Oligarki Licik Menunggangi Demokrasi dan Rule of Law
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum
Jakarta FNN - State regulatory body atau commission, yang dalam studi tata negara juga disebut “auxelarry body” , bukan badan yang diatur UUD. Sama sekali bukan. Badan yang status organiknya bersifat independen ini, merupakan temuan terhebat para oligarki di Amerika. Badan ini disodorkan oleh kelompok penghisap seluruh sumberdaya ekonomi ini, sebagai cara mereka melepaskan diri dari pengawasan langsung pemerintah.
Dalam kasus Amerika, hambatan non tarif dagang antar negara bagian, monopoli angkutan barang, dan diskriminasi harga, semuanya tersambung dengan perilaku korporasi. Rockeffeler, dengan standard Oilnya, berada di jantung sebagai sebab utamanya. Itu menjadi salah satu sebab pembentukan Interstate Commerce Commission Act (ICC) pada tahun 1887.
Sebab lain adalah adanya kenyataan korporasi telah megambil watak “trust”. Konsep yang saat itu belum menggema di Amerika, merupakan temuan hebat dari J.P. Morgan, yang belakangan menjelma menjadi koporasi keuangan kelas dunia. Kombinasi sebab-sebab itu dipakai oleh Grover Cleveland (1885-1889), sang Presiden yang pro bisnis besar Sherman Act 1890.
UU ini melarang semua bentuk monopoli, kombinasi, konspirasi pengaturan harga antar beberapa orang atau monopoli perdagangan di negara-negara bagian. Sukseskah? Dalam kenyataannya tidak. Standar Oil jatuh tahun 1911 bukan karena UU ini. Standar Oil gulung tikar dan hilang hilang nama besarnya karena investigasi Ida Tarbel, jurnalis investigasi kawakan yang menjadi sebab utamanya. Kala itu investigasi khas Ida Tarbel disebut “muckraker”.
Terbuai dengan ide institusionalisasi, muncul lagi gagasan mengontrol lebih keras kelakuan para oligarkis ini. Korporasi terlihat seolah-olah mau dipukul habis melalui penciptaan sejumlah UU. Nyatanya yang terjadi adalah UU yang dibuat dalam masa krisis ekonomi hebat tahun 1913-1921 itu justru menebalkan cengkeraman korporasi besar Amerika.
Itulah dekorasi utama pemerintahan Woodrow Wilson. Presiden Wilson dan Kongres merespon kenyataan itu gagasan Federal Trade Commission (FTC) tahun 1914. Ini diatur dalam Clayton Act (Hendry Clayton, chairman house judiciary committee sebagai pemrakarsa). Nama resmi UU ini adalah Anti Trust Act. Sukseskah? Tidak juga.
Korporasi naik lagi bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi hebat pada tahun 1929-1933. Pemerintahan Franklin Delano Rosevelt (FDR) merespon krisis itu dengan sangat agresif. Berbeda jauh dengan Herbert Hoover. Presiden FDR memang bukan kaki tangan oligarkis.
Presiden FDR segera melukis pemerintahannya dengan Monetary dan Reconstruction Finance Corporation Policy. Kerbijakan itu diawali dengan pembentukan The Banking Act 1933. Belum cukup dengan mengeliminasi laissez-faire ineviciency, dua tahun kemudian UU ini direvisi. Kongres segera membentuk The Banking Act 1935.
Reymon Moley, Rex Tugel, Adolf Berle yang dilebeli “Brain Trust” dan “Trust Busting”, berada dibalik lahirnya kebijakan itu. Berle misalnya mengadvokasi pembentukan The Banghkin Act 1935. Menurutnya itu cara tepat menyingkirkan infesiensi ekonomi, khususnya di bidang keuangan.
Berputar di sekitar monetary policy untuk macro economy stabilization, pemerintah FDR segera membuat kebijakan yang terlihat melindungi masyarakat. Disodorkanlah kebijakan-kebijakan penukaran emas dengan surat berharga. Surat berharga itu dapat diuangkan di bank.
Tetapi, ini yang menarik. Ketika surat-surat berharga itu dibawa ke bank, mereka menemukan kenyataan bahwa bank telah diliburkan. Ini dikenal dengan Bank Holiday, dikenal juga sebagai massacre day. Kemana perginya emas-emas itu? Diketahui ke Bank of England.
Korporasi terus berpesta. Dengan dalih memukul omong kosong free market, Kongres segera membentuk The Securities and Exchange Policy. Segera juga dibentuklah The Securities and Exchanges Commission (SEC) tahun 1934). Kebijakan itu dikokohkan dengan Federal Deposit Insurance Corporation. Juga Federal Home Bank Loan, Federal Saving and Loan Insurance Corporation, Federal Kredit Union, dan the National Mortage Association.
Semua kebijakan di atas melengkapi Federal Homes Loan Bank Act 1932 yang telah diteken sebelumnya oleh Presiden Hoover. Pemerintah FDR lalu mengeluarkan Home Owners Loan Act (HOLA). Dalam HOLA diatur pembentukan Federal Housing Administration.
Manis Presiden FDR segera mengidfentifikasi komunikasi sebagai satu masalah di tengah putaran waktu krisis itu. Ini harus dibereskan. Kongres juga merespon. Mereka membuat The Federal Communication Commission (FCC) tahun1934. Ini dituangkan dalam Federal Communication Act.
Tahu bahwa kekacauan sosial selalu memanggil partner utamanya yaitu instabilitas politik, maka masyarakat harus diberi perhatian. Itulah gagasan yang harus dimengerti dari “Social Infrastructure Policy”. Dalam kerangka itu dibentuk Social Security Act, dan lainnya yang sejenis dalam sifatnya.
Memang secara teknis Social Security Act itu bertujuan melakukan “stabilisasi ekonomi makro”. UU ini menyediakan jaminan bagi penganggur, unemployment insurance, jaminan bagi para pensiunan, bantuan kepada anak-anak, dan program jaminan sosial lainnya.
UU inui dalam gagasan awalnya dirancang sebagai cara memberi kepastian berkerlanjutan dan permanen terhadap peningkatan stok rumah secara nasional. Program ini memungkinkan semakin banyak orang memiliki rumah. Terutama ditujukan kepada mereka yang berusia di atas 33 tahun.
Bahu-membahu dengan pemerintah, Felix Frankfurther, Tomy Corcoran, James Landis dan Ben Cohen, eksponen utama “korporatis group”, seperti Merle dan kawan-kawan, mengadvoksasi pembentukan National Labor Relation Act. Canggih cara kerjanya. Mereka hanya mengadvokasi, dan Senator Robert Wagner, yang tampil memprakarsai pembentukan UU itu. Itu sebabnya UU sering disebut Wagner Act.
UU ini memberi pekerja privilege. UU ini mengatur apa yang dikenal dengan Labour Relation Board, yan bersifat Independen. Apakah kehidupan berubah setelah itu? Mereka tetap saja sebagai buruh. Upah tetap menjadi soal. Satu-satunya yang terlihat hebat dari UU ini adalah buruh diberi kebebasan berserikat. Itu saja. Itulah demokrasi dan rule of law khas kaum oligarki.
Pembaca FNN yang budiman, The Bankin Act 1933-1935, benar-benar merupakan cara licik khas oligarki mengisolasi, membatasi dan memotong ruang lingkup atau jangkauan kewenangan dari presiden. Kewenangan presiden itu dipotong dengan cara yang memberi sifat “independen” pada badan yang disebut regulatory body atau commission itu.
Tidak mengherabnkan American Bar Aassociation (ABA) menemukan kenyataan New Deal Policy adalah cara pemerintah federal, yang bekerja dibawah kendali oligarki memperluas kekuasaan pemerintahan federal. Administrative agency, termasuk badan-badan independen tersebut diidentifikasi sebagai siasat institusional pemerintah pusat memperluas kekuasaannya.
ABA atas dasar penilaian itu segera membentuk special committee on administrative law. Mereka memeriksa semua UU itu. Enam tahun setelah mereka bekerja, adminsitrative agency segera diidentifikasi sebagai “administrative absolutism.” Amerika disepanjang periode ini, dalam identifikasi mereka, ditarik dan dijatuhkan ke dalam totalitarianism.
Roscou Pound, sosiolg kenamaan yang pandangannya tentang hukum begitu populer Indonesia, kala itu bertindak sebagai salah satu chair-nya. Pound menyangkal independent commission yang diagungkan para politisi, karena diisi oleh para expert. Dalam kenyataan, Pound menilai tak ada korelasi signifikan antara para expert dengan eksistensi independent commission.
Pembaca FNN yang Budiman. Pemerintahan Franklin D. Rosevelt dengan New Dealnya dikenal juga sebagai “pemerintahan korporatis.” Bukan demokrasi. Periode ini dilebel dengan korporatokrasi. Begitulah demokrasi dan rule of law di negara demokrasi sekelas Amerika. Rakyat menari dengan demokrasi sejauh bicara-bicara dan bicara, di satu sisi. Oligarki mendikte demokrasi dan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menulis huruf-huruf dalam UU.
Lalu bagaimana dengan demokrasi dan rule of law dinegeri kita? Terlihat mirip dalam banyak aspek. Kemiripan ini terlihat pada tampilan emprik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Badan ini dirancang sedemikian canggih sehingga harus benar-benar berada di luar jangkauan dari UUD 1945 dan kekuasaan Presiden.
Pembaca FNN yang berbahagia. Konsep independen untuk badan yang disebut regulatory body sejenis KPK dan Bank Indonesia itu, dalam sejarahnya digagas oleh Kolonel Edward Mandel House, mentor politik dari Presiden Wodroow Wilson. Orang ini juga yang berada dibalik gagasan Internatization Liberty, pijakan kebijakan“self determination” untuk negara-negara yang hingga tahun 1919 itu masih terjajah.
Konsep itu (independen) diambil dari pengadilan dan disematkan, untuk pertama kalinya, pada The Fed. Sebagai konsekuensinya, Presiden tidak bisa mengurus urusan-urusan pemerintahan itu. Ini yang di tahun 1935 ditunjukan oleh special committee American Barr Association sebagai totalitarianism dan Administrative Absolutism.
Di jalan itulah Indonesia mutakhir merenda takdir demokrasi dan rule of law-nya. Rakyat terus berpesta dengan kritik demi kririk kepada pemerintah di satu sisi. Pada sisi lain pemerintah terus asyik dengan nadanya sendiri. Sistem politik, setidaknya sistem pengisian anggota DPR, terdekorasi manis sekali dengan diskriminasi yang level primitifnya begitu telanjang.
Diskriminasi primitif itu diinstitusionalisasi ke dalam parlementary treshold dan presidential treshold. Hukumkah itu? Sama busuknya. Mempertahankan hak, mulai kehilangan pijakan keabsahannya. Itulah sumbangan kecil mematikan dari UU Cipta Lapangan Kerja. Konyol sekali bangsa ini.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate.