OPINI

Pertamina Digugat Mozambik Rp 40 Triliun, Pemerintah Tanggungjawab!

by Dr. Marwan Batubara Jakarta FNN - Pada Februari 2019 Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli (sale and purchase agreement, SPA) dengan Anadarko Petroleum Corporation. Perjanjianuntuk pembelian LNG dari Mozambique LNG1 Company Pte. Ltd (MLNGC). Kesepakatan berlaku untuk pengiriman LNG sebesar 1 mtpa (million ton per annum) dalam jangka waktu 20 tahun. Belakangan muncul masalah. Harga gas dunia turun dan pasokan gas/LNG dalam negeri melimpah, sehingga serapan gas domestik, termasuk untuk diekspor, tidak maksimal. Setelah berlangsung hampir setahun, Pertamina tak kunjung mengeksekusi SPA tu, meski telah berulang kali diingatkan MLNGC. Belakangan Menteri Energi Mozambik menulis surat kepada Menteri ESDM untuk menagih komitmen Pertamina. Jika tidak, Pertamina akan dituntut membayar ganti rugi US$2,8 miliar (sekitar Rp 40 triliun). Faktanya memang program jangka panjang terkait bisnis gas dan LNG, yang dari awal merupakan bagian dari bisnis Pertamina, belum pernah dibatalkan manajemen Pertamina yang baru. Hal ini terjadi atas sepengetahuan komisaris sebagai wakil pemegang saham. Karena menyangkut uang negara hingga Rp 40 triliun, maka gugatan tersebut perlu ditinjau dan dianalisis, termasuk menelusuri siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan siapa pula yang harus bertanggungjawab. Sebagai perusahaan yang 100% sahamnya milik negara, tentu rakyat sebagai stakeholders Pertamina tidak rela membayar denda yang sangat besar. Apalagi jika hal itu disebabkan oleh segelintir orang yang ada di sekitar kekuasaan pemerintahan. Rakyat perlu pahami masalah ini. Membahas secara transparan dan menggugat pihak-pihak yang terlibat jika terjadi pelanggaran hukum dan/atau tindak KKN. Pengadaan LNG sejak awal pembentukan Direktorat Gas masuk dalam Rencana Jangka Panjang Pertamina sejak sekitar 2012. Impor LNG umumnya disetujui pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina setiap awal tahun. Artinya, rencana impor LNG memang dilakukan atas dasar telah adanya persetujuan pemerintah. Demikian halnya dengan pengadaan LNG Mozambik, telah masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina yang disetujui RUPS pemegang saham pada tahun 2019. Persetujuan pemerintah diberikan melalui wakil pemerintah yang menjabat Komisaris Utama dan Komisaris saat RUPS berlangsung. Tidak mungkin Direksi Pertamina (saat itu dipimpin Nicke Widyawati) berani menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Pertamina dan merencanakan pembelian LNG tanpa persetujuan pemegang saham (Kementrian BUMN dan pemerintahan Jokowi). Secara rutin, setiap tahun pemerintah melalui Kementrian ESDM menyusun dan menerbitkan neraca gas nasional, yang mencakup supply dan demand. Ternyata, rencana impor LNG dari Mozambik tersebut memang ditetapkan setelah mengacu pada ketersediaan dan konsumsi gas yang tercantum dalam neraca gas nasional yang terbit pada 2018. Apakah gas yang diproduksi Pertamina tidak cukup? Tampaknya memang demikian. Sebab, support dari kepemilikan gas dan LNG diperlukan karena produksi natural gas yang dihasilkan anak perusahaan Pertamina tidak secara otomatis seluruhnya menjadi milik Pertamina, tetapi harus melalui pengajuan alokasi terlebih dahulu kepada pemerintah/KESDM. Jika ditelisik, volume LNG Mozambik yang akan diimpor ditetapkan setelah mempertimbangkan kebutuhan Pertamina menggunakan gas untuk mengoperasikan kilang BBM dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Proyek Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-1 berkapasitas 1.760 MW di Cilamaya, Jawa Barat. Kedua proyek besar tersebut akan membutuhkan gas cukup besar dan tidak dapat dipenuhi supply gas domestik. Kebutuhan ini pun ditetapkan setelah mempertimbangkan harga LNG Mozambik yang murah dan hasil kajian konsultan yang disewa pemerintah/Pertamina. Hal lain yang perlu dicatat, pengadaan LNG sebagai bahan bakar pengganti BBM maupun pengganti bahan baku gas, merupakan salah satu syarat dari pemerintah untuk mendapatkan persetujuan investasi proyek. Baik untuk mengikuti tender PLTGU Jawa-1, maupun rencana pembangunan proyek RDMP yang merupakan proyek yang dipantau Presiden. Silakan terlibat proyek PLTGU Jawa-1 dan RDMP, asal Pertamina mau impor LNG Mazambik. Dalam hal ini mafia dan oligarki pemburu rente bisa saja terlibat. Presiden Jokowi sendiri telah menetapkan proyek RDMP Pertamina sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PEN) sesuai Perpres No.109/2020. Pada situs Komite Percepatan Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), RDMP disebut sebagai proyek revitalisasi kilang-kilang BBM Pertamina di Cilacap, Balongan, Dumai dan Balikpapan. RDMP dijalankan bersamaan dengan proyek kilang baru, Grass Root Refinery (GRR) di Tuban. Menurut KPPIP nilai investasi proyek RDMP/GRR Rp. 246 triliun. Kembali ke gugatan Mozambik Rp 40 triliun, tuntutan itu potensial menjadi tanggungan Pertamina. Karena itu perlu diidentifikasi penyebab dan siapa penanggungjawab.Pertama, karena Pertamina memang tidak meresponse balik atau mengkonfirmasi rencana pembelian kepada pihak penjual, maka Pertamina harus bertanggungjawab. Padahal response tersebut merupakan tahapan dan syarat yang harus dilalui dalam kontrak perjanjian jual beli gas/LNG. Tahapan ini merupakan hal yang rutin dilakukan oleh Direktorat Gas sebelum dibubarkan dan Pertagas diakuisisi PGN pada 2018. Kedua, sejak dibubarkannya Direktorat Gas Pertamina yang biasanya menangani bisnis gas/LNG, pucuk pimpinan Pertamina bisa saja tidak aware atau tidak care dengan keberdaan bisnis tersebut. Padahal bisnis gas dan LNG ini bukan hanya bisnis Pertamina. Tetapi juga bisnis yang menguntungkan Indonesia. Bisa saja kealpaan Pertamina ini akibat kelupaan, ketidakpedulian atau kesengajaan. Apa pun itu, akibat buruknya adalah Pertamina sangat berpotensi merugi Rp 40 triliun. Dalam hal ini, Pertamina dan pemerintah yang telah membubarkan Direktorat Gas layak pula harus bertanggungjawab. Ketiga, untuk mencegah turunnya harga saham atau bangkrutnya PGN, pada 2018-2019 pemerintah telah membuat kebijakan mengalihkan sebagian besar bisnis gas dan LNG Pertamina ke PGN dan memaksa Pertamina menjual saham Pertagas ke PGN (pola inbreng). Lalu Direktorat Gas Pertamina dibubarkan. Pada akhirnya tidak semua bisnis gas, apalagi bisnis LNG yang sarat reputasi dan modal, dapat dialihkan dan mampu dikelola PGN dengan baik. Akibatnya sampai saat ini sejumlah bisnis gas/LNG yang dirintis dan dikelola Pertamina menjadi terbengkalai, termasuk LNG dari Mozambik. Kebijakan pemerintah mengalihkan bisnis gas dan LNG yang lebih mengutamakan pemegang saham asing dan publik di PGN ini diduga bernuansa moral hazard. Patut diusut tuntas secara hukum. Yang jelas, akibat kebijakan ini sangat potensial membuat Pertamina harus membayar denda sekitar Rp 40 triliun dalam kontrak LNG Mozambik. Keempat, Pertamina dan pemerintah melalui komisaris Pertamina tak kunjung mengeluarkan kebijakan dan membuat keputusan atas permasalahan LNG Mozambik yang terlanjur dibeli Pertamina. Padahal LNG tersebut belum dapat segera digunakan karena keterlambatan pembangunan kilang RDPM/GRR. Rakyat pantas menuntut pemerintah yang gagal membuat keputusan, termasuk Komut Pertamina yang sebenarnya tidak layak secara legal menjadi Komut, karena diduga terlibat berbagai kasus korupsi Kelima, tertundanya proyek RDMP dan pembangunan kilang-kilang BBM baru tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari peran mafia minyak. Mereka ditengarai terus menghambat pembangunan dan revitalisasi kilang-kilang Pertamina, agar dapat terus menikmati rente impor BBM/minyak. Keterlambatan dan hambatan atas proyek RDMP pantas pula dipertanyakan kepada pemerintah, termasuk kepada Presiden Jokowi, yang pada Juli 2014 pernah berjanji akan memberantas mafia minyak. Ketika hasil audit forensik KordaMentha, yang berisi peran dan keterlibatan mafia minyak dalam impor minyak/BBM melalui Petral akan dilaporkan ke KPK, laporan justru tertahan karena tidak disetujui Presiden Jokowi. Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap Presiden Jokowi yang memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). "Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu," kata Sudirman di Jakarta, 16/2/2019. Ternyata laporan ditunda hingga sekarang atau malah sudah dikubur! Lima penyebab yang potensial membuat Pertamina merugi Rp 40 triliun di atas, secara terang benderang menunjukkan besarnya pengaruh pemerintah dalam mengelola Pertamina dan bisnis migas nasional. Prinsipnya, pengelolaan tersebut tidak sesuai prinsip good corporate governance, dan patut diduga bernuansa moral hazard. Terkesan “ugal-ugalan” atau “semau gue”. Sedikit melihat ke belakang, menjelang Pilpres 2019, Pertamina telah menjadi sapi perah dan korban intervensi kebijakan “ugal-ugalan”. Sehingga harus menanggung beban subsidi BBM sekitar Rp 96 triliun (akumulasi 2017-2019). Beban subsidi ini mestinya ditanggung APBN. Namun karena pembayaran melalui APBN tidak lancar, beban subsidi itu telah membuat keuangan Pertamina nyaris mengalami gagal bayar (default). Kondisi APBN yang semakin bermasalah akibat pandemi Covid-19, piutang Pertamina ke pemerintah pun tak kunjung diselesaikan pemerintah. Untuk membantu keuangan Pertamina, pemerintah membiarkan Pertamina tidak menurunkan harga BBM saat harga minyak dunia turun. Harga terendah sempat menyentuh angka US$ 20 per barel pada Maret 2020. Padahal sesuai formula harga BBM yang sudah berlaku bertahun-tahun, harga BBM harus turun saat harga minyak turun. Kondisi harga turun ini pun terjadi di seluruh dunia. Kebijakan pemerintah tidak menurunkan harga BBM sesuai peraturan dan formula harga yang diterbitkan sendiri oleh pemerintah jelas merupakan pelangggaran hukum yang serius. Akibatnya, konsumen BBM Indonesia membayar lebih mahal dari yang seharusnya, yang jumlahnya sekitar Rp 70 triliun untuk periode Maret hingga Desember 2020. Ringkasnya, akibat kebijakan “semau gue” yang sarat kepentingan politik pencitraan Pilpres 2019, Pertamina dirugikan puluhan triliun, dan ujungnya konsumen BBM lah yang menjadi korban. Harus menanggung kerugian sekitar Rp 70 triliun akibat harga BBM yang lebih mahal. Jika akhirnya Pertamina harus menanggung kerugian membayar denda Rp 40 triliun akibat kontrak LNG Mozambik yang bermasalah, maka yang menjadi penyebab tampaknya tidak jauh berbeda dengan kasus harga BBM. Keduanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang bersifat semau gue dan bernuansa moral hazard. Ditambah pula oleh sikap manajemen BUMN yang ABS. Kebijakan tersebut tampaknya tak jauh dari sikap menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan objek untuk perburuan rente. Apakah DPR dan lembaga penegak hukum peduli? No way. Kasus LNG Mozambik siap-siap merontokkan Pertamina. Tapi Pertamina bisa saja survive karena disubsidi rakyat melalui harga BBM yang tidak turun, asal harga minyak dunia turun signifikan. Selamat untuk mafia, pemburu rente dan “pemimpin” yang ingin memberantas mafia! Penulis adalah Direktur Eksekutif IRESS.

Geger Baru Vaksin Sinovac: Jokowi vs Ribka Tjiptaning

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Presiden Joko Widodo sudah divaksin Sinovac di Istana Negara pada Rabu, 13 Januari 2021. Prof. dr. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang menyuntik Presiden itu sempat gemetaran ketika proses penyuntikan. “Menyuntik orang pertama di Indonesia ada rasa (gemetar) juga. Tapi, masalah itu tidak jadi halangan buat saya untuk menyuntikkannya,” kata Prof Muthalib. Proses penyuntikan selesai dalam waktu singkat. Presiden Jokowi menyebut tidak ada yang dirasakannya saat disuntik vaksin tersebut. “Waktu menyuntikkannya tidak masalah, pertamanya saja agak gemetaran. Bapak tidak ada pendarahan sama sekali di bekas suntikannya,” lanjutnya. Setelah disuntik, Jokowi menunggu sebentar untuk memastikan kondisinya. Dilihat di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi masih terlihat bugar seperti sebelum disuntik. Jokowi pun terlihat berdiri dan berjalan di dalam ruangan Orang yang sudah disuntik vaksin harus menunggu 30 menit. Setelah itu, orang yang disuntik tadi bisa kembali beraktivitas. Vaksinasi Corona perdana ini juga disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi disuntik vaksin oleh tim vaksinasi COVID-19. Sebelum disuntik, Jokowi duduk di kursi pertama. Jokowi menjalani tes tekanan darah dan ditanya ada atau tidaknya gejala yang dirasakan Jokowi oleh tim tenaga kesehatan terlebih dahulu. Selain Jokowi, sederet pejabat lain juga turut divaksinasi. Di antaranya Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Ketua PB IDI dr. Daeng M. Faqih. Juga ada Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dan lain-lain), termasuk MUI. MUI sendiri sudah “melabeli” vaksin Sinovac sebagai produk “suci dan halal”, seolah telah menjawab keraguan umat Islam atas kehalalan vaksin Sinovac buatan China ini. Pasalnya, bibit vaksin Sinovac itu dikulturkan di jaringan organ monyet (vero cell). Meski Presiden Jokowi sudah berusaha meyakinkan masyarakat dengan “demo” suntikan vaksin Sinovac atas dirinya, tapi toh suara sumbang masih terjadi di lingkungan PDIP, partai yang mengusung dan membesarkannya. Lihat saja ungkapan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning yang berpendapat, bisa saja cairan yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh lainnya pada Rabu (13/1/2021) bukan vaksin buatan Sinovac. Dugaan tersebut dilontarkan Ribka dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bersama dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, dan Direktur Utama PT Biofarma Honesti Basyir pada Rabu (13/1/2021). “Bisa saja itu bukan Sinovac yang dikasih, kan kita enggak tahu semuanya, jangan ada dusta di antara kita,” kata Ribka. Di sisi lain, Ribka melanjutkan, Jokowi tidak bakal mengalami kesulitan jika ditemukan masalah ke depan imbas dari suntikan tersebut. Pasalnya, Jokowi bersama tokoh lainnya dilengkapi dengan fasilitas kesehatan masyarakat yang prima. “Kalau Pak Jokowi jadi contoh demonstratif begitu disuntik orang pertama, kita semua tahu kalau itu Sinovac, kalau ada apa-apa? Ya, memang dokternya saja yang ngikuti ada berapa, rumah sakit siap, tetapi yang [ada di daerah] di ujung-ujung sana, susah,” tutur Ribka. Sikap itu disampaikan Ribka berlatar pada pengalamannya saat menjabat Ketua Komisi IX. Ketika itu, dia mengingat, terdapat sejumlah vaksin yang ditemukan bermasalah dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. “Yang tadinya vaksin untuk polio malah [jadi] lumpuh layu, yang kaki gajah jadi mati 12 [orang] di Sindangaya sana di Jawa Barat,” kata Ribka. Kekhawatiran Ribka yang berlatar belakang dokter tentu saja cukup beralasan. Tak hanya tokoh PDIP seperti Ribka saja yang mengkritisi vaksinasi pasca Presiden Jokowi divaksin. Seorang dokter spesialis, dr Taufiq Muhibbuddin Waly, SpPD, mengirim surat ke Presiden Jokowi pada Rabu, 13 Januari 2021. “Setelah melihat berkali-kali video itu dan berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior, maka saya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang Anda lakukan adalah gagal. Atau, Anda belum divaksinasi,” tulis Dokter Taufiq. Alasannya adalah injeksi vaksin Sinovac, seharusnya intramuskular (menembus otot). Untuk itu, penyuntikan haruslah dilakukan dengan tegak lurus (90 derajat). Dan, memakai jarum suntik untuk ukuran volume minimal 3cc (spuit 3cc). “Tetapi yang menyuntik tadi siang memakai spuit 1cc dan tidak tegak lurus 90 derajat. Hal tersebut menyebabkan vaksin tidak menembus otot sehingga tidak masuk ke dalam darah,” lanjutnya. Suntikan vaksin yang dilakukan pada Jokowi itu hanyalah sampai di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (sub kutan). Dan, itu berarti vaksin tidak masuk ke darah. Pabrik vaksin Sinovac telah membuat zat vaksin tersebut, hanya bisa masuk ke dalam darah bila disuntikkan dengan cara intramuskular. Penyuntikan di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (subkutan) tersebut tak akan menyebabkan vaksin tersebut masuk ke dalam darah. Kalaupun bisa masuk, hanya sedikit sekali. Lain halnya bila vaksin atau obat itu di desain untuk tidak disuntikkan secara intramuskular. Misalnya menyuntikkan insulin. Injeksi insulin harus dilakukan secara subkutan. “Setelah menonton berkali-kali, saya melihat bahwa masih ada vaksin yang tertinggal pada spuit tersebut. Atau, tidak seluruh vaksin disuntikkan,” ungkap Dokter Taufiq. Ia juga melihat vaksinasi pada Raffi Ahmad. Penyuntikan dengan sudut 90 derajat itu sudah benar. Vaksin dalam spuit telah habis dikeluarkan semuanya. Tetapi, karena yang digunakan spuit 1cc, maka sudah pasti spuit itu tidak bisa menembus otot Raffi Ahmad. Atau, Raffi Ahmad pun harus mengulang vaksinasi Covid-19 seperti juga Presiden Jokowi. Dokter Taufiq tentunya tidak mungkin berkirim surat itu tanpa dasar. Apalagi, dalam surat itu disebut, “berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior”. Begitu pula Ribka Tjiptaning yang lebih ekstrim lagi dengan menyebut, bisa saja cairan yang disuntikkan itu “bukan vaksin buatan Sinovac”. Bisa jadi, “suara” Ribka ini sebenarnya suara riil rakyat dan PDIP yang menolak vaksinasi! Masyarakat juga banyak yang ragu dengan vaksin Sinovac. Apalagi, kata Ribka, vaksin Sinovac adalah rongsokan asal Cina. Sebelumnya dia dengan tegas menolak divaksin. Ribka lebih memilih membayar denda. WHO tidak memungkiri jika banyak kalangan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan vaksin corona. WHO dan seluruh kepentingan di dunia perlu berjuang meyakinkan masyarakat umum agar mau divaksinasi. “Cerita soal vaksin adalah berita bagus. Ini adalah kemenangan usaha manusia atas musuh mikroba. Kita perlu meyakinkan orang dan kita perlu meyakinkan mereka," kata Direktur Urusan Darurat WHO, Micahel Ryan, seperti dikutip AFP. Lebih dari 50 negara kini dilaporkan telah memulai vaksinasi Covid-19. Diperkirakan 70-90 persen dari 7,8 miliar orang di dunia perlu divaksin sebelum mencapai “herd immunity” agar dapat kembali ke kehidupan normal. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pembunuhan Politik Jadi Pilihan Para Penguasa

by M Rizal Fadillah Bandung FNN -Terbunuhnya aktivis Munir Said Thalib beberapa tahun lalu, di masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan menuju Belanda adalah pembunuhan politik. Mungkin rezim takut selama studi di Belanda, Munir akan banyak membangun akses yang berefek pada sikap dunia pada pemerintah Indonesia. Tersangka yang divonis bersalah hanya almarhum Pollycarpus Budihari Prijanto, mantan pilot Gadura Indonesia. Sedangkan aktor intelektual beserta jaringan pembunuhannya, masih aman-aman saja. Masih aman-aman saja. Bahkan sampi dengan Pollycarpus keluar dari penjara, dan meninggal dunia mereka masih masih man-aman saja. Akibat pembunuhan politik? Sedangkan terbunuhnya secara sadis 6 anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) bukan pembunuhan yang berkualifikasi biasa. Tetapi kualifikasinya adalah pelanggaran Hak Azasi manusia (HAM). Dimulai dari target dan kegiatan pengintaian dan pembuntutan yang dinilai tidak legal adalah Habib Rizieq Shihab (HRS). Kini HRS mendekam di tahanan. HRS dan FPI telah menjadi sasaran "pembantaian politik”. HRS ditempatkan sebagai lawan politik yang sanghat berbahaya. Bisa mengancam eksistensi dan keselamatan pemerintah Jokowi di tengah gagalnya penanganan Covid-19 dan resesi ekonomi yang semakin para. Belum lagi indeks tindak pidana korupsi yang semakin marak di era pemerintahan Jokowi. Korupsinya tidak tanggung-tanggung. Bantuan Sosial (Bansos) yang dikelola Kementerian Sosal bernilai trilunan rupiah, yang seharusnya diterima oleh masyarakat yang membutuhkan, malah dikorupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensinyalis ada 17.760.000 paket Bansos kemungkinan bodong. Tidak sampai ke masyarakat, karena orangngnya tidak ada. Paket Bansos bodong 17.760.000 tersebut, terdidiri dari 16.700.000 paket, orangnya tidak mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), dan 1.0.60.000 paket bansos lagi adalah NIK ganda. Jika satu paket Bansos senilai Rp 300.000,- maka totalnya senilai Rp Rp. 5,328 triliun. Itu baru data bodong saja. Terbunuhnya 6 anggota FPI yang menjadi pengawal HRS di masa pemerintahan Jokowi ini dapat juga disebut sebagai pembunuhan politik. Pebunuhan yang berusaha mengalihkan kegagalan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Satu-satunya keberhasilan pemerintahan Jokowi hanya pembangunan infrastruktur. Itu pun dengan biaya yang harus dihitung ulang oleh auditor keuangan dan konstruksi. Hutang yang dibuat selama pemerintahan Jokowi enam tahun sudah Rp. 3.400 triliun. Banding dengan hutang sejak Indonesia merdeka sampai berakhir pemerintahan SBY sebesar Rp. 2.600 triliun. Sekarang total hutang pemerintah menjadi Rp 6.000 triliun. HRS yang sebelum ditahan tidak memiliki keluhan serius, namun selama ditahan nampak mulai sakit-sakitan. Kejutan saat terjadi sesak nafas berat yang berimplikasi pada perlunya dampingan tabung oksigen. Kini perdebatan terjadi antara perlu tidaknya HRS dirawat di Rumah Sakit. Meskipun semua nampak berjalan normal-normal, namun bisa saja ada pihak-pihak tertentu yang menghendaki bukan saja FPI beserta rekeningnya yang habis, tetapi juga HRS harus habis. Tidak kurang dari 70-an rekening bank yang terkait dengan HRS dan FPI kini dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pembunuhan politik kerap terjadi, meski pada umumnya tak terungkap tuntas. Jaksa Agung pertama Gatot Taruna Mihardja di masa pemerintahan Soekarno dikenal tegas dalam membongkar kasus korupsi. Gatot ditahan dan mengalami percobaan pembunuhan dengan penabrakan mobil. Pada masa pemerintahan Soeharto, Jaksa Agung Kabinet Pembangunan V Sukarton Marmo Sudjono juga gencar dalam membongkar kasus-kasus korupsi. Program penayangan wajah koruptor di TVRI tiba-tiba terhenti dengan meninggal mendadaknya Sukarton Marmo Sudjono secara misterius. Di masa pemerintahan Gus Dur, meninggal yang mencurigakan di Riyadh Arab Saudi, mantan Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung yang dikenal jujur, bersih dan tegas dalam memberantas korupsi Baharudin Lopa. Kita teringat dengan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang mengadili kasusu korupsi, tewas ditembak 4 orang tak dikenal pada tahun 2001. Urusan korupsi selalu bersahabat dengan kekuasaan. Harun Masiku kader PDIP yang tersangkut kasus suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, hilang secara misterius sampai sekarang. Mulai muncul informasi liar hahwa Harun Masiku telah meninggal. Dugaan dalam rangka penghilangan jejak-jejak yang terkait dengan fihak-fihak yang terlibat. Bila benar, maka inipun menjadi bagian dari apa yang disebut pembunuhan politik. Tidak mudah untuk membongkar pembunuhan bermotif politik. Karena biasanya hal yang demikian menjadi kegiatan atau bagian dari operasi intelijen, baik resmi ataupun tidak. Pembunuhan adalah puncak dari teror dan tekanan. Sebab pembunuhan politik terkadang menjadi pilihan paling aman para penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Nisan aktivis pejuang hak sipil Amerika Martin Luther King yang juga menjadi korban pembunuhan politik, bertuliskan "Free at last, free at last. Thank God Almighty, I'am free at last". Luther pun terbebas dari intaian FBI dan tekanan berat politik kekuasaan. Politik kekuasaan kriminal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Mungkinkah Kapolri Baru Tolak Perintah Presiden?

by Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum Jakarta FNN - Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat republik? Apakah Kapolri nanti mengerti hakikat polisi negara apa? Apakah Kapolri baru nanti mengerti hakikat rule of law? Apakah Kapolri baru nanti berpaham Presiden sama dengan negara? Apakah Kapolri nanti menyamakan perintah Presiden itu sama dengan perintah hukum? Bagaimana pemahaman Kapolri mengenai konsep ketertiban dan keamanan dalam kerangka negara hukum demokratis? Apakah Kapolri baru nanti mengerti sepenuhnya konteks dan hakikat salus populi suprema lex esto? Bagaimana dia kerangkakan salus populi suprema lex esto itu ke dalam rule of law? Apakah Kapolri baru nanti memahami hukum sebatas teks pasal? Semoga hal-hal itulah yang ditanyakan oleh DPR kepadanya pada waktu fit and proper test nanti. Dulu Pernah Ada Jendral Polisi Hoegeng, tidak banyak bicara soal itu. Tetapi untuk alasan sengeyel apapun, tak bakal mampu menyangkal kenyataan pria ini memiliki kelas dan mengagumkan. Level tak tertandingi sejauh ini. Bukan kesederhanaannya saja yang membuatnya berkelas, tetapi lebih dari itu. Prinsipnya jelas. Berada dalam koridor kekuasaan, yang semua orang picik berebut berada di dalamnya. Menggenggam dengan cara yang khas orang-orang kecil, Pak Hoegeng, justru menjauh darinya. Top Pak Hoegeng, yang tak mampu, sekadar basa-basi saja, menyenangkan bosnya, Presiden Soeharto. Hoegeng dikenang orang hingga di kabupaten Sula, Maluku Utara ini, orang hebat. Ia tak mereandahkan harga dirinya. Tak mampu membebek, membungkuk agar bisa terus berada di koridor kekuasaan. Bapak yang kehormatan selalu bergerak menujunya, memeluknya, hebat sekali. Pak Hoegeng itu konsisten. Laksana busur pemanah kawakan. Dua peristiwa berat secara politik, ia tangani dengan cerdas. Kasus seorang anak pembesar di Yogya, dan kasus penyelundupan mobil mewah di Jakarta, yang bertali-temali dengan pembesar-pembesar politik, rontok di tangan pria lembut dan murah senyum ini. Mungkin terlihat bodoh bagi para pembebek. Untuk para hamba kekuasaan dan uang, Pak Hoegeng akhir terlempar dari jabatannya. Diberhentikan oleh Pak Harto. Apa yang membuatnya begitu kukuh menggenggam kejujuran, keadilan dan kesederhanaannya? Tak ada yang tahu. Ada kata-kata muitiara dari Ating, tulis Aris Santoso , DKK, dalam bukunya Hoengeng, yang terus melekat di benak Hoegeng. “Kekuasaan ibarat pedang bermata dua. Kalau tidak pandai menggunakannya, maka bisa mendatangkan bahaya, baik pada pemiliknya, maupun orang lain. Ingat, tulis Aris Santoso Dkk, melanjutkan kata-kata bijak Ating yang melekat pada Hoegeng, “hanya orang berilmu yang mampu menggunakan kekuasaan yang ada ditangannya, untuk menolong orang-orang yang lemah dan tidak bersalah” (tanda petik dari saya). Karena itu, Hoegeng harus sekolah baik untuk menjadi Polisi, untuk menolong orang lemah yang tidak bersalah. Pria Pekalongan ini, memang pantas menjadi alamat untuk kehormatan. Pria kelahiran 14 Oktober 1921, dan berpulang ke rahmatullah tanggal 14 Juli 2004, akan selalu begitu. Dia dirindukan orang waras, cinta kejujuran, kebenaran dan keadilan setiap kali melihat diksriminasi hukum, lembut atau ekstrim. Ada Pak Hoegeng, semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan Rahim-nya, juga Pak Prapto, Jaksa Agung 1950-1959. Prapto, pria kelahiran 2 Maret 1894 pernah bertugas diberbagai tempat. Pernah menajdi voorzitter pada Landraad Banyuwangi, Singaraja, Bali, dan Lombok pada tahun 1920 hingga 1929. Dia juga pernah menjadi hakim di Salatiga dan Pekalongan pada tahun 1941-1942, dan Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada tahun 1948. Lima bulan menjadi hakim Agung (20 Juli 1950), Soeprapto diangkat menjadi Jaksa Agung. Pengangkatan ini dituangkan dalam Kepres No. 64 pada 2 Desember 1950. Bening dengan kejujuran, berkilau dengan keadilannya, Pria ini menolak perintah Presiden Soekarno, untuk satu urusan kecil, tetapi penting. Soeprapto menolak melaksanakan perintah Bung Karno, yang menurut penilaiannya bertentangan dengan hukum. Perintah Bung Karno itu adalah menindak Mochtar Lubis, penanggung jawab Harian Indonesia Raya. Karena berita-beritanya Harian Indonesia Raya yang dinilai mencemarkan nama baik Bung Karno, ditolak Prapto. Jauh setelah masa keduanya, tata negara dan politik Indonesia menemukan Pak Jendral Suroyo Bimantoro. Kapolri yang satu ini juga top. Sikapnya menolak melaksanakan tindakan atau perintah Presiden, jelas. Pria pintar ini, begitu kukuh menjaga marwah konstitusi dan eksistensi Kepolisian. Top. Agungkan Konstitusi Pak Hoogeng dan Pak Prapto, jelas, teladan dunia hukum negeri ini. Diseberang jauh, dunia baru saja menyaksikan kebesaran Mark Esper, Menteri Pertahanan Donald Trump ini memutuskan hubungan dengan Trump setelah secara terbuka menentang permohonan Insurection Act of 1807, terkait perintah Trump untuk penempatan pasukan aktif di kota-kota Amerika. Esper mengatakan bahwa "Pengawal Nasional paling cocok untuk melakukan dukungan domestik kepada otoritas sipil.” Saya mengatakan ini tidak hanya sebagai Menteri Pertahanan. Saya mengatakan ini juga sebagai mantan tentara, dan mantan anggota Garda Nasional. Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam dan situasi yang mengerikan. Top markotop Mark Esper. Kami, kata Esper, tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Insurrection Act. "Hebat, Esper menemukan langkah-langkah di hari-hari berikutnya untuk lebih menurunkan situasi. Esper mengembalikan pasukan ke pangkalan mereka tanpa memberi tahu Gedung Putih. Dia begitu faham konstitusi. Sehingga dia faham dan tunduk hanya kepada konstitusi, juga prinsip-prinsip demokrasi. Super top Mark Esper. Lain Esper, lain pula Jeffrey Rosen, Deputy Attorney General, meninggalkan jabatan yang disandangnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkarir di kementerian ini. Rosen memutuskan meninggalkan jabatannya, karena satu alasan yang khas konstitutional. Rosen menilai William Barr, Bosnya, telah menggunakan, mendedikasikan kementerian untuk kepentingan politik Trump, bukan untuk konstitusi. Tragis, William Barr, sang Jaksa Agung, akhirnya juga frustrasi dengan perintah Trump. Karena Trump perintahkan Barr untuk menyediliki kecurangan pemilu, yang ternyata tidak ditemukan, justru membuat Trumph marah. Trumph juga marah, karena Barr dinilai tidak tuntas mengusut Hunter Biden, anak Joe Biden, Presiden terpilih. Frustrasi dengan perintah Trump yang menyebalkan berbagai kalangan sejauh ini, karena dinilai merusak konstitusi, Barr kehilangan kemampuannya menjadi jongos Trump. Harga dirinya bergerak naik, dan menguat melemahkan energinya melayani administrasi Trumph. Barr akhirnya menemukan dirinya sebagai laki-laki terhormat. Dia memilih meletakan jabatan itu. Selalu seperti sebelumnya, Trump mempersilahkannya, sembari mengucapkan terima kasih, member pujian politis kepada Bar (Lihat Spectrum News, Com. 23/12/2020). Kepala polisi Capitol AS dan dua pejabat keamanan senior, juga memperlihatkan level integritasnya yang sama. Menyusul pendudukan dan pengrusakan Capitol Hill, mereka mengundurkan diri. Apalagi seiring terjadinya peristiwa jorok itu, kritik masyarakat bergerak naik. Polisi dinilai ceroboh menangani serangan kejam pendukung Trump terhadap Capitol Hill. Nancy Pelosi, House Speker dari Demokrat, terlepas dari kenyataan dirinya cukup sering berseberangan dengan Trump, mengecem aksi ini. Tidak sendirian di barisan, tokoh senior lainnyapun mengecamnya. Steven Sund, Kepala Polisi Capitol Hill, tidak ngeyel khas polisi-polisi kerdil, untuk kelalaiannya itu. Dia mengundurkan diri dari jabatan itu, terhitung efektif mulai 16 Januari nanti (The Guardian, 8/1/2021). Presiden, dalam semua republik, tidak dapat disamakan, apapun alasannya, dengan konstitusi. Presiden tidak sama dengan hukum, apalagi hukum itu sendiri. Presiden adalah nama jabatan, yang pemangkunya (orangnya) dibebankan kewajiban melaksanakan konstitusi. Melaksanakannya juga harus adil. Adil mensyaratkan presiden harus transparan, dengan argumen-argumen konstitusi. Presiden juga harus tahu dignity, dan humanity. Dia harus tahu equality before the law dalam semua aspek kehidupan. Presiden, harus tahu Polisi kita, dengan argumentasi apapun, tidak bisa dikonstruksi menjadi Polisi Presiden Republik Indonesia. Betul, presiden adalah satu-satunya figur tata negara memegang kewenangan melaksanakan hukum. Betul itu. Tetapi Polisi kita, bukan Polisi presiden. Kepolisian kita adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Itulah status konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus memahami prinsip-prinsip konstitusi itu. Kapolri baru, siapapun dia, mau atau tidak mau, harus mengikatkan diri sepenuhnya pada konstitusi. Kapolri baru, terlepas dari siapapun orangnya, harus mengkerangkakan norma “menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” dalam UUD 1945 ke dalam konsep negara hukum yang demokratis. Konsep ini juga dinyatakan dalam UUD 1945. Polisi itu punya hukum dan bedil. Jaksa hanya punya hukum, tanpa bedil. TNI hanya punya bedil, tak punya hukum. Polisi, sekali lagi, memiliki kedua-duanya. Demi bangsa ini, kewenangan ini harus ditata. Ilmuan tata negara dan politik yang mendalami sejarah, mengerti aksioma sejarah dua alat itu. Aksioma itu sangat yang jelas. Bedil dan hukum selalu dipakai, dengan berbagai alasan khas rezim bejat, untuk memperbesar kekuasaannya. Melumpuhkan, memenjarakan dan membunuh orang-orang yang berseberangan dengan penguasa. Penguasa-penguasa bejat membentengi kekuasaannya, hanya dengan dua alat itu, hukum dan bedil. Aksioma itulah yang merangsang orang-orang bijak yang memimpikan demorasi menggariskan prinsip-prinsuip penggunaan hukum dan bedil. Harus ada restriksi. Tujuannya melindungi dan eksistensi rakyat. Akhirnya digariskan kewenangan menggunakan dua alat itu dapat diletakan hanya pada orang yang beres otak dan mentalnya. Bukan pada orang yang kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng. Terlalu sukar untuk tak menilai bahwa salus populi suprema lex esto, sejauh ini, telah dimaknai secara keliru. Doktrin ini terlihat konyol penerapannya. Main buntuti, tembak dan bunuh, sebagaimana yang menimpa enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), harus dilihat sebagai bentuk kongkrit dari kekeliruan memahami salus polpuli suprema lex esto itu. DPR harus mengerti itu. Sebab gagasan itulah yang menjadi akar lahirnya fit and proper test. Secara praktis fit and proper test, merupakan cara politik rakyat mengecek level otak dan mental orang yang bakal memegang kewenangan itu. Darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu, yang menambah darah-darah yang telah lebih dahulu tumpah dan nyawa-nyawa yang telah lebih dahulu melayang, harus menjadi yang terakhir. Kesewenang-wenangan hukum harus diakhiri. Akankah sejarah hukum dan tata negara Indonesia kelak, menuliskan lagi nama seorang Kapolri, yang dengan cara halus, menolak melaksanakan perintah Presiden? Hanya karena perintah itu dinilai bertentangan dengan rule of law dan etika republik? Sejarah punya cara untuk membicarakannya. Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.

Vendor Gugat PT IMSS, Anak Perusahaan PT. INKA

by Bambang Tjuk Winarno Madiun FNN - Matahari mengambang sepenggalah. Belum meninggi berada di titik kulminasi. Waktu itu, pendule jam menunjuk kisaran pukul 10 pagi, waktu di seputaran Pengadilan Negeri Madiun, yang berdiri di jantung kota, Selasa (12/01). Sejurus kemudian, berjalan seorang pria separuh baya, bagus rupa. Benturan lantai tumit sepatunya tak terdengar. Lantaran pria berperawakan gemuk, agak pendek, itu mengenakan sepatu catch warna biru tua. Model sepatunya seperti yang biasa dikenakan Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN itu. Penyuka alas kaki demikian mencerminkan pemakainya dinamis. Energik, namun rileks. Sehingga fleksibel dikenakan sosok dengan mobilitas tinggi. Pria itu adalah Kolik, Direktur Utama PT. Inka Multi Service Solution (IMSS), yang tak lain adalah anak perusahaan BUMN PT. INKA (Persero). Kolik mendatangi gedung Pengadilan Negeri Madiun, dengan diapit dua orang pengacaranya, Joko SH. dan Wahyu SH. sebagai tergugat secara perdata. Penggugatnya adalah Sunarto, warga Desa Sukoharjo, Kecamatan Kayen Kidul, Kediri, sebagai vendor atau mitra kerja PT IMSS. Sunato pernah mengerjakan beberapa item proyek di lingkungan PT. INKA, pesanan kerja dari anak usahanya PT. IMSS. Sunarto mengaku sebagai korban atas klausul kerjasama pengerjaan berbagai proyek, yang dimulai sejak tahun 2017. Terkait pembayaran nilai proyek, menurut Sunarto, masih terdapat sisa senilai Rp. 500 juta. Uang tersebut hingga kini belum tertuntaskan. Berulangkali korban Sunarto menagih ke Kolil dan PT IMSS. Penagihan yang dilakukan, baik langsung maupun lewat sambungan telepon kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik. Namun selalu mental dan gagal. Hingga akhirnya dia menggugat secara hukum. "Duuoooookkkkk.....". Palu hakim tunggal Pengadilan Negeri Madiun Kota, yang digenggam Endratno Rajamai, SH, MH, sekali membentur papan meja di tempat duduknya. Pertanda persidangan dimulai. Boleh jadi bagi penggugat, terlebih tergugat, tak mengira kerja samanya selama ini berakhir di tempat yang propertinya dominan serba hijau. Pengadilan. "Jangankan cuma Direktur Utama, presiden yang baik (negara, yang saat ini dijabat Jokowi) pun harus bertanggung jawab saat dia menjabat. Terlepas dari terjadinya persoalan sebelum dia menjabat sebagai presiden," tegas hakim tunggal PN Madiun Kota, Endratno Rajamai, SH., MH, memberikan permisalan. Perumpamaan ditujukan kepada Direktur Utama PT. IMSS, Kolik sebagai tergugat, saat memulai sidang perdana gugatan yang diajukan mitra kerjanya, Sunarto (penggugat), di pengadilan negeri setempat, Selasa (12/01). Terminologi kepemimpinan tersebut diungkapkan Endratno Rajamai, menjawab Kolik, yang saat itu diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat sebelum sidang dilanjutkan. Sewaktu diberi kesempatan menyampaikan keberatannya, Kolik yang duduk dalam apitan dua lawyernya, Joko SH. dan Wahyu SH. bersemangat menyampaikan keberatannya, sembari menggerak gerakkan kedua tangannya naik turun, guna memperjelas maksud yang diungkapkan. "Begini Pak Hakim. Yang membuat kami keberatan atas gugatan ini, saya menjabat sebagai Dirut PT. IMSS pada Tahun 2019. Sedangkan persoalan yang digugat penggugat itu terjadi sebelum saya menjabat," ucap Kolik yang mengenakan masker medis hijau itu. Namun intonasi meninggi bicara Kolik langsung mereda, sewaktu hakim tunggal bermasker putih itu menjelaskannya sebagaimana terkutip di kalimat langsung di atas. Sidang perdana gugatan perdata beragenda pembacaan materi gugatan itu berlangsung singkat. Di hadapan floor yang bersengketa, Endratno Rajamai sengaja tidak menuntaskan bacaan gugatan. Hakim beranggapan (yang diiyatakan kedua pihak) para pihak telah memahami isi gugatan. Sementara menurut vendor Sunarto selaku penggugat, pihaknya terpaksa menggugat secara hukum lantaran merasa telah jenuh dengan cara tagih konvensional yang tidak pernah berhasil. "Jadi kita bekerja itu banyak saksinya. Baik karyawan saya, maupun orang PT. INKA yang mengawasi pekerjaan saya. Saya sudah menagih berulangkali dengan baik baik. Namun selalu gagal," tutur Sunarto kepada jurnalis usai persidangan. Sementara pengacara Sunarto, Arifin P. SH. Menilai gugatan tidak dialamatkan kepada badan hukum PT. IMSS, mengingat badan hukum perusahaan tersebut, tentu memiliki perangkat sumber daya manusia, sebagai yang mengendalikan jalannya perusahaan. "Lucu kalau kami menggugat badan hukumnya. Kan di badan hukum PT IMSS itu ada pimpinan yang bertanggung jawab," jelas Arifin. P. SH. Kerugian yang diderita Sunarto mencapai Rp. 500 juta. Sedangkan proyek yang sudah selesai dikerjakan menyangkut perbaikan rel kereta api, pengecatan, pengelasan serta jenis pekerjaaan proyek lainnya. Selian Sunarto, gugatan perdata terhadap PT. IMSS itu juga dilakukan dua vendor lain, yakni Sugito dan Widodo. Dalam konteks yang sama, kedua vendor itu mengalami kerugian masing masing sebesar Rp. 500 juta. Sugito dan Widodo akan tampil menggugat di persidangan yang sama pada Rabu (13/01). Dengan pengacara tidak berbeda, yakni Arifin. P, SH. Penulis adalah Wartawan FNN.coid.

Gagal Vaksin Manifestasi Presiden Yang Gagal

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Vaksin Sinovac sudah didistribusikan ke beberapa Provinsi. Bulan Januari mulai penyuntikan vaksin. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum mengumumkan izin. Jika dipaksakan untuk dikeluarpun, itu tidak sehat karena tanpa penelitian tuntas dan seksama. Mau dipaksakan dan diburu-buru. Presiden Jokowi paksakan tanggal 13 Januari 2021 hari ini mulai dilakukan vaksinasi serentak. Konon Presiden akan disuntik pertama kali di istana negara. Begitulah Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengumumkan. Di beberapa negara banyak pimpinan negara memulai penyuntikan vaksin atas dirinya. Kemudian diketahui ternyata itu hanya suntikan rekayasa. Rupanya para pimpinan negara yang takut terinfeksi virus Covid 19, sama takutnya dengan disuntik vaksin. Ketakutan ini didasarkan pada keraguan akan jaminan keamanan vaksin yang disuntikan. Vaksin Sinovac masih menjalani uji klinis tahap tiga. Artinya pengujian belum selesai. Masih butuh waktu yang panjang untuk sampai pada penyelesaian uji klinis tersebut. Namun sudah dipaksakan untuk disuntikan. Tentu hari ini kita akan menyaksikan penyuntikan perdana atas diri Presiden Jokowi. Belajar dari karakter bawaan Presiden yang senang pada pencitraan, maka penyuntikan yang dilakukan mesti diperhatikan dengan seksama. Teliti benar isi vaksin, maupun cara penyuntikan. Presiden tak boleh bohong atau mekakukan rekayasa kepada rakyatnya sendiri. Jika sampai terjadi suntukan vaksin yang rekayasa dan pencitraan, maka tentu akan berdampak besar. Disamping akumulasi dari kebohongan juga bakal menjadi bagian dari penyunyikan skandal vaksin. Penolakan untuk divaksin karena keraguan keamanan khususnya vaksin China ini terjadi dimana-mana. Penolakan hampir terjadi seluruh belahan dunia. Kalangan tenaga medis sebagai klaster pertama target penyuntikan, ternyata banyak yang menyatakan menolak dan tak bersedia disuntik. Video Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang tak mau disuntik pertama, viral kembali. Begitu juga teraktual video anggota DPR Faksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning yang tegas-tegas menolak untuk divaksin. Ribka juga mengatakan menolak anak-cucunya divaksin. Ribka bilang, lebih baik memilik untuk didenda daripada di suntik vaksin. “Memaksakan untuk melakukan penyuntikan vaksin adalah perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), “kata Ribka Tjiptaning. Sementara di tingkat elit dan kalangan medis saja banyak yang ragu dan menolak. Apalagi untuk masyarakat kebanyakan. Wajar saja kalau makin banyak masyarakat yang ragu dengan penyuntikan vaksin sinovac ini. Belum lagi soal kehalalan vaksin yang masih menjadi persoalan. Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin terkesan harus "mengemis-ngemis" agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin sinovac. Soal halal haram tidak boleh dikaitkan dengan kebutuhan politik dan ekonomi. Jika program vaksin gagal, yakni tidak memenuhi target, maka berapa Trilyun kerugian negara yang secara tergesa-gesa telah membeli vaksin Cina Sinovac. Padahal vaksin ini ditolek oleh banyak negara di dunia. Kecurigaan terjadinya bisnis vaksin tersebut dikemukakan oleh banyak kalangan, termasuk anggota DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya mulai menyisir akibat kerugian negara yang mungkin terjadi dari korupsi vaksin sinovac ini. Sementara DPR yang "kritis" soal vaksin juga harus mengejar pertanggungjawaban Presiden atas problema vaksin yang merugikan keuangan negara tersebut. Skandal vaksin sinovac harus dicegah dan dipertanggungjawabkan. Rakyat jangan menjadi obyek mainan dengan dalih apapun termasuk kesehatan.Gagal vaksin adalah manifestasi dari Presiden yang gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Komnas HAM Bisa Dilaporkan ke Pengadilan Kriminal Dunia ICC

by M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (12/01). Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang wajar dan dapat dimengerti. Terlalu banyak pertanyaan yang masih menggantung jawabannya dari hasil penyelidikan yang telah dirilis Komnas HAM pada tanggal 8 Januari lalu. Banyak masalah yang belum dijelaskan oleh Komnas HAM. Misalnya, soal tembak-menembak, kepemilikan senjata api rakitan, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, dan penyiksaan. Siapa komandan di dalam mobil Landcruiser? Berapa nomor polisi mobil Landcruiser? Hingga kendaraan pembuntut berisi petugas yang misterius itu. Pembunuhan yang dikategorikan pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya. Siapa pelaku penembakan? Adalah wartawan dan reporter senior FNN.co.id, Eddy Mulyadi yang membeberkan banyak kejanggalan dari rilis Komnas HAM tersebut. Berlembar-lembar analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Analisis yang tajam, akurat, namun santai, khas jurnalis senior yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul Anam. Menyayangkan hasil kerja penyelidikan Tim Komnas HAM yang terkesan sangat mendalam dan mantap. Namun minim sekali hasil yang dapat disampaikan kepada publik. Meskipun menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM menjadi kelu dan ragu-ragu. Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu disambut baik. Walaupun ikut juga disesalkan kesimpulannya yang tidak sampai pada terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan, karena lebam-lebam, bengkak, cacat di kamaluan, kuku kaki yang lepas semua. Itu membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat. Telah nyata-nyata dari kondisi jasat enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) mengindikasikan adanya perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan. Untuk itu, wajar bila masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Ini juga sebagai opsi untuk melibatkan lembaga HAM internasional yang mengemuka. Perlu juga untuk mengagendakan pelaporan ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal Court) di Den Haag Belanda. Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Perlu diusut motif politik dari pembunuhan atau pembantaian tersebut. Berangkat dari temuan atau kesimpulan "seribu kejanggalan" ini, maka andai kasus "Pelanggaran HAM di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)" dapat dibawa ke tingkat peradilan internasional, maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu-ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula. Komnas HAM dapat diduga sebagai pihak yang telah turut serta mengaburkan peristiwa terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap nayawa anak bangsa. Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi. Karenanya Komnas HAM pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan "pelanggaran HAM". ICC di Den Haag diharapkan dapat menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting adalah "unwillingness", yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status sebagai "non state parties" tidak menjadi halangan atas tafsiran luas dari pasal 27 dan 28 Statuta Roma. Kejahatan yang termasuk kategori "international crime" berdasarkan prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk dalam yuridiksi ICC. Tanpa harus melihat nasionalitas pelaku dan tempat perbuatan. Pasal 28 Statuta Roma menegaskan bahwa "atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya". Aturan seperti ini sangat dirasakan penting untuk mampu menghukum "the most responsible person". Yang karena kekuasaan dalam negara menjadi sulit dijangkau oleh lembaga peradilan domestik. Peradilan kriminal internasional mampu menyeret Kepala Negara, Anggota Parlemen, Kapolda, atau pejabat lainnya yang dikualifikasikan terlibat dalam pelanggaran HAM (Vide Pasal 27 Statuta). Andai sejumlah organisasi pembela HAM, tokoh dan aktivis, serta keluarga korban dari pelanggaran HAM mengadu kepada ICC di Den Haag Belanda sebagai peradilan internasional independen, mungkin misteri dari peristiwa "pelanggaran HAM kilometer 50 tol Japek" akan terkuak. Yang terpenting adalah bahwa para pelaku atau perekayasa kejahatan HAM tersebut dapat dihukum. Kejahatan kemanusiaan tidak boleh dibiarkan atau terulang. Komnas HAM yang ikut bermain-main dalam kasus sensitif ini patut pula bertanggungjawab atas kelu dan ragu-ragunya itu. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Bedu Amang, Deklarator Pembubaran PKI di Jogya 1965

by Syaefudin Simon Jakarta FNN – Senin (11/01). Bedu Amang, panggilan akrab Abdurrahman untuk Suku Bugis di tahun 1965-an mengukir kisah yang heroik. Sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang juga pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogya sebelum dr. Sigiat, Beddu menjadi motor penggerak anti-PKI di Yogya tahun 1965. Ingat,,, Melawan PKI tahun 1965-1967 di Yogya bukan perkara mudah. Sebab PKI saat itu telah menguasai hampir seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Suasananya sangat mencekam, karena PKI mempelihatkan kekatannya di mana-mana. Semua DPRD Yogya dikuasai oleh PKI. Di Yogya, hanya ada 8 kantong Islam yang bertahan menolak PKI. Diantaranya Kauman, Notoprajan, Suronatan, Karangkajen Kadipaten Kulon, Pakualaman, dan Nitikan. Hanya daerah-daerah ini yang aman dari "kerumunan" PKI. Itu pun hampir tiap malam, 8 kantong Islam itu diteror oleh kader partai palu arit. Kader-kader PKI yang menguasai Yogya sering melakukan razia dan meneror orang yang melakukan sholat. Orang tak berani keluar rumah. Karena di jalan utama, arak-arakan kader PKI dengan yel-yel "Bubarkan HMI, Bunuh Penghisap Darah Rakyat, dan Habisi Tuan Tanah" terus menggema. Yang dimaksud dengan penghisap darah rakyat versi PKI adalah pengusaha muslim. Tuan tanah adalah kyai dan haji yang mengelola yayasan amal yang mempunyai tanah luas untuk sekolah Islam dan pesantren. Mahasiswa UGM, terutama anggota HMI, yang tinggal di Bulaksumur, Terban, dan Pingit, jika malam mengungsi ke salah satu kampung Islam tadi. Pak Dochak Latief bercerita, beliau ngekos di perumahan dosen UGM, Bulaksumur. Tetapi kalau malam mengungsi ke Kauman. Orang-orang CGMI, Pemuda Rakyat, Gerwani tiap malam kata Pak Dochak melakukan razia di pinggir jalan. Kalau tahu mahasiswa itu adalah aktivis HMI, maka bisa dibawa ke Posko Pemuda Rakyat. Jika sudah demikian, keselamatannya terancam. Begitu berkuasanya PKI di Yogya sehingga orang militer tertinggi, Kolonel Katamso dan Letnal Kolonel Sugiono, masing-masing Komandan Resort Militer Pamungkas dan wakilnya diculik dan dibunuh. Saat itu, awal awal Oktober 1965, Yogya sudah dikuasai militer Dewan Revolusi bentukan Letkol Untung. RRI Yogya sudah mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi dengan Ketua Mayor Mulyono, kepala staf administrasi di Korem Pamungkas. Mulyono ini pula yang memerintahkan penculikan terhadap Katamso dan Sugiono, yang notabene atasannya sebelum Letkol Untung membentuk Dewan Revolusi. Dalam kondisi itulah tokoh-tokoh HMI Yogya seperti Bedu Amang, Sugiyat, Tawang Alun, dan Amidhan mencari strategi untuk menyelamatkan umat Islam. HMI Cabang Yogya misalnya, mengutus Amidhan Shaberah menemui Sulastomo, Ketua PB HMI di Jakarta untuk melaporkan kondisi keamanan Yogya yang gawat dan dikuasai Dewan Revolusi. Sulastomo dikenal dekat dengan Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad yang mendapat mandat khusus dari Bung Karno untuk mengamankan Indonesia paska penculikan para jenderal. Dengan melaporkan peristiwa penculikan Katamso dan Sugiyono, harapannya Jenderal Soeharto segera mengamankan Yogya. Apalagi Sugiyono yang diculik PKI itu, pernah jadi asistennya Soeharto waktu peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogya. Perkiraan aktivis para HMI Yogya benar terjadi. Mendapat laporan suasana Yogya yang mencekam, Soeharto nengirimkan pasukan RPKAD ke Yogya. Begitu pasukan baret merah datang ke Yogya dengan peralatan militer lengkap, Bedu Amang ikut menyambutnya. HMI Yogya pun merapat ke pasukan pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tersebut. Bedu Amang, saat itu Sekjen Front Pancasila, organisasi bentukan Pak De Dahlan Ranuwihardjo, sesepuh HMI yang dekat Bung Karno. Bedu Amang menginisiasi rapat akbar di alun-alun Utara Yogya, depan masjid Kauman pada 21 Oktober 1965. Bersama Saibani sebagai ketua Front Pancasila, Bedu Amang membacakan deklarasi pembubaran PKI di Yogya saat itu. Langkah Bedu Amang membuat Gempar. Karena Jakarta saja belum membubarkan PKI. Tetapi Front Pancasila Yogya sudah membubarkannya. Akibat deklarasi itu, kader-kader PKI marah kepada umat Islam. Delapan kantong Islam seperti disebutkan di atas, setiap malam dijaga pasukan RPKAD. Kedatangan pasukan baret merah tersebut, terutama kehadirannya di kantong-kantong Islam Yogya, menjadikan perlawanan umat terhadap CGMI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani makin berani. Baru setelah Jenderal Soeharto mendapat Supersemar dari Bung Karno, sehari kemudian, 12 Maret PKI resmi dibubarkan. Yogya pun berangsur pulih. Sampai akhirnya benar-benar aman. Itulah salah satu momen penting perjuangan Bedu Amang di Yogya untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Abdurrahman atau Bedu Amang pejuang anti PKI, pernah menjadi Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) 1995-1998, alumnus Fakultas Pertanian UGM itu wafat Sabtu sore 9 Januari pukul 17.00 WIB dalam usia 85 di RS Pondok Indah Jakarta. Semoga amal ibadah Pak dan Abangda Bedu Amang diterima Allah Subhanahu Wata’ala, dan di sana mendapat tempat terbaik di sisi-NYA. Aamiin. Al-Fatihah untuk Pak dan Abangda Bedu Amang. Penulis adalah Aktivis HMI Yogya Komisariat FMIPA UGM.

Menolak Rekonsiliasi Semu

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (11/01). Sabtu kemarin (9/1) saya diundang Rekat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) binaan Jendral TNI (Purn.) Ryamizard Ryacudu. Ada 60 tokoh yang diundang. Mulai dari akademisi, aktifis, ulama, jenderal purnawirawan, ekonom, pengamat, hingga anggota DPR. Rekat menggagas tentang integrasi dan upaya menjaga keutuhan NKRI. Ini ide yang baik, sehingga mesti terus ditularkan ke semua jejaring anak bangsa. Semakin masif penularan, maka semakin banyak yang akan ikut memikirkan dan memikul tanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia yang damai. Sayangnya, acara sebagus ini tidak banyak diliputi media. Dalam pertemuan itu, saya tidak berkesempatan untuk bicara. Diantaranya karena memang waktunya terbatas. Saya juga lebih suka diam dan memahami lebih dulu kemana arah Rekat ini. Apa gagasan yang akan dikontribusikan untuk masa depan bangsa. Sebab di undangan juga tidak disertakan tema yang akan jadi panduan dialog dalam pertemuan itu. Makanya diam, mendengarkan, dan menjadi pembelajar di tempat yang belum dikenal, akan lebih bijak. Alasan yang lebih jujur sesungguhnya, karena mungkin moderatornya, yaitu Dedi Gumelar (Miing) dan Fristian Griec tidak kenal saya. Mau kasih waktu gimana, kenal aja kagak. Hehe Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit menyampaikan gagasan. Semoga tulisan ini sampai juga ke peserta diskusi Rekat sabtu kemarin. Terutama pimpinanya, Jenderal TNI (purn) Ryamizard Ryacudu. Tak lupa juga kepada host terkenal, Om Miing. Rekonsiliasi! Kata ini menjadi sakral akhir-akhir ini. Sering diperbincangkan, bahkan juga "mendadak" menjadi arus utama dalam diskusi Rekat kemarin. Kata "rekonsiliasi" tidak muncul tiba-tiba. Tentu, ada pemicunya. Yaitu keresahan bangsa atas kegaduhan sosial yang selama ini terjadi. Saya tak perlu merinci sumber kegaduhan itu. Semua sudah pada tau. Karena, dua belah pihak yang terbelah pasca pilpres 2019 saling klaim dan lempar tuduhan. Atas kegaduhan itu, sejumlah tokoh merekomendasikan untuk diadakan "rekonsiliasi nasional" . Antara siapa dan untuk apa? Dua pertanyaan ini harus lebih dulu dijawab. Kalau ada kebijakan, lalu dikritik. Apakah si pembuat kebijakan dan pengkritiknya harus rekonsiliasi? Tentu tak tepat. Tapi, kalau rekonsiliasi diartikan koalisi, nggak tepat juga. Rekonsiliasi memang tak harus berkoalisi. Tak harus, artinya boleh, sah dan mungkin bagus-bagus saja. Yang terpenting bukan koalisi menghasilkan apa. Tetapi jenis rekonsiliasi macam apa yang akan didesign untuk memberi kontribusi bagi masa depan bangsa. Kalau rekonsiliasi ujung-ujungnya bagi-bagi, itu koalisi namanya. Bukan rekonsiliasi. Jadi, kepentingan bangsa mesti jadi tujuan dasarnya. Rekonsiliasi, dalam pengertian yang sebenarnya, bisa menjadi solusi. Tetapi, ini sifatnya jangka pendek. Setidaknya, untuk sementara bisa meredam kegaduhan sosial. Tetapi, rekonsiliasi model seperti ini bersifat semu, jika ukurannya untuk orientasi jangka panjang. Konflik antar elit itu bersifat periodik. Pada pilpres 2024, identitas pemilih dan konstalasi politiknya juga akan berubah. Saat itu, atau setidaknya pasca 2024, situasi kemungkinan akan mencair. Karena itu, nggak perlu habiskan energi hanya untuk semata-mata mewujudkan rekonsiliasi. Ada sumber masalah yang sesungguhnya lebih serius dan mendasar untuk menjelaskan mengapa Indonesia mudah terpancing dan sering mengalami ketegangan sosial. Pertama, adanya kesenjangan ekonomi yang begitu lebar antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Ada ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun, bapak sosiolog dunia, dianggap berpotensi memicu ketegangan Hanya sekitar 1% orang Indonesia menguasai 50% kekayaan bangsa Indonesia. Sekitar 10% menguasai lebih dari 70% kekayaan negara. Regulasi, kebijakan dan program pembangunan bangsa selama ini tidak berorientasi untuk mempersempit jarak kesenjangan itu. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Jurang perbedaan kekayaan yang semakin lebar. Kedua, hukum kita sudah jauh keluar dari karakter normatifnya. Pasal-pasal dalam undang-undang sudah tak aman lagi, dan menjadi perebutan oleh berbagai kepentingan. Diantaranya oleh kekuasaan, korporasi, pemilik uang. Bahkan penegak hukum itu sendiri sering menjadi salah satu pemainnya . Hukum seringkali menjadi arena adu kekuatan antar pihak. Dan wasitnya ikut menjadi pemain. Ketiga, sistem demokrasi telah melahirkan para politisi minus jiwa kenegarawanan. Politisi itu tunduk pada parpol. Sementara negarawan tunduk pada aturan dan kepentingan rakyat. Politisi berorientasi prestis. Sedangkan negarawan berorientasi prestasi untuk bangsa. Politisi menjadi pemimpin para pendukung. Negarawan tak lagi peduli dukungan. Politisi menari di atas konflik dan pencitraan, negarawan sibuk melakukan rekonsiliasi. Kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum dan hadirnya banyak politisi minus mental kenegarawanan menjadi faktor utama mengapa gejolak sosial mudah mendapatkan triggernya. Dan ini tak akan berhenti menjadi ancaman bagi bangsa. Kalau Indonesia ingin damai, tiga PR tersebut harus segera diselesaikan. Kalau tidak, maka drama kekuasaan akan terus memainkan rakyat sebagai aktor lapangan yang akan selalu dibenturkan satu dengan yang lain. Disitulah kegaduhan sengaja dipelihara. Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Komnas HAM Memang Top

by Dr. Margarito Kamis SH.M.Hum Jakarta FNN – Senin (11/01). Membunuh satu orang, sama dengan membunuh semua manusia. Begitu Allah Subhanahu Wata’ala memperingatkan hamba-hambanya. Sakral manusia itu di mata Allah. Kesakralan itu memiliki daya tolak terhadap semua argumen official, serapih apapun, dalam menyembunyikan nyawa-nyawa yang dihabisi itu. Kesakralan nyawa-nyawa manusia, bagi yang berotak, tahu dihormati, diagungkan setiap republik di dunia. Love humanity, love dignity, love justices, and love peace, itulah nilai-nilai sakral semua yang dipunyai republik. Itu sebabnya semua republik, memandu aparatur pelaksana hukum dan pemegang bedil dengan due process of law. Alhamdulillah nilai-nilai sakral itu dihidupkan republik Indonesia tercinta ini. Itulah hakikat keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Syukur, Komnas HAM cukup jujur memasuki peristiwa terbunuhnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang menjadi pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS). Cerdas, Komnas pun telah mengumumkan temuannya. Alhamdulillah. Lubang-Lubang Kecil Substansi keterangan Pers Komnas Ham Nomor 003/Humas/KH/I/2021 tertanggal 8 Januari 2021, terpola dalam satu ciri umum. Cirinya adalah tidak menyebut nama pemberi keterangan. Ini yang tidak menarik. Yang menarik adalah Komnas HAM memberi ciri spesifiknya. Ciri spesifik ditandai dengan tak dijelaskannya hal-hal kunci. Komnas HAM tak menyebut bagaimana peluru mengenai dan mematikan dua almarhum yang diturunkan di rest area kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Apakah keduanya tertembak di dalam mobil ditengah keadaan saling tembak, saling serempet, seruduk dan kejar-mengejar di sepanjang jalan Internasional Karawang? Tida ada penjelasan rinci. Halaman tujuh poin sembilan dari konfrensi persnya, Komnas HAM hanya menyebutkan, untuk lengkapnya saya kutip secara utuh. Bahwa empat anggota Laksus yang kemudian “ditembak mati di dalam mobil petugas” (tanda petik dari saya) saat dalam perjalanan dari kilometer 50 ke atas (menuju Polda Metro Jaya) dengan informasi hanya dari petugas kepolisian semata bahwa terlebih dahulu telah terjadi upaya melawan petugas yang mengancam keselamatan diri, sehingga diambil tindakan tegas dan terukur. Hanya itu penjelasan polisi. Tidak dijelaskan juga siapa petugas Polisi yang menembak empat orang almarhum dalam mobil itu? Mobil yang mereka tumpangi menuju Polda Metro. Mengapa mereka tak diborgol? Apakah para almarhum itu telah tak berdaya secara fisik? Kalau mereka tidak dalam keadaan seperti itu, mengapa tak diborgol? Apakah keadaan tak diborgol itu merupakan perintah atasan? Logiskah hanya satu orang Polisi duduk dibangku tengah mengapit satu orang Laskar FPI? Logishkah tiga orang lainnya di jok belakang, tanpa kawalan? Lalu empat orang yang tangannya tak diborgol ini merebut senjata petugas, tetapi gagal? Logis ini? Atau hanya dongeng belaka? Kalau mati dalam mobil, adakah sidik jari dalam bobil itu? Tidak ada sehelai rambut pun ditemukan dalam mobil itu? Tidak ada bercak darah dalam mobil itu? Kalau semua ini tak ada, apa hipotesisnya? Mati di dalam mobil atau diluar mobil? Bila mati di luar mobil, maka soalnya jadi lebih menarik. Mungkinkah petugas di dalam mobil itu yang menembak mereka? Bila ya, apakah petugas itu mengambil keputusan sendiri untuk menembak mereka? Beranikah petugas tidak melaporkan keadaan itu kepada atasannya? Bila melapor, apa perintah atau petunjuk dari atasan? Fakta yang disajikan Komnas HAM, harus diakui, tak bisa diandalkan untuk menemukan jawabannya. Tetapi apakah keadaan yang terlihat tak terang itu menggambarkan Komnas HAM tak memiliki data itu? Lebih logis untuk berhipotesa kalau Komnas HAM benar-benar memiliki fakta itu, tetapi tidak mau untuk menyajikannya pada konfrensi pers. Kenyataan-kenyataan lain yang menyajikan soal, tersaji pada angka 5 pada halaman 6 point 8. Kenyataan itu sangat bernilai. Isinya “sedangkan untuk kendaraan jenis Avanza Silver B 1793 PWQ dan B 1278 KJD yang menurut keterangan saksi dan hasil identifikasi rekaman CCTV serta analisis rekaman percakapan terlibat aktif dalam pembuntutan terhadap rombongan HRS, tidak diakui sebagai mobil milik petugas Polda Metro Jaya yang sedang melaksanakan tugas pembuntutan”. Siapa mereka? Hantukah mereka? Apakah mereka yang menembak dua angota FPI lebih dulu, yang diturunkan di rest area kilometer 50? Apakah yang diterangkan petugas dalam pemeriksaan Komnas HAM mengenai dua mobil Avanza ini? Mereka mengakui? Menyangkal? Akankah soal ini terus menjadi misterius? Kenyataan ini bukan dongeng. Harus dibuat terang, seterangnya terangnya. Perjelas Konteks Konteks yang disajikan Komnas HAM terlihat persial, terpisah-pisah, terisolasi satu dengan lainnya. Padahal konteksnya begitu mudah. Konteksnya, suka atau tidak adalah HHS. Kepulangannya menyita perhatian pemerintah. Tidakkah telah menjadi pengetahuan umum, kepergiannya keluar negeri, semata menghindari tindakan hukum kepada dirinya, yang HRS nilai tidak adil? Apakah petugas lapangan memiliki kesanggupan dan kewenangan official untuk memilih tindakan, yang berpotensi, bahkan actual unlawful? Persoalan ini ak tersedia informasi oleh Komnas HAM. Tidak penting lagi mempertanyakan mengapa Komnas HAM memilih sikap itu. Sekali lagi tidak penting. Karena Komnas HAM sudah cukup cerdas. Mereka menyajikan fakta, yang terlihat terpisah, tetapi detailnya saling mendukung dalam membentuk konteksnya secara utuh dan menyeluruh. Itu terlihat pada fakta sebagai berikut. Pada halaman tujuh di bawa sub-topik pada pokoknya peristiwa di atas adalah (penebalan dari saya) Komnas Ham nyatakan: Penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap empat anggota laskar FPI. Nalarnya, hanya empat orang itu yang unlawfull killing. Dua lainnya lawfull killing. Logisklah ini? Terlihat logis bila konteksnya diisolasi pada kejar-mengejar, serempet-menyerempet dan tembak-menembak sejak di Jalan Internasional Karawan hingga keluar dari jalan itu. Soalnya sekarang, logiskah konteksnya diisolasi Komnas HAM sebatas itu? Apakah logis kejar-mengejar dan seterusnya diisolasi dari kenyataan adanya pembuntutan petugas kepada Habib sejak dari Sentul? Bila tak ada pembuntutan, apakah kejar-mengejar dan seterusnya bisa terjadi? Bagaimana dengan kenyataan adanya mobil mistrerius yang aktif membuntuti romobongan HRS? Bila kenyataan itu harus diisolasi juga, sehingga kematian dua orang itu disebut lawfull killing, maka muncul soal hukum baru. Soalnya adalah bagaimana menerangkan fakta yang ditemukan Komnas HAM bahwa Habib Rizieq telah dipantau sejak sebelum berada di Sentul? Tidakkah Habib Rizieq telah dipantau sejak di Mega Mendung dan Sentul? Tidakkah fakta itu bernilai hukum, sehingga petugas polisi mampu memantau, menginteli Habib Rizieq, pada dua tempat (Mega Mendung dan Sentul) itu tanpa insiden apapun? Mengapa menempuh pola terakhir yang fatal itu? Tidakkah petugas tahu bahwa HRS belum berstatus tersangka? Mau atau tidak, soal ini harus diintegrasikan dan dijadikan konteks peristiwa. Dengan begitu, maka sifat lawfull atau unlawfull atas kematian kedua almarhum itu, dapat ditentukan secara objejktif. Konsekuensinya, konteks peristiwa tidak dapat diisolasi sebatas kejar-mengejar, dan seterusnya. Konteksnya harus ditarik sejak peristiwa, setidaknya kerumunan di Petamburan, dan seterusnya. Bukankah peristiwa kerumunan di Petamburan itulah, yang mengakibatkan Habib dipanggil penyidik Polda Metro untuk dimintai keterangan? Bukankah terdapat dua pemantauan sebelumnya, yaitu di Mega Mendung dan Sentul, yang nyatanya semuanya oke, tanpa ada insiden, apalagi yang mematikan? Hanya dengan cara itu, hukum tentang lawfull atau unlawfull atas kematian dua almarhum menjadi objektif. Penentuan sifat kematian keduanya, dalam konteks rule of law juga due process of law, dengan sendirinya, memiliki nalar yang berbasis hukum. Komnas HAM juga menemukan kenyataan yang dinyatakan pada angka 6 point 6 halaman 6. Kenyataan ini justru menguatkan nalar pentingnya membuat konteks peristiwa ini secara utuh. Isi angka 6 point 6 halam 6 itu adalah “terdapat pula informasi adanya kekerasan, pembersihan darah, pemberitahuan bahwa ini kasus narkoba dan terorisme, pengambilan CCTV di salah satu warung dan perintah penghapusan dan pemeriksaan handphone masyarakat di sana.” Mengapa harus dibersihkan? Mengapa harus dihapus? Mengapa HP orang harus diperiksa? Lawfull ko takut pada kenyataan yang terekam? Imperatif untuk dikaitkan dengan konteks, dan kejelasan dua mobil misterius yang tidak diakui Polda. Agar sejumlah hal hukum memiliki nilai, maka soal ini harus ibuat jelas. Agar jelas, maka harus diperjelas konteks. Ini cara menghindari munculnya imaginabled context atau enggenering context, konteks yang dihayalkan dan direkayasa. Bahaya konteks tipikal ini adalah kekeliruan menentukan siapa yang bertanggung jawab apa? Dan sejauh mana tanggung jawab itu disebar? Bisakah konteks dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya yang terlihat tak saling terangkai, hilang, disebut sebagai loophole-loophole? Bila pun iya, hal itu tak mengubah fakta apapun dalam temuan Komnas HAM ini. Sebab terlalu mudah untuk menemukan nalar loophole-loophole itu. Tetapi harus diakui, itu akan terjadi bila penyidikan nanti sungguh-sungguh disemangati dan dikerangkakan ke dalam imperatif-imperatif due process of law. Buka otak, hidupkan nurani, hidupkan kejujuran, tatap di hari akhir yang indah adalah menghidupkan due process of law. Maka objektifitas penyidikan kasus ini, datang dengan sendirinya. Detail peristiwa, dengan demikian, akan mudah muncul bila, sekali lagi, bila otak bekerja dengan panduan nurani yang bening. Dengan panduan cahaya kejujuran dan rindu akhir hidup yang khusnul khotimah. Due process of law juga akan bersinar terang dengan sendiri. Keadilan memang sulit didefenisikan. Tetapi tidak bagi orang yang tahu hakikat perintah Allah Subhanahu Wata’ala tentang hak ya hak, benar ya benar, dan batil ya batil. Hukumlah mereka yang perbuatannya nyata-nyata salah, dan bebaskanlah mereka yang perbuatannya nyata-nyata tidak salah. Jangan memproduksi dongeng. Komnas Ham memang top. Kecerdasan, keberanian dan kecerdikan tuan-tuan di Komnas HAM semua, telah menghadirkan harapan kecil yang hebat buat republik ini. Insya Allah republik ini tidak semakin terluka, tercabik-cabik dengan diskriminasi hukum dan politik. Love justice, love humanity, love dignity, itulah permintaan sakral semua pendiri republik ini. Hormat untuk tuan-tuan Komnas HAM semua.** Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.