengawal HRS selama di jalan tol. Dengan memperlihatkan surat tugas resmi, maka petugas Polda Metro Jaya juga tidak perlu memaksakan diri untuk masuk dalam barisan atau konvoi rombongan keluarga HRS selama di jalan tol. Sebab antara petugas Polda Metro Jaya dengan pihak HRS sudah saling kenal dan mengetahi posisi masing-masing. Kalau sudah saling tau dan kenal, kemungkinan malah petugas Polda Metro Jaya dibiarkan saja untuk bergabung dalam rombongan HRS selama di tol. Sebab petugas tidak lagi dicurigai oleh pengawal HRS sebagai maling atau penjahat lainya. Sehingga harus dijauhkan dari rombongan keluarga HRS. Pelaku Belum Terungkap Dua hal yang disayangkan, dan tidak terungkap secara transparan dari penyelidikan Komnas HAH. Pertama, soal eksplanasi tanda-tanda penyiksaan yang menyertai pembunuhan. Kedua, siapa atau berapa orang pelaku penembakan terhadp enam anggota Laskar FPI? Pengungkapan terhadap jumlah dan identitas pelaku ini penting. Mengingat pembunuhan di kiloeter 50 ini kategorinya adalah perbuatan adalah pelanggaran HAM. Komnas HAM semestinya menemukan identitas pelaku personal perbuatan kriminal tersebut. Hasil penyelidikan Komnas HAM sebenarnya inkonsisten. Karena setelah meyakini bahwa telah terjadi pelanggaran HAM. Tetapi tidak merekomendasi ke arah penegakan hukum melalui pengadilan HAM. Ini bukan semata pembunuhan. Namun pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM berat. Dasarnya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini agar kasus serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran berharga bagi para pelanggar HAM. Konsekuensinya, jika tidak melalui Pengadilan HAM, maka masyarakat masih dapat mendorong dan mengajukan agar proses peradilan dilakukan melalui Internasional Criminal Court (ICC) di Den Haag Belanda. Alasan untuk membawa masalah ini ICC adalah Pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mengadili pelaku kejahatan HAM. Pembunuhan dan penyiksaan dengan kategori pelanggaran HAM masuk dalam kompetensi peradilan ICC. Tinggal masyarakat mendorong saja. Bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tidak menjadi alasan kemungkinan tidak diproses oleh ICC. Kasus Myanmar, Amerika, dan Israel adalah contoh negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma. Tetapi terbukti menjadi obyek peradilan ICC. Apalagi legal standing untuk proses ICC bukankah negara tetapi individu dan masyarakat. Sebentar lagi bola berada di tangan Presiden. Akan diuji komitmen dan keseriusannya sebagai Kepala Negara dalam penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jika tidak serius dan bermain-main dalam kasus ini, maka Presiden dapat dikategorikan sebagai bagian dan terlibat dalam pelanggaran HAM tersebut. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
"Mensos Lama" Dibui, "Mensos Baru" Dibully
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Kamis (07/01). Politisi PDIP Juliari Peter Batubara ditangkap Kimisi Pemberantasan Korupsi(KPK) melalui pengembangan dari Operasi Tangkap Tangan (OTT). Dugaan korupsi dana bansos di Kementerian Sosial. Nilai korupsnya Rp. 17 miliar, kata KPK. Tetapi, angka itu terus naik seiring perkembangan kasus. Pro kontra hukuman mati terus meramaiakan media. Juliari ditetapkan sebagai pelaku korupsi. Rakyat sepakat dengan KPK itu. Tetapi, Juliari juga diduga menjadi korban. Korban apa? Kabarnya, ada perintah setoran. Kepada siapa? Hanya KPK yang punya otoritas untuk membongkarnya, jika memang betul adanya. Itupun harus ada niat dan keberanian. Kalau nggak ada, maka akan menguap. Sudah tepat yang dilakukan presiden Jokowi. Mencopot dan mengganti Juliari Peter Batubara. Pengganti Juliari adalah Tri Risma Harini, Waliko Surabaya. Hanya beberapa pekan setelah Juliari diterapkan jadi tersangka. Bersih-bersih kabinet dilakukan Jokowi. Juliari masuk bui, digantikan Risma. Sama-sama dari PDIP. Kini, tugas Risma sangat berat. Pertama, mengembalikan nama baik PDIP. Partai dimana Risma berkarir. Kedua, menjaga nama presiden sebagai kepala negara yang membawahi semua kementerian. Tahun 2020 kemarin, ada sejumlah kader PDIP ditangkap KPK. Mulai dari kepala daerah hingga menteri. Penangkapan ini tantangan tersendiri bagi para kader PDIP yang sekarang menjadi pejabat publik. Mampukah mereka bekerja dan menjaga integritas? Butuh permbuktian nanti. Bukan janji manis. Portofolio mereka akan sangat berpengaruh pada marwah partai ke depan. Khususnya posisi Risma yang menggantikan Julian Batubara yang terjungkal, karena korupsi. Dengan popularitasnya, semua sepak terang Risma akan dipantau publik. Ini bisa menguntungkan buat PDIP. Tetapi jika kepleset, bisa bikin jeblok partai banteng ini. Pasca dilantik, Risma langsung tancap gas. Risma Keliling Jakarta menemui para gelandangan dan tuna wisma. Hari itu pula, Risma dibully pablik. Kenapa? Ibu Risma itu Mensos. Bukan Kepala Dinas Sosial Pemeerintah DKI. Begitu persepsi publik. Wilayah kerja Mensos itu nasional. Seluruh wilayah NKRI, dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya sebatas DKI saja. Tugas Mensos salah satunya membantu mensejahterakan rakyat miskin. Bukan mengumpulkan gelandangan dan tuna wisma. Mengawali dengan pendataan warga miskin. Mencari faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan. Lalu merumuskan program pengentasan kemiskinan. Memastikan kalau anak buah Risma bergerak mengikuti juklak dan juknisnya. Itulah tugas Mensos. Gelandang adalah sedikit dari jumlah orang miskin. Di luar Jakarta, angka kemiskinan lebih besar. Artinya, mereka menunggu ibu Mensos dengan bantuan-bantuan yang tepat. Bantuan yang betul-betul sampai ke tangan mereka yang miskin itu.. Ukuran keberhasilan Mensos bukan pada berapa kali bertemu dengan para gelandangan itu. Bukan pula berapa besar bantuan yang diberikan kepada para gelandangan itu. Apalagi cuma ongkos pulang kampung. Bukan itu. Sama sekali tidak bisa jadi ukuran. Sukses tidaknya Mensos akan diukur seberapa besar angka kemiskinan itu turun. Seberapa besar tingkat kesejahteraan masyarakat miskin mengalami perkembangan. Setahun, dua tahun, tiga tahun, bisa diukur datanya. Data-data itu bisa menjadi alat yang efektif jika mau dipakai untuk branding. Tentu, kemiskinan bukan tanggung jawab Mensos sendirian. Ada kepala daerah. Dalam skala yang lebih makro, ada Menko Perekonomian. Karena itu, perlu kolaborasi dan sinergi semua pihak. Nggak efektif jika berjalan sendiri-sendiri. Kalau maksain untuk jalan sendiri, bisa saja datanya tak valid. Sasaran bisa nggak tepat. Program jadi nggak terukur. Akibatnya, menteri pun dibully. Ini konsekuensi dari salah sasaran. Salah sasaran atau salah pencitraan? Ah, terserah lu aja deh. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Risma dan Tuna Wisma
by Tony Rosyid Jakarta FNN – Rabu (06/01). Mamik dan Khusnul adalah dua dari sekian warga tuna wisma di Surabaya. Puluhan tahun tinggal di kolong jembatan. Mereka tak tersentuh oleh program kesejahteraan Pmerintah Kota Surabaya. Apakah Ibu Risma nggak pernah datang kesini? Tanya seorang wartawan Republika kepada Mamik. Tidak pernah, jawab Mimik. Jawabatan yang spontan, dan tanpa ragu. Jawaban yang sama juga keluar dari mulut Khusnul, penghuni Kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak. "Nggak onok mas. Kok ngarepno bantuan. Lak nggak nggolek rosokan ya nggak mangan (Nggak ada mas. Kok mengharapkan bantuan. Kalau nggak cari rongsokan ya nggak makan). Di Surabaya, Kota dimana Risma pernah menjadi Walikota dua periode, ada 2.740 tuna wisma (2017). Angkanya hampir 0,1 persen dari jumlah penduduk Surabaya yang jumlahnya 2.808.306. Publik jadi ramai ketika Risma blusukan dan memburu tuna wisma di Jakarta. Kali ini bukan sebagai Walikota, tapi sebagai Mensos. Tuna wisma di Kota Surabaya aja keleleran, kok mau ngurusin yang di Jakarta. Begitu kira-kira pertanyaan publik. Sehari setelah dilantik, Risma langsung bekerja. Tak sabar. Pekerjaan pertama adalah mendatangi tuna wisma di sejumlah wilayah di Jakarta. Jitu, pas, dan langsung jumpa. Risma menemukan sejumlah tuna wisma itu. Entah tuna wisma dari mana. Isunya ada yang diimpor dari daerah tetangga. Kalau isu ini benar, siapa yang mengimpor? Uniknya, seolah mensos yang baru dilantik ini tahu seluk beluk kota Jakarta. Atau memang ada tim khusus yang menjadi EO-nya. Selama ini, belum pernah ada Mensos menggunakan "jurus blusukan". Tetapi, Risma memang sangat kreatif! Seandainya Risma tanya dulu ke dinas sosial Pemprov DKI, tentu akan dapat data yang lebih akurat. Sehingga tidak ketemu tuna wisma di Sudirman-Tamrin yang oleh publik dianggap aneh. "Sejak umur 4 tahun saya tinggal di Jakarta, baru dengar tuna wisma di Sudirman-Thamrin", kata Ariza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sayangnya, Risma sepertinya nggak sabar. Main turun ke lapangan tanpa berkoordinasi dengan pemilik wilayah. Publik bertanya-tanya, apakah ini memang disengaja untuk menyaingi Gubernur Jakarta? Risma seorang politisi. Jika langkahnya dianggap politis, itu wajar-wajar saja. Sebab di depan mata ada Pilgub DKI 2022/2024. Juga Pilpres 2024. Hanya saja, perlu cara-cara yang lebih elegan. Bukan hanya virus yang mengalami mutasi. Ternyata pencitraan juga harus mengalami mutasi. Mesti disesuaikan dengan zaman dan adab setempat. Blusukan dianggap sudah kuno. Publik sepertinya sudah muak dengan segala bungkus blusukan itu. Ada kerinduan rakyat terhadap program yang lebih substantif, jujur dan terukur. Terobosan out of the box. Loncat dari program-program yang lama dan usang. Karenanya, blusukan Risma mendapatkan banyak kritik dan bullyan. Artinya, respon publik negatif. Apapun langkah politis Risma, itu sah dan halal-halan saja. Hanya saja, tugas sebagai Mensos tidak boleh dinomorduakan Bu Risma. Ada semakin banyak jumlah rakyat miskin di Indonesia sekarang ini. Ada kesenjangan yang luar biasa lebar. Bahkan di daerah seperti Papua, Papua Barat dan NTT, masih ada ancaman busung lapar di depan mata. Daerah-daerah ini mesti mendapatkan perhatian yang lebih diprioritaskan oleh mensos. Bukan tuna wisma di Jakarta yang sesungguhnya sudah disiapin rusun oleh Pemprov DKI. Hanya ada sejumlah orang yang belum mau pindah, dan dalam proses pendekatan yang terus intens dilakukan. Tuna wisma dan gelandangan adalah bagian dari pemandangan khas kota-kota besar. Mereka umumnya adalah pendatang yang mengadu keberuntungan di kota-kota metropolitan. Biarlah ini menjadi tugas para kepala daerah masing-masing untuk mengatasinya. Jika Mensos ingin bantu, akan sangat efektif jika bersinergi dengan kepala-kepala daerah tersebut. Membangun program yang terkordinasi, bahkan terkolaborasi. Bukan malah berkompetisi! Penulis Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.
Ayo Bubar Bubar dan Bubar
by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Rabu (06/01). Saat membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui Peraturan Pemerintah (Perppu) cukup ramai pembahasan. Baik aspek politik maupun hukum. Penggunaan Perppu adalah "akal-akalan" kemauan politik dengan menggunakan hukum. Pembubaran yang sepihak ini menyebabkan HTI kehilangan "legal standing" untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk melakukan perlawanan. Inilah cara licik berpolitik penguasa sekarang. Alasannya adalah ideologi Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila. Pembubaran kedua di era Pemerintahan Jokowi adalah Front Pembela Islam (FPI) atas target figur Habib Rizieq Shihab (HRS). Dengan prinsip "harus bubar", maka dicarilah dasar hukum terlemah dalam sejarah. Lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB). Padahal SKB, sama-sekali tidak dikenal dalam sistem hukum dan hirarki perundang-undang Indonesia. Tanpa ada kewenangan konstitusional, tiga menteri dan tiga petinggi negeri menandatangani SKB "pembubaran" organisasi yang "sudah bubar" secara hukum. Maklumat Kapolri dibuat untuk melengkapi pemberangusan. Padahal, jangankan cuma tiga menteri dan tiga pejabat tinggi negara. SKB semua menteri anggota kebinet, dan semua kepala lembaga negara Pemerintahn Jokowi sekalipun, tidak memiliki kekuatan hukum apapun. Menatara Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono yang mengancam pelindung mantan FPI dan mengultimatum organisasi lain "tunggu giliran". Pembubaran akan berlanjut ? Isu liar kemana-mana soal giliran berikut versi Hendro ada yang melempar ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun ada pula yang bilang Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tunggu giliran. Artinya elemen-elemen Islam yang hendak dilumpuhkan. Jika iya, tentu hal ini akan menjadi kezaliman rezim yang nyata. Misi ala penguasa sekuler atau Komunis sedang bekerja untuk membubarkan elemen-elemen Islam di negeri. Islam Phobia lagi bekerja keras, keras dan keras. Ormas atas dasar ideologi menjadi layak saja untuk dibubarkan. Karena sangat berbahaya adalah pengusung ideologi "Imamah" yaitu kelompok Syi'ah. Membahayakan bagi kewibawaan dan kelangsungan Pancasila. Ideologi Imamah sangat bertentangan dengan Pancasila. Ide Khilafah saja dimasalahkan. Apalagi Imamah yang nyata-nyata sangat berbahaya. Elemen prinsip ajaran dan perjuangan Syi'ah telah dinyatakan sesat oleh MUI dan berbagai organisasi Islam. Namun kini mendapat perlindungan dari kekuasaan. Aneh tapi nyata. Afiliasi atau pengorganisasian yang mesti dibubarkan itu adalah IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia) dan ABI ( Ahlul Bait Indonesia). Keberadaannya meresahkan umat Islam, karena elemen prinsip tersebut. Disamping Imamah, juga faham yang meyakini Qur'an tidak otentik (tahrif), yang mengaburkan makna hadits, menghina istri dan shahabat Rasulullah. Legalisasi zina lewat kawin kontrak, dan masih banyak lagi. Dalam kaitan partai politik, bukan saja PKS yang harus diributkan. Karena disamping tidak beralasan, juga sangat tendensius. Justru pilihan partai yang lebih layak dibubarkan adalah Pertai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ada dua alasan mengapa PDIP harus dibubarkan. Pertama, jika alasan mutatis mutandis, dengan alasan pembubaran FPI, yakni keterlibatan anggota dengan kegiatan terorisme, maka PDIP adalah keterlibatan kader dengan kejahatan korupsi. PDIP adalah partai politik penyumbang terbesar pejabat korup. Kedua, jika tidak melakukan perubahan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi, maka misi perjuangan PDIP terhitung tahun 2015 dinilai dapat merongrong kewibawaan dan eksistensi ideologi Pancasila. Konten misi Trisila dan Ekasila tidaklah dibenarkan secara politik dan hukum di negara Pancasila dan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945. Bila terus saja digelindingkan soal bubar, bubar, bubar, maka jangan-jangan ungkapan Indonesia bubar tahun 2030 bisa menjadi kenyataan. Apakah kelak menjadi negara yang terpecah-pecah? Atau NKRI yang berubah menjadi Negara Federasi? Jadi, jika pak Hendro beringas soal "tunggu giliran", maka rakyat dan bangsa Indonesia akan dan harus bermusyawarah serius tentang organisasi yang layak untuk segera dibubarkan. Satu catatan yang telah tergores adalah bahwa pemerintah terus bergeser dari pelaksanaan asas demokrasi ke arah oligarkhi, demokrasi terpimpin, dan otokrasi. Bahkan mengarah ke tirani dan otoriter. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Guruku Mas Tom, Pendiri PII Priangan Timur
by Hasan Syukur Jakarta FNN – Rabu (06/01). Berpakaian jas tutup warna biru tua. Berkemeja panjang warna putih, dengan kancing bagian atas terbuka. Bercelana blue jeans merk levis. Itulah guruku Utomo Dananjaya. "Panggil saya aku Tom atau Mas Tom", kata guru nyentrik berbadan tinggi krempeng itu kepada murid- muridnya di SMP Negeri I Garut, Jawa Barat. Guruku Mas Tom, lahir di Kuningan, Jawa Barat tahun 1936. Anak seorang Kepala Desa itu merupakan sosok yang sangat populer. Guruku itu seorang komunikator piwai. Juga seorang liberal yang berani keluar dari pakem-pakem yang tradisional. Sikapnya yang egaliter disaat guru-guru lain berprilaku feodal. Akibatnya itu tadi, Mas Tom tidak mau dipanggil "Pak Guru" oleh murid-muridnya. Panggilan terhadap dirinya tidak mau dirubah-rubah. Tetap saja dengan panggilan paling nyentrik “Mas Tom”. Toh, meskipun penampilannya "ngoboy" Mas Tom terkendali oleh religi. Mas Tom tinggal di asrama Muhammadiyah Garut. Kesehariannya, sangat taat mendirikan shalat lima waktu. Tetapi dengan penampilan yang "gaul" abis itu, membuat Utomo bagaikan magnet. Mas Tom berhasil menarik anak-anak muda Garut yang tadinya suka berkelahi menjadi anggota Pelajar Islam Indonesia(PII), sebuah organisasi pelajar yang dipimpinanya. Gaos Syamdani misalnya, masih sempat berkelahi beberapa menit menjelang dilantiknya menjadi Ketua Komisaris Daerah (Komda) PII Priangan Timur di Pendopo Kabupaten Garut. Geng-geng pemuda pelajar inilah yang dimanfaatkan Utomo. Mereka dengan cerdik didekati satu per satu. Sikapnya yang sangat "gaul" itu yang menyebabkan Utomo diterima di kalangan anak-anak muda Garut, dan Priangan Timur khususnya. Kebanyakan dari mereka adalah murid-muridnya. Salah seorang muridnya, Sukarna ND biasa memanggil gurunya ini dengan panggilan "Tom"saja . Sukarna siswa "bengal" paling yang disayanginya. Bertubuh gempal dan kekar, Sukarna dikenal petarung tulen. Pak Sueb, guru bahasa Indonesia, ditinju Sukarna. Utomolah yang menyelamatkan dari ancaman dikeluarkan dari sekolah. Apa komentarnya? "Mas Tom, guru yang tak pernah memvonis", kata Karna. Uniknya, Utomo yang tak kelihatan bersarung dan berkopiah itu diterima juga di kalangan pesantren. Contohnya, KH. Yusuf Taujiri. Pimpinan Pondok Pasantren Darussalam Wanaraja Garut, yang legendaris itu. Beliau tak mudah dipengaruhi kekuatan manapun. Ia dikenal kiai yang independen. Yusuf Taujiri pernah bertahan di menara masjid Darussalam, berdua dengan KH. Anwar Musadad (belakangan pendiri perguruan Tinggi Almusadadiyah Garut), hanya dengan modal senjata mesin otomatis tatkala sepasukan DI/TII mengepungnya. Pasalnya, KH. Yusuf Taujiri menolak untuk bergabung dengan DI/ TII Kartosuwiryo. Anehnya, kepada Utomo KH. Yusuf Taujiri "menyerah". Setelah KH. Yusuf Taujiri memberikan "greenlight", maka penduduk wilayah pengaruhnya se-Kabupaten Garut blek tumplek menjadi anggota PII. Bagitulah gaya Mas Tom yang sangat berjasa membesarkan PII di wilayah Garut dan Priangan Timur. Bahkan Jawa Barat. Ketika mengajar, kebiasaan Mas Tom terlebih dulu mendesain meja belajar menjadi leter "U". Tujuannya, agar semua murid bisa berpartisipasi dalam menyimak pelajarannya. Waktu itu aku terpilih jadi ketua KMU (Ketua Murid Umum) SMP Negeri I Garut. Semacam ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSI)S saat ini. Aku biasa diharuskan oleh Mas Tom berpidato dalam berbagai upacara sekolah. Suatu ketika, Mas Tom mendekati saya mengajak untuk belajar bersama di asramanya. Pesan beliau, "ajak teman-temanmu untuk belajar bersama pada hari Ahad nanti. Ajakannya gratis", tambahnya. Anehnya, Mas Tom tak membahas pelajaran sekolah. Kami diberinya naskah dari koran atau majalah. Disuruhnya membaca artikel itu lalu mendiskusikannya sampai habis waktu belajar bersama. Diam-diam ternyata Mas Tom tengah mentraining kami untuk menjadi anggota dan aktipis PII. Maka sejak itulah kami resmi menjadi aktivis PII. Utomo rupanya tak melupakan muridnya. Sebab ketika Jimly Assidiqie, Dikdik J.Rachbini, Sudirman Said menerbitkan buku untuk memperingati 70 tahun usia Mas Tom, saya diminta menulis sebuah artikel dalam bukunya berjudul, "Mas Tom The Living Bridge". Buku setebal 450 halaman. Artikel yang saya sumbangkan itu bejudul, "Jejak Utomo Dananjaya di Garut". Mas Tom kini sudah tiada. Mas Tom wafat sekitar tiga tahun silam. Semoga iman Islam dan amal shalehnya diterima Allah Subhanahuwata'ala. Aamiin.
Dosa Politik Mahfud MD
by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Selasa (05/01). Andai direnungkan lebih dalam, maka pak Mahfud MD ternyata menjadi menteri yang paling sering bikin gaduh di masa jabatan kedua Pemerintah Jokowi. Kegaduhan ini di luar dugaan. Karena sang guru besar itu dikenal bukan orang yang radikal. Ada dua pernyataan yang pernah dikemukakan Mahfud MD yang dianggap radikal tersebut. Pertama, "pejabat yang sudah tidak dipercaya rakyat, sebaiknya mundur. Jangan tunggu sampai dimurkan”. Kedua, "malaikat sekalpun jika masuk sistem di Indonesia dapat berubah menjadi Iblis". Pada 10 Desember 2019 Prof. Mahfud MD menyatakan bahwa sejak reformasi 1998 tidak ada kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Banyak yang mengkritisi pernyataan ini. Sebab baru saja di bulan Mei pasca Piilpres 2019 sebanyak enam atau bahkan sembilan orang dinyatakan tewas dan teraniaya oleh aparat Kepolisian yang menangani unjuk rasa di depan kantor Pusat Bawaslu. Demikian juga soal Papua yang menurut laporan Amnesti Internasional, telah terjadi 69 kasus pembunuhan "unlawful killings". Bahkan sepanjang 2010 hingga 2018, tercatat 95 orang meninggal dunia. Sebagian besar dari mereka yang meninggal dunia akibat tindakan aparat keamanan. Meski Mahfud MD menyebut laporan Amnesti Internaional tersebut sebagai laporan sampah. Tetapi faktanya sekarang Papua telah menjadi masalah serius bagi bangsa Indonesia. Benny Wenda bahkan telah mengumumkan kemerdekaan Papua di Inggris. Bahkan Benny juga mengumkan dirinya sebagai Presiden sementara Papua Barat. Menghadapi Pandemi Covid 19 Mahfud MD bulan April 2020 lalu mengancam pemudik. Sampai-sampai jama'ah shalat tarawih untuk dapat dikenakan sanksi pidana karena dianggap melawan Pemerintah. Dengan menyentuh masalah sensitif keagamaan seperti ini Mahfud MD dinilai "off side". Masa mudik dan tarawih dianggap kriminal juga? Masyarakat khususnya umat Islam menolak keras proses penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Karena RUU ini disamping merongrong ideologi Pancasila, juga dinilai berbau Orde Lama. Bahkan memberi peluang bangkitnya kembali faham Komunis di Indonesia. Tak lama setelah proter yang ramai itu, Mahfud MD yang mewakili Pemerintah mengajukan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) "bodong" untuk meredam aksi. Buktinya RUU BPIP tidak menjadi agenda dalam pembahasan di DPR. Dewan sendiri bandel juga. Tetap mejadikan RUU HIP sebagai agenda prioritas Prolegnas tahun 2021. Terakhir, Pak Mahfud membacakan SKB pembubaran dan pelarangan Front Pembela Islam (FPI) sebagai suatu keputusan yang menginjak-injak hukum. Menzalimi FPI dengan menahan Habib Rizieq Shihab (HRS). Setelah itu, mengganggu aset pesantren, memblokir rekening, serta membantai 6 anggota Laskar FPI yang hingga kini masih dalam proses penyelidikan Komnas HAM. Sebagai Menkopolhukam. Prof Mahfud MD seyogyanya diharapkan mampu menjadi pengendali keamanan negara. Bukan sebagai pencipta kegaduhan politik dalam negara. Tampil paling depan untuk menjaga wibawa hukum, dan menegakkan keadilan. Tidak terlibat dalam melakukan perekayasaan hukum untuk kepentingan politik jangka pendek. Mereferensi pandangan bijak seorang negarawan moralis, bahwa apabila seorag pejabat sudah merasa tidak dipercaya oleh rakyat seharusnya mundur, maka berdasarkan Ketetapan MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Berbangsa, sebaiknya Menkopolhukam Mahfud MD segera mengundurkan diri. Itu sebagai langkah yang lebih bermartabat dan mengagungkan. Pak Mahfud MD lebih baik menjadi Pakar Hukum Tata Negara saja. Atau menjadi cendekiawan muslim. Bisa menjadi mubaligh yang selalu memberi pencerahan di mimbar, daripada menjadi pejabat negara. Bergaul dengan Malaikat itu lebih membuka pintu bagi keselamatan dan keberkahan. Ruangan yang paling cocok untuk pak Mahfud MD bukan di Pemerintahan. Banyak sekali gangguan yang mengharuskan Pak Mahfydz untuk selalu berlindung dari segala godaan syaetan yang terkutuk. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Menyoal Peran Pemimpin Tertinggi NKRI Terkait Pembubaran FPI
by Dr. marwan Batubara Jakarta FNN – Selasa (05/01). Pemerintah membubarkan FPI melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Kementerian dan tiga Lembaga Negara. SKB Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Kepala BNPT pada 30 Desember 2020. Pengumuman dipimpin Menko Polhukam Mahfud M.D. SKB bernomor banyak, yakni No.220-4780/2020, No.M.HH-14.HH05.05/2020, No.690/2020, No.264/2020, No.KB/3/XII 2020, dan No.320/2020, tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Pemberhentian Kegiatan FPI. Bagi FPI dan para pendukung, sikap otoriter pemerintah terhadap FPI, dan kalangan ummat Islam yang berbeda pandangan atau bersikap kritis terhadap penyelenggaraan negara sudah menjadi hal yang biasa. “Anomali” tersebut sudah menjadi “makanan rutin” sehari-hari. Karena itu, kita tidak perlu heran, mengeluh, menyesal atau takut atas terbitnya SKB. Bagi FPI dan sebagian ummat, menjalankan perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Q.S Ali Imran 104) merupakan perintah Allah SWT yang wajib dijalankan. Justru kalau tidak dijalankan, atau hanya memilih Amar Ma’ruf dan enggan menjalankan perintah “Nahi Munkar”, maka telah terjadi pembangkangan. Hal ini bukanlah pilihan bagi FPI dan sebagian ummat yang konsisten menjalankan agama. Kami paham dan mendukung pilihan sikap FPI. FPI telah memilih jalan dakwah yang integral. Bukan setengah-setengah, apalagi pragmatis. Sikap konsisten FPI bukan diambil atas dasar hitungan untung-rugi duniawi sematar. Sikap konsisten ini pasti menyimpan risiko. Namun bukan karena risiko, lalu FPI surut menjalankan perintah agama. Kriminalisasi, fitnah atau hukuman penjara sudah beberapa kali dialami pimpinan FPI. Maka, pembubaran melalui SKB merupakan hal biasa saja. Tidak merisaukan atau perlu diratapi. Karena itu, tidak menunggu sampai pergantian hari. Hanya dalam hitungan jam, sejak SKB terbit, FPI sudah mendeklarasikan pembentukan ormas baru yang diberi nama Front Persatuan Islam. FPI juga namanya.Bagi seluruh jajaran FPI, the show must go on. Kepentingan menunaikan kewajiban dakwah tidak boleh kendur, apalagi terputus. Deklarasi Front Persatuan Islam pada sore 30 Desember 2020 itu dilakukan untuk melanjutkan perjuangan membela agama, bangsa, dan NKRI sesuai Pancasila dan UUD 1945. Tentu saja Pancasila dan UUD 1945 yang 18 Agustus 1945. Karena itu, gegap gempita dan kegagahan “pembubaran FPI” oleh para petinggi pembuat SKB menjadi terasa hambar, dan berlaku hampir tanpa makna. Pembubaran FPI sarat pelanggaran hukum. dan sudah sangat banyak dibahas para pakar. Pelanggaran yang paling mendasar terhadap Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No.39/1999 tentang HAM dan Putusan MK No.82/PPU-XI/2013. Bahwa hak berserikat adalah HAM yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Berdasarkan UU No.17/2014 jo. UU No.16/2017 Pasal 80, SKB 6 K/L tidak berdasar hukum. Karena, Pasal 80 hanya mengatur Ormas berbadan hukum, dan itupun melalui pencabutan status badan hukum. Karena pelanggaran SKB demikian gamblang, sekaligus menunjukkan sikap otoriterianisme yang makin meningkat, maka langkah FPI untuk menempuh jalur hukum terhadap terbitnya SKB merupakan hal yang patut didukung. FPI dan para pencinta kebenaran, keadilan, demokrasi, dan HAM perlu bersatu menggugat SKB yang merupakan cerminan kekuasaan yang terasa semakin otoriter dan tidak adil. Namun, pada saat yang sama, kami menganggap perjuangan Amar Makruf Nahi Munkar, menegakkan kebenaran dan menghilangkan kemungkaran, serta gerakan sosial untuk kemanusiaan tetap harus tetap harus menjadi kerja-kerja prioritas FPI. Kriminalisasi ulama dan penahanan Habib Rizieq Shihab (HRS), pembantaian 6 anggota Laskar FPI oleh anggota polisi dari Polda Metro Jaya, perampokan SDA melalui UU Minerba No.3/2020, legalisasi otoriterianisme melalui UU Korona No.2/2020, dominasi oligarki melalui UU Ciptaker No.11/2020, kebijakan pro konglo dan investor dan TKA China atas mineral nikel, korupsi dana bansos, dan lain-lain, harus tetap menjadi fokus advokasi dan perjuangan FPI. Pada sisi lain, sebenarnya cukup banyak kalangan, termasuk yang bukan pendukung FPI, menolak penerbitan SKB. Umumnya mereka menganggap dengan SKB, pemerintah telah melanggar prinsip-prinsip kehidupan bernegara. Melanggar prinsip musyawarah, keadilan, persamaan di depan hukum, pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan bebas, perdamaian, kesejahteraan, dan lain-lain. Mereka telah menyatakan penolakan secara terbuka. Namun adakah harapan SKB dicabut? Pemerintah memang telah menyatakan FPI atau siapapun yang tidak puas dengan SKB “dipersilakan” menempuh jalur hukum. Namun melihat proses penyelenggaraan negara dan penegakan hukum yang berlangsung 2-3 tahun terakhir, termasuk proses pembentukan UU KPK, UU Ciptaker, UU Korona, UU Minerba, DPT yang bermasalah, terkuburnya kasus kematian sekitar 989 orang petugas KPPS pada Pemilu 2019, sekitar 9-10 orang korban Aksi Damai di Bawaslu 22 Mei 2019, maka rakyat pantas pesimis. Menempuh jalur hukum bisa menjadi alternatif jika para penggugat siap berkorban waktu, tenaga, pikiran, dana, hujatan, penangkapan, dan lain-lain. Jika tidak, lupakan saja. Namun begitu, masih ada sedikit harapan. Siapa tahu Presiden Jokowi berkenan bertindak sesuai posisi sebagai pemimpin tertinggi NKRI. Mari kita lihat prospeknya. Usai penetapan pemenang Pilpres 2019, pada 21 Mei 2019 di Jakarta, Presiden Jokowi antara lain mengatakan, “setelah dilantik di bulan Oktober nanti kami adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh rakyat Indonesia, kami adalah pemimpin dan pengayom dari 100% rakyat Indonesia. Kami akan berjuang keras demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bagi 100% rakyat Indonesia”. Seusai Putusan MK atas sengketa Pilpres, pada 27 Juni 2019 di Jakarta, pidato Jokowi antara lain berisi, “saya mengajak seluruh rakyat Indonesia bersatu kembali. Bersama-sama membangun Indonesia. Bersama-sama memajukan negara Indonesia, tanah air kita tercinta. Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada hanyalah persatuan Indonesia. Walau pilihan politik berbeda pada saat pilpres, namun kami sampaikan presiden dan wakil presiden terpilih adalah presiden dan wakil presiden bagi seluruh anak bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada 14 Jui 2019 di Sentul, Jokowi sebagai Presiden Terpilh menyampaikan pidato lain yang berisi, “saya yakin, semua kita berkomitmen meletakkan demokrasi yang berkeadaban. Yang menunjujung tinggi kepribadian Indonesia. Yang menunjung tinggi martabat Indonesia. Yang akan membawa Indonesia menjadi Indonesia maju, adil dan makmur”. Indonesia maju adalah Indonesia yang tidak ada satu pun rakyatnya tertinggal untuk meraih cita-citanya. Indonesia yang demokratis, yang hasilnya dinikmati oleh seluruh rakyat. Indonesia yang setiap warga negaranya memiliki hak yang sama di depan hukum. Menuju hari pelantikan 20 Oktober 2019, pidato-pidato Jokowi di atas memang membesarkan hati dan memberi harapan besar terjadinya rekonsiliasi seluruh anak bangsa. Banyak yang yakin Presiden Jokowi akan merangkul dan menjadi pemimpin bagi 100% rakyat Indonesi. Tak terkecuali terhadap HRS dan FPI yang sebelumnya pendukung Paslon 02. Jokowi pun telah berikrar untuk bersikap adil, menjunjung tinggi demokrasi yang berkeadaban. Menjamin setiap warga memiliki hak yang sama di depan hukum. Namun tak lama setelah pesta kemenangan Pilpres 2019, masalah segera timbul. HRS justru mengalami banyak kriminalisasi dan gugatan yang diduga sarat “manipulasi dan rekayasa”. Kepulangan ke tanah air “terhambat”. Terus mengalami hantu-hantu penghambat sejak 2018/2019 hingga menit-menit terakhir sebelum take-off dari Jedah 9 November 2020. Pada 12 Desember 2020, HRS resmi ditangkap, dan pada 30 Desember 2020, “musibah” berlanjut dengan pembubaran ormas yang dipimpinnya, yakni FPI. Lantas bagaimana hubungan pidato Presiden Jokowi dengan hal-hal yang dialami oleh HRS dan FPI? Menilik penerbitan SKB, terlepas ada sederet menteri, menko dan pimpinan lembaga tinggi yang mengumumkan, tentu saja SKB terbit minimal atas sepengetahuan dan restu Presiden Jokowi. Sudah sering mendengar pernyataan bahwa yang ada dan berlaku hanyalah visi Presiden. Malah rakyat bisa pula meyakini Presiden Jokowi memang menginginkan penangkapan HRS dan FPI dibubarkan. Sebagai warga sepakat dengan butir-butir penting pidato Presiden Jokowi di atas. Karena memang identik dengan nilai-nilai moral, demokrasi, HAM, kemanusiaan dan keadaban. Penilaian rakyat di atas bisa pula salah. Rakyat bisa salah kalau menganggap pemimpin tertinggi bersikap hipokrit. Lain yang kata, lain pula perbuatan. Presiden Jokowi sebenarnya bisa saja tidak bermaksud demikian. Bisa tidak berperan dalam penangkapan HRS dan pembubaran FPI. Bisa pula karena Presiden memperoleh input yang tidak akurat atau salah. Sehingga, sikap hipokrit yang dituduhkan kepada pemimpin tertinggi menjadi salah besar. Kami dan kita sebagai rakyat pantas menuntut agar Pemerintahan Jokowi memberi klarifikasi dan sekaligus kembali kepada tujuan awal pendirian negara, Pancasila, konstitusi dan amanat reformasi. Kita tidak ingin otoriterianisme semakin merebak, kezoliman merajalela, hukum dikangkangi, perbedaan pendapat diberangus dan sikap hipokrit merupakan hal lumrah. Kita tidak ingin pemimpin bersikap berbeda kata dengan perbuatan. Tidak ingin pula ada anggapan bahwa yang berpidato di atas adalah “Another Jokowi”. Mari menanti sikap dan peran Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi NKRI yang sesungguhnya. Pak Jokowi, Are You The Real President? Pak Jokowi, You are The Real President! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.
Dr. Syahganda Nainggolan, Insya Allah Bebas
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN – Senin (04/01). Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya dikenal berhaluan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Mereka kini masih berada dalam tahanan. Kasus super ringan yang dituduhkan kepada mereka, akan tergelar di pengadilan. Syahganda, kabarnya, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Depok. Akan jelas pasal berapa, dalam UU apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada Syahganda. Pasal apapun, dalam UU apapun, yang didakwakan kepada mereka, hampir pasti tidak dapat dibuktikan. Syahganda, nampaknya sangat dekat dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum Pidana. Dia dapat diprediksi akan dituduh atau didakwa oleh Jaksa penuntut umum dengan pasal itu. Persisnya Syahganda dituduh menyebarkan kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran. Kalaupun Syahganda didakwa dengan pasal lain, misalnya pasal 28 UU Nomor 11 tahunn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diubah dengan UU omor 19 ahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja sulit bagi jaksa membuktikannya. Pasal ini tidak menjadikan media elektronik sebagai “golden goal” hal yang dilarang, melankan “content.” Contentlah yang menjadi hal yang dilarang. Baik pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 maupun pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yan telah diubah itu, didakwakan kepada Syahganda, apapun bentuk dakwaannya, tetap saja sulit mendatangkan peluang terbukti. Mengapa? Terdapat dua hal sebagai penyebabnya. Kedua hal itu adalah sifat material artikel atau tulisan Syahganda, dan konteks aktual tata negara. Perihal materi atau konten tulisan Syahganda, harus dipecakan dengan menemukan kenyataan hukum berikut. Apakah tulisan itu nyata-nyata, jelas dan kongkrit terbaca tanpa ragu sebagai ajakan kepada orang? Ajakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum? Hal apa dalam tulisan itu yang memiliki kualifikasi hukum sebagai bohong? Bila Presidium KAMI menyatakan mendukung pemogokan nasional akan dilakukan buruh, bukan mendukung demonstrasi, lalu Syahganda menafsirkan KAMI mendukung demonstrasi buruh, dimanakah letak kebohongannya? Kebohongan macam apakah yang menjadi maksud substansial pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Apakah pada saat peristiwa ini terjadi Indoneasia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan persis pada tahun 1945 dulu? Apakah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) sedang eksis di Indonesia pada saat Syahganda menuliskan isi pikirannya mengenai demonstrasi terhadap RUU Omnibus Cipta Kerja , dan menyebarkannya? Apakah ada Koninglijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada saat itu? Apakah ada orang bekas KNIL yang dicari-cari oleh laskar-laskar perjuangan kemerdekaan dari sabotase Belanda? Misalnya laskar Hisbullah dan Kris (Kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi)? Apakah tentara Belanda yang membonceng NICA, sedang bergerak dari Surabaya memasuki Jakarta? Om Ventje Sumual, dalam Buku “Memoar” diterbitkan oleh Bina Insani, tanpa tahun, setelah mengambarkan susana nyata masyarakat Jakarta kala itu, menulis “banyak penghasut dikalangan penduduk”. Keadaan sungguh berat. Belanda, sesuai penilaian pemerintah akan kembali. Itu sebabnya pemerintah memberi penjelasan agar rakyat bersiaga menghadapi kembalinya penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu. Benar-benar berat. Kata Om Ventje, kami harus menghadapi dua masalah sekaligus. Kerja sosial untuk menolong warga yang jadi korban ekses revolusi, sekaligus menjalankan revolusi itu sendiri.” Situasi politik sangat sembrawut. Perihal keadaan ini, dapat dicek pada semua buku sejarah sejarah TNI, parlemen dan lainnya. Saya ingin mengajukan satu keadaan kecil untuk mempertebal konteks UU Nomor 1 Tahun 1946, yang mungkin akan ditembakan kepada Syahganda. Tanggal 4-5 Januari 1946 menurut Adam Malik, diadakan pertemuan wakil-wakil organisasi politik dan militer di Purwokertto dibawah pimpinan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan Wadah Persatuian Perjuangan (PP). Wadah ini dikukuhkah pada tanggal 4 Februari 1946, di Solo. Tanggal pengukuhan iitu menunjuukan terjadi tiga minggu sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dibentuk oleh BP KNIP, dan diresmikan oleh Dr. Suwandi pada tanggal yang sama juga. Tanggal pembentuka UU ini, sama dengan terjadi tiga minggu sebelum pemerintahn RI, pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. John D. Lege menulis, tanggal 4 Januari 1946 malam, diam-diam Bung Karno dan Bung Hatta diberangkatkan ke Yogyakarta. Sjahrir sendiri tetap berada di Jakarta. Pemisalahan ini berhasil menaikan level oposisi yang berada di Yogyakarta terhadap pemerintahannya. Ketika Persatuan Perjuangan (PP) diinisiatifi oleh Tan Malaka- Amir Sjarifudin- memperoleh dukungan Pak Dirman pada waktu pembentukannya, melancarkan opisisi terhadap politik perundingan Sjahrir, dan hasilnya jelas. Sjahrir mengundurkan diri. Itu terjadi pada tanggal 23 Februari 1946. Apa korelasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Bung Karno, Presiden RI, dan Swandi, Menteri Kehakiman, dan diundangkan oleh A.G Pringodigdo, Sekretaris Negara pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis UU itu terbentuk tiga hari setelah Sjahrir meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri, atau dua hari setelah kabinet Sjahrir resmi dinyatakan bubar oleh Bung Karno pada tanggal 28 Februari. Kabinet Sjahrir I ini dilantik pada tanggal 23 November 1945. Usianya tidak sampai empat bulan. Apa dari kenyataan ini yang dapat dipertalikan dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, yang besar kemungkinan dituduhkan kepada Sahganda Nainggolan? Kenyataan inilah yang menjadi “original intent” dari pasal 15 itu. Kabar bohong, dan keonaran mutlak dipertalikan dengan keadaan itu. Situasi dan politik semrawut. Desas-desus ada dimana-mana. Pemerintah belum terbentuk secara normal, sehingga harus ditertibkan. Itu subtantive goal dari pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Suka atau tidak, sejak tanggal 23 November 1945 itu. UUD 1945 telah kehilangan validitasnya sebagai hukum positif, setidaknya hanya berlaku secara simbolik. Mengapa? Sistem pemerintahan telah berubah dari presidensial ke sistem parlementer. Kabinet Presidensial yang dipegang oleh Presiden Soekarno tersebut, dibentuk dan mulai bekerja pada tanggal 4 September 1945. Kabinet itu resmi berhenti dan bubar demi hukum pada tanggal 23 November 1945. Terlepas dari sifat simbolik UUD 1945 disepanjang periode 23 November 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk alasan apapun tidak dapat disangkal bahwa UUD itu tidak memuat satu pun ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 itu, yang mengatur kebebasan menyatakan pendapat. Pengaturan inilah yang membedakan secara substansial antara UUD 1945 yang berlaku sepanjang 1945- sampai dengan 27 Desember 1949. Lalu diberlakukan lagi pada tanggal 5 Juli 1959 hinnga sekarang yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali secara berturut-turut. Cukup tegas dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah mengatur “Setap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurnainya.” Menyatakan dukungan secara lisan, menyatakan pendapat, memberi dukung kepada sekelompok orang berdemonstrasi, dan demonstrasi itu sendiri merupakan tindakan hukum yang dibolehkan menurut UU. Lalu dengan cara apa sikap Sahganda dinyatakan salah? Dengan alat dan pendekatan interpretasi apa dalam ilmu hukum, demonstrasi yang menurut hukum positif merupakan perwujujudan hak konstitusional setiap individu mengekspresikan pendapatnya, sehinga berkualifikasi melawan hukum? Apakah keonaran, dengan sendirinya ada setiap kali ada demonstrasi? Bila ya, mengapa UU mengharuskan negara menggerakkan aparatur hukum menjamin berlangsungnya demonstrasi itu? Bahaya apa yang jelas-jelas ada dan nyata atau timbul (clear and present dangger) sebagai akibat dukungan Syahganda itu? Menghukum pikiran itu hanya terjadi di Inggris abad ke-17. Saya berkeyakinan tanpa ragu, tidak ada seorang pun di Negara Kesatuan Republik Indoenesia tercinta ini, yang diam-diam memiliki, dan bekerja dengan halus membawa negara menjadi totaliter. Hanya di negara totaliter, pikiran orang menjadi subjek hukum pidana. Beralasankah karena itu, Syahganda memiliki keyakinan pernyataannya tidak dikualifikasi pidana. Beralasan juga Syahganda melihat “amar putusan yang berisi tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kalaupun terbukti, perbuatan itu bukan tindak pidana. Semoga. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.