OPINI
Parlementary Treshold Itu Konstitusionalisme Bar-bar & Abal-abal
by Dr. Margarito Kamis SH. M.Hum Makassar FNN - Kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak selalu digerakan oleh kaidah-kaidah konstitusi. Sistem partai misalnya digerakan berdasarkan kalkulasi-kalkulasi praktis politisi. Indonesia bukan hanya tak terkecuali, tetapi menampilkan sesuatu yang, untuk beberapa alasan sama, dan cenderung bar-bar. Bahkan sangat abal-abal dan kampungan. Entah disebabkan oleh kegagalan mengenal esensi republic. Namun di dalamnya gagal dalam mengenal hak sebagai esensi republic. Parlementary threshold dilembagakan sebagai cara menyederhanakan partai politik. Cara ini, memiliki watak hantu. Bukan saja menghambat, tetapi malah cara ini telah menghancurkan esensi republik. Konyol Sekonyol-Konyolnya Politisi kacangan berdansa dengan ketidaktahuan dan kedunguan tentang hak dan esensinya dalam korelasi fungsionalnya dengan kerinduan orang menciptakan republik. Ketidaktahuan politisi tolol dan dongo yang tipikalnya adalah banyak bicara, selalu terangsang memukul lawan. Prilaku yang hanya demi menggelorakan kepentingan kelompoknya sendiri. Tidak perduli dengan adanya soal kebangsaan. Sama sekali tidak. Yang terlintas di kepalanya hanyalah kepentingan mereka sendiri. Interaksi antar partai yang tercipta berputar pada kesamaan kepentingan praktis semata. Dengan perhitungan untung-rugi buat mereka. Hanya sebatas itu. Tidak lebih. Prilaku ini sebagai akibat dari kedangkalan pengetahuan mereka mengenai politik, sistem politik dan sistem partai politik. Sialnya lagi, tabiat buruk ini tidak bakal menghambat mereka untuk memasuki arena pengambilan keputusan yang berdampak besar, dan fundamental untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Konyol dan bebal. Kebodohan dan ketololan politisi yang tak terlihat itu, ternyata tidak menghambat mereka terjun ke dalam pengambilan keputusan. Dalam kasus Indonesia, hal ini telah mengakibatkan sistem politik Indonesia terdekorasi sepenuhnya menjadi bar-bar, primitif dan kampungan. Tipikal sistem politik yang bar-bar dan abal-abal itu tersaji pada kenyataan partai-partai politik yang memperoleh suara. Yang bila dikonversi ke kursi di DPR hanya menghasilkan 5 atau 10 (lima atau sepuluh) kursi, bahkan 15 (lima belas) kursi di DPR. Mereka disingkirkan ole parlementary threshold. Mereka terlempar dari pembentukan pemerintahan, juga pembuatan keputusan politik. Pembaca FNN yang budiman. Parlementary threshold disodorkan sebagai cara untuk mencapai dua hal sekaligus. Pertama, mencegah Indonesia terdekorasi dengan rimba raya partai politik. Kedua, sistem pemerintahan presidensial dapat bekerja efektif. Ini dalih yang pada semua aspeknya terlihat sangat bodoh, tolol, picisan dan konyol. Dua argumen yang mengada-ada itu, sejauh ini didendangkan dengan manis oleh politisi-politisi picisan, kampungan tak kompeten. Sialnya kini telah terkonsolidasi ke dalam sistem. Padahal dua argumen itu, untuk alasan apapun, merusak. Bar-bar, abal-abal dan primitif karena sejumlah alasan. Pertama, pemilihan umum mana di dunia ini yang diikuti oleh kerbau dan kambing? Sejak kapan kerbau dan kambing menjadi citizen, atau warga negara? Kapan kerbau dan kambing itu menyandang hak, yang dengannya kerbau-kerbau dan kambing-kambing itu membentuk dan membubarkan pemerintahan? Jelas tidak ada. Yang ada adalah pemilu diikuti oleh manusia. Pemilu diikuti orang yang menyandang status warga negara dengan kualifikasi usia tertentu atau atribut civilian lainnya yang sah. Apa yang mau dikatakan dengan pernyataan pemilu tidak diikuti oleh kerbau dan kambing? Yang mau dikatakan dengan itu adalah tidak ada pemilu yang tidak berbasis elektoral. Konsep elektoral tidak pernah memiliki substansi lain apapun itu, selain “suara pemilih.” Politisi buta alam, yang selalu terbakar kepentingan bar-bar dan abal-abal, untuk alasan kebangsaan, hemat saya harus dituntut untuk mengerti dan memahami hakikat suara pemilih. Kelompok politisi jenis rendahan ini, harus diberitahu bahwa hakikat “suara pemilih” adalah pantulan murni dari harkat dan martabat mereka sebagai manusia merdeka. Suara pemilih merupakan cerminan kehendak dan kemauan sadar, yang mengalir dari kenyataan mereka sebagai mahluk manusia merdeka. Sebagai cermin harkat dan martabat, suara pemilih adalah cara pemilih menyatakan kehddaknya melalui orang-orang yang dipercaya mengurus kehidupannya kini, esok dan sesudahnya. Itu cara adil setiap orang merdeka memastikan pembentukan republik memang didedikasikan untuk kehidupan, yang selaras dengan harkat dan martabat mereka. Itu sebab yang layak dijadikan pijakan menertawakan parlementary threshold. Praktis parlementary threshold tidak lain merupakan cara minoritas konyol menyingkirkan dan menciptakan minoritas politik. Sungguh bar-bar. Tidak Adil, Harus Ditiadakan Terlalu bodoh berdansa dengan parlementary threshold, termasuk dengan nada-nada penyederhanaan parpol. Bodoh juga berdansa dengannya, dengan menggunakan nada demi memudahkan pengambilan keputusan. Semua nada itu, semanis apapun komposisinya, tidak bakal mampu untuk menghilangkan “ketidakadilan” yan melekat dalam konsep parlenmentary treshold itu. Ratusan ribu pemilih telah memilih seseorang, tetapi mereka harus terkapar, tersingkir hanya karena partai politik mereka tidak mecapai level parlementary threshold. Itu ketidakadilan, apapun alasannya. Polarisasi idiologi, dalam kasus Indonesia, andai mau disodorkan sebagai justifikasi atas kebijakan parlementary threshold itu, hemat saya sangat bar-bar, abal-abal, dungu dan dongo. Indonesia mutakhir memperlihatkan dengan sangat jelas betapa polarisasi idiologis yang dikahawatirkan itu, tidak lebih dari khayalan belaka. Tidak ada idiologi yang cukup jelas terlihat dalam kehidupan politik partai. Apalagi untuk partai yang bekerja pada pembentukan dan pengambilan keputusan, sejauh ini. Praktis tidak ada partai politik Indonesia sejauh ini, yang nyata-nyata bergerak dengan panduan idiologis mereka. Partai-partai yang menarik garis sejauh mungkin dari pemerintah, atau mereka tidak ikut dalam pemerintahan, tidak pernah dapat menyajikan eksistensinya sebagai penantang produktif. Tidak ada gagasan alternatif, yang jangankan membuat pemerintah terkapar, melirik pun tidak, yang disajikan partai-partai berada diluar gabungan partai pemerintah. PKS dan Partai Demokrat, sejauh ini, tidak terlihat sebagai dua partai yang datang dan keluar dengan gagasan oposisional. Apalagi menantang secara produktif keputusan-keputusan pemerintah. Relasi antar partai yang terlihat oposisional, dalam kenyataannya tidak memberi efek apapun. Jadi untuk apa bicara sistem politik, yang tidak lain adalah sistem partai politik? Toh sejauh ini tidak ada partai yang saling bersaing dalam gagasan-gagasan alternatif yang mengoreksi gagasan-gagasan pemerintah. Koor oke dengan kembang-kembang khas politisi, telah terukir nyata dalam politik mutakhir sebagai tipikal partai politik dalam kehidupan bernegara. Ukuran dan kekuatan, sesuatu yang biasanya sangat diperhitungkan dalam membicarakan partai, kini terlihat kehilangan relefansinya. Toh semuanya sama. Tetapi bukan soal itu yang mengakibatkan munculnya kebutuhan untuk menyingkirkan parlementary threshold yang konyol dan tolol itu. Bukan. Soalnya adalah bangsa ini tertipu, karena ketidakadilan itu dibuat seolah adil. Dengan argumen bahwa hanya itu cara yang tersedia dalam mencegah tumbuhnya multi partai di satu sisi, dan disisi lain mengefektifkan presidensial sistem. Dalam kasus Inggris misalnya, terdapat 10 (sepuluh) partai politik yang memperoleh suara satu koma dan nol koma pada pemilu 2005. Tetapi wakil-wakil partai satu koma dan nol koma itu, semuanya dikirim ke parlemen. Mau disebut sistem partai 13, karena ada tiga belas partai? Tidak juga tuh. Tetap saja disebut two party system. Inggris sangat waras dalam soal ini. Mereka mengenal hakikat suara pemilih. Mereka tahu dan apresiatif terhadap harkat dan martabat manusia. Itu menjadi sebab hilangnya alasan untuk menyangkal bahwa cara Inggris itu terhormat dalam mengisi rerpublik. Politisi-politisi Indonesia, untuk alasan tuntutan republik, harus mau mengambil pelajaran hebat yang disajikan Ingrgris itu. Menyingkirkan parlemntary threshold yang konyol, abal-abal bar-barbarian itu, mesti disegerakan. Parlementary threshold, apapun alasannya, tetap tidak adil. Harus ditiadakan. Penulis adalah Dosen Universitas Khiarun Ternate.
Awas Skenario Rusuh Tiga Periode Jokowi
by Tarmidzi Yusuf Jakarta FNN - Selentingan bakal adanya 'Proyek Rusuh Nasional' dalam rentang tahun 2021 - 2023, akhir-akhir ini kembali berhembus atau dihembuskan ke ruang publik. Banyak pengamat dan aktivis dakwah mengaitkan 'Proyek Rusuh Nasional' dengan isu tiga periode Jokowi. Disebut 'proyek' karena ada sponsor politik, donatur, 'pasukan' cyber dan 'pasukan' perusuh. Bahkan yang harus dicurigai dibalik gencarnya impor TKA dari China komunis. Tentu saja erat kaitannya dengan kepentingan politik dan ekonomi para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut diskusi yang berkembang, hanya melalui “Proyek Rusuh Nasional” yang berdarah-darah, skenario Jokowi tiga periode bisa berjalan mulus. Mereka mengkondisikan negara dalam keadaan darurat sipil. Penulis condong menyebutnya di darurat sipilkan sebagai alasan Jokowi lanjut tiga periode. Dalam situasi di darurat sipilkan, MPR dipaksa menggelar sidang istimewa untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur masa jabatan presiden. Pertanyaannya, kenapa harus melalui “Proyek Rusuh Nasional” untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945? Bukankah masih ada celah lain. Dekrit Presiden misalnya. Dalam situasi normal dan konstelasi politik nasional di MPR/DPR saat ini, mustahil MPR akan meloloskan amandemen Pasal 7 UUD 1945 dari dua periode menjadi tiga periode atau khusus Pasal 7 kembali ke UUD 1945 Asli kecuali melalui Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 Asli. Namun, yang perlu diwaspadai, para cukong, jenderal merah hitam dan kelompok kiri radikal akan nimbrung sebagai penumpang gelap isu kembali ke UUD 1945 Asli melalui Dekrit Presiden, apabila upaya melalui parlemen menemui jalan buntuh. Dengan kembali ke UUD 1945 Asli, otomatis Jokowi bisa melenggang kembali menjadi Presiden tiga periode. Bahkan Presiden seumur hidup. Dalam pengamatan penulis, ada beberapa partai politik pemilik kursi di MPR berada di barisan pendukung Jokowi. Misalnya; Golkar, PKB, NasDem dan PPP. Total kursi 221 kursi atau 31% dari total 711 kursi di MPR. Dengan tekanan politik yang luar bisa dalam situasi abnormal, bisa saja PDIP yang memiliki 128 kursi bersama PAN yang punya 44 kursi berbalik arah ditambah dengan sebagian anggota DPD mendukung Jokowi tiga periode. Pendukung Jokowi tiga periode di MPR diperkirakan hampir 70%. Kurang 5% untuk menjadi 2/3 suara, seperti yang dipersyaratkan oleh Pasal 37 ayat 3 UUD 1945. Isu kudeta Partai Demokrat yang memiliki 54 kursi di MPR atau 7,3% beberapa bulan lalu gagal total. Dalam konteks inilah kita membaca kenapa ada yang berupaya “merampok” Partai Demokrat. Ambisi untuk tiga priode kemungkinan saja menjadi salah satu tujuan utama. Lantas apakah rakyat akan terpancing dengan Proyek Rusuh Nasional tiga priode Presiden Jokowi? Kemungkinan rakyat akan terbelah menjadi dua kelompok besar. Yang satu pendukung Jokowi tiga periode versus yang kontra Jokowi tiga periode. Siapa yang kuat? Estimasi penulis, rakyat yang kontra Jokowi tiga periode tidak akan terpancing dengan isu “Proyek Rusuh Nasional”. Sebaliknya, “Proyek Rusuh Nasional” bisa saja mempercepat lengsernya Jokowi sebelum 2024 tiba. Ibaratnya, seperti membakar lumbung. Padinya tidak terbakar, tetapi yang membakar terbakar. Pasalnya rakyat makin cerdas, terutama belajar dari kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan 21 - 23 Mei 2019. Ada pasukan liar, berupa perusuh-perusuh profesional yang disusupkan seperti tahun 1998 dan 2019. Wallahua'lam bish-shawab. Penulis adalah Pegiat Da’wah dan Sosial
Rekayasa Dukungan Untuk Tiga Periode?
by M Rizal Fadillah Bandung FNN - Bulan April lalu Benteng Indonesia (Benin) entah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi lainnya, entah mimpi apa di siang bolong mulai menggelindingkan dukungan tiga periode untuk jabatan Jokowi. Artinya kelompok ini mendorong adanya amandemen UUD 1945 untuk mengubah batasan masa jabatan Presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Jokowi dipastikan mengatakan itu bukan idenya. Bahkan kemungkinan akan menyatakan "tidak tahu menahu'. Seperti biasa kebiasaan Jokowi. Jika muncul kelompok lain yang melakukan hal serupa dikemudiannya, maka sudah pantas rakyat atau masyarakat mencurigai adanya ulah oknum pendukung Jokowi di sekitarnya yang memang serius memperjuangkan. Meskipun demikian, Jokowi pun mulai dan patut diduga berada di belakangnya. Operasi yang berbiaya tinggi untuk suatu sukses politik mulai dijalankan. Ungkapan bahwa Jokowi sendiri tidak ada niat untuk menjabat tiga periode mulai diragukan. Bahkan sangat wajar untuk tidak dipercaya sama sekali, karena begitulah kebiasaan Jokowi. Antara omongan dan perbuatan tidak pernah singkron. Lihat saja penerapan Protokol Kesehatan (Prokes). Isu tiga periode telah lama mengemuka. Mengingat peta politik dan kepentigan pragmatis dari partai politik, maka isu ini bukan mustahil menjadi kenyataan. Aspirasi rakyat mudah dibelokkan oleh penentu kebijakan politik di DPR atau MPR. Apalagi DPR telah menjadi perpanjangan tangan kepentingan oligarki dan konglomerat hitam, busuk, picik, licik dan tamak. Toh sudah terbukti bahwa aspirasi rakyat hanya dibutuhkan hanya saat Pemilu. Itupun dapat direkayasa. Lihat saja pada pembentukan UU Cipta Kerja, UU KPK dan UU Minerba. Rakyat sama-sekali tidak didengar suaranya. Problem kepartaian kini adalah partai politik bukan lagi berfungsi sebagai elemen penegak demokrasi, melainkan menjadi perusak demokrasi. Jika semakin gencar tekanan untuk amandemen UUD 1945 dengan muatan perpanjangan masa jabatan Presiden boleh menjadi tiga periode, maka akan gencar juga kelompok atau aspirasi yang akan melakukan penolakan. Situasi politik semakin bakalan semakin memanas dalam polarisasi dua kepentingan yang berposisi diametral. Bukan mustahil muncul dan menguat pula aspirasi antitesis yang lebih menukik dan tajam, dengan beberapa alasan. Pertama, persoalan amandemen UUD 1945 bukan hanya sekedar perpanjangan jabatan yang dimasalahkan. Tetapi beberapa amandemen terdahulu juga perlu dikritisi. Isu politiknya adalah kembali ke UUD 1945 yang murni. MPR berdaulat kembali dan menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Tidak asal pergi meninggalkan jabatan. Kedua, jangankan Presiden yang bertambah masa jabatan menjadi tiga periode, untuk bisa bertahan hingga 2024 saja sudah sangat berat. Bisa saja ada desakan agar Presiden cukup sampai disini. Desakan konstitusional agar Presiden mundur atau dimundurkan. Rakyat melihat pada ketidakmampuan Presiden dan penyimpangan dalam pengelolaan negara. Gelindingan dan perjuagan agar Presiden Jokowi menjabat tiga periode bukan tanpa tantangan dan risiko. Meski sepintas terlihat mudah. Tetapi prakteknya tak semudah yang dikalkulasikan. Sejarah telah sarat dengan catatan tentang perubahan politik yang cepat dan tak terduga-duga. Korupsi Itu Tanggungjawab Presiden Bukan Mahfud MD kalau tidak membuat gaduh. Seolah Menkopolhukam adalah Menteri yang mengkoordinir penciptaan keramaian politik, kegundahan hukum, dan kerentanan keamanan. Lempar batu sembunyi tangan. Ungkapan paling mutakhir Mahfud adalah korupsi kini yang merajalela dan Perguruan Tinggi harus bertanggungjawab. Alasan Mahfud koruptor itu sebagian besar produk Perguruan Tinggi. Ternyata Mahfad naif sekali. Seperti orang dungu, dongo, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mahfud lupa kalau korupsi merajalela pasca reformasi, dan rakyat menilai itu di eranya Pemerintahan Jokowi justru yang paling parah. Itu tanggung jawab Presiden Jokowi Bukan beban dan tanggungjawab dari kalangan PerguruanTinggi. Realitanya bahwa lingkungan yang dimasuki para alumni adalah ruang beriklim kehidupan ketatanegaraan yang sangat korup. Birokrasi korup, legislative korup, yudikatif korup, pemerintahan daerah dan instansi lainnya juga ramau korup berjamaah di eranya Presiden Jokowi. Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Karenanya bertanggungjawab atas atmosfir yang ada di berbagai bidang kehidupan pengelolaan negara. Kata Cirero, “ikan itu busuk dari kepalanya”. Jika Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mengalami proses pembusukan, maka dampaknya menjadi multi-dimensional. Menjadi ikutan-ikutan anak buah dan instansi pemerintah lain di bawahnya. Penilaiannya adalah cara memimpin atau mengelola negara yang gagal atau tidak becus. Tata kelola yang primitif, amatiran dan kampungan. Jauh dari tata kelola negara yang benar dan profesianal. Sehingga wajar saja kalau tidak yang dapat dibanggakan dari pemerintahan Jokowi. Presiden siapapun yang tidak tegas dalam memerangi korupsi, akan dilingkari oleh orang-orang yang berani untuk korupsi. Sebaliknya menjadi baik dan profesional jika Presiden tegas, tidak pandang bulu. Seiya sekata antara perbuatan dan tindakan. Tidak memaksakan diri untuk membangun dinasti politik kerluarga anak ddan menantu. Presiden harus bisa membuktikan dalam kebijakan politik yang diambilnya selalu memerangi dan memberi contoh sebagai pemberantas korupsi. Maka birokrasi, legislatif atau badan apapun akan segan, bahkan takut untuk melakukan korupsi. Karena Presiden memberi contoh baik. Jadi korupsi merajalela, meski banyak faktor yang turut menjadi sebab dan banyak pihak harus bertanggungjawab, maka faktor utama dan menentukan adalah Presiden yang tidak berwibawa. Tidak jujur dan tidak berkualitas. Bukan Presiden yang masa bodoh, gemar pencitraan, plintat-plintut, atau pelabrak hukum dan etika politik. Bahkan bisa-bisa diindikasikan korup juga. Presiden Jokowi dengan revisi UU KPK yang melumpuhkan lembaga KPK justru nyata-nyata tak menunjukkan teladan bagi pemberantasan korupsi. Presiden semestinya mampu menggerakkan segenap aparat penegak hukum untuk bekerja maksimal memberantas korupsi. Bukan yang sebaliknya. korupsi seperti dibiarkan merajalela sebagai konsekuensi dari rezim investasi. Para investor hanya akan berdatangan untuk menanamkan modalnya di negara dengan pemerintahnya tidak korup. Investasi dan hutang luar negeri yang tidak berimplikasi pada budaya upeti dan komisi. Tragisnya, korupsi kini dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bahkan dilakukan dengan rapih melalui perencanaan yang rapih dan matang. Dampingan korupsi, yaitu kolusi dan nepotisme ternyata turut merajalela pasca reformasi, khususnya sekarang ini. Mahfud MD semestinya bukan menyalahkan Perguruan Tinggi, tetapi menyalahkan diri sendiri sebagai bagian dari Pemerintahan Jokowi. Menkopolhukam adalah "tangan kanan" penanggungjawab pemberantasan korupsi saat ini di negeri ini. Jadi, jika dipertanyakan merajalelanya korupsi menjadi tanggungjawab Perguruan Tinggi atau Menkopolhukam, maka jawabannya tanggungjawab Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Nah, jika pertanyaannya menjadi tanggungjawab PerguruanTinggi atau Presiden? Pastilah jawabannya tanggungjawab Presiden! Presiden yang disadari atau tidak telah menciptakan iklim korupsi di segala bidang kenegaraan. Tak serius dalam melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terus mau berambisi untuk menjabat tiga priode? Sebaiknya ngaca dirilah. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Imperialisme Digital
by Zainal Bintang Jakarta FNN - Program “Literasi Digital Nasional” diluncurkan menandai peringatan “Hari Kebangkitan Nasional” tahun 2021, Kamis 20 Mei 2021. “Saya harap gerakan ini menggelinding dan terus membesar, bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” kata Presiden Jokowi melalui sambutan virtual. Presiden merinci barisan “musuh” bangsa yang harus diperangi lewat maraknya konten-konten negatif dan eskalasi kejahatan yang hadir di ruang digital seperti hoaks, penipuan daring, perjudian, eksploitasi seksual pada anak, perundungan siber, ujaran kebencian, dan radikalisme berbasis digital. Mengutip sejarah, Hari Kebangkitan Nasional 113 tahun lalu pada 20 Mei 1908, dipelopori Dr. Wahidin Soedirohoesodo bersama tiga mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen(STOVIA) mendirikan organisasi Boedi Oetamo. Ketiga mahasiswa itu adalah Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Suraji yang telah lama mengagumi dr Wahidin melalui majalah Retno Dumilak. Embrio pergerakan perjuangan menjadi bangsa itu, berlanjut dengan peristiwa “Hari Soempah Pemoeda” 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada “Hari Proklamasi Kemerdekaan RI-17 Agustus 1945”. Jejak rangkaian narasi “kebangkitan” nasional itu, adalah embrio konsolidasi kesadaran berbangsa. Konsolidasi yang di dalamnya sarat semangat anti penjajahan, kolonialisme dan imperliasme. Semangat anti Belanda yang selama kurang lebih 350 tahun telah menjajah dan memangsa mentah-mentah SDA Indonesia melalui kekerasan, perbudakan dan bahkan penghinaan dalam bentuk kerja paksa di negeri sendiri. Di tengah ketidakpastian tampang regulasi saat ini, ancaman imperialisme digital sudah di depan mata. Salah satu contohnya persekutuan raksasa start-up Gojek dengan raksasa lainnya Tokopedia. Telusurilah “riwayat hidup” keduanya di mesin pencari “Google”. Akan ditemui fakta kedua raksasa kapitalisme yang berjubah imperialisme digital tersebut, memposisikan rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan juta hanya sebagai “mesin” pencetak uang triliunan tiap bulan secara digital untuk kantong mereka di luar negeri. Memang benar menjanjikan kemudahan di semua bidang. Namun pada saat yang sama menyembunyikan “bencana yang tertunda” (delayed disarter) jangka Panjang. Dalam arti pergeseran budaya pekerja keras aktif menjadi mentalitas konsumerisme pasif, komentar seorang pakar komunikasi. Artikel dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmond Makarim, (Kamis, 14 January 2021) yang mengutip Data Digital Economy Report 2019 dari United Nations Conference (UNCTAD) tahun 2019, menarik untuk dicermati. Secara gamblang menunjukkan bahwa perusahaan teknologi digital terkonsentrasi secara geografis di AS dan Tiongkok. Meskipun terdapat perusahaan-perusahaan digital yang berasal dan beroperasi di pasaran negara berkembang, mereka tampaknya hanya menjadi porsi marjinal dalam ekonomi digital. Meskipun saat ini tengah semarak hadirnya aplikasi nasional, sebagaimana dijelaskan di atas. Saat ini penguasaan infrastruktur digital tidak berada di tangan bangsa. Dengan pemanfaatan cloud computing, justru data diunggah dan ditampung ke dalam suatu sistem akuarium informasi global yang dapat dilihat oleh yang menguasainya. Kepercayaan pengguna terhadap produk teknologi seharusnya tidak lepas dari sejauh mana pengetahuan mereka akan resiko kerentanan kegagalan teknologi tersebut. Juga bagaimana hal itu telah dikelola atau dimitigasi dengan baik. Tidak ada kesempurnaan dalam teknologi, sehingga seharusnya ada kepastian prosedural untuk mitigasi. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari kewenangan administratif terkait. Tidak hanya dilepaskan kepada kompetisi pasar saja. UU-PDP itulah sesungguhnya bentuk nyata mitigasi verbal yang harus menjadi domain negara. Baru saja di pertengahan Desember lalu, pengguna di dunia dikejutkan dengan gangguan layanan Google selama satu jam. Bahkan raksasa teknologi itu ternyata tidak bisa mencegah 100% terjadinya kerusakan atau gangguan teknologi. Juga tidak menjamin keandalan sistem elektroniknya. Imperialisme sejatinya tidak benar-benar hilang dari kehidupan manusia. Di zaman now, dunia digital pun tidak benar-benar lepas dari yang namanya imperialisme. Inilah yang selanjutnya disebut dengan imperialisme digital (digital imperialism). Dengan kata lain, ini bukanlah istilah baru. Ada diksi yang sejenis dengan itu, misalnya digital colonialism (kolonialisme digital). Keduanya merujuk pada makna yang sama, yaitu penjajahan digital. Percaya atau tidak, kita sejatinya berada dalam jebakan batman. “Terjebak” dalam berbagai tawaran yang menggiurkan dari revolusi digital tersebut. Padahal, setiap aktifitas kita, saat tersambung dan terhubung dalam jaringan digital, semua itu ada cost-nya. Dan, biayanya itu, bukan hanya sekedar berbentuk uang ataupun pulsa yang disedot. Tetapi lebih dari itu. Ada social cost yang harus dibayar. Dimana ini yang kerapkali kita lupakan, atau mungkin tidak kita sadari. “Social cost inilah yang kemudian akan dikapitalisasi oleh penyedia layanan. Baik itu sosial maupun bisnis. Sehingga menjadi kekuatan mereka, untuk dalam beberapa waktu ke depan, mendikte bahkan “memperkuda” kita dalam setiap aktifitas kehidupan. Dengan demikian sudah semestinya kita aware tentang hal ini”, tulis Makarim. Berdasarkan hasil penelitian, dengan hadirnya ekonomi digital dan teknologi digital pada umumnya, menjadilah Indonesia pasar besar sambil memproduksi kekhawatiran. Start-up lokal yang membesar merangsang injeksi modal venture capitalist asing sebagai pintu masuk modal asing untuk “mencaplok” Indonesia. Meluapnya demam venture capitalist berburu start-up Indonesia yang rindu biaya peningkatan, mengubah status kepemilikan start-up pindah ke tangan investor asing. “Menempatkan founder di pinggiran dengan saham minimal. Mereka bukan lagi pemilik. Tetapi sudah berubah menjadi pekerja. Banyak contoh soal nasib kelam start-up lokal. Sebutlah seperti tokopedia, traveloka, bukalapak, lazada dan lain-lain, yang telah diambil alih oleh asing dan aseng”, tulis Asih Subagyo, Sekjen Muslim Information Technology Association (2017). Program gerakan “Literasi Digital Nasional” menjadi rahmat dan sekaligus elemen bencana baru bagi bangsa. Dominasi modal asing akan mengangkangi perekonomian nasional arus utama bangsa. Meniscayakan hadirnya pagar beton regulasi nasional yang tangguh. Keperkasaan regulasi nasional adalah harga mati. Gunanya untuk menangkal ancaman imperialisme digital yang membawa dinamika, penetrasi maupun invasi taring raksasa kapitalisme global yang menjadi mesin penggerak “budaya” pencaplokan terselubung melalui layanan cepat virtualisasi. Yang jelas sampai hari ini, DPR belum juga berhasil menerbitkan UU-PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) bagi 279 juta orang penduduk negeri ini . Meskipun RUU-PDP itu telah berkali-kali direncanakan dibahas, sampai sekarang belum berwujud. Sebuah berita buruk saat ini meledak di semua media: terjadi kejahatan digital peretasan data pribadi 279 juta penduduk yang berasal dari kantong BPJS Kesehatan. RUU-PDP telah disusun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) tahun 2014. Pemerintah bersama-sama DPR telah mengupayakan agar disahkan menjadi undang-undang pada priode 2014-2019. Hingga berakhir masa legislasi 2014-2019, UU itu tidak diapa-apain juga. Pada periode legislasi 2019-2024, RUU-PDP kembali diusulkan pemerintah pada 17 Desember 2019, dan masuk dalam jajaran Prolegnas Prioritas tahun 2020. Namun sampai hari ini tidak ada kabar berita. Sumber di DPR menyebutkan penyebab tersendatnya pembahasan RUU itu, karena ada perbedaan persepsi yang prinsipil antara pemerintah dengan legislator. Eksekutif menghendaki dirinya sebagai “agen tunggal” pengelolaan sanksi-sanksi UU itu kepada operator aplikasi digital yang beromzet trilunan itu. Tetapi pihak legislatif agaknya kurang setuju dengan diksi “tunggal” itu dengan alasan-alasan tertentu. Apa yang salah pada bangsa ini? Sebuah pesan WhatsApp melesat ke dalam HP saya dengan tulisan yang mengusik: “Satu-satunya kesalahan kalian, karena kalian tidak bersalah”. Itu potongan dialog drama kolosal kelas dunia berjudul “Montserrat” karya Emanuel Robles (1948). Diterjemahkan sastrawan papan atas Indonesia, almarhum Drs. Asrul Sani. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial Budaya.
KKB Teroris? Negara Diduga Lakukan Terorisme di Papua (Bagian-1)
by Marthen Goo Jayapura FNN - Pemerintah mengumumkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai “Teroris” seperti yang disampaikan Menkopolhukam, Prof. Maufud MD, dan viral di media-media, tentu saja mengagetkan publik. Pro dan kontra terjadi dimana-mana. Hampir semua orang Papua menolak lebel tersebut. Tetapi di Jakarta, banyak yang pro dan kontra. Mestinya dengan melebel teroris, apalagi oleh pemerintah, harus jelas dan terukur. Dampak dari pernyataan pemerintah soal KKB sebagai terorisme ada empat. Pertama, terjadi pengiriman pasukan yang berlebihan. Kedua, adanya penyerangan darat dan udara. Ketiga, adanya masyarakat kurang lebih 7000-an orang mengungsi besar-besaran ke hutan. Sementara yang mengungsi ke distrik pembentukan traomating pada penduduk. Terhadap dugaan pada poin keempat, Komnas HAM diharapkan untuk segera turun ke Papua. Lakukan penyelidikan secara menyeluruh dari bentuk penyerangan yang dilakukan oleh apparat. Ada tidak korban warga sipil? Ada tidak pengungsian yang tidak dilindungi negara? Atau adanya proses pengabaian sebagai kejahatan HAM yang dikenal dalam dunia HAM adalah “by omission”. Jika ada kejahatan HAM, baik by omission, apalagi by comission, maka Komnas HAM harus berani untuk menetapkan sebagai kejahatan HAM. Seret segera pelakunya ke pengadilan HAM. Apalagi kalau jelas-jelas siapa yang memberikan intruksi. Jika merujuk pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, maka soal “genosida”, jika ada dugaan terjadi, dan memenuhi unsur pasal 7 poin (a) tentang kejahatan genosida, dan pasal 8 poin (c) “menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya”. Membedah KKB dan TPN-OPM KKB adalah Kelompok Kriminal Bersenjata. Kata kriminal, memiliki arti bahwa kelompok yang melakukan perbuatan kriminal. Biasanya tujuan yang dilakukan adalah hal-hal yang sifatnya kecil dan terbatas serta tujuan materi semata. Sehingga, siapa itu kelompok kriminal bersenjata? Barang kali hanya pemerintah di Jakarta yang tahu kelompok tersebut. Hal itu berbeda dengan TPN-OPM. TPN sendiri adalah Tentara Pembebasan Nasional. Sementara OPM adalah Organisasi Papua Merdeka. Artinya bahwa organisasi, baik TPN maupun OPM adalah organisasi Idiologi Papua Merdeka. Perjuangan mereka adalah perjuangan untuk merebut kemerdekaan Papua. Mereka juga bisa disebut sebagai kombatan, dalam perspektif perjuangan idiologi. Barang kali perjuangan TPN-OPM ini sama dengan keberadaan Indonesia saat berjuang untuk merebut kemerdekaan setelah mendeklarasikan kemerdekaan 17 agustus 1945. Karena paska proklamasi kemerdekaan, Belanda berkeinginan untuk mengambil kembali Indonesia, dan melalui desakan Amerika, akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Indonesia pada saat itu memiliki idiologi yang sama tentang kemerdekaan, dan lepas dari penjajahan. Bahkan Soekarno sebagai salah seorang pejuang selalu ditangkap dan dilebelin separatis. Terjadi dua cara pandang yang berbeda. Belanda menganggap Soekarno adalah separatis, tetapi rakyat di Jawa menganggapnya sebagai nasionalis dan pejuang bagi keselamatan rakyat Jawa kala itu. Keberadaan TPN-OPM secara subtansial sama. Barang kali bagi sebagian rakyat Indonesia TPN-OPM adalah kelompok separatis, tapi bagi sebagian besar rakyat Papua, TPN dan OPM adalah organisasi nasional Bangsa Papua untuk kemerdekaan. Tentu ini soal cara pandang dan pada posisi dimana kita berada. Hal yang sama juga saat Belanda menguasai Jawa dan beberapa daerah lainnya minus Papua. Jadi, dari aspek subtansial, KKB dan TPN/OPM tentu berbeda. Walau dalam perspektif separatis, Menurut Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Internasional Unpad Bandung, “separatisme diartikan gerakan memisahkan diri suatu masyarakat di dalam suatu negara. Alasannya ketidakadilan sosial yan terjadi terhadap masyarakat setempat. Pola kolonialisme sudah tidak relevan lagi untuk abad ini”. Barang kali terhadap pernyataan Guru Besar tersebut, cara pandang yang dilihat hanya pada tahun 2021. Sementara TPN-OPM lahir dari akumulasi perjalanan sejarah yang Panjang. Dimana ada kesinambungan antara perebutan Papua oleh Soekarno dengan paksa, operasi militer, Pepera 1969 di bawah tekanan militer, operasi militer lanjutan dan kejahatan kemanusiaan yang panjang hingga saat ini. Dari aspek tersebut, pernyataan guru besar sesungguhnya bisa menjadi perdebatan tersendiri. TPN-OPM Punya Kepastian Hukum Pemerintah menetapkan KKB teroris ,dan itu disampaikan ke publik lewat media. Pertanyaan dalam perspektif hukum, KKB itu siapa? Pemerintah bisa menjelaskan yang dimaksud KKB? Apakah KKB itu adalah oknum dari orang? Atau organisasi apa ? Bukankah dalam hukum pidana, ketika menyebut subjek hukum harus jelas? Ketika pemerintah menyebutkan KKB teroris, narasi yang disampaikan ke publik sangat abstrak dan multitafsir. Artinya, siapapun orang yang hanya didasarkan pada asumsi bisa disebut teroris seenaknya. Tanpa ada batasan dan penjelasan yang jelas, kongkrit dan terukur. Ini stigmatisasi atas pernyataan teroris. Sementara pernyataan pemerintah tidak jelas dari aspek subtansi ketika bicara subjek hukum. Jika merujuk pada pernyataan pemerintah yang disampaikan Menkopolhukam “pemerintah menganggap organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris”. Apakah semudah itu? Sementara penetapan teroris itu unsurnya ketat dan terukur. Kenapa pemerintah menyebut orang Papua? Apakah ini tendensius rasisme, atau kebencian kepada orang Papua? Subjek hukum tidak jelas, maka berpotensi kekerasan bisa terjadi. Kerena pada siapa saja yang diasumsikan melakukan kekerasan. Bahkan, ketika rakyat protes dan dianggap melawan aparat, bisa didalilkan dengan terorisme. Ini menciptakan kegaduan baru. Apalagi dasar hukum penetapan itu tidak ada, tetapi pengiriman pasukan dan pendekatan militer digunakan pendekatan “respon terorisme”. Jika merujuk pada UUD’45 pasal 1 ayat (3) Indonesia adalah negara hukum, mestinya kepastian hukum, dan subjek hukum harus jelas. Kalau yang kaya gegini, sama saja dengan melakukan tindakan yang inkonstitusional. Sewenang-wenang. Sesuka hati. Unsur Dalam Gerakan Terorisme Sekarang kita coba dalami unsur-unsur dalam pengertian teroris. UU Nomor 5 tahun 2018 dijelaskan “terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”. Pengertian ini ada dua poin yang bisa dilihat. Pertama, perbuatan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal. Kedua, perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan Jika merujuk pada dua poin dasar tersebut, hal-hal yang dilakukan TPN jika kita gali dan dalami secara objektif, barangkali bisa digali dan didalami oleh tim independen lain. Pertaman, TPN selalu berkonflik dan saling bermusuhan dengan TNP/Polri. Kedua, TPN hanya akan mengintrogasi atau membunuh oknum tertentu orang yang menjadi bagian dari mata-mata aparat Indonesia (spionase). Ketiga, menghancurkan fasilitas umum yang dihuni/digunakan TNI/Polri sehingga beralih fungsi dari umum ke khusus . Dari tiga poin yang biasa dilakukan TPN/OPM tersebut, tentu dalam konflik kombatan, itu normal dan wajar jika dilihat dalam perspektif hukum humaniter. Artinya, jika dirujuk pada konflik kombatan, aspek teroris tidak masuk. Bahkan jika dirujuk pada pengertian teroris pun tidak masuk. Kalau pemerintah merujuk pada pengertian teroris, terlalu jauh menyimpulkan. Fakta lyang sudah jadi rahasia umum sejak Papua di dalam Indonesia, TPN-OPM tidak pernah membunuh warga sipil, baik warga asli Papua maupun non Papua. Bahkan perjuangan TPN-OPM adalah pembebasan nasional dan penyelamatan orang Papua. Sejak pendirian TPN-OPM sampai saat ini, belum ada warga pendatang yang dibunuh. Hal tersebut berbeda jika itu adalah TNI-Polri atau spionase (mata-mata). Mama-mama di Papua menjelaskan bahwa TPN-OPM itu bukan teroris. Hasil wawancara media suara Papua, mama Yosina adalah salah satu korban yang masih trauma sampai saat ini. Ia mengaku menyaksikan keluarganya dibantai pasukan militer tahun 1969. “Waktu itu Mamade dan Bapade dibantai tentara. Saya saksikan sendiri keganasan militer Indonesia. Jadi, yang terorisme itu siapa? Semua orang tahu yang biadap selama ini di tanah Papua” (SuaraPapua.com 15 Mei 2021). Di Harian Kompas, tokoh Papua Natalius Pigai menyebut, “militer justru hadir sebagai monster leviadan, beringas pembawa maut di Papua. Ternyata opini dan propaganda media intelijen di negara ini bahwa TPN-OPM atau KKB membunuh rakyat Papua ternyata propaganda utopis, tipu muslihat pemerintah”. “Jika rakyat Papua korban terus, maka sudah pasti TPN-OPM akan hadir untuk melindungi rakyat Papua. Masa yang akan datang mereka TPN-OPM akan semakin kuat untuk hadir melindungi bumi putra dan tanah airnya. Pemerintah harus buka kran demokrasi”, ujar Pigai (Kompas, 17/5/2021). Jadi, pemerintah harus memperjelas siapa KKB. Karena dari aspek subjek sangat tidak jelas. Sementara jika KBB yang dimaksud adalah TPN, dari fakta tidak terpenuhi, dari subjek hukum pun tidak terpenuhi. Bahkan kekerasan yang diarahkan kepada rana sipil justru selalu dilakukan oleh aparat negara. Fakta hari ini bisa kita lihat terjadi pengungsian besar-besaran. Belum lagi tiga kakak-beradik yang dibunuh dalam rumah sakit di Intan Jaya. (bersambung). Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan Asal Papua.
Oligarki Licik Menunggangi Demokrasi dan Rule of Law
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body” , bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat para oligarki di Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi ini, sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah. Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler, dengan standard Oilnya, berada di jantung sebagai sebab utamanya. Itu menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) pada tahun 1887. Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust”. Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat dari J.P. Morgan, yang belakangan menjelma menjadi koporasi keuangan kelas dunia. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden yang pro bisnis besar Sherman Act 1890. UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukseskah? Dalam kenyataannya tidak. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Standar Oil gulung tikar dan hilang hilang nama besarnya karena investigasi Ida Tarbel, jurnalis investigasi kawakan yang menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker”. Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat tahun 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar Amerika. Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Presiden Wilson dan Kongres merespon kenyataan itu gagasan Federal Trade Commission (FTC) tahun 1914. Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga. Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat pada tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu dengan sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Presiden FDR memang bukan kaki tangan oligarkis. Presiden FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup dengan mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935. Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahirnya kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menurutnya itu cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan. Berputar di sekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera membuat kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank. Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan bahwa bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan Bank Holiday, dikenal juga sebagai massacre day. Kemana perginya emas-emas itu? Diketahui ke Bank of England. Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange Policy. Segera juga dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC) tahun 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association. Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang telah diteken sebelumnya oleh Presiden Hoover. Pemerintah FDR lalu mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA diatur pembentukan Federal Housing Administration. Manis Presiden FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres juga merespon. Mereka membuat The Federal Communication Commission (FCC) tahun1934. Ini dituangkan dalam Federal Communication Act. Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberi perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy”. Dalam kerangka itu dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya. Memang secara teknis Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan bagi penganggur, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya. UU inui dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Terutama ditujukan kepada mereka yang berusia di atas 33 tahun. Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group”, seperti Merle dan kawan-kawan, mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner, yang tampil memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act. UU ini memberi pekerja privilege. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat Independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja sebagai buruh. Upah tetap menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki. Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935, benar-benar merupakan cara licik khas oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup atau jangkauan kewenangan dari presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara yang memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu. Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen tersebut diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya. ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun setelah mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika disepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism. Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission. Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis.” Bukan demokrasi. Periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara dan bicara, di satu sisi. Oligarki mendikte demokrasi dan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam UU. Lalu bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Terlihat mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan dari UUD 1945 dan kekuasaan Presiden. Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik dari Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization Liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah. Konsep itu (independen) diambil dari pengadilan dan disematkan, untuk pertama kalinya, pada The Fed. Sebagai konsekuensinya, Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan Administrative Absolutism. Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Pada sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang. Diskriminasi primitif itu diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukumkah itu? Sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.
“Poros Serpong” Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-2)
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Konsen dari para tokoh seperti La Nyala, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli yang akhirnya menjadi magnet kohesi. Berikutnya lalu menimbulkan gelombang keterpanggilan pada frekuensi yang sama. Yaitu, isu menyelamatkan demokrasi yang kini nyaris mati kering berdiri. Pilar-pilar demokrasi telah lapuk. Mati berdiri, karena tidak lagi punya daya dalam pelibatan publik di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Matinya pilar demokrasi itu dapat dilihat dari aspek politik, hukum, ekonomi, sampai soal pemerintahan daerah. Yang tersisa dari kehidupan demokrasi kita hanya bayangan semu. Simbol dan aksesori yang tidak lagi memiliki ruh demokrasi. Peristiwa paling dekat yang menyedihkan dalam sorotan publik adalah pelemahan, pembusukan dan penghancuran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari dalam. KPK adalah satu diantara produk reformasi ‘98. Buah dari perjuangan panjang untuk membersihkan negeri dari anasir-anasir keruntuhan oleh kleptomania, oligarki dan konglomerat hitam yang berlakon dalam aneka peran kenegaraan. Peblik negeri ini dibuat terkaget-kabet. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mewakafkan dirinya di lembaga anti rasuah tersebut berpuluh tahun, namun tiba-tiba saja akan disingkirkan atas nama tes wawasan kebangsaan? Kok ada masih yang meragukan kesetiaaan dan jiwa merah putih anak-anak negeri yang hebat, berkelas dan to markotop dalam hala pemberantasan korupsi tersebut? Padahal baru beberapa bulan kemarin mencokok dua menteri anggota kabinet Jokowi, Edhy Prabowo, Juliari Peter Batubara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Senin kemarin mereka kembali menangkap Bupati Nganjuk dan OTT. Radar nurani kita menangkap, ada bongkahan kegeraman yang menggunung. Bergudang kemarahan dan kekecewaan publik menyaksikan semua drama politik yang picik dan primitif terjadi di depan mata dengan telanjang. Peristiwa-peristiwa ini justru terlihat ada dalam rangkaian cerita dan skenario panjang dan rapih. Kemunduran demokrasi, bahkan terjadi secara konstitusional. Konsiderasi atas sebagai stempel lembaga perwakilan rakyat. Hal itu terang benderang tercermin dari beberapa pembentukan regulasi. Seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bukan saja tidak mencerminkan prinsip antikorupsi. Namun juga mengabaikan partisipasi publik. Padahal, ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses legislasi. UU KPK mempersempit ruang gerak KPK. UU Minerba melanggengkan pengerukan kekayaan sumber daya alam atas nama investasi. UU Cipta Kerja berimplikasi ke berbagai sektor. Seperti persoalan perburuhan, lingkungan hidup, agraria, hingga memperparah liberalisasi sektor perdagangan. Juga menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat. Kita tahu, dan dapat menangkap situasi kebatinan publik terkait problematika kebangsaan tersebut. Banyak yang gregetan. Hanya saja, ketakutan menyampaikan aspirasi, lantas mengunci diri. Menjauh dari ruang-ruang artikulasi berpendapat. Seperti yang terjadi pada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Pasalnya, jerat kriminalisasi hingga jebakan UU ITE mengintai setiap saat. Menghadapi situasi yang seperti ini, publik merindukan tampilnya figur-figur kuat yang secara representatif mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Kekosongan tersebut, kita harapkan dapat diisi oleh sosok seperti La Nyalla, Jenderal Gatot, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh vokal lainnya. Mereka yang siap menjadi penyambung lidah rakyat, sebagaimana ungkapan yang dipopulerkan oleh Bung Karno. Namun, kita juga harus realistis. Menjadi jembatan untuk aspirasi rakyat, tentu saja hanya akan efektif jika dilakukan dalam koridor instrumen struktural negara. Artinya, ada mekanisme politik yang harus dilalui oleh mereka yang dapat kita pegang komitmennya untuk membangun bangsa. Yaitu melalui proses kontestasi elektoral. Pemilihan Presiden (Pilpres) tempatnya. Persoalannya, mekanisme elektoral saat ini dirancang super eksklusif oleh oligarki dn konglomerat hitam yang menyandara Partai Politik. Bahkan terkesan rancu dan kontradiktif dengan term-term demokrasi. Sistem elektoral didesain menutup peluang banyak figur yang kredibel, berintegritas dan punya kapasitas untuk maju dalam kontestasi bila tidak berasal dari partai politik. Sementara partai-partai saat ini, menurut para pakar politik, cenderung tampil feodal. Lebih feodal dari sistem kerajaan. Nyaris tidak ada lagi parpol yang punya sistem regenerasi dan sirkulasi elit yang sehat. Padahal, parpol kita harapkan menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan nasional yang terdepan. Namun harapan itu tampaknya harus dipetieskan dulu. Makanya menjadi sangat tepat langkah DPD jika secara kelembagaan mendorong kembali gagasan untuk menghapus Presidential Threshold (PT). Tujuannya untuk dapat menjaring sebanyak mungkin kandidat presiden yang layak dan potensial. Agar tersaring sebanyak mungkin figur yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Apalagi, banyak kepala daerah berprestasi yang layak untuk diberi ruang. Sebagai artikulator kepentingan masyarakat daerah, DPD idealnya mempelopori upaya untuk membuka jalan yang luas dan lebar untuk figur-figur terbaik dari daerah. Tanpa membuka ruang kontestasi kepemimpinan yang selebar-lebarnya, maka hanya akan muncul kandidat yang itu-itu saja. Kita disuguhi menu lama. Lu lagi, lu lagi, lu lagi. Padahal barangkali barangnya sudah kadaluarsa. Sebaliknya, membuka peluang seluas-luasnya, akan memacu mekanisme meritokrasi yang sebetulnya merupakan fitur seleksi paling ideal dan kompatibel dengan sistem demokrasi. Meritokrasi di level parpol, maupun dalam spektrum lebih luas. Figur yang berhasil dan sukses dari organisasi bisnis, militer, hingga organisasi kemasyarakatan, semua dapat menikmati pesta demokrasi secara gembira. Langkah DPD ini pada akhirnya, akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk mengelola bangsa yang besar ini. Pemimpin yang tidak perlu tunduk dan diatur oleh kekuatan-kekuatan oligarki dan konglomerat hitam yang menjadi sumber utama malapetaka kerusakan bangsa ini. (habis). Penulis adalah Senator DPD RI.
23 Tahun Reformasi, Rakyat Yang Sengsara, Penguasa Berpesta Pora
by Ubedilah Badrun Jakarta, FNN - Loh kok bisa? Perlu mengumpulkan data untuk membuat kesimpulan judul tulisan ini. Dua puluh tiga tahun reformasi telah berlalu, rakyat masih sengsara, tetapi penguasa berpesta. Rakyat menangis ditengah wajah kuasa yang terlihat bengis. Mungkin ada yang terhenyak dengan narasi itu. Bahkan mungkin merespon dengan sentimen, menyerang personal dan nyinyir. Respon semacam itu dapat dipahami, mungkin karena belum mengerti bahwa kritik adalah gizi demokrasi yang bisa membuat pemerintah introspeksi dan bisa membuat demokrasi lebih maju. Mungkin juga belum mengerti tentang satu dimensi penting bahwa tanggungjawab intelektual itu membebaskan manusia dari penderitaan (Moh.Hatta, Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia, LP3ES,1983). Fungsi itu yang sesungguhnya sedang dijalankan akademisi maupun kelompok oposisi. Dalam bahasa Antonio Gramsci fungsi intelektual semacam itu disebut intelektual organik (Antonio Gramsci, Prison Notebooks, 1970). Bulan Mei, dua puluh tiga tahun lalu intelektual organik di Indonesia menjadi kunci penting bagi hadirnya gerakan reformasi 1998. Pada momentum 23 tahun reformasi ini mari kita berpikir sejenak mengurai data satu persatu meski tidak semuanya dibeberkan. Sebab artikel singkat ini tidak mungkin menampung seluruh derita rakyat. Rakyat Sengsara Kita mulai dari data turunnya angka pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal I-2020 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 2,97%. Pertumbuhan tersebut mengalami kontraksi 2,41% dibandingkan triwulan IV 2019 yang tercatat 4,97%. Itu maknanya konsumsi, investasi, maupun belanja pemerintah mengalami penurunan. Kondisi ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami penurunan daya beli. Bahkan, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) merosot tajam. Dari sini sesungguhnya sudah mulai terlihat derita rakyat. Itu kuartal I awal tahun 2020 dimana angka pertumbuhan ekonomi turun drastis tetapi belum minus. Faktanya kemudian dari tahun 2020 hingga kuartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonomi kita berturut-turut minus. Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi yang dahsyat. Ini data angka pertumbuhan ekonominya. Minus 5,32 % pada kwartal II , minus 3,49 % pada kwartal III, minus 2,19% pada kwartal IV tahun 2020, dan di kwartal I tahun 2021 ini angka pertumbuhan ekonominya tetap minus 0,74 %. Bayangkan empat kwartal berturut-turut minus. Itu artinya Indonesia berada di jurang resesi ekonomi berkepanjangan. Indonesia belum mampu keluar dari resesi ekonomi. Kalah sama India yang sudah keluar dari resesi ekonomi dengan angka pertumbuhan positif 0,4 %, bahkan Indonesia kalah dengan Vietnam yang kini angka pertumbuhan ekonominya positif 4,48% . Indonesia tak kunjung pulih. Rakyat masih terus sengsara. Ada sekitar 10 juta pengangguran. Angka itu mengacu pada data BPS yang naik nyaris 3 juta orang dari jumlah pengangguran 2019 sebanyak 7,1 juta orang. Namun, data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan jumlah pengangguran Indonesia pada 2021 meningkat antara 10,7 sampai 12,7 juta orang. Itu jumlah pengangguran, jangan tanya jumlah orang miskin? Datanya makin menunjukan tingkat kesengsaraan rakyat yang terus bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta jiwa atau meningkat 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya.Tahun 2021 ini diperkirakan angka kemiskinan masih terus bertambah. Itu data resmi negara, namun secara empirik saat ini angkanya bisa lebih dari itu. Ya, rakyat sengsara. Penguasa Berpesta Jika rakyat sengsara, apakah penguasa ikut sengsara? Tidak ! Mereka berpesta. Sebab, selain mereka dapet honor lain lain, mereka masih menikmati gajih secara utuh dari pajak rakyat. Lebih miris korupsi penguasa masih sering kita dengar. Bayangkan ditengah rakyat menderita, tega-teganya uang untuk bantuan sosial (bansos) rakyat miskin dikorupsi. Tidak hanya itu korupsi juga terjadi di sektor pajak, dan lain-lain. Puluhan hingga ratusan milyar dikorupsi, bahkan secara total diduga kuat angka korupsinya mencapai triliunan rupiah. Ya, penguasa berpesta dengan kue korupsi. Kini ditengarai sedang terjadi semacam 'bancakan uang APBN' untuk modal pemilu 2024. Ya, penguasa pesta uang APBN. Rakyat tak usah diperhatikan. "Persetan Rakyat !" Kata anggota DPR versi DPR-Musikal yang viral itu. Terjadinya korupsi yang terus-menerus ini menyebabkan indek persepsi korupsi (corruption perception Index) Indonesia sangat buruk, skornya 37 (Transparency International,2020). Itu artinya rapotnya masih merah karena skor 37 dari rentang 0 sampai 100. Kini rezim makin berpesta karena UU KPK versi revisi sudah disahkan, upaya 51 Guru Besar yang meminta Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga ditolak, dan puluhan penyidik KPK yang berintegritas kini bakal tersingkir melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan yang janggal itu. KPK dan MK dua lembaga yang dibangun dengan darah dan nyawa Reformasi kini lunglai terpuruk di titik nadir. Cendekiawan Yudi Latif di sebuah media nasional menyebut ini sebagai Penghancuran Pencapaian (6/5/2021). Ya penguasa berpesta, sebab koruptor yang merugikan negara puluhan triliun rupiah dibebaskan. Sejak UU KPK yang baru disahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) untuk koruptor BLBI yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu. Itu permulaan, sangat mungkin akan ada SP3 berikutnya. Para penguasa bisa berkesimpulan Korupsi tidak apa-apa nanti juga bisa di SP3. Itu narasi pesta para penguasa. Miris dan menyakitkan. Agenda reformasi untuk memberantas korupsi makin hancur lebur. Mereka berpesta ditengah remuknya harapan rakyat. Berpesta ditengah rakyat sengsara! Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Poros Serpong, Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-1)
by Tamsil Linrung Jakarta FNN - Pertemuan sejumlah tokoh penting dalam acara diskusi Redaksi Forum News Network (FNN.co.id) yang diperluas, menarik atensi publik dan jagar politik nasional. Laksana oase yang sudah lama dinanti-nanti. Oase untuk melepas dahaga di tengah atmosfer gersang kemarau panjang dinamika politik di republik ini. Hanya berselang beberapa menit setelah acara dibuka, dan para figur utama mengutarakan gagasan di podium, saya mendapatkan informasi jika media sosial sudah riuh. Publik bersahut-sahutan merespons foto-foto yang dilansir dari ajang kegiatan yang berlangsung. Medsos bergemuruh. Tak jauh berbeda dengan suasana di Aula Insan Cendekia Madani (ICM) yang dihadiri undangan terbatas representasi dari beberapa elemen. Duduk bersama di satu meja antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, Rizal Ramli dan banyak tokoh penting dalam satu forum kebangsaan yang digagas media FNN.co.id memang sesuatu yang langka. Ketiga figur terbaik di republik tersebut, masing-masing punya tensi kesibukan dan aktivitas yang tinggi. Lebih dari itu, persoalan paling substantif adalah mereka telah berada pada frekuensi yang sama dalam melihat persoalan bangsa di tengah resesi ekonomi dan krisis multidimensi. Pertemuan di bulan suci nan agung yang dirangkaikan dengan buka puasa bersama, kita do’akan membawa berkah tersendiri bagi negeri ini. Urun gagasan para tokoh, membuka gerbang harapan, memperkaya khazanah kebangsaan dengan ide-ide cerdas. Terutama merespons situasi kontemporer. Termasuk dinamika politik. Media bahkan memberikan nama tersendiri untuk acara dialog yang sebetulnya rutin dilaksanakan Redaksi FNN, dan menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang. “Poros Serpong”. Begitu media nasional menyebutnya. Kita tentu sudah paham, kemana terminologi kata “Poros” berkiblat. Tak lain merujuk pada kristalisasi kekuatan-kekuatan politik yang mengemuka seiring pembicaraan ke arah kontestasi elektoral. Media tentu saja masih mengenang “Poros Tengah” di belantara politik Indonesia. “Poros Tengah” lahir sebagai monumen penting di pelataran sejarah bangsa. Sebab “Poros Tengah”, berhasil mengorbitkan almarhum Gus Dur sebagai Presiden di tengah arus dinamika elit yang menegang. Lalu, apakah “Poros Serpong” akan kembali mencatat sejarah di tengah situasi yang tak jauh berbeda dengan peristiwa tahun 1999 silam? Biar waktu dan sejarah yang mencatat. Yang pasti, para tokoh dan figur yang hadir, memboyong bongkahan spirit perubahan. Perubahan kini telah menjadi kebutuhan yang mendesak menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Sebagai tuan rumah, barangkali perlu juga saya sampaikan bahwa pertemuan yang kini jadi sorotan itu, sebetulnya tidak dalam intensi menciptakan poros politik. Sebab ini bukan pertemuan Partoi Politik (Parpol). Bukan juga safari elit Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol. Ini hanya silaturahmi dengan frekwensi yang sama, yaitu perubahan, perubahan dan perubahan. Bila kemudian buah dari pertemuan tersebut menciptakan efek kejut politik, itu sesuatu yang wajar dan patut disambut secara positif pula. Apalagi memang, figur-figur yang hadir, harus diakui masing-masing punya kapasitas politik mumpuni. Pengaruh kuat mengakar ke bawah, laiknya satu institusi parpol. Belum lagi nama-nama tersebut selalu mencuat di blantika survei elektoral. Pak Nyalla, selain sejak lama dikenal sebagai organisatoris ulung di Pemuda Pancasila, KADIN dan PSSI, saat ini juga merupakan pejabat negara. Sebagai Ketua DPD RI. Lembaga yang mewadahi senator dari 34 provinsi, dan selalu disebut sebagai Fraksi terbesar di MPR. Mereka senator DPD adalah para wakil rakyat yang memperoleh legitimasi politik paling kuat di Senayan. Begitu pula dengan sosok Jenderal Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI, yang meski sudah Purnawirawan, tetapi masih terus berkiprah membangun negeri melalui kegiatan-kegiatan sosial dan gerakan politik moral. Satu dari tiga orang Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Lembaga yang mewadahi cendekiawan, aktivis, akademisi, profesional dan berbagai elemen bangsa dengan jaringan tersebar di seluruh Indonesia. Demikian pula Dr. Rizal Ramli. Sosok ekonom kawakan. Beberapa kali berada di jajaran eksekutif sebagai Menteri. Berjejaring di level politik dan ekonom internasional. Meski demikian, hingga kini Rizal tetap teguh dengan idealisme perjuangan. Kritis, lugas dan bernas dalam menyampaikan pandangan-pandangan terhadap situasi kebangsaan. Khususnya persoalan ekonomi Indonesia. Namun apapun itu, kita tentu juga tidak bisa menegasi pembacaan publik jika ada yang menilai bahwa ini adalah “Poros Serpong”. Melihat duduk bersama La Nyalla, Jenderal Gatot dan Dr. Rizal Ramli sebagai satu kekuatan politik baru di luar spektrum parpol. Tetapi, sekali lagi, ini pertemuan rutin yang sudah didahului dengan forum-forum sebelumnya. Bakal diikuti dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di luar itu, juga kehadiran sosok-sosok penting, termasuk dua Menteri era SBY, Menteri Sosial Bachtiar Hamzah dan Menteri Kehutanan MS. Kaban, juga Natalius Pigai, Ahmad Yani, Adhie Massardi, Marwan Batubara, Muhammad Said Didu dan yang lainnya. Persoalan esensial yang justru menarik kita untuk diskusikan lebih lanjut, adalah isu yang mencuat di balik berkumpulnya para tokoh yang konsen mengikuti dinamika kebangsaan kontemporer tersebut. (bersambung). Penulis adalah Senator DPD RI.
Bobrok & Kacaunya Intelijen Negara Era Reformasi Lalulintas
by John Mempi Jakarta FNN - Eksistensi suatu negara dijaga oleh dua Institusi. Secara fisik dijaga oleh militer, dan secara non-fisik dijaga oleh intelligence. Di dunia ini, sistem politik apapun yang diterapkan suatu negara, selalu ditegakan dan dijaga oleh kekuatan kekuatan bersenjata (militer) yang bersifat offensive, dan kekuatan intelligence yang bersifat preventive. Begitu selalu adanya. Intelijen adalah seni, bukan science. Intelijen adalah planologi, bukan arsitek. Intelijen adalah kecerdasan, bukan kekerasan. Intelijen adalah fungsi, bukan posisi. Intelijen adalah negara bayangan. Semua operasi intelijen hanya bisa dirasakan. Tetapi tidak bisa untuk dibuktikan. Saat keadaan perang terbuka, intelijen militer (combat intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Saat keadaan damai, maka intelijen sipil (bussines and political intelligence) sebagai garda terdepan untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman. Begitu dunia intelijen punya mau. Kecuali intelijen yang odong-odong, kaleng-kaleng atau beleng-beleng. Pada eranya kekuasaan Orde Baru, intelijen membagi peran manusia Indonesia menjadi dua bagian, yaitu kelompok pejuang dan pedagang. Mereka ibarat rel kereta api dengan tujuan yang sama. Pejuang disupport habis oleh pedagang, dan pedagang diback-up habis oleh pejuang. Lain halnya dengan intelijen di era reformasi. Rel kereta apinya disatukan menjadi monorail. Mereka yang pejuang merangkap sebagai pedagang, sehingga mengakibatkan penjahat dan pejabat bersatu dalam satu kubu. Penjahat dan pejabat disatukan di satu lintasan kereta. Awalnya, pejabat dikendalikan penjahat. Lalu berikunya penjahat yang berjuang untuk menjadi pejabat. Akhirnya penjahat yang menguasai negara. Ini memang tragis dan memilukan sekali. Ketika eranya Reformasi dimulai, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) dirobah menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Saat itulah BIN sebagai lembaga intelijen negara mulai kehilangan fungsi dan perannya. Karena tidak lagi mempunya eksistensi, maka BIN kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang bertujuan mencetak personil -personil intelijen baru. Akibatnya, pihak intelijen asing dapat dengan sangat mudah melakukan tracking personil intelijen Indonesia. Pekerjaan tracking dari intelijen asing menjadi mudah dan sangat mudah sekali. Misalnya, cukup hanya dengan mendapatkan database siswa dan alumni STIN. Karena STIN merupakan sekolah tinggi, maka untuk memenuhi kebutuhan akademik, STIN juga mempunyai Profesor dan Guru Besar intelijen yang hanya ada di Indonesia. Negara lain tidak mempunyai Prefesor dan GUru Besar intelijen. September 2020, BIN memberikan penghargaan kepada beberapa pejabat negara sebagai warga kehormatan. Padahal track record sebagian pejabat yang diberikan kehormatan tersebut sangat "tidak terhormat". Soekarno dianggap sebagai inspirator intelijen indonesia, sehingga Patung Soekarno berdiri di STIN. Walaupun sesungguhnya inspirator intelijen di Indonesia adalah Sri Sultan Hamengkubowono IX, yang menjadi penasehat spiritualnya Presiden Amerika Serikat ke-40 Ronald Reagan (1981-1989). Dalam operasinya, BIN berobah seperti BUMN yang terbuka untuk publik. BIN menjadi struktural dan administratif, Sehingga hal itu mengakibatkan kompartment intelijen yang eksis di era Orde Lama dan Orde Baru secara alamiah keluar dan meninggalkan BIN. Kemudian kompartement intelijen ini membuat organisasi tanpa bentuk. Mereka membiayai operasinya sendiri, hasil dari modal yang dikumpulkan di era Orde Lama dan Orde Baru. Mereka meninggalkan cara-cara kerja intelijen lalulintas yang ditarapkan di era reformasi sekarang. Mereka tetap beroperasi karena kecintaan terhadap bangsa dan negara indonesia. Mereka juga tetap teguh berpegang kepada ikrar yang diucapkan, yaitu "kami datang dan berkumpul di Bogor. Tidak saling mengenal. Kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air”. Ciri yang menonjol dari kompartemet intelijen era Orde Lama dan Orde Baru adalah, ketika ada diantara mereka yang meninggal dunia, mereka diperlakukan seperti rakyat biasa. Tanpa ada upacara pemakaman. Tanpa ada pemakaman di Taman Makam Pahlawan. Sebagai bentuk penghormatan, hanya kawan seperjuangan mereka yang mendatangi kuburan satu persatu. Sikap ini karena mereka terikat dengan sumpah untuk tidak saling kenal-mengenal sampai dengan ajal menjemput. Pola-pikir dan pola-kerja seseorang itu dibentuk dan ditentukan berdasarkan pengalaman masa lalunya. Masa lalunya akan terlihat pada cara dan pola kerjanya ketika menjabat. Kekonyolan kerja-kerja BIN semakin bertambah bobrok, kacau-balau dan amburadul dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Seorang polisi yang masa lalunya hanya berpengalaman dalam bidang lalulintas dan ajudan. Hanya itu saja. Tidak lebih dari itu Kerusakan pada institusi BIN semakin dalam ketika para agent BIN berobah statusnya menjadi pegawai BIN. Makanya tidaklah aneh jika setiap hari Senin sampai Rabu, agent yang berubah menjadi pegawai BIN, wajib mengenakan “baju putih” sesuai dengan bajunya Presiden Jokowi. Sedangkan pada hari Kamis sampai Jumat mengenakan “baju batik”. Bahkan para pejabat BIN dengan bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang di pundaknya. Supaya terlihat publik gagah sebagai orang intelijen. Prilaku pejabat BIN yang bangga berpose menggunakan seragam militer dengan tanda pangkat bintang ini, hanya untuk memperlihatkan kepada masyarakat berkaitan posisi dan jabatannya di BIN. Warna kantor BIN di Pejaten berobah menjadi warna merah, sesuai dengan warna partai yang berkuasa. Pergantian struktur pejabat di BIN diumumkan secara terbuka kepada publik. Sementara di daerah-daerah, KABINDA tampil terbuka layaknya kepala daerah bayangan dan ikut dalam kegiatan Pilkada. Dahulu itu partai politik di bawah kendali BIN. Namun sekarang terbalik. BIN berada dibawah kendali partai politik. Pemilihan Kepala BIN bukan berdasarkan kepentingan negara. Tetapi berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau di eranya Orde Baru, Kepala BIN disibukan untuk mengumpulkan Informasi, Sementara di eranya Reformasi ini, Kepala BIN disibukan dengan mengumpulkan uang untuk mempertahankan kekuasaan. Tragisnya lagi, BIN membentuk “Pasukan Rajawali” yang merupakan pasukan pemukul yang dipamerkan kepada publik. Seharusnya tidak perlu di publikasikan. Tetapi dengan bangganya diperkenalkan kepada masyarakat, seakan-akan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah BIN. Pasukan Rajawali merupakan pasukan khusus BIN model pasukan anti-teror. Dalam operasinya, BIN menerapkan aksi-aksi teror untuk mengamankan kekuasaan. Contoh yang paling telanjang dan terbuka adalah kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Pada eranya Orde Baru, pengusaha dan pejabat digalang oleh Intelijen. Sementara di era Reformasi, intelijen digalang oleh pengusaha dan pejabat. Akhirnya negara dikuasai oleh kawanan penjahat. Pada era Orde Baru, setiap interogasi intelijen menghasilkan informasi. Namun di era Reformasi, interogasi menghasilkan duit. Perbedaan paling mencolok intelijen di era Orde Baru dengan eranya Reformasi adalah, jika Orde Baru dikenal dengan “operasi intelijen”. Sementara ira Reformasi dikenal dengan “proyek intelijen”. Misalnya, saat pandemi Covid-19, BIN terlihat bersaing dengan institusi lainnya untuk berebut anggaran dengan menggelar Rapid Test massal dan gratis. BIN menggunakan mobile laboratorium layaknya pelayanan SIM dan STNK Keliling, dan mobil yang penyemprot disinfektan. Cara-cara kerja polisi lalulintas yang hari ini terlihat dominan pada kerja-kerja BIN. Ini wajar saja, karena Kepala BIN mantan polisi lalulintas. Persoalan lain dari kerja-kerja BIN yang bobrok dan kacau-balau adalah banyak personel BIN yang saat ini diisi oleh anggota Polri. Lagi-lagi, karena Kepala BIN berasal dari polisi lalulintas yang miskin dan tidak mempunyai background intelijen. Jika ada background intelijen, itu hanya sebatas kualifikasi reserse kriminal. Kebiasaan anggota Polri yang ingin tampil di media massa dalam gelar perkara (press conference) secara alamiah ikut terbawa ketika anggota Polri masuk ke dalam institusi BIN. Saat ini Covid-19 bukan lagi sebagai masalah kesehatan semata. Melainkan sudah menjadi masalah kedaulatan negara. Sehingga TNI wajib untuk turun tangan, karena berkaitan dengan sistem pertahanan negara. Trasgisnya, pemerintah Indonesia menganggap persoalan Covid-19 hanya sebagai masalah perdagangan saja. Beginilah akibat kerja dari Kepala BIN yang mantan polisi lalulintas. HRS yang dahulu merupakan produk intelijen di era Orde Baru, saat reformasi menjadi musuh utama dan terutama dari BIN. Padahal HRS yang selalu berbicara persoalan keselamatan negara. Namun karena BIN tidak berbicara soal keselamatan negara. Tetapi tentang persoalan keselamatan dari Kepala Negara. Bagaimana agar tetap bertahan di singgasana kekuasaan. Sudah pasti tidak nyambung prekwensinya. Bedanya antara laingt-langit dan bumi-bumi. Para agen muda BIN yang saat masuk pertama kali ke dalam BIN dengan idealisme tinggi. Tetapi setelah di dalam, dirusak moral dan mentalnya oleh atasannya sendiri, Misalnya, dengan melakukan operasi-opreasi yang hanya untuk kepentingan pribadinya petinggi dan Kepala BIN semata. Sementara di kalangan perwira, baik TNI maupun Polri, hari ini BIN dijadikan sebagai tempat untuk menaikan pangkatnya orang-orang yang tidak berprestasi di TNI dan Polri. Kasus yang paling memalukan dan menyedihkan adalah KABINDA Papua yang ditembak mati oleh gerombolan bersenjata. Ketika Papua terdapat suatu kelompok bersenjata, maka daerah tersebut merupakan daerah operasi militer, sehingga intelijen yang beroperasi di Papua adalah combat intelligence (BAIS). Bukan BIN, karena tidak sepantasnya seorang yang berpangkat Brigjen dengan kualifikasi pasukan Gultor Kopassus harus ikut patroli di daerah perang gerilya. Cukup hanya setingkat Komandan Palaton (Danton) atau Komandan Regu (Danru) saja. Akhirnya TNI harus menanggung malu, dan membayar mahal akibat kesalahan kebijakan pemerintah yang menurunkan derajat kewaspadaan, dengan menganggap masalah di Papua adalah masalah teroris semata. Kenyataan ini tidak terlepas dari masalah konstitusi yang melahirkan arogansi. Banyak komponen masyarakat yang tertekan dan terpinggirkan oleh kebijakan di era Orde Baru. Namun Orde Baru telah melunasi hutang sosial politiknya di era Reformasi ini. Caranya memberikan kekuasaan politik seluas-luasnya kepada kelompok yang merasa disakiti dan dipinggirkan selama Orde Baru berkuasa. Radikal Kiri dan Radikal Kanan, Ekstrim Kiri dan Ekstrim Kanan, Non-Muslim dan Non-Jawa diberi kesempatan untuk mengelola pemerintahan. Hasilnya seperti yang terlihat hari ini. Intelijen negara bobrok, kacau-balau dan amburadul. Akhirnya, setelah 22 tahun Reformasi, masyarakat dapat menilai hasil pembangunan yang dicapai dengan basis sakit hati dan dendam kesumat yang tiada akhir. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Pemerhati Intelijen & Akitivis ’98.