“Poros Serpong” Repetisi Keluar Dari Malapetaka Bangsa (Bagian-2)
by Tamsil Linrung
Jakarta FNN - Konsen dari para tokoh seperti La Nyala, Gatot Nurmantyo dan Rizal Ramli yang akhirnya menjadi magnet kohesi. Berikutnya lalu menimbulkan gelombang keterpanggilan pada frekuensi yang sama. Yaitu, isu menyelamatkan demokrasi yang kini nyaris mati kering berdiri. Pilar-pilar demokrasi telah lapuk. Mati berdiri, karena tidak lagi punya daya dalam pelibatan publik di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Matinya pilar demokrasi itu dapat dilihat dari aspek politik, hukum, ekonomi, sampai soal pemerintahan daerah. Yang tersisa dari kehidupan demokrasi kita hanya bayangan semu. Simbol dan aksesori yang tidak lagi memiliki ruh demokrasi. Peristiwa paling dekat yang menyedihkan dalam sorotan publik adalah pelemahan, pembusukan dan penghancuran terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari dalam.
KPK adalah satu diantara produk reformasi ‘98. Buah dari perjuangan panjang untuk membersihkan negeri dari anasir-anasir keruntuhan oleh kleptomania, oligarki dan konglomerat hitam yang berlakon dalam aneka peran kenegaraan. Peblik negeri ini dibuat terkaget-kabet. Bagaimana mungkin orang-orang yang telah mewakafkan dirinya di lembaga anti rasuah tersebut berpuluh tahun, namun tiba-tiba saja akan disingkirkan atas nama tes wawasan kebangsaan?
Kok ada masih yang meragukan kesetiaaan dan jiwa merah putih anak-anak negeri yang hebat, berkelas dan to markotop dalam hala pemberantasan korupsi tersebut? Padahal baru beberapa bulan kemarin mencokok dua menteri anggota kabinet Jokowi, Edhy Prabowo, Juliari Peter Batubara Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Senin kemarin mereka kembali menangkap Bupati Nganjuk dan OTT. Radar nurani kita menangkap, ada bongkahan kegeraman yang menggunung. Bergudang kemarahan dan kekecewaan publik menyaksikan semua drama politik yang picik dan primitif terjadi di depan mata dengan telanjang. Peristiwa-peristiwa ini justru terlihat ada dalam rangkaian cerita dan skenario panjang dan rapih.
Kemunduran demokrasi, bahkan terjadi secara konstitusional. Konsiderasi atas sebagai stempel lembaga perwakilan rakyat. Hal itu terang benderang tercermin dari beberapa pembentukan regulasi. Seperti UU KPK, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bukan saja tidak mencerminkan prinsip antikorupsi. Namun juga mengabaikan partisipasi publik. Padahal, ini adalah elemen esensial dalam sebuah proses legislasi.
UU KPK mempersempit ruang gerak KPK. UU Minerba melanggengkan pengerukan kekayaan sumber daya alam atas nama investasi. UU Cipta Kerja berimplikasi ke berbagai sektor. Seperti persoalan perburuhan, lingkungan hidup, agraria, hingga memperparah liberalisasi sektor perdagangan. Juga menginjak-injak Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat adat.
Kita tahu, dan dapat menangkap situasi kebatinan publik terkait problematika kebangsaan tersebut. Banyak yang gregetan. Hanya saja, ketakutan menyampaikan aspirasi, lantas mengunci diri. Menjauh dari ruang-ruang artikulasi berpendapat. Seperti yang terjadi pada Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana. Pasalnya, jerat kriminalisasi hingga jebakan UU ITE mengintai setiap saat.
Menghadapi situasi yang seperti ini, publik merindukan tampilnya figur-figur kuat yang secara representatif mampu menyuarakan aspirasi rakyat. Kekosongan tersebut, kita harapkan dapat diisi oleh sosok seperti La Nyalla, Jenderal Gatot, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh vokal lainnya. Mereka yang siap menjadi penyambung lidah rakyat, sebagaimana ungkapan yang dipopulerkan oleh Bung Karno.
Namun, kita juga harus realistis. Menjadi jembatan untuk aspirasi rakyat, tentu saja hanya akan efektif jika dilakukan dalam koridor instrumen struktural negara. Artinya, ada mekanisme politik yang harus dilalui oleh mereka yang dapat kita pegang komitmennya untuk membangun bangsa. Yaitu melalui proses kontestasi elektoral. Pemilihan Presiden (Pilpres) tempatnya.
Persoalannya, mekanisme elektoral saat ini dirancang super eksklusif oleh oligarki dn konglomerat hitam yang menyandara Partai Politik. Bahkan terkesan rancu dan kontradiktif dengan term-term demokrasi. Sistem elektoral didesain menutup peluang banyak figur yang kredibel, berintegritas dan punya kapasitas untuk maju dalam kontestasi bila tidak berasal dari partai politik.
Sementara partai-partai saat ini, menurut para pakar politik, cenderung tampil feodal. Lebih feodal dari sistem kerajaan. Nyaris tidak ada lagi parpol yang punya sistem regenerasi dan sirkulasi elit yang sehat. Padahal, parpol kita harapkan menjadi wadah kaderisasi kepemimpinan nasional yang terdepan. Namun harapan itu tampaknya harus dipetieskan dulu.
Makanya menjadi sangat tepat langkah DPD jika secara kelembagaan mendorong kembali gagasan untuk menghapus Presidential Threshold (PT). Tujuannya untuk dapat menjaring sebanyak mungkin kandidat presiden yang layak dan potensial. Agar tersaring sebanyak mungkin figur yang paling tepat untuk memimpin negeri ini. Apalagi, banyak kepala daerah berprestasi yang layak untuk diberi ruang.
Sebagai artikulator kepentingan masyarakat daerah, DPD idealnya mempelopori upaya untuk membuka jalan yang luas dan lebar untuk figur-figur terbaik dari daerah. Tanpa membuka ruang kontestasi kepemimpinan yang selebar-lebarnya, maka hanya akan muncul kandidat yang itu-itu saja. Kita disuguhi menu lama. Lu lagi, lu lagi, lu lagi. Padahal barangkali barangnya sudah kadaluarsa.
Sebaliknya, membuka peluang seluas-luasnya, akan memacu mekanisme meritokrasi yang sebetulnya merupakan fitur seleksi paling ideal dan kompatibel dengan sistem demokrasi. Meritokrasi di level parpol, maupun dalam spektrum lebih luas. Figur yang berhasil dan sukses dari organisasi bisnis, militer, hingga organisasi kemasyarakatan, semua dapat menikmati pesta demokrasi secara gembira.
Langkah DPD ini pada akhirnya, akan melahirkan pemimpin yang mumpuni. Pemimpin yang punya kapasitas dan kompetensi untuk mengelola bangsa yang besar ini. Pemimpin yang tidak perlu tunduk dan diatur oleh kekuatan-kekuatan oligarki dan konglomerat hitam yang menjadi sumber utama malapetaka kerusakan bangsa ini. (habis).
Penulis adalah Senator DPD RI.